Jangan Bercerai-Berai Karena Perbedaan

Perbedaan memang tidak mungkin tidak terjadi, selama manusia terus berfikir. Maka perbedaan tersebut dapat menjadi sebuah rahmat, apabila dengan perbedaan tersebut, akan menumbuhkan rasa saling hormat-menghormati dan menghargai. Namun perbedaan akan menjadi adzab, apabila dalam diri kita tertanam sebuah virus bernama fanatic sempit.

Pelajaran Dari Romo Carolus

Charles Patrick Edwards Burrows,OMI adalah nama kecil sang peraih penghargaan tersebut. Ia adalah seorang Pastor di Paroki St Stephanus Cilacap. Setelah kedatangannya di Indonesia pada tahun 1973, ia tertarik untuk mengabdikan diri kepada masyarakat di Kampung Laut Kabupaten Cilacap.

Rintihku

Aku menatap dalam lara Kembali menitikkan air mata Ia tak berdosa Namun aku tega menjatuhkannya Butir putih itu Menghujam deras menghancurkan hidupku Remuk sudah hati menatap cahya Mu Yang terang, namun dihatiku kau gelap Tertutup nafsuku, egoisku, dan dosaku.

Tapak-Tapak Suci, Sebuah Kisah Perjalanan Pemuda Desa

“ Bukalah surat ini ketika kau berada di antara dua pulau, saat kau terombang ambing di tengah lautan, dan saat itu kau akan merasakan betapa aku menyayangimu”..

La Tahzan, Saudaraku!

La Tahzan, Saudaraku. Kecelakaan yang menimpa saudara kita penumpang Shukoi Superjet 100 memang sangatlah tragis. Kita semua bersedih. Namun jangan kita terlarut dalam kesedihan. Yakin bahwa Allah Tuhan Yang Maha Esa telah merencanakan hal dibalik itu semua.

Selasa, 25 September 2012

Mengurai Benang Kusut Generasi Tawur Indonesia

Dunia pendidikan kembali dirundung awan kelabu, setelah terjadi  tawuran antara siswa SMAN 6 dan SMAN 70 Jakarta di kawasan Bulungan - tak jauh dari Blok M Plaza - pada Senin (24/9/2012). Tak hanya tawuran biasa, kali ini, kembali satu nyawa terbuang sia-sia. Adalah Alawy Yusianto Putra, siswa SMA 6 kelas X berusia 15 tahun, tewas akibat terkena sabetan celurit di dadanya.

Peristiwa ini bukanlah pertama terjadi di kedua SMAN yang notabene adalah SMA favorit di wilayah Jakarta Selatan itu. Sudah berkali-kali, tawur antar kedua Sekolah Menengah Atas tersebut terjadi. Sampai-sampai, mantan Kapolrestro Jakarta Selatan, Kombes Imam Sugiyanto menyebut jalur antara SMAN 70 dan SMA 6 di Jalan Mahakam, Kebayoran Baru itu sebagai “Jalur Gaza”.

Jalur yang identik dengan wilayah rawan konflik  Palestina-Israel di Timur Tengah ini menurut Sugiyanto cocok untuk merepresentasikan bagaimana para siswa tersebut beradu adrenalin. Tentunya kita tidak perlu bangga dengan julukan tersebut. Karena prestasi tersebut bukanlah hal yang patut dibanggakan.

Tawuran sekelompok massa dengan pelaku manusia-manusia Indonesia sepertinya bisa dikatakan sudah menjadi budaya. Jika dihitung, sudah berapa korban yang menjadi tumbal dari tawuran tersebut. Tidak hanya kalangan remaja (Siswa dan Mahasiswa), masyarakat dan juga kelompok elit pun sepertinya terjangkit syindrom akut tentang budaya rimba ini.

Tentu diantara pelaku tersebut memiliki tujuan dan latar belakang yang berbeda-beda. Secara sosio-psikologis masa remaja merupakan masa  pencarian jati diri sekaligus eksistensinya ingin diakui. Namun sayangnya apa yang mereka persepsikan eksistensi tersebut tidak selamanya bukan merupakan hal-hal yang positif. Sebaliknya justru hal-hal yang negative contoh tawuran yang dilakukan, karena hal yang semacam itu lebih mudah untuk mendapatkan perhatian.

Sementara tawuran yang terjadi di kalangan elit politik, seringkali dilatarbelakangi oleh kepentingan yang menyangkut harga diri. Jika harga diri mereka terusik, maka tawuran adalah solusi untuk menyelesaikannya. Bukan tawuran secara fisik yang dilakukan, melainkan perang-perang kata, perang kebijakan, saling menjatuhkan dan sebagainya.

