Abstraksi
Sebagai
negara-bangsa, Indonesia dapat dilihat dari dua hal: sebagai fakta dan
konsep. Sebagai fakta, Indonesia terdiri secara kultural dari berbagai
suku suku bangsa, bahasa daerah dan agama serta keyakinan. Sedangkan
sebagai konsep, ragam perbedaan kultual itu disatukan dalam identitas
komunitas terbatas bernama Indonesia. Jadi, negara-bangsa (nation-state) Indonesia adalah produk politik yang menyatukan Nusantara
–dengan kekayaan kulturalnya- dari Sabang sampai Merauke. Ragam suku
disatukan dalam ikatan bangsa bernama bangsa Indonesia, macam bahasa
disatukan dalam bahasa persatuan; bahasa Indonesia, dan warga negara
disatukan dalam satu tanah air; tanah air Indonesia, seperti terucap
dalam Sumpah Pemuda 1928.
Konsep
imajinatif tentang Indonesia lahir karena fakta kulturalnya mengalami
persamaan nasib, cita-cita dan tujuan masa depan. Indonesia dalam
rentang masa lampau menyatu dalam pekik kemerdekaan. Sebagai kenyataan,
masa sekarang adalah yang sedang dilakoni dan sebagai masa depan adalah
cita dan angan-angan, dan ini belum dialami, baru diimajinasikan. Masa
lalu telah menjadi sejarah, masa sekarang sedang dibangun, sementara
cita-cita masih kita tatap secara kosong dalam imajiansi masa depan.
Katakan saja proyeksi dimensi waktu ini sebagai 2.0 Indonesia.
Sebagai
masa lalu, Indonesia terkenal sebagai negara yang santun, luhur, mulia
dan disegani dunia hingga bendera merah putih dihormati oleh warga
negara Italia dan bangsa-bangsa lain di dunia. Namun sebagai kenyataan
sekarang, citra awal tersebut justru berbalikan. Sekarang, Indonesia
disebut sebagai negara dengan “prestasi” buruk di mata dunia yang
menempati rangking teratas korupsi, kemiskinan, kebodohan dan
anomali-anomali sosial tak terperi lainnya. The great disruption (kekacauan
besar) seperti diramalkan Francis Fukuyama akan menjangkiti manusia
benar-benar mengada dalam imajinasi dunia tentang Indonesia. Akibatnya, mistrust
(ketidakpercayaan) dari rakyat atas pemimpinnya dan deligitimasi dunia
internasional dalam berbagai bidang, membuat imajinasi Indonesia
–seperti kata Benedict Anderson- kikis ditelan zaman. Indonesia diramal
sebagai bangsa yang mendekati kerusakan dan berperadaban dangkal. Tak
ada lagi rasa bangga menjadi warga negara bangsa Indonesia.
Karena
itulah, untuk mengisi kekosongan (0) masa depan Indonesia yang lebih
baik, nasionalisme harus dibangkitkan kembali dalam balutan cinta.
Karena dalam cinta, Robert J. Sternberg, ada ikatan janji, gairah dan
keintiman. Dalam konteks nasionalisme, janji cinta ada dalam kemandirian
ekonomi dan politik. Gairah dimaksudkan sebagai semangat mempertahan
identitas nasional dan warisan budaya dari gempuran globalisasi
informasi. Dan keintiman adalah kemengikatan, merasa dekat, menyatu hati
dalam berbangsa, berbahasa dan bertanah air Indonesia dari seluruh
warga negara.
Kata Kunci: Nasionalisme, Identitas, Indonesia, Masa depan, Kebudayaan dan Cinta.
Pendahuluan
Tak
ada negara sekaya dan seindah Indonesia. Aneka ragam kekayaan alam dan
kultural melekat dalam identitas manusia Indonesia. Indonesia ada karena
segenap kekayaan alam dan kultur disatukan dalam mitos persatuan dan
dengan tekad untuk menentukan nasibnya sendiri secara merdeka mahardika.
