Jumat, 11 Mei 2012

Mengisi 2.0 Indonesia Dengan Cinta

Abstraksi
Sebagai negara-bangsa, Indonesia dapat dilihat dari dua hal: sebagai fakta dan konsep. Sebagai fakta, Indonesia terdiri secara kultural dari berbagai suku suku bangsa, bahasa daerah dan agama serta keyakinan. Sedangkan sebagai konsep, ragam perbedaan kultual itu disatukan dalam identitas komunitas terbatas bernama Indonesia. Jadi, negara-bangsa (nation-state) Indonesia adalah produk politik yang menyatukan Nusantara –dengan kekayaan kulturalnya- dari Sabang sampai Merauke. Ragam suku disatukan dalam ikatan bangsa bernama bangsa Indonesia, macam bahasa disatukan dalam bahasa persatuan; bahasa Indonesia, dan warga negara disatukan dalam satu tanah air; tanah air Indonesia, seperti terucap dalam Sumpah Pemuda 1928.
Konsep imajinatif tentang Indonesia lahir karena fakta kulturalnya mengalami persamaan nasib, cita-cita dan tujuan masa depan. Indonesia dalam rentang masa lampau menyatu dalam pekik kemerdekaan. Sebagai kenyataan, masa sekarang adalah yang sedang dilakoni dan sebagai masa depan adalah cita dan angan-angan, dan ini belum dialami, baru diimajinasikan. Masa lalu telah menjadi sejarah, masa sekarang sedang dibangun, sementara cita-cita masih kita tatap secara kosong dalam imajiansi masa depan. Katakan saja proyeksi dimensi waktu ini sebagai 2.0 Indonesia.
Sebagai masa lalu, Indonesia terkenal sebagai negara yang santun, luhur, mulia dan disegani dunia hingga bendera merah putih dihormati oleh warga negara Italia dan bangsa-bangsa lain di dunia. Namun sebagai kenyataan sekarang, citra awal tersebut justru berbalikan. Sekarang, Indonesia disebut sebagai negara dengan “prestasi” buruk di mata dunia yang menempati rangking teratas korupsi, kemiskinan, kebodohan dan anomali-anomali sosial tak terperi lainnya. The great disruption (kekacauan besar) seperti diramalkan Francis Fukuyama akan menjangkiti manusia benar-benar mengada dalam imajinasi dunia tentang Indonesia. Akibatnya, mistrust (ketidakpercayaan) dari rakyat atas pemimpinnya dan deligitimasi dunia internasional dalam berbagai bidang, membuat imajinasi Indonesia –seperti kata Benedict Anderson- kikis ditelan zaman. Indonesia diramal sebagai bangsa yang mendekati kerusakan dan berperadaban dangkal. Tak ada lagi rasa bangga menjadi warga negara bangsa Indonesia.
Karena itulah, untuk mengisi kekosongan (0) masa depan Indonesia yang lebih baik, nasionalisme harus dibangkitkan kembali dalam balutan cinta. Karena dalam cinta, Robert J. Sternberg, ada ikatan janji, gairah dan keintiman. Dalam konteks nasionalisme, janji cinta ada dalam kemandirian ekonomi dan politik. Gairah dimaksudkan sebagai semangat mempertahan identitas nasional dan warisan budaya dari gempuran globalisasi informasi. Dan keintiman adalah kemengikatan, merasa dekat, menyatu hati dalam berbangsa, berbahasa dan bertanah air Indonesia dari seluruh warga negara.
Kata Kunci: Nasionalisme, Identitas, Indonesia, Masa depan, Kebudayaan dan Cinta.