Tanggung jawab bersama
 Nasi telah menjadi bubur, nyawa telah hilang dari raga. Namun apakah kita akan diam saja dan membiarkan nyawa generasi penerus kita yang lain melayang?. Tentu saja tidak. Cukup sudah!. Semua pihak harus duduk bersama mencari solusi secepat mungkin. Bukan lagi mencari siapa yang bersalah, karena sampai kapanpun tidak akan selesai dengan upaya pengkambinghitaman dari kejadian ini.

Banyak kalangan yang menilai bahwa pihak sekolah yang patut disalahkan, karena tidak mengemban tugas dengan baik. Tentu tuduhan itu tak beralasan. Kadarwati, kepala sekolah SMAN 6 saat diwawancarai salah satu televisi swasta mengatakan bahwa pihak sekolah telah mengeluarkan kemampuan semaksimal mungkin untuk menekan perilaku negative dari siswanya. Bahkan, Kadarwati telah mengeluarkan atau men drop out puluhan siswanya yang telah melakukan pelanggaran berat. Selain itu, puluhan orang tua siswa juga telah mendapat surat teguran dari sekolah terkait kelakuan anak-anaknya.

Tidak hanya sekolah yang bertanggung jawab atas kejadian tragis ini, melainkan seluruh komponen pendidikan. Komponen tersebut meliputi siswa, keluarga, masyarakat, sekolah dan juga pemerintah. Keseluruhan komponen tersebut memiliki andil dalam membentuk karakter siswa. Apabila salah satu komponen tersebut tidak berjalan dengan baik, maka akan terjadi ketimpangan yang menyebabkan terjadinya konflik-konflik serupa.

Banyak solusi yang ditawarkan oleh para pakar pendidikan kita. Namun sebagai orang yang dahulu pernah mengalami kerasnya kehidupan tawuran, maka penulis menawarkan tiga buah solusi. Pertama penegakan hukum yang represif, kedua mengedepankan dialog dengan upaya pendekatan secara psikologis, dan terakhir dengan pemberian fasilitas untuk mereka berekspresi.

Pertama, pemerintah melalui lembaga hukumnya memiliki peran penting dalam menuntaskan kasus tawuran antar siswa ini. Masih adanya tawuran yang terjadi selama ini, dinilai karena hukum belum menjalankan tugas dan fungsinya dengan baik. Banyak pelaku kriminal dari kalangan siswa dalam tragedi tawuran masih berlindung aman di bawah ketiak orang tua mereka. Hukum dirasa lemah dalam pemberian punishment kepada pelaku tawuran. Berkedok perlindungan anak, hukum dengan mudah melepas para pelaku kekerasan dalam dunia pendidikan tersebut.

Padahal, jika kita mengingat perkataan Jeremy Bentham (1748-1832), seorang ahli filsafat hukum yang hidup semasa Revolusi Amerika Serikat dan Revolusi Prancis, bahwa hukum memiliki manfaat yang besar dalam menyelesaikan konflik-konflik yang terjadi dalam masyarakat. Hukum juga memiliki cara-cara yang efektif dalam menyelesaikan konflik tersebut sehingga mampu menciptakan kebahagiaan terbesar kepada sebanyak mungkin orang (the greatest happinest for the greatest numbers).

Pemberian hukuman yang setimpal memungkinkan akan menimbulkan efek jera, baik kepada pelaku maupun siswa lain yang rentan melakukan tawuran. Rasa takut pasti akan menghantui, sehingga mereka pasti akan berpikir dua kali untuk ikut beradu otot di jalanan. Mereka pasti tidak mau menjadi seperti teman mereka yang di drop out dari sekolah dan meringkuk di dalam sel tahanan.

Selain tindakan hukum yang represif di atas, langkah kedua yakni upaya pendekatan secara psikologis juga sangat perlu dilakukan. Mengedepankan aspek berdialog kepada mereka adalah hal mutlak untuk mengetahui apa akar permasalahan dari siswa. Baik keluarga, sekolah, masyarakat dan juga pemerintah dirasa kurang mau mendengar apa yang menjadi permasalahan di antara mereka. Yang sering terjadi, vonis tak diinginkan dilayangkan kepada mereka secara langsung, tanpa mau mendengar apa alasan mereka berperilaku seperti itu.

Ketiga, Memberikan fasilitas yang memadai bagi generasi muda itu untuk mengekspresikan dirinya, tentu dengan pengawasan dari berbagai pihak. Tidak menutup kemungkinan, tindak tawuran juga diakibatkan kuranya fasilitas yang memadai bagi mereka untuk berekspresi.

Tiga pendekatan di atas, harus segera dilakukan untuk mengurai permasalahan yang terjadi, sehingga dapat menekan angka tawuran di Indonesia. Sebagai generasi penerus bangsa, tidak sepantasnya mereka brutal dan mengedepankan otot dibanding otak. Sudah bukan saatnya lagi kita bangga dengan hal-hal yang negative. Belajar dengan rajin dan melakukan segala hal yang bermanfaat adalah tugas dan tanggungjawab mereka sebagai siswa, generasi penerus bangsa. Karena dipundak mereka, tersemat sebuah harapan akan masa depan bangsa.