Mitos ini jelas bukanlah lahir begitu saja atau jatuh dari langit tapi
merupakan hasil pergulatan pemikiran dari para pendiri negara ini.[1]
Merujuk
pada falsafah Bhinneka Tunggal Ika, terwujudnya negara-bangsa merdeka
yang disebut Indonesia berangkat dari semangat mempersatukan
heterogenitas bangsa yang sangat plural. Kenyataan bahwa Indonesia yang
wilayahnya meliputi Sabang sampai Merauke, yang terdiri atas beragam
suku, etnik dan bahasa,[2]
membuat masyarakatnya sangat majemuk (plural society). Furnivall (1984)
mengidentifikasi masyarakat majemuk sebagai kelompok masyarakat yang
menjalin hidup berdampingan secara fisik, namun terpisah oleh perbedaan
sosial dan tergabung dalam sebuah satuan politik. Kendati teori ini
telah mendapatkan kritik karena analisis antropologisnya merujuk pada
realitas masyarakat Indonesia pada masa kolonial yang membedakan ras,
etnik, ekonomi dan agama, namun kiranya masih relevan untuk digunakan
sebagai landasan historis terbentuknya Indonesia. Identitas yang dicari
itu.[3]
Nusantara
membentuk menjadi negara bangsa Indonesia karena sebuah ikatan dan
cita-cita kemerdekaan yang disatukan dalam sebuah falsafah yang
dipadukan dalam Pancasila. Tidak mungkin akan ada yang disebut Indonesia
kalau tidak ada ikatan persatuan, karena struktur masyarakatnya sangat
heterogen, tidak seperti negara di dunia lainnya, yang disatukan oleh
kesamaan-kesamaan; warna kulit, ras, bahasa dan ikatan primordial
lainnya. Sejarah kemerdekaan Indoensia berlangsung dalam persatuan.
Perbedaan disatukan oleh cita-cita bersama membentuk kehidupan bersama.
Dari sini, kita bisa memahami bahwa karakter bangsa Indonesia adalah
persatuan dan kebersamaan. Itulah nilai kultural agung yang telah
melebur dalam hubungan nasional. Plural Society ala Funivall menemukan
ruang di sini. Kemajemukan budaya bangsa disatukan dalam cita-cita dan
kepentingan bersama, mandiri dan sejahtera.
Nasionalisme Indonesia Raya sebagai asas imajiner[4]
pemersatu bangsa tidak lalu membuat kekayaan kultural yang ada
didalamnya melebur tak berbentuk. Ia tidak lantas menegasikan secara
radikal bahwa Pancasila, sebagai basis filosofis menemukan etika
nasional baru. Dalam ranah etika –merujuk konsepsi etika Hans Kung-
hanyalah konsensus fundamental yang memadukan nilai-nilai standard dan
sikap-sikap mutlak. Nilai dan etika itulah yang mencoba dicari,
dirumuskan dan dijadikan identitas nasional.
Pencarian Identitas
Para
pendahulu kita pada awal-awal kemerdekaan Republik Indonesia telah
berusaha mencari narasi-narasi besar tentang identitas personal manusia
Indonesia agar dapat dibaca dalam identitas nasional.
Para
Pujangga Baru seperti Sutan Takdir Alisjahbana menggagas manusia
Renaisans untuk membentuk karakter manusia Indonesia yang rasional dan
individual. Chairil Anwar dalam Sajak “Aku” berusaha memberikan karakter
manusia Indonesia sebagai sosok individu yang berani menentang dunia
dan berani terisolir asalkan terus meradang dan menerjang. Tan Malaka
juga tak kalah besar upayanya menelusuri bentuk karakter manusia
Indonesia yang berpikir logis, seperti termaktub dalam karya
monumentalnya Madilog (Materialisme, Dialektika dan Logika).