Pendahuluan
Tak ada negara sekaya dan seindah Indonesia. Aneka ragam kekayaan alam dan kultural melekat dalam identitas manusia Indonesia. Indonesia ada karena segenap kekayaan alam dan kultur disatukan dalam mitos persatuan dan dengan tekad untuk menentukan nasibnya sendiri secara merdeka mahardika. Mitos ini jelas bukanlah lahir begitu saja atau jatuh dari langit tapi merupakan hasil pergulatan pemikiran dari para pendiri negara ini.[1]
Merujuk pada falsafah Bhinneka Tunggal Ika, terwujudnya negara-bangsa merdeka yang disebut Indonesia berangkat dari semangat mempersatukan heterogenitas bangsa yang sangat plural. Kenyataan bahwa Indonesia yang wilayahnya meliputi Sabang sampai Merauke, yang terdiri atas beragam suku, etnik dan bahasa,[2] membuat masyarakatnya sangat majemuk (plural society). Furnivall (1984) mengidentifikasi masyarakat majemuk sebagai kelompok masyarakat yang menjalin hidup berdampingan secara fisik, namun terpisah oleh perbedaan sosial dan tergabung dalam sebuah satuan politik. Kendati teori ini telah mendapatkan kritik karena analisis antropologisnya merujuk pada realitas masyarakat Indonesia pada masa kolonial yang membedakan ras, etnik, ekonomi dan agama, namun kiranya masih relevan untuk digunakan sebagai landasan historis terbentuknya Indonesia. Identitas yang dicari itu.[3]
Nusantara membentuk menjadi negara bangsa Indonesia karena sebuah ikatan dan cita-cita kemerdekaan yang disatukan dalam sebuah falsafah yang dipadukan dalam Pancasila. Tidak mungkin akan ada yang disebut Indonesia kalau tidak ada ikatan persatuan, karena struktur masyarakatnya sangat heterogen, tidak seperti negara di dunia lainnya, yang disatukan oleh kesamaan-kesamaan; warna kulit, ras, bahasa dan ikatan primordial lainnya. Sejarah kemerdekaan Indoensia berlangsung dalam persatuan. Perbedaan disatukan oleh cita-cita bersama membentuk kehidupan bersama. Dari sini, kita bisa memahami bahwa karakter bangsa Indonesia adalah persatuan dan kebersamaan. Itulah nilai kultural agung yang telah melebur dalam hubungan nasional. Plural Society ala Funivall menemukan ruang di sini. Kemajemukan budaya bangsa disatukan dalam cita-cita dan kepentingan bersama, mandiri dan sejahtera.
Nasionalisme Indonesia Raya sebagai asas imajiner[4] pemersatu bangsa tidak lalu membuat kekayaan kultural yang ada didalamnya melebur tak berbentuk. Ia tidak lantas menegasikan secara radikal bahwa Pancasila, sebagai basis filosofis menemukan etika nasional baru. Dalam ranah etika –merujuk konsepsi etika Hans Kung- hanyalah konsensus fundamental yang memadukan nilai-nilai standard dan sikap-sikap mutlak. Nilai dan etika itulah yang mencoba dicari, dirumuskan dan dijadikan identitas nasional.
Pencarian Identitas
Para pendahulu kita pada awal-awal kemerdekaan Republik Indonesia telah berusaha mencari narasi-narasi besar tentang identitas personal manusia Indonesia agar dapat dibaca dalam identitas nasional.
Para Pujangga Baru seperti Sutan Takdir Alisjahbana menggagas manusia Renaisans untuk membentuk karakter manusia Indonesia yang rasional dan individual. Chairil Anwar dalam Sajak “Aku” berusaha memberikan karakter manusia Indonesia sebagai sosok individu yang berani menentang dunia dan berani terisolir asalkan terus meradang dan menerjang. Tan Malaka juga tak kalah besar upayanya menelusuri bentuk karakter manusia Indonesia yang berpikir logis, seperti termaktub dalam karya monumentalnya Madilog (Materialisme, Dialektika dan Logika). Berlandaskan filsafat Marxisme, dia optimis bahwa konsep berpikir dialektis berdasar pada faktualitas material yang dilengkapi dengan analisa-analisa logis, maka manusia Indonesia akan membentuk mitos dirinya sebagai individu yang berpikir serba logis. Muhammad Hatta juga menggagas manusia Indonesia sebagai sosok manusia yang harus memiliki ilmu pengetahuan tinggi sekaligus tinggi pula dalam keteguhan iman.
