Ada berita yang cukup
menarik pada Harian Suara Merdeka (Rabu 30 Mei 2012) yang membuat saya ingin
sekali mengupas berita tersebut. Yakni tentang seorang Rohaniawan Katolik bernama
Romo Carolus yang mendapatkan penghargaan Maarif Award 2012. Penghargaan
tersebut diberikan karena Romo Carolus telah berhasil menyuntikkan semangat
baru dan menumbuhkan model alternative untuk penguatan dan pemberdayaan
masyarakat Cilacap.
Charles Patrick Edwards Burrows,OMI adalah nama kecil sang peraih penghargaan tersebut. Ia adalah
seorang Pastor di Paroki St Stephanus Cilacap. Setelah kedatangannya di
Indonesia pada tahun 1973, ia tertarik untuk mengabdikan diri kepada masyarakat
di Kampung Laut Kabupaten Cilacap. Lebih dari 40 tahun , ia mendedikasikan diri
menjadi motor perubahan di Cilacap lewat aksi social, dalam bidang kesehatan, pendidikan,
perekonomian, infrastruktur, dan lainnya. Di Kampung Laut, salah satu kecamatan
miskin di Cilacap inilah, dijadikannya awal melaksanakan missi kemanusian
tersebut.
Banyak hal yang
dilakukan pria kelahiran Dublin, Irlandia Selatan pada 8 april 1943 silam ini
di Kampung Laut. Dengan yayasan social bernama Yayasan Social Bina Sejahtera
(YSBS), ia berjuang memberikan kesehatan, mengentaskan kemiskinan,
pengangguran, dan juga pendidikan kepada masyarakat sekitar. Dalam bidang
kesehatan, Romo Carolus berjuang mengobati masyarakat miskin setempat tanpa menuntut
bayaran sepeserpun. Semua dilakukannya secara sukarela. Hingga akhirnya, selama
hamper 20 tahun, akhirnya di Kampung Laut berdiri prasarana medis.
Dalam mengembangkan perekonomian
masyarakat, Romo Carolus mengajak masyarakat membangun jalan sebagai akses.
Atas inisiasi itu, kini Kampong Laut memiliki akses jalan yang cukup lebar.
Selain itu juga, ia bersama yayasannya dan juga masyarakat membangun tanggul
penahan rob, mendirikan rumah, membuat bak penampungan air minum, menyediakan
perahu motor dan jala untuk menangkap ikan. Selain itu, YSBS juga member bantuan
ternak berupa bebek, ayam dan kambing kepada masyarakat, agar masyarakat
mendapatkan penghasilan lain selain melaut.
Di bidang pendidikan, YSBS
mendirikan sekolah dan memberikan beasiswa pada mereka yang berprestasi. Dana
yang diperolehnya untuk membiayai semua kegiatan itu merupakan bantuan dari LSM
luar Negeri, seperti Jerman, Irlandia, Belanda, Amerika Serikat dan lain
sebagainya.
Dalam melaksanakan
missi kemanusiaannya , bukanlah terjadi secara mulus. Banyak rintangan yang ia
hadapi, salah satunya selalu dicurigai sebagai kegiatan misionaris. Namun ia
membantah jika kegiatan itu bertujuan untuk mengajak orang mengikuti keyakinan
yang ia anut. Dengan lantang ia menjawab “Tidak ada keinginan saya untuk
membabtis atau mengajak seorang pun masuk Katolik. Saya sendiri baru merasa 20
persen Katolik, bagaimana bisa mengajak orang masuk Katolik?” ujarnya.
Ia menambahkan, setiap
orang bebas memilih agamanya masing masing karena itulah hak asasi manusia,
tapi soal iman itu hadiah dari Tuhan. Jadi percuma mereka beragama kalau tidak
memiliki iman. Yang terpenting bagaimana antar umat beragama bisa saling hidup
rukun dan berdampingan tanpa ada rasa
saling membenci dan mencurigai yang bisa bermuara pada permusuhan dan pertikaian.
Rasa kemanusiaan yang
tinggi itulah yang mengundang decak kagum banyak orang, termasuk pendiri Maarif
Institute, Syafii Maarif. “Jarang ditemukan orang seperti ini. Dimensi
kemanusiaannya jauh lebih dalam. Seorang FPI saja hormat kepada dia”.
Tulus, Tanpa Pamrih
Tulus, mungkin kata itu
yang patut diberikan kepada Romo Carolus. Ia berani berjuang membela kaum
marjinal tanpa pamrih apapun. Apa yang dia lakukan bukan pencitraan berlabel
politik seperti yang keluar dari mulut para politisi saat kampanye. Mereka yang
selalu saja menebar janji-janji paslu, bermulut manis, namun berhati srigala.
Romo Carolus, adalah sosok yang patut menjadi teladan bagi generasi penerus
bangsa ini. Sikap tulus tanpa pamrihnya, mutlak dimiliki generasi penerus yang
dipundaknya terletak masa depan negeri ini. Setelah sekian lama, negeri ini
dikuasai oleh orang-orang yang hanya mementingkan “perut” dan “bawah perut”.
Analogi cukup ekstrem untuk kata “nafsu”.
Selama ini, baik di
media elektronik, cetak, dan juga dunia maya, kita selalu saja disuguhi
pemandangan busuk. Para politisi busuk dengan jeratan kasus yang melandanya.
Semuanya berawal dari pemenuhan dan pemuasan “perut” dan “bawah perut” itu.
Karena disadari atau tidak, manusia sekarang lebih mementingkan urusan dunia.
Mereka lupa, bahwa ada kehidupan yang lebih kekal menanti. Dimana dalam
kehidupan itu, akan dituntut pertanggungjawaban semua perbuatannya didunia.
Alam Akhirat.
Jadi tidak heran, jika
apa yang dilakukan Romo Carolus, adalah hal yang sangat aneh. Aneh jika terjadi
di masa sekarang ini. Dimana kebaikan hanya menjadi ucapan, janji yang tak
pernah ditepati.
Terlepas dari ia
seorang Pastur yang sering disalah artikan bahwa apa yang dilakukannya memiliki
“embel-embel” sendiri, penulis sangat mengaguminya. Apalagi sebagai Pastur, ia
pasti juga tidak akan berbohong dan mengingkari apa yang ia ucapkan. Seperti
yang saya kutip diatas, pernyataannya bahwa tidak ada keinginannya untuk
membabtis atau mengajak seorang pun masuk Katolik. Dari pernyataanya tersebut,
jelas bahwa setidaknya, tak ada niatan untuk melakukan pemaksaan
sebuah keyakinan apapun kepada masyarakat yang dibantunya.
Demikianlah kisah Romo
Carolus, seorang pastur kelahiran Irlandia Selatan yang mengabdikan hidupnya
untuk masyarakat marjinal di Cilacap. Sebuah kisah teladan yang tidak hanya
cukup diberikan penghargaan, tapi diikuti. Jejak-jejak ketulusannya, menjadikan
dunia ini terasa amat tentram. Terimakasih Romo Carolus, semoga kami para
generasi penerus bangsa ini dapat mengikuti jejakmu. Menjadi orang yang berguna
bagi orang lain, karena sebaik-baiknya umat manusia, adalah yang dapat
memberikan manfaat bagi orang lain. Kau telah memberikan pelajaran yang sangat
berharga. Indonesia, berikan penghargaan setinggi-tingginya bagi orang seperti ini.
Sumber Suara
Merdeka, 30 Mei 2012
0 komentar:
Posting Komentar