Berlandaskan filsafat Marxisme, dia optimis bahwa konsep berpikir
dialektis berdasar pada faktualitas material yang dilengkapi dengan
analisa-analisa logis, maka manusia Indonesia akan membentuk mitos
dirinya sebagai individu yang berpikir serba logis. Muhammad Hatta juga
menggagas manusia Indonesia sebagai sosok manusia yang harus memiliki
ilmu pengetahuan tinggi sekaligus tinggi pula dalam keteguhan iman.
Pandangan
manusia yang serba eksistensialis dilontarkan oleh Sam Ratulangi. Dia
menegaskan; manusia baru menjadi manusia apabila ia sendiri bisa
memanusiakan manusia lainnya. Ratulangi menghadirkan imajinasi manusia
Indonesia sebagai makhluk individual yang berkorelasi dengan orang lain.
Sedangkan Bung Tomo lebih melihat individu Indonesia sebagai sosok
manusia yang punya dua tipe psikis; introvert dan ekstrovert. Soekarno
sebagai funding father bangsa telah menembus batas-batas imajinasi
personal dari sekian gagasan yang dikemukakan di atas. Soekarno
melancarkan politik pembatasan identitas personal dengan menggunakan
politik nasionalisme sebagai titik gagasan melawan kolonialisme dan
imperialisme. Namun, pada rezim setelahnya, Orde Baru, politik
integralisme justru lebih menarik Soeharto dalam menjalankan roda
kekuasaan. Pancasila dijadikan basis moral yang diseragamkan untuk semua
kalangan dalam rangka mengontrol sikap hidup dan pola pikir politik dan
sosial masyarakat dari pusat. Keramahan, sopan santun, religius, dan
terutama loyalitas kepada pemerintah dijadikan slogan Orde Baru Soeharto
untuk membentuk identitas manusia Indonesia. Soeharto sendiri seperti
secara langsung mengajarkan bagaimana bersikap mantap, murah senyum,
komunikatif, merakyat, tenang, bersih dari skandal, bicara seperlunya
dan religius, meskipun pada akhirnya banyak orang menyatakan itu hanya
lip service politiknya belaka.[5]
Ketika itu, manusia Indonesia identik dengan Soeharto. Setelah Orde
Baru tumbang, mitos harmoni, integrasi dalam moral Pancasila yang
dibangun Soeharto itu tercabik-cabik. 32 tahun yang diperlukan Orde Baru
untuk membentuk identitas manusia Indonesia dibongkar oleh gelombang
reformasi hingga sekarang.
Banyak
yang menyebut situasi sekarang tak lebih rumit daripada pada era Orde
Baru. Meskipun keran kebebasan dan perlindungan atas hak-hak dasar
dijamin oleh konstitusi negara, harapan riil yang ada tak senyatanya
demikian. Bahkan, yang terjadi dalam alam nyata sekarang ini adalah
anomali-anomali sosial tak terperi. Dalam tataran dunia yang kian datar
dalam deru masif keterbukaan informasi dan komunikasi, Indonesia tak
dikenal seperti dulu; sebagai bangsa yang damai, santun dan bervisi
optimis menuju kemajuan masa depan.[6]
Sang saka merah putih yang pada masa dulu disegani hingga oleh penduduk
negara Italia, kini justru dicemooh. KH. Musthofa Bisri saat mengisi
sebuah acara di Iran mendapatkan sambutan kurang baik dari penduduk.
Bukan karena dia tidak pandai bicara, tapi lebih karena dia berasal dari
negara yang dianggap sebagai sarang korupsi, etos kerja rendah,
kekerasan sosial horizontal tinggi, terorisme dan kemiskinan dengan
tingkat kebodohan tak terperi, keterbelakangan pendidikan yang menganga
dan degradasi moral para elitenya. Indoensia di masa lalu berbeda dengan
sekarang, era reformasi, dan tentu mengharapkan perbaikan dalam segala
bidang di masa yang akan datang. Di masa lalu, secara kultural Indonesia
dikatakan dunia sebagai bangsa yang bisa membangun keharmonisan antar
elemen bangsa yang ada. Begitu pula dalam hal kekayaan alam, Nusantara
adalah paru-paru dunia karena luas hutan dan lingkungan alamnya begitu
indah dan menakjubkan. Ada sekian banyak kearifan terpantul dalam
identitas persatuan Indonesia, yang kini tinggal nostalgia. Tukang becak
pun, kalau ditanya tentang Indonesia, yang paling fasih dibahasakan
olehnya adalah korupsi pemimpin dan nasib dirinya yang menyedihkan.