Pandangan manusia yang serba eksistensialis dilontarkan oleh Sam Ratulangi. Dia menegaskan; manusia baru menjadi manusia apabila ia sendiri bisa memanusiakan manusia lainnya. Ratulangi menghadirkan imajinasi manusia Indonesia sebagai makhluk individual yang berkorelasi dengan orang lain. Sedangkan Bung Tomo lebih melihat individu Indonesia sebagai sosok manusia yang punya dua tipe psikis; introvert dan ekstrovert. Soekarno sebagai funding father bangsa telah menembus batas-batas imajinasi personal dari sekian gagasan yang dikemukakan di atas. Soekarno melancarkan politik pembatasan identitas personal dengan menggunakan politik nasionalisme sebagai titik gagasan melawan kolonialisme dan imperialisme. Namun, pada rezim setelahnya, Orde Baru, politik integralisme justru lebih menarik Soeharto dalam menjalankan roda kekuasaan. Pancasila dijadikan basis moral yang diseragamkan untuk semua kalangan dalam rangka mengontrol sikap hidup dan pola pikir politik dan sosial masyarakat dari pusat. Keramahan, sopan santun, religius, dan terutama loyalitas kepada pemerintah dijadikan slogan Orde Baru Soeharto untuk membentuk identitas manusia Indonesia. Soeharto sendiri seperti secara langsung mengajarkan bagaimana bersikap mantap, murah senyum, komunikatif, merakyat, tenang, bersih dari skandal, bicara seperlunya dan religius, meskipun pada akhirnya banyak orang menyatakan itu hanya lip service politiknya belaka.[5] Ketika itu, manusia Indonesia identik dengan Soeharto. Setelah Orde Baru tumbang, mitos harmoni, integrasi dalam moral Pancasila yang dibangun Soeharto itu tercabik-cabik. 32 tahun yang diperlukan Orde Baru untuk membentuk identitas manusia Indonesia dibongkar oleh gelombang reformasi hingga sekarang.
Banyak yang menyebut situasi sekarang tak lebih rumit daripada pada era Orde Baru. Meskipun keran kebebasan dan perlindungan atas hak-hak dasar dijamin oleh konstitusi negara, harapan riil yang ada tak senyatanya demikian. Bahkan, yang terjadi dalam alam nyata sekarang ini adalah anomali-anomali sosial tak terperi. Dalam tataran dunia yang kian datar dalam deru masif keterbukaan informasi dan komunikasi, Indonesia tak dikenal seperti dulu; sebagai bangsa yang damai, santun dan bervisi optimis menuju kemajuan masa depan.[6] Sang saka merah putih yang pada masa dulu disegani hingga oleh penduduk negara Italia, kini justru dicemooh. KH. Musthofa Bisri saat mengisi sebuah acara di Iran mendapatkan sambutan kurang baik dari penduduk. Bukan karena dia tidak pandai bicara, tapi lebih karena dia berasal dari negara yang dianggap sebagai sarang korupsi, etos kerja rendah, kekerasan sosial horizontal tinggi, terorisme dan kemiskinan dengan tingkat kebodohan tak terperi, keterbelakangan pendidikan yang menganga dan degradasi moral para elitenya. Indoensia di masa lalu berbeda dengan sekarang, era reformasi, dan tentu mengharapkan perbaikan dalam segala bidang di masa yang akan datang. Di masa lalu, secara kultural Indonesia dikatakan dunia sebagai bangsa yang bisa membangun keharmonisan antar elemen bangsa yang ada. Begitu pula dalam hal kekayaan alam, Nusantara adalah paru-paru dunia karena luas hutan dan lingkungan alamnya begitu indah dan menakjubkan. Ada sekian banyak kearifan terpantul dalam identitas persatuan Indonesia, yang kini tinggal nostalgia. Tukang becak pun, kalau ditanya tentang Indonesia, yang paling fasih dibahasakan olehnya adalah korupsi pemimpin dan nasib dirinya yang menyedihkan. Generasi kita sekarang tak bisa membaca identitas bangsanya dalam keunggulan dan optimisme kemajuan. Tak ada sikap bangga yang terbangun. Apalagi di tengah gempuran globalisasi, generasi kita kian tenggelam dalam larut budaya global. Subjek sebagai bangsa yang merdeka dan berkepribadian –seperti cita-cita Soekarno- sirna dalam persaingan dunia yang tak lagi mementingkan batas wilayah dan identitas primordial dominan.
Globalisasi dan Subjek Kebudayaan
Dalam ranah globalisasi budaya, Indonesia kini kian tak dikenal identitasnya. Manusia Indonesia dalam kehidupan global tak jadi subjek yang merdeka. Indonesia justru banyak didikte oleh sistem dunia yang “memenjarakan”. Indonesia sebagai subjek, kosong dari kontribusi dan optimisme capaian masa depan. Globalisasi telah “mematikan” manusia Indonesia sebagai subjek yang utuh. Ada kecenderungan, peradaban bangsa kita di tapal batas, karena The great disruption (kekacauan besar) seperti diramalkan Francis Fukuyama seakan menjangkiti kepribadian manusia Indonesia dalam pentas dunia. Indonesia kurang mampu bertahan menghadapi serangan budaya lain.