Mari kita berusaha untuk menjadi generasi yang berkualitas, karena generasi tersebut, adalah aset bagi bangsa ini di masa yang akan datang. Rubah Hartanas (Hari Tawur Nasional) dengan Harpenas (Hari Prestasi Nasional). Busungkan dadamu, tatap masa depan dengan segudang prestasi yang membanggakan, bukan bangga disebut sebagai generasi tawur. Karena generasi tawur, atau apapun namanya, kalah menang akan jadi abu.

Rabu, 12 September 2012

Pemimpin, Berhati-Hatilah Dalam Berbicara!

Beberapa waktu lalu, tepatnya pada minggu malam (9/9), dunia kesenian digemparkan oleh pernyataan Gubernur Jawa Tengah, Bibit Waluyo. Dalam sambutannya pada acara The 14th Merapi And Borobudur Senior’s Amateur Golf Tournament Competing The Hamengku Buwono X Cup, Bibit menyatakan bahwa kesenian Jaran Kepang (kuda lumping) adalah kesenian terjelek di dunia. “ Kesenian Jaran Kepang adalah kesenian terjelek di dunia, Walikota Magelang sungguh memalukan, menampilkan kesenian tersebut untuk acara seperti ini” katanya.

Pada acara yang digelar di Borobudur International golf and Country Club tersebut, dihadiri oleh beberapa pejabat penting. Bukan hanya dari pejabat dalam negeri seperti Gamawan Fauzi dan pejabat penting lainnya, melainkan dari perwakilan Negara-negara lain. Pada kesempatan tersebut, kesenian Jaran Kepang dari sanggar Kartika Harapan mendapat kesempatan tampil memberikan hiburan kepada pengunjung acara tersebut.

Namun bukan tepuk tangan dan pujian yang didapat, melainkan “kopi pahit” dari Gubernur Jawa Tengah Bibit Waluyo. Dalam sambutannya, ia menilai bahwa kesenian Kuda Kepang adalah kesenian terjelek sedunia. Dan Walikota Magelang dikatakannya memalukan karena menampilkan kesenian ini. Sontak pernyataan Bibit membuat geram berbagai pegiat kesenian, terutama kesenian Kuda Kepang. Berbagai anggapan pun dilontarkan kepada sang Gubernur. Pagi harinya, sebagian besar media cetak di Jawa Tengah memberitakan kejadian  penuh kontroversi tersebut.

Kurang Arif

Meskipun pada acara Gerakan Nasional Indonesia Membaca pada Senin (10/9) di Semarang, Bibit mengklarifikasi pernyataannya. Bahwa yang dia maksud bukan kesenian Kuda Kepang secara keseluruhan, melainkan khusus kepada sanggar Kartika Harapan yang malam itu tampil. Menurut Bibit, masih banyak kesenian Kuda Kepang yang lebih bagus di Jawa Tengah dari Kartika Harapan yang dinilainya buruk saat tampil waktu itu. “Masa Peralatannya di ikat pakai Rafia begitu?” katanya.

Selain itu, Bibit juga mengatakan bahwa pada kesempatan seperti itu, harus ditampilkan kesenian khas Jawa Tengah dengan sebagus dan semaksimal mungkin. Mengingat Jawa Tengah sedang gencar-gencarnya mempromosikan Visit Jawa Tengah 2013, dan salah satu yang dibanggakan dari Jawa Tengah adalah seni budayanya, sehingga harus digarap secara lebih serius.

Meskipun begitu, nasi telah menjadi bubur. Pernyataan Bibit Waktu itu telah melukai hati para pegiat seni. Hasilnya, para pegiat seni Kuda Kepang dari berbagi daerah melakukan aksi simpatik dengan cara turun ke Jalan. Seperti yang dilakukan oleh Pegiat seni yang tergabung Komunitas 'Ebeg' (kuda kepang) Banyumas, mereka melakukan aksi protes terhadap pernyataan Bibit di Alun-Alun Purwokerto, Kabupaten Banyumas.

Selain Ebeg Banyumas, kemarin (12/9) Kelompok Jathilan Rukun Agawe Santoso (RAS) Krido Turonggo dari Magelang juga melakukan aksi simpatik di depan kantor Gubernur Jateng di Semarang. Aksi itu diikuti oleh sekitar 50 orang berpakaian lengkap pemain Kuda Kepang. Inti dari aksi tersebut menuntut Bibit meminta maaf kepada masyarakat terutama pegiat kesenian Kuda Kepang atas pernyataannya.