Generasi kita sekarang tak bisa membaca identitas bangsanya dalam
keunggulan dan optimisme kemajuan. Tak ada sikap bangga yang terbangun.
Apalagi di tengah gempuran globalisasi, generasi kita kian tenggelam
dalam larut budaya global. Subjek sebagai bangsa yang merdeka dan
berkepribadian –seperti cita-cita Soekarno- sirna dalam persaingan dunia
yang tak lagi mementingkan batas wilayah dan identitas primordial
dominan.
Globalisasi dan Subjek Kebudayaan
Dalam
ranah globalisasi budaya, Indonesia kini kian tak dikenal identitasnya.
Manusia Indonesia dalam kehidupan global tak jadi subjek yang merdeka.
Indonesia justru banyak didikte oleh sistem dunia yang “memenjarakan”.
Indonesia sebagai subjek, kosong dari kontribusi dan optimisme capaian
masa depan. Globalisasi telah “mematikan” manusia Indonesia sebagai
subjek yang utuh. Ada kecenderungan, peradaban bangsa kita di tapal
batas, karena The great disruption (kekacauan besar) seperti
diramalkan Francis Fukuyama seakan menjangkiti kepribadian manusia
Indonesia dalam pentas dunia. Indonesia kurang mampu bertahan menghadapi
serangan budaya lain.
Perdebatan
pemikiran telah lama mendiskusikan tentang kematian subjektivitas
manusia. Kalangan pemikir posstrukturalis seperti Barthes dan Derrida
dengan teriakan otonomi “tulisan”nya, Michael Foucault dengan
kepentingan “struktur kuasa”nya dan Delezeu dengan jargon “tubuh tanpa
organ”nya itu mengatakan bahwa manusia sebagai agen sentral modernitas
dan subjek utuh kebudayaan ala Rene Descartes (Cogito Ergo Sum/Aku
Berpikir Aku Ada) dan Immanuel Kant (Pure Reason/Akal Murni), telah mati
ditelan bumi. “Subjek telah mati,” katanya. Buktinya, dalam
perkembangan kebudayaan modern, manusia dikepung oleh struktur-struktur
besar yang tidak bisa membuat ia terbebas, bahkan tergantung darinya.
Sigmund Freud justru mengatakan, alih-alih menentukan kesadaran, manusia
justru kebanyakan ditentukan oleh ketidaksadaran. Agaknya, menghadapi
hal itu, dalam konteks erosi identitas manusia Indonesia, apa yang
digagas oleh Slavoj Zizek sebagai “Cogito Kosong” perlu kita renungkan.
Zizek
mengatakan, manusia harus tetap menjadi subjek, namun sebagai Cogito,
ia berposisi sebagai subjek yang kosong. Karena kosong, subjek menjadi
fleksibel menghadapi perubahan, dan bisa diisi oleh apapun serta bisa
menjadi apapun. Dengan demikian, subjek tidaklah lenyap dan bukannya
tidak ada, karena ia semata-mata hasil isian -dari Cogito yang Kosong
itu- atas berbagai hal dan peristiwa yang bertebaran dalam arus
kebudayaan.
Cogito
yang Kosong adalah dasar pemahaman bahwa manusia itu subjek yang
terbuka kepada yang lain. Sebagai subjek, manusia membutuhkan pegangan.