Perdebatan pemikiran telah lama mendiskusikan tentang kematian subjektivitas manusia. Kalangan pemikir posstrukturalis seperti Barthes dan Derrida dengan teriakan otonomi “tulisan”nya, Michael Foucault dengan kepentingan “struktur kuasa”nya dan Delezeu dengan jargon “tubuh tanpa organ”nya itu mengatakan bahwa manusia sebagai agen sentral modernitas dan subjek utuh kebudayaan ala Rene Descartes (Cogito Ergo Sum/Aku Berpikir Aku Ada) dan Immanuel Kant (Pure Reason/Akal Murni), telah mati ditelan bumi. “Subjek telah mati,” katanya. Buktinya, dalam perkembangan kebudayaan modern, manusia dikepung oleh struktur-struktur besar yang tidak bisa membuat ia terbebas, bahkan tergantung darinya. Sigmund Freud justru mengatakan, alih-alih menentukan kesadaran, manusia justru kebanyakan ditentukan oleh ketidaksadaran. Agaknya, menghadapi hal itu, dalam konteks erosi identitas manusia Indonesia, apa yang digagas oleh Slavoj Zizek sebagai “Cogito Kosong” perlu kita renungkan.
Zizek mengatakan, manusia harus tetap menjadi subjek, namun sebagai Cogito, ia berposisi sebagai subjek yang kosong. Karena kosong, subjek menjadi fleksibel menghadapi perubahan, dan bisa diisi oleh apapun serta bisa menjadi apapun. Dengan demikian, subjek tidaklah lenyap dan bukannya tidak ada, karena ia semata-mata hasil isian -dari Cogito yang Kosong itu- atas berbagai hal dan peristiwa yang bertebaran dalam arus kebudayaan.
Cogito yang Kosong adalah dasar pemahaman bahwa manusia itu subjek yang terbuka kepada yang lain. Sebagai subjek, manusia membutuhkan pegangan. Pegangan itulah yang menjadi penguat subjektivitasnya. Subjektivitas yang terlalu dominan dan menonjol akan melahirkan kepuasan pada diri dan menjadi manusia angkuh, melibas the other; alam ataupun manusia. Itulah yang menggejala dalam nalar modernisme dan globalisasi. Jalan tengah Zizek tentang subjek kebudayaan menyatakan bahwa manusia tetaplah menjadi subjek (baca: berkuasa, merdeka), namun tidak tertutup dan penuh pada dirinya sendiri.[7]
Mengikuti nalar jalan tengah subjektivitas Zizek di atas, globalisasi sebagai The Big Other, yang dinyatakan Fukuyama sebagai akhir sejarah peradaban manusia,[8] secara potensial akan mematikan manusia sebagai subjek kebudayaan yang otonom. Struktur kuasa globalisasi yang begitu hegemonik dalam bidang ekonomi –dan lainnya, membuat kita tidak bisa menghindar dari kesepekatan-kesepakatan dan perjanjian-perjanjian mayoritas. Banyak negara bangsa, yang akhirnya tunduk kepada aturan internasional perdagangan bebas, setelah ditekan tekanan arus pasar global. Negara bukan mengendalikan, tapi dikendalikan. Dikuasai ketidaksadaran, kata Foucault. Menolak diri dari The Big Other itu, dengan isolasi, bukan keputusan yang bijak, karena akan menjerumuskan pada alienasi global. Ikut arus, akan mematikan subjektivitas, dan akhirnya kebingungan dalam tikai peleburan identitas. Agar subjektivitas tetap ada dan krisis identitas bangsa tidak terjadi, Cogito Kosong ala Zizek patut dijadikan acuan. Caranya adalah mengisi kekosongan itu dengan pegangan (unsur eksistensial subjek), yakni menggali dan mencintai nilai-nilai kearifan lokal dan potensi lokal yang begitu kaya, beraneka ragam, bertebaran dalam khazanah kebudayaan bangsa Indonesia. Ya, kita harus menumbuhkan rasa cinta terhadap kebudayaan yang kita miliki.
Cinta, Mengapa Harus?
Cinta menjadi intrumen penting menumbuhkan rasa kepemilikan anak bangsa. Siapa yang akan mencintai budaya dan kekayaan alam kita kalau bukan kita sendiri? Dengan kekuatan cinta, akan lahir revolusi diri.