Sebagai seorang pemimpin, rasanya kurang arif jika Bibit mengluarkan pernyataan seperti itu. Apalagi hal itu dilakukan di depan umum. Jika memang kesenian Kuda Kepang yang ditampilkan oleh Kartika Harapan kurang bagus, tetap harus diberikan apresiasi. Karena mereka telah menguri-uri (menjaga) kesenian yang sangat berharga ini sampai sekarang. Jika memang ada yang perlu di perbaiki, maka dibicarakan di belakang layar. Dengan mendatangi mereka dan memberikan motivasi agar kelak lebih baik lagi. Hal itu pasti akan diterima oleh mereka, dan mereka juga merasa diperhatikan dan diayomi oleh pemimpinnya. Pasti mereka akan segera berbenah memperbaiki kesalahan tersebut.

Namun, jika hal itu dilakukan di depan umum, seperti yang telah dilakukan, pasti malu dan marah yang dirasakan oleh mereka para pegiat seni. Mereka yang telah susah payah menjaga kesenian agar tetap lestari, menjadi kecil hati dan merasa tidak dihargai. Akibatnya, mereka akan meninggalkan kesenian itu. Akhirnya, hanya ada dua pilihan yang akan terjadi pada kesenian Indonesia, jika tidak mati, ya di klaim oleh bangsa lain seperti yang sudah-sudah.

Untuk itulah, mari kita mencoba mengambil hikmah dari kejadian ini. Sebagai pemimpin, selayaknya kita memberikan apresiasi kepada mereka para seniman dan pegiat seni, karena telah menjaga kelestarian budaya Indonesia. Bentuk perhatian tersebut tidak hanya berupa ucapan terima kasih tanpa langkah kongkret, melainkan juga pemenuhan akan fasilitas sarana dan prasarana yang dibutuhkan oleh mereka. Apabila diperhatikan dengan serius, maka kesenian Indonesia akan menjadi kesenian yang sangat agung dan indah.

Semoga, ini menjadi pernyataan terakhir yang keluar dari para pemimpin kita. Bagaimanapun dan sampaikapanpun, kesenian tradisional Indonesia adalah kesenian terbaik sedunia. Dan kita mesti bangga dengan kesenian itu. Dan dengan rasa bangga, pasti dengan sendirinya, kita akan melestarikan kesenian bangsa ini sampai anak cucu. Kalau bukan kita yang bangga, siapa lagi?, kalau bukan sekarang melestarikannya, kapan lagi?

Sabtu, 08 September 2012

Berjenis Kelamin Apakah Otak Kita?


Ketika membaca Majalah Tempo edisi 18 Mei 2003, saya menemukan sebuah artikel tentang Ilmu dan Kesehatan. Artikel berjudul “Menguji Jenis Kelamin Otak” ini cukup membuat saya tertarik untuk mengupasnya kembali. Dan saya rasa, artikel tersebut cukup bermanfaat bagi kita yang selama ini terpenjara oleh fisik bernama laki-laki dan perempuan.

Adalah Simon Baron Cohen, seorang Professor dari Universitas Cambridge, Inggris ini menyebutkan bahwa sebenarnya otak manusia itu memiliki “jenis kelamin”. Tidak hanya fisik manusia yang memiliki jenis kelamin, Cohen menyebutkan bahwa otak manusia juga memiliki “jenis kelamin”. Ia membagi jenis kelamin otak manusia menjadi tiga bagian, yakni laki-laki, perempuan dan seimbang.

Otak dikatakan berjenis kelamin laki-laki memiliki kecenderungan sifat mengerti dan membangun system (systemizing, disimbolkan dengan huruf S). Sedangkan pada otak berjenis kelamin perempuan, sifat empatik dan pengertian (empathizing, oleh Cohen disimbolkan dengan huruf E) justru akan lebih dominan.

Selain kedua jenis kelamin otak di atas, Cohen juga beranggapan bahwa akan ada kemungkinan terjadinya keseimbangan antara S dan E pada otak manusia. Kemudian oleh Cohen menyebut jenis ini dengan jenis kelamin seimbang (balanced, disimbolkan dengan huruf B). Dan untuk otak berjenis kelamin B ini, Cohen mewanti-wanti bahwa jangan pernah berharap tipe otak ini akan menghasilkan manusia-manusia banci.

Untuk membuat asumsi dari kebenaran terorinya tersebut, Cohen mencontohkan kepada sosok bernama Margareth Thatcher, salah satu tokoh perempuan perkasa di dunia. Wanita berjuluk Iron Lady ini, adalah seorang Perdana Menteri Inggris era 1979-1990. Dunia pasti masih teringat tentang bagaimana wanita bertangan besi ini memutuskan untuk berperang melawan Argentina hanya karena pertikaian soal Kepulauan Falkland.  Dengan gagah berani, ia mengirimkan puluhan ribu bala tentara untuk menghajar pasukan Argentina yang telah merebut Pulau Falkland selama sepuluh hari.