Pegangan itulah yang menjadi penguat subjektivitasnya. Subjektivitas
yang terlalu dominan dan menonjol akan melahirkan kepuasan pada diri dan
menjadi manusia angkuh, melibas the other; alam ataupun manusia. Itulah
yang menggejala dalam nalar modernisme dan globalisasi. Jalan tengah
Zizek tentang subjek kebudayaan menyatakan bahwa manusia tetaplah
menjadi subjek (baca: berkuasa, merdeka), namun tidak tertutup dan penuh
pada dirinya sendiri.[7]
Mengikuti
nalar jalan tengah subjektivitas Zizek di atas, globalisasi sebagai The
Big Other, yang dinyatakan Fukuyama sebagai akhir sejarah peradaban
manusia,[8]
secara potensial akan mematikan manusia sebagai subjek kebudayaan yang
otonom. Struktur kuasa globalisasi yang begitu hegemonik dalam bidang
ekonomi –dan lainnya, membuat kita tidak bisa menghindar dari
kesepekatan-kesepakatan dan perjanjian-perjanjian mayoritas. Banyak
negara bangsa, yang akhirnya tunduk kepada aturan internasional
perdagangan bebas, setelah ditekan tekanan arus pasar global. Negara
bukan mengendalikan, tapi dikendalikan. Dikuasai ketidaksadaran, kata
Foucault. Menolak diri dari The Big Other itu, dengan isolasi, bukan
keputusan yang bijak, karena akan menjerumuskan pada alienasi global.
Ikut arus, akan mematikan subjektivitas, dan akhirnya kebingungan dalam
tikai peleburan identitas. Agar subjektivitas tetap ada dan krisis
identitas bangsa tidak terjadi, Cogito Kosong ala Zizek patut dijadikan
acuan. Caranya adalah mengisi kekosongan itu dengan pegangan (unsur
eksistensial subjek), yakni menggali dan mencintai nilai-nilai kearifan
lokal dan potensi lokal yang begitu kaya, beraneka ragam, bertebaran
dalam khazanah kebudayaan bangsa Indonesia. Ya, kita harus menumbuhkan
rasa cinta terhadap kebudayaan yang kita miliki.
Cinta, Mengapa Harus?
Cinta
menjadi intrumen penting menumbuhkan rasa kepemilikan anak bangsa.
Siapa yang akan mencintai budaya dan kekayaan alam kita kalau bukan kita
sendiri? Dengan kekuatan cinta, akan lahir revolusi diri.
“Berilah
aku sebuah pengungkit dengan panjang secukupnya dan tumpuan dengan
kekuatan secukupnya. Dengan itu, aku akan menggerakkan dunia sendirian,” kata Yusuf al-Uqshari.
Pernyataan
diatas meyakinkan kepada kita bahwa dalam diri manusia tersimpan
kekuatan dahsyat yang tidak dimiliki makhluk lain, yaitu akal. Dengan
kemampuan akal yang kreatif, dunia bisa dikelola indah oleh manusia.
Namun, akal harus bekerja bersama dengan olahrasa bernama cinta.
Olah
pikir yang tak disandingkan dengan olah rasa cinta, akan menjadikan
manusia tak punya jati diri dan dekat dengan keangkuhan. Realitas kehidupan ini hendaknya mensinergikan antara daya inovasi kreatif akal dengan kekuatan humanisme cinta.[9]
Faktanya,
begitu banyak kita menggunakan akal, namun belum cukup menggerakkan
semua daya kita yang masih diam, tertidur. Karena tak didasari cinta.
Sehingga, tanah kebudayaan kita, hilang dari hadapan kita sendiri.
Betapa banyak kebudayaan pribumi tergilas karena tidak adanya rasa
mencintai.
Dengan
cinta, kita banyak menemui saudara-saudara kita yang berevolusi dengan
mudah melalui kekuatan cinta dan kasih. Bereinkarnasi dari karakter satu
ke karakter lain yang lebih agung. Bahkan melompati batas normal.