“Berilah aku sebuah pengungkit dengan panjang secukupnya dan tumpuan dengan kekuatan secukupnya. Dengan itu, aku akan menggerakkan dunia sendirian,” kata Yusuf al-Uqshari.
Pernyataan diatas meyakinkan kepada kita bahwa dalam diri manusia tersimpan kekuatan dahsyat yang tidak dimiliki makhluk lain, yaitu akal. Dengan kemampuan akal yang kreatif, dunia bisa dikelola indah oleh manusia. Namun, akal harus bekerja bersama dengan olahrasa bernama cinta.
Olah pikir yang tak disandingkan dengan olah rasa cinta, akan menjadikan manusia tak punya jati diri dan dekat dengan keangkuhan. Realitas kehidupan ini hendaknya mensinergikan antara daya inovasi kreatif akal dengan kekuatan humanisme cinta.[9]
Faktanya, begitu banyak kita menggunakan akal, namun belum cukup menggerakkan semua daya kita yang masih diam, tertidur. Karena tak didasari cinta. Sehingga, tanah kebudayaan kita, hilang dari hadapan kita sendiri. Betapa banyak kebudayaan pribumi tergilas karena tidak adanya rasa mencintai.
Dengan cinta, kita banyak menemui saudara-saudara kita yang berevolusi dengan mudah melalui kekuatan cinta dan kasih. Bereinkarnasi dari karakter satu ke karakter lain yang lebih agung. Bahkan melompati batas normal. Wanita biasa, dengan cinta, ia menjadi seorang ibu. Laki-laki biasa, karena cinta, ia adalah pengayom rumah tangga. Meskipun tidak pintar, namun karena kasih, seorang guru merupakan cermin teladan. Begitu pula, sekejam apapun binatang buas, ia adalah penghidupan bagi anaknya, karena cinta. Bahkan, sebab cintanya kepada yang Maha Mencintai, manusia dapat melompati malaikat, menjadi makhluk setengah Tuhan, yang mulut, mata, telinga, kaki, tangan dan segala tindakannya merupakan representasi dari Tuhan.
Mengapa demikian, karena cinta hakiki bersifat kontruktif-revolusioner. Bukan impulsif. Hanya cinta sederhana yang enggan berdialog dengan sesama. Bukan cinta bila yang dipirkan hanya kesengsaraan pribadi. Bukan cinta pula jika menghilangkan ambisi.
Dalam cinta, seperti kata para ahli kimia dan terminolog sastra Persia, terdapat zat yang bernama “eleksir” (iksir) atau “batu filosof” yang memiliki kekuatan merubah sifat suatu unsur ke sifat lainnya. Sehingga, dengan kekuatan ini, cinta memiliki daya transformasi untuk mengubah suatu subtansi. Tidak heran manakala cinta, dengan ambisi rasional, mampu mereinkarnasi manusia menjadi diri yang lain. Karena manusia termasuk materi dengan berbagai macam sifat. Wanita biasa menjadi ibu, lelaki biasa menjadi bapak, dan manusia menjadi makhluk setengah Tuhan. Karena dalam cinta, yang sifatnya transformatif itu, tersimpan harapan masa depan.
Masa Depan dan Strategi Kebudayaan
Cinta dan mimpi masa depan tidak bisa di pisah-ranjangkan. Apa yang ada dalam masa depan itu?. Kebahagian. Ya, itulah buah dari tujuan sejati cinta. Yang kongret hanya motivator dari tujuan sejati cinta.
Tujuan mencapai kebahagiaan tidak bisa dihasilkan kecuali dengan mensinergikan antara ambisi (hasrat untuk maju) dan idealitas (cita-cita luhur). Langkah kita akan terseok-seok jika dua hal itu tak “bersenggama” dengan baik. Ambisi tanpa idealitas adalah munafik, mengingkari nilai luhur. Begitu pun, idealitas tanpa ambisi, adalah lamunan. Hanya dengan pengaruh cinta, manusia mampu mensinergikan dua hal tersebut, menyatukan tujuan dan konsentrasi serta penghilang kebingungan.
Dalam tataran ini, cinta dengan demikian dapat dijadikan sebagai langkah meneguhkan identitas diri manusia Indonesia. Cinta bisa dijadikan strategi kebudayaan untuk melahirkan rasa bangga terhadap potensi dan kekayaan negeri. Alam dan kultural.