Hal inilah yang kemudian oleh Cohen dikatakan bahwa otak Thatcher berjenis kelamin laki-laki.  Sikap dan  tindakan Margareth Thatcher inilah yang menyimbolkan bahwa jenis otaknya memiliki unsure dengan kekuatannya yang mengerti dan membangun system yang disimbolkan dengan S,  yakni otak berjenis kelamin laki-laki.

Selama lebih dari sepuluh tahun lamanya, Cohen melakukan riset tentang penelitiannya ini. Untuk mengetahui jenis kelamin otak seseorang, Cohen menciptakan sebuah alat uji psikologis berupa E-test dan S-test. Masing-masing alat uji ini berisi 60 pertanyaan yang memiliki jawaban tertutup. Jawaban tertutup merupakan jawaban yang hanya berisi jawaban sangat setuju, setuju, tidak setuju, dan sangat tidak setuju. Sebenarnya pertanyaan-pertanyaan pada soal penelitian E-test dan S-test ini tidak jauh beda dengan pertanyaan psikologi yang telah masyarakat kenal saat ini.

Pertanyaanya pun sama, misalnya “Saya sangat menikmati saat bersama orang lain”, atau “ Saya tidak pernah melanggar hukum”, dan “Saya selalu menangis saat melihat sinetron sedih”. Hasil dari tes yang dilakukan oleh Cohen ini, akan menentukan seberapa dominan tingkat jenis kelamin otak manusia, apakah E atau S yang lebih dominan.

Dan hasil yang mengejutkan yang merupakan harapan dari kerja keras Cohen adalah, dari 320 mahasiswa di Universitas Cambridge yang dijadikannya objek penelitian, menunjukkan bahwa “Tidak ada hubungannya antara jenis kelamin fisik manusia dengan jenis kelamin otaknya”.  Jadi, bisa jadi orang laki-laki yang dengan badan  gagah, kekar, namun memiliki jenis kelamin otak perempuan.  Sementara orang wanita, memiliki jenis kelamin otak Laki-laki.

Dari puluhan tahun penelitian yang telah Cohen lakukan, kesimpulannya sangatlah sederhana namun sangat berguna terutama bagi kita sendiri dan juga anak-anak kita. Diakhir penelitian ini, Cohen hanya ingin mengatakan kepada manusia, agar memahami diri sendiri dan segala potensi yang ada pada dirinya. Hal ini berkaitan erat dalam upaya untuk menentukan profesi.

Kadang sebagai orang tua, banyak yang menilai profesi anak-anaknya hanya dari jenis kelamin fisik saja. jika perempuan, maka menjadi bidan, atau profesi yang menurut masyarakat layak disandangkan pada perempuan. Sementara laki-laki, ditujukan kepada pekerjaan yang bersifat macho, keras dan memiliki penuh tantangan. Padahal, menurut teori Cohen ini, kita tidak dapat menentukan akan jadi apa kita atau anak  kita, jika hanya melihat dari apa jenis kelamin fisiknya saja. karena sekali lagi, tidak ada kaitannya antara jenis kelamin fisik dan jenis kelamin otak manusia.

Untuk itulah, mari kita mencoba menimang dan mencari siapa jati diri kita. Dengan mengenali diri sendiri, maka kita tidak akan salah dalam menentukan apa profesi yang tepat bagi kita. Karena bagi Cohen “Tak ada yang lebih penting di dunia ini, ketimbang mengenal diri sendiri.”

Sumber, Tempo 18 Mei 2003 hal.93


Doa Penghuni Taman Cinta


Burung pun tak berkicau pagi ini,
Daun- daun kering berjuntai jatuh bersama terpaan angin sepoi
Sementara rumput-rumput taman
Enggan menerimanya

Kumbang tak lagi kulihat cerianya,
Pun dengan kupu-kupu,
Elok lemah gemulai sayapnya sirna
Semua bersedih mendengar kabar dirimu kasih

Sumbang kudengar burung berkicau,
Sedih kulihat kupu dan kumbang
Apalagi diriku,

Lekaslah sembuh Putri,
Bawa kembali keceriaan taman ini,
Bersama angin kusampaikan doa ini
Doa dari kami yang mencintaimu,
Para penghuni Taman Cinta

*Gumam dalam harap, untuk Putri Tidurku, dalam Pelukan LPM Missi, kutuliskan doa ini 08/09/12

Minggu, 02 September 2012

Jangan Tanya Kenapa, Karena Ini Cinta !

Engkau mungkin tak percaya jika ia adalah bidadari. Atau bahkan kau menanggapku gila? Terserah kalian. Disadari atau tidak, kalian semua telah diracuni oleh virus bernama positivism, karena memandang semua dari hal yang dapat diterima akal saja. Ini cinta kawan, tak mungkin dapat kau telusuri jejaknya, karena inilah cinta. 