Wanita biasa, dengan cinta, ia menjadi seorang ibu. Laki-laki biasa,
karena cinta, ia adalah pengayom rumah tangga. Meskipun tidak pintar,
namun karena kasih, seorang guru merupakan cermin teladan. Begitu pula,
sekejam apapun binatang buas, ia adalah penghidupan bagi anaknya, karena
cinta. Bahkan, sebab cintanya kepada yang Maha Mencintai, manusia dapat
melompati malaikat, menjadi makhluk setengah Tuhan, yang mulut, mata,
telinga, kaki, tangan dan segala tindakannya merupakan representasi dari
Tuhan.
Mengapa
demikian, karena cinta hakiki bersifat kontruktif-revolusioner. Bukan
impulsif. Hanya cinta sederhana yang enggan berdialog dengan sesama.
Bukan cinta bila yang dipirkan hanya kesengsaraan pribadi. Bukan cinta
pula jika menghilangkan ambisi.
Dalam
cinta, seperti kata para ahli kimia dan terminolog sastra Persia,
terdapat zat yang bernama “eleksir” (iksir) atau “batu filosof” yang
memiliki kekuatan merubah sifat suatu unsur ke sifat lainnya. Sehingga,
dengan kekuatan ini, cinta memiliki daya transformasi untuk mengubah
suatu subtansi. Tidak heran manakala cinta, dengan ambisi rasional,
mampu mereinkarnasi manusia menjadi diri yang lain. Karena manusia
termasuk materi dengan berbagai macam sifat. Wanita biasa menjadi ibu,
lelaki biasa menjadi bapak, dan manusia menjadi makhluk setengah Tuhan.
Karena dalam cinta, yang sifatnya transformatif itu, tersimpan harapan
masa depan.
Masa Depan dan Strategi Kebudayaan
Cinta
dan mimpi masa depan tidak bisa di pisah-ranjangkan. Apa yang ada dalam
masa depan itu?. Kebahagian. Ya, itulah buah dari tujuan sejati cinta.
Yang kongret hanya motivator dari tujuan sejati cinta.
Tujuan
mencapai kebahagiaan tidak bisa dihasilkan kecuali dengan mensinergikan
antara ambisi (hasrat untuk maju) dan idealitas (cita-cita luhur).
Langkah kita akan terseok-seok jika dua hal itu tak “bersenggama” dengan
baik. Ambisi tanpa idealitas adalah munafik, mengingkari nilai luhur.
Begitu pun, idealitas tanpa ambisi, adalah lamunan. Hanya dengan
pengaruh cinta, manusia mampu mensinergikan dua hal tersebut, menyatukan
tujuan dan konsentrasi serta penghilang kebingungan.
Dalam
tataran ini, cinta dengan demikian dapat dijadikan sebagai langkah
meneguhkan identitas diri manusia Indonesia. Cinta bisa dijadikan
strategi kebudayaan untuk melahirkan rasa bangga terhadap potensi dan
kekayaan negeri. Alam dan kultural.
Dari
strategi kebudayaan itu diharapakan akan ada generasi historis yang
mampu ikut arus, namun tidak hanyut, atau dalam pepatah Jawa dijargonkan
sebagai urip ngeli, tapi ora keli. Sama dengan pepatah, I live in this
world, but my kingdom is not on this world. Bangsa Jepang telah
menerapkan falsafah itu. Jepang mampu bertahan dalam terpaan
globalisasi. Tapi tidak hanyut total. Jepang tetap menjadi Jepang. Japan
is never transformed. Secara kreatif, agar tetap eksis dalam global
village, Jepang membangun tetemae (ruang di luar) dan honne (raung di
dalam, hati nurani Jepang). Semua komoditas barang asing diijinkan masuk
ke dalam tetemae, tapi tidak honne. Penerapan penulisan pun juga sama.
Produk dagang mancanegara harus ditulis dengan huruf Katakana, sementara
yang produk dalam negeri ditulis dengan Huruf Hiragana dan Kanji.