Dari strategi kebudayaan itu diharapakan akan ada generasi historis yang mampu ikut arus, namun tidak hanyut, atau dalam pepatah Jawa dijargonkan sebagai urip ngeli, tapi ora keli. Sama dengan pepatah, I live in this world, but my kingdom is not on this world. Bangsa Jepang telah menerapkan falsafah itu. Jepang mampu bertahan dalam terpaan globalisasi. Tapi tidak hanyut total. Jepang tetap menjadi Jepang. Japan is never transformed. Secara kreatif, agar tetap eksis dalam global village, Jepang membangun tetemae (ruang di luar) dan honne (raung di dalam, hati nurani Jepang). Semua komoditas barang asing diijinkan masuk ke dalam tetemae, tapi tidak honne. Penerapan penulisan pun juga sama. Produk dagang mancanegara harus ditulis dengan huruf Katakana, sementara yang produk dalam negeri ditulis dengan Huruf Hiragana dan Kanji. Jepang mengisi kekosongan Cogito dengan identitas transendensinya, cinta budayanya.
Dengan cinta, kita punya aksebilitas mengenali objek budaya, namun tanpa mengadili. Ketika mendengar, kita buat jarak dengan penghakiman, begitupun ketika melihat, kita mencoba melepaskan diri dari upaya pengkotak-kotakan. Dengan cinta, jiwa sosial kita juga terasah. Kita mencoba membangun sikap mengerti terhadap orang lain dengan standing under (Bertahan: kebalikan kata understanding). Ketika manusia, dengan tangga cinta dalam dirinya, –meminjam istilahnya Gibran-, ingin meraih Tuhan, maka ia harus mewujudkannya dalam relasi cinta dengan sesamanya, orang yang berbeda, di luar sang empunya. Berkorban diri.
Karena dalam cinta, Robert J. Sternberg, ada ikatan janji, gairah dan keintiman. Dalam konteks nasionalisme, janji cinta ada dalam kemandirian ekonomi dan politik. Gairah dimaksudkan sebagai semangat mempertahan identitas nasional dan warisan budaya dari gempuran globalisasi informasi. Dan keintiman adalah kemengikatan, merasa dekat, menyatu hati dalam berbangsa, berbahasa dan bertanah air Indonesia dari seluruh warga negara.
Kategori masa dibagi tiga: masa lalu, sekarang dan yang akan datang, masa depan. Masa lalu sudah menjadi sejarah, bahwa dulu bendera Indonesia sangat disegani. Masa sekarang yang sedang dibangun, Indonesia dikucilkan karena prestasi buruknya dari berbagai bidang kehidupan berbangsa dan bernegara, sebagai masyarakat bangsa. Yang akan kita hadapi adalah masa depan. Sementara cita-cita masih kita tatap secara kosong dalam imajiansi masa depan itu. Katakan saja proyeksi dimensi waktu ini sebagai 2.0 Indonesia. Yang kosong itu kita isi dengan cinta, cinta kepada kekayaan budaya dan tanah air kita, Indonesia yang merdeka. Akan cinta, akan terjadi revolusi identitas manusia Indonesia. Begitu saja.
Penutup
Andi kaprabowo, lahir di Tanjung Jaya Lampung Tengah pada tanggal 31 Mei 1989. Putra kedua dari empat bersaudara ini menamatkan pendidikan dasarnya di SD Negeri 1 Tritunggal Jaya Lampung Utara pada tahun 2001 kemudian melanjutkan ke SLTP Negeri 2 Bangunrejo Lampung Tengah lulus tahun 2004 dan MA Bustanul ‘Ulum Lampung Tengah lulus tahun 2007.
Setelah selesai studi, ia berkeinginan melanjutkan ke pulau yang selama kecil ia impikan. Akhirnya ia berkelana hingga sampai ke Semarang dan memilih IAIN Walisongo. Salah satu universitas islam terkenal di Semarang. Dengan mengambil jurusan Komunikasi dan Penyiaran islam, ia mencoba menatap masa depan. Berbekal pengalaman di organisasi yang ia tekuni sekarang, yakni Lembaga penerbitan Mahasiswa MISSI, ia ingin menjadi seorang wartawan yang professional yang kelak menjadi seorang pengusaha media massa.