Apakah kalian percaya terhadap apa yang dikatakan Plato, Jhon Locke dan para pemikir lain yang hanya mempercayai akal semata?. Sumpah kawan, berhentilah mengagungkan akal kalian. Saat kalian bertemu dengan cinta, pasti akal kalian tak akan dapat menerimanya.


Ada orang yang nekat mengakhiri hidupnya karena cinta. Ada orang yang menjadi gila karena cinta. Orang menjadi alim karena cinta. Dan bahkan ada orang yang hidup kembali dari kematian karena cinta.


Apakah semua itu dapat diterima oleh akal?. Bagaimana orang yang bunuh diri karena cintanya tak terbalas. Padahal, ia dapat mencari cinta yang lain. Dan anehnya, hidupnya juga enak, tapi kenapa mereka memilih mati. Aokigahara, salah satu tempat di Jepang yang dikenal sebagai surganya para orang putus asa itu, sudah menceritakan padaku tentang betapa banyak nyawa yang melayang hanya karena cinta.


Masih belum percaya juga kau? Baiklah, terserah kalian sajalah. Mungkin waktu yang akan membuat kalian sadar jika cinta itu tak semudah apa yang dipikirkan orang. Ia kompleks, menyangkut banyak hal yang menjadi satu.


Hanya orang yang memiliki cinta, yang dapat memandang semua menjadi indah. Tak peduli segersang apapun tempat yang ia pandang, tetap saja indah. Lihat saja visualnya saat Ikal memandang kuku indah A Ling dalam film Laskar Pelangi. Toko kelontong bobrok milik A Miauw itu berubah menjadi taman bunga, dimana bunga-bunga indah bejatuhan dengan indanya. Itulah gambaran cinta kawan. Dapat kau logika darimana asal bunga-bunga itu?.


Itulah yang saat ini kurasakan, sebuah perasaan aneh tak karuan. Kadang marah, benci, rindu, semua bergejolak dalam jiwa. Dan kesemuanya itu tak dapat kulukiskan dalam kanvas dan kutulis dalam kertas. Semua hanya bisa kurasakan. Jujur saja, aku sendiri bingung dengan apa yang kurasakan saat ini.


Semua karena cinta, begitulah kata Joy Tobing berbicara. Dalam liriknya, ia mengungkapkan betapa hebat dan indahnya cinta itu. Cinta adalah segalanya, yang membuat semua makhluk tetap ada sampai saat ini. Katanya,


“Dan bila aku berdiri tegar sampai hari ini,
Bukan karna kuat dan hebatku
Semua karena cinta, semua karena cinta...
Tak mampu diriku dapat berdiri tegar, terima kasih cinta."

 
Yah,,,semua karena cinta. Adanya alam ini, karena cinta dari Sang Pencipta. Tanpa cinta kita tak mungkin ada. Alam dan seisinya tak akan ada tanpa cinta Tuhan. Kita juga tak akan ada tanpa cinta darinya. Selain itu, cinta antar sesama juga yang membuat kita tetap ada sampai saat ini. Tanpa cinta, kita pasti akan musnah, entah karena pertempuran atau pembunuhan lainnya.


Kawan, aku sedang jatuh cinta. Jangan kau anggap aku gila. Karena sesungguhnya kalian juga akan mejadi gila jika merasakan apa yang saat ini kurasa. Bagaimana tidak, disetiap saat, setiap waktu, dari sekian banyak memory otak yang bekerja, hanya wajahnya yang mampu kupikirkan. Hanya senyumnya yang selalu terngiang. Dan hanya keindahan yang selalu kurasa.


Sekali lagi jangan Tanya kenapa kawan!. Karena ini cinta.  Walau katanya tak ada cinta yang tak berasalan, namun sampai sekarang aku selalu saja bingung dan pusing saat ditanya apa alas an dari semua itu. itu sudah. Jika masih saja kau belum puas dengan keteranganku, coba Tanya saja pada orang yang kini membuat aku menjadi seperti ini. Dialah Putri Tidurku.

Sabtu, 01 September 2012

Jejak Misterius Sang Mamon


Kuceritakan padamu kawan, tentang seorang laki-laki hitam legam yang selalu saja berjalan di trotoar kota kami. Kami tak pernah tahu kapan dia datang ke kota ini. Sejak aku SD hingga saat ini lulus dari kuliah, kami selalu saja melihat laki-laki hitam legam itu. Sepertinya ia ada bahkan saat kedua orang tua kami masih remaja
.
Tak pernah ada orang yang tahu siapa nama laki-laki hitam legam ini. Bukannya tak mau menanyakannya, tapi kami takut menghadapi orang seperti itu. Kami takut laki-laki hitam legam itu merasa terganggu dan mengamuk kepada kami. Sudah banyak sekali kasus yang terjadi saat orang seperti laki-laki hitam legam itu saat kami goda. Mereka mengamuk dan tidak jarang beraksi brutal.