Jepang mengisi kekosongan Cogito dengan identitas transendensinya, cinta
budayanya.
Dengan
cinta, kita punya aksebilitas mengenali objek budaya, namun tanpa
mengadili. Ketika mendengar, kita buat jarak dengan penghakiman,
begitupun ketika melihat, kita mencoba melepaskan diri dari upaya
pengkotak-kotakan. Dengan cinta, jiwa sosial kita juga terasah. Kita
mencoba membangun sikap mengerti terhadap orang lain dengan standing
under (Bertahan: kebalikan kata understanding). Ketika manusia, dengan
tangga cinta dalam dirinya, –meminjam istilahnya Gibran-, ingin meraih
Tuhan, maka ia harus mewujudkannya dalam relasi cinta dengan sesamanya,
orang yang berbeda, di luar sang empunya. Berkorban diri.
Karena
dalam cinta, Robert J. Sternberg, ada ikatan janji, gairah dan
keintiman. Dalam konteks nasionalisme, janji cinta ada dalam kemandirian
ekonomi dan politik. Gairah dimaksudkan sebagai semangat mempertahan
identitas nasional dan warisan budaya dari gempuran globalisasi
informasi. Dan keintiman adalah kemengikatan, merasa dekat, menyatu hati
dalam berbangsa, berbahasa dan bertanah air Indonesia dari seluruh
warga negara.
Kategori
masa dibagi tiga: masa lalu, sekarang dan yang akan datang, masa depan.
Masa lalu sudah menjadi sejarah, bahwa dulu bendera Indonesia sangat
disegani. Masa sekarang yang sedang dibangun, Indonesia dikucilkan
karena prestasi buruknya dari berbagai bidang kehidupan berbangsa dan
bernegara, sebagai masyarakat bangsa. Yang akan kita hadapi adalah masa
depan. Sementara cita-cita masih kita tatap secara kosong dalam
imajiansi masa depan itu. Katakan saja proyeksi dimensi waktu ini
sebagai 2.0 Indonesia. Yang kosong itu kita isi dengan cinta, cinta
kepada kekayaan budaya dan tanah air kita, Indonesia yang merdeka. Akan
cinta, akan terjadi revolusi identitas manusia Indonesia. Begitu saja.
Penutup
Andi
kaprabowo, lahir di Tanjung Jaya Lampung Tengah pada tanggal 31 Mei
1989. Putra kedua dari empat bersaudara ini menamatkan pendidikan
dasarnya di SD Negeri 1 Tritunggal Jaya Lampung Utara pada tahun 2001
kemudian melanjutkan ke SLTP Negeri 2 Bangunrejo Lampung Tengah lulus
tahun 2004 dan MA Bustanul ‘Ulum Lampung Tengah lulus tahun 2007.
Setelah
selesai studi, ia berkeinginan melanjutkan ke pulau yang selama kecil
ia impikan. Akhirnya ia berkelana hingga sampai ke Semarang dan memilih
IAIN Walisongo. Salah satu universitas islam terkenal di Semarang.
Dengan mengambil jurusan Komunikasi dan Penyiaran islam, ia mencoba
menatap masa depan. Berbekal pengalaman di organisasi yang ia tekuni
sekarang, yakni Lembaga penerbitan Mahasiswa MISSI, ia ingin menjadi
seorang wartawan yang professional yang kelak menjadi seorang pengusaha
media massa.
DAFTAR PUSTAKA
Al- Uqshari, Melejit Dengan Kreatif, 2005, Gema Insani Press: Jakarta.
Anderson, Benedict R. O’G, 1983, Imagined Communities: Reflection on The Origin and Spread of Nationalism, Verso, London.
Awuy, Tomy F, 2000, “Membaca Mitos, Merajut Identitas Manusia Indonesia”, dalam Ninok Leksono (ed.), Indonesia Abad XXI Di Tengah Kepungan Perubahan Global, Penerbit Kompas, Jakarta
Badri, M Abdullah, 2007, “Menakar Cinta di Lumpur Senja”, dalam The Spirit of Love, cet. I, LPM Obsesi dan Buku Laila, Purwokerto.