DAFTAR PUSTAKA
Al- Uqshari, Melejit Dengan Kreatif, 2005, Gema Insani Press: Jakarta.
Anderson, Benedict R. O’G, 1983, Imagined Communities: Reflection on The Origin and Spread of Nationalism, Verso, London.
Awuy, Tomy F, 2000, “Membaca Mitos, Merajut Identitas Manusia Indonesia”, dalam Ninok Leksono (ed.), Indonesia Abad XXI Di Tengah Kepungan Perubahan Global, Penerbit Kompas, Jakarta
Badri, M Abdullah, 2007, “Menakar Cinta di Lumpur Senja”, dalam The Spirit of Love, cet. I, LPM Obsesi dan Buku Laila, Purwokerto.
Gibran, Kahlil, 2005, Semua Karena Cinta, Narasi: Yogyakarta.
___________, Sang Nabi, Taman Sang Nabi, dan Suara Sang Guru, 2004, Pustaka Sastra: Yogyakarta.
Huntington, Samuel, 1996, The Clash of Civilization and Remaking of World Order, Simon and Chuster, New York
Koentjaraningrat, 1980, Pengantar Ilmu Antrolpologi, cet. II, Aksara Baru, Jakarta.
Lanrence E. Harrison (ed.), 2006, Kebangkitan Peran Budaya: Bagaimana Nilai-Nilai Membantuk Kemajuan Manusia, LP3ES, Jakarta.Mardimin, Johanes (ed.), 1994, Jangan Tangisi Tradisi, cet. I, Kanisius, Yogyakarta.
Najib, Emha Ainun, 1998, Indonesia Bagian Dari Desa Saya, Gramedia: Jakarta,
Tunjung W. Sutirto, 2000, Perwujudan Kesukubangsaan Kelompok Etnik Pendatang, Yayasan Pustaka Cakra, Surakarta
Thomas L. Friedmen, terj. P. Buntaran, 2006, The World is Flat, Dian Rakyat, Jakarta.
Thomas Kristanto, Tt, Redefinisi Subjek dalam Kebudayaan, Pengantar Memahami Subjektivitas Menurut Perspektif Slavoj Zizek, Jalasutra, Yogyakarta & Bandung.


[1] Tomy F Awuy, “Membaca Mitos, Merajut Identitas Manusia Indonesia”, dalam Ninok Leksono (ed.), Indonesia Abad XXI Di Tengah Kepungan Perubahan Global (Jakarta: Penerbit Kompas, 2000), hlm. 509
[2] Kekayaan kultural Indonesia bisa kita lihat dari jumlah pulaunya yang mencapai 17.504 pulau, dihuni oleh 740 suku bangsa/etnis (di Papua saja terdapat 270 suku), dengan bahasa daerah berjumlah 583 bahasa dan dialek dari 67 bahasa induk yang digunakan berbagai suku itu. Lihat: http://www.lestariweb.com/Indonesia/General_I.htm dan http://meresia.hostei.com/?p=137 (diakses pada 13 Juli 2010)
[3] Untuk melihat lebih rinci tentang polemik relevansi konsep plural society, silahkan periksa: Tunjung W. Sutirto, Perwujudan Kesukubangsaan Kelompok Etnik Pendatang, cet. I (Surakarta: Yayasan Pustaka Cakra, 2000) hlm. 37
[4] Bennedict Anderson, Imagined Communities: Reflections on the Origin and Spread of Nationalism, cet. II (London: Verso, 1991), khususnya hlm. 5-7.
[5] Ibid, hlm. 510-511
[6] Thomas L. Friedmen, The World is Flat, terj. P. Buntaran dkk. (Jakarta: Dian Rakyat, 2006), hlm. 4
[7] Thomas Kristanto, Redefinisi Subjek dalam Kebudayaan, (Yogyakarta & Bandung: Jalasutra, Tt.) hlm. 91-92
[8] Francis Fukuyama, dalam artikel kontroversialnya berjudul The End of History? (The National Interest, 1989) menulis bahwa dengan berakhirnya sejarah pergulatan pemikiran-pemikiran besar, dunia tidak lagi menarik, “the end of history will be a very sad time,” tulisnya.
[9] M Abdullah Badri, “Menakar Cinta di Lumpur Senja”, dalam The Spirit of Love, cet. I (Purwokerto: LPM Obsesi dan Buku Laila, 2007), hlm. 36

0 komentar:

Posting Komentar