Lama-lama kami memberanikan diri untuk memberinya nama panggilan. Bukan untuk membuat dia terkenal, semua itu hanya untuk memudahkan kami dalam membicarakannya. Dengan nama itu, ia dapat kami bicarakan dengan teman, saudara, dan semua orang yang kami kenal. Kami menamainya Mamon, singkatan dari manusia monster. Kami kira nama itu pantas, karena memang tubuh jangkung Mamon dan wajah sangarnya, sudah menggambarkan betapa menyeramkannya ia.

Setiap hari, saat kami berangkat dan pulang sekolah, kami melihat Mamon terdiam di bawah pohon. Mulutnya bergumam seolah sedang membaca mantera-mantera ilmu kesaktian. Dan kadang, ia duduk jongkok di bahu jalan, sambil mencoret-coret trotoar dengan arang yang ia peroleh dari bekas pembakaran mebel.

Kami tak pernah tahu dan bahkan tak pernah ingin tahu apa yang digumamkan oleh Mamon dan apa yang ditulisnya. Hingga datang waktu itu, saat bus sekolah yang kami tumpangi mengalami kerusakan di jalan. Sialnya, jalan tersebut adalah jalan yang dikuasai oleh Mamon. Di jalan itulah kami biasa melihat Mamon duduk dan tidur. Jalan ini seolah daerah kekuasaannya, yang tak dapat diganggu gugat oleh siapapun, termasuk Kami.

Kami ketakutan dan tidak berani pulang, namun supir Bus tak mau mengantarkan kami. Akhirnya dengan ketakutan, kami memberanikan diri untuk melalui jalan itu.
Kami tak ingin bertemu dengan Mamon, akhirnya kami mencari jalan pintas, yakni melewati hutan-hutan. Hutan memang menyeramkan, tapi bagi kami, seramnya hutan bersama penghuninya, tak seseram wajah Mamon. Wajah Mamon yang abstrak itu, lebih seram dari apapun menurut kami.

Jalan gelap dan dinginnya hutan yang kami lewati cukup membuat bulu kuduk kami berdiri. Kami juga ketakutan. Jangan-jangan, Mamonlah yang telah membuat Bus Sekolah kami mogok, dan telah menunggu kami untuk memangsa kami hidup-hidup. Atau ia akan membakar kami, dan menjadikan arang bekas bakaran tulang kami menjadi alat untuk menulisnya.

Pikiran kami melayang jauh. Ketakutan melanda. Hingga saat itu tiba, Rizal, teman kami yang berwajah lugu itu, terperosok ke dalam Lembah. Ia menjerit meminta tolong, namun kami tak dapat melakukan apa-apa. Kamipun panic, kami melihat tubuh Rizal tergantung di sebuah dahan pohon. Sepertinya setelah kelelahan dan mungkin terluka, tubuh Rizal tidak bergerak lagi.

“Rizal…..Rizal…” kami berteriak mencoba membangunkannya, namun tak ada balas.

Kami menangis dalam putus asa. Tak ada yang dapat kami lakukan. Saat itulah kami melihat tubuh besar hitam legam, meloncat ke dasar lembah. Kami tak tahu siapa itu, mungkinkah malaikat yang akan mencabut nyawa Rizal?. Entahlah,,yang jelas kami masih ketakutan dan tak dapat berbuat apa-apa.

Diam, sunyi, tak ada tanda-tanda gerakan dari Rizal. Namun tiba-tiba kami melihat tubuh besar hitam legam itu kembali mendaki ke atas bukit dengan tangan-tanganya yang kekar. Semakin lama, semakin jelas. Dan sepertinya tubuh itu kami kenal dengan baik. Mamon!.
Kami terpaku. Takut bercampur ngeri. Apakah Rizal telah ia bunuh? Lalu setelah itu baru giliran kami?. Anehnya, meski kami ketakutan, kami tak dapat lari dari tempat itu. Tenaga kami telah habis oleh degup jantung ketakutan memikirkan nasib kami yang diujung tanduk.

“Kenapa diam saja, Cepat bantu aku?”

Kata-kata itu keluar dari mulut Mamon. Demi tuhan, sepertinya kamilah orang yang pertama mendengar Mamon berkata dengan jelas dan dapat dimengerti. Kami masih tidak percaya bahwa kata-kata itu keluar dari mulut Mamon, orang yang sudah kami anggap tidak waras itu.

“Hei,,cepat, bantu aku membawanya, “ bentak Mamon

“I..iiiaa,,ia” kami menjawab dengan mulut terkatup.

Setelah kejadian itu, seluruh mata kini terbelalak. Cerita tentang kejadian malam itu telah menyebar ke seluruh pelosok kota ini. Tentang seorang pahlawan yang telah menyelamatkan nyawa seorang anak. Pahlawan itu adalah Mamon, orang yang dahulu kami anggap tidak waras, gila dan membahayakan. Yah,,kami merasa malu kepada Mamon. Ternyata ia orang yang berhati mulia.