Gibran, Kahlil, 2005, Semua Karena Cinta, Narasi: Yogyakarta.
___________, Sang Nabi, Taman Sang Nabi, dan Suara Sang Guru, 2004, Pustaka Sastra: Yogyakarta.
Huntington, Samuel, 1996, The Clash of Civilization and Remaking of World Order, Simon and Chuster, New York
Koentjaraningrat, 1980, Pengantar Ilmu Antrolpologi, cet. II, Aksara Baru, Jakarta.
Lanrence E. Harrison (ed.), 2006, Kebangkitan Peran Budaya: Bagaimana Nilai-Nilai Membantuk Kemajuan Manusia, LP3ES, Jakarta.Mardimin, Johanes (ed.), 1994, Jangan Tangisi Tradisi, cet. I, Kanisius, Yogyakarta.
Najib, Emha Ainun, 1998, Indonesia Bagian Dari Desa Saya, Gramedia: Jakarta,
Tunjung W. Sutirto, 2000, Perwujudan Kesukubangsaan Kelompok Etnik Pendatang, Yayasan Pustaka Cakra, Surakarta
Thomas L. Friedmen, terj. P. Buntaran, 2006, The World is Flat, Dian Rakyat, Jakarta.
Thomas Kristanto, Tt, Redefinisi Subjek dalam Kebudayaan, Pengantar Memahami Subjektivitas Menurut Perspektif Slavoj Zizek, Jalasutra, Yogyakarta & Bandung.
http://www.lestariweb.com/Indonesia/General_I.htm (diakses pada 13 Juli 2010)
[1] Tomy F Awuy, “Membaca Mitos, Merajut Identitas Manusia Indonesia”, dalam Ninok Leksono (ed.), Indonesia Abad XXI Di Tengah Kepungan Perubahan Global (Jakarta: Penerbit Kompas, 2000), hlm. 509
[2]
Kekayaan kultural Indonesia bisa kita lihat dari jumlah pulaunya yang
mencapai 17.504 pulau, dihuni oleh 740 suku bangsa/etnis (di Papua saja
terdapat 270 suku), dengan bahasa daerah berjumlah 583 bahasa dan dialek
dari 67 bahasa induk yang digunakan berbagai suku itu. Lihat: http://www.lestariweb.com/Indonesia/General_I.htm dan http://meresia.hostei.com/?p=137 (diakses pada 13 Juli 2010)
[3] Untuk melihat lebih rinci tentang polemik relevansi konsep plural society, silahkan periksa: Tunjung W. Sutirto, Perwujudan Kesukubangsaan Kelompok Etnik Pendatang, cet. I (Surakarta: Yayasan Pustaka Cakra, 2000) hlm. 37
[4] Bennedict Anderson, Imagined Communities: Reflections on the Origin and Spread of Nationalism, cet. II (London: Verso, 1991), khususnya hlm. 5-7.
[5] Ibid, hlm. 510-511
[6] Thomas L. Friedmen, The World is Flat, terj. P. Buntaran dkk. (Jakarta: Dian Rakyat, 2006), hlm. 4
[7] Thomas Kristanto, Redefinisi Subjek dalam Kebudayaan, (Yogyakarta & Bandung: Jalasutra, Tt.) hlm. 91-92
[8] Francis Fukuyama, dalam artikel kontroversialnya berjudul The End of History? (The National Interest, 1989) menulis bahwa dengan berakhirnya sejarah pergulatan pemikiran-pemikiran besar, dunia tidak lagi menarik, “the end of history will be a very sad time,” tulisnya.
[9] M Abdullah Badri, “Menakar Cinta di Lumpur Senja”, dalam The Spirit of Love, cet. I (Purwokerto: LPM Obsesi dan Buku Laila, 2007), hlm. 36
0 komentar:
Posting Komentar