Setelah kejadian itu, Mamon pergi entah kemana. Kami tak pernah menemukannya lagi. Jejaknya hilang bersama angin. Bahkan kami belum sempat mengucapkan maaf dan terimakasih kepadanya. Lalu, kami yang  malam itu mengalami nasib tragis, mencoba mencari Mamon di tempat ia biasa berada. Di jalan yang telah sengang itu, kami menemukan sebuah keanehan dan kejanggalan baru. Keanehan dan kejanggalan  yang membuat kami benar-benar merasa bersalah.

Disepanjang bahu trotoar yang ada disana, hamper seratus meter panjangnya, kami menemukan jawaban tentang apa yang Mamon tulis disana. Ternyata bukan hanya coretan tanpa makna. Kata demi kata  yang ada disana, ternyata memiliki makna. Mereka tersusun dalam sebuah kalimat-kalimat,  yang membentuk bait-bait puisi. Dan ternyata, semua itu adalah puisi tentang Tuhannya.

Satu bait puisi yang sampai saat ini masih terngiang di benakku,

Hidup Itu indah, namun tak seindah keindahan yang tampak oleh mata,
Hidup itu bencana, namun tak seburuk neraka sang Pencipta..
Apalah arti hidup ini, jika kita sendiri tak mengerti untuk apa kita hidup,
Mengapa kita berpura-pura dengan kehidupan ini
Tuhan tidak suka dengan orang yang berpura-pura…

*Dalam diam, Syahid Add Dakhil, hamba Tuhan yang malang.

Kami tertegun dalam diam, menangis dalam penyesalan. Ternyata Mamon bukanlah orang yang gila. Ia bahkan seorang pujangga sejati, yang tidak pernah berpura-pura dalam hidupnya. Sementara kami, hanya seonggok jasad penuh kepura-puraan. Kami tertunduk dalam malu yang sangat.

Nasionalisme Kita Diujung Tanduk


Apa itu Nasionalisme? Seberapa pentingkah ia?. Lalu dengan apa kita membangkitkan rasa Nasionalisme tersebut? Apakah cukup dengan mengikuti upacara peringatan HUT Republik Indonesia, atau menghormati Sang Saka Merah Putih, atau khusyuk menyanyikan lagu Indonesia Raya?.

Pertanyaan-pertanyaan tersebut saat ini memang sudah sepantasnya kembali diperdebatkan. Seiring semakin menipisnya-bahkan jika boleh mengatakan sudah menghilangnya- rasa Nasionalisme dari bangsa ini. Entah karena sudah bosan, atau juga pengaruh dari luar, yang membuat bangsa Indonesia mulai apatis terhadap paham yang luhur ini.

Secara etimologi, Nasionalisme berasal dari kata “nasional” dan “isme” yaitu paham kebangsaan yang mengandung makna : kesadaran dan semangat cinta tanah air; memiliki kebanggaan sebagai bangsa, atau memelihara kehormatan bangsa; memiliki rasa solidaritas terhadap musibah dan kekurangberuntungan saudara setanah air, sebangsa dan senegara; persatuan dan kesatuan. Sedangkan bentuk dari Nasionalisme tersebut juga bermacam-macam. Ada Nasionalisme berdasarkan kewarganegaraan, etnis, budaya dan sebagainya.

Menarik jika kita mencoba membicarakan Nasionalisme dimasa sekarang ini. Ketika paham ini mulai terkikis oleh paham lain seperti kapitalisme. Paham yang selalu mengkultuskan keuntungan dan kekayaan duniawi. Disadari atau tidak, demi kekayaan dan keuntungan, rasa Nasionalisme kita dapat tergadaikan.

Saat saya membaca sebuah artikel di Kompas (29/8/12) berjudul “Nasionalisme Kita”, saya mengerti bahwa rasa Nasionalisme bangsa ini sudah diambang punah. Tulisan seorang Guru Besar Universitas Indonesia bernama  Sri Edi Swasono, menggambarkan betapa bangsa ini mulai kehilangan rasa Nasionalisme. Di awal tulisan itu, Sri mengemukakan pendapat seorang  Doctor di bidang Ekonomi (yang namanya tidak disebutkan) mengatakan bahwa “ Apa itu Nasionalisme, kuno itu, masukin aja ke saku….”. Mengapa Sri gerah, karena Doktor tersebut kini menjabat di bidang yang sangat rentan tentang Nasionalisme di negeri ini.

Doktor itu mungkin menafikkan betapa pentingnya kehadiran Nasionalisme dalam segala bidang. Ho Chi Minh, Bapak Bangsa Vietnam mengatakan bahwa bangsa Vietnam dapat memenangkan perang bukan karena bom Atom, Nuklir atau senjata pembasmi lainnya, namun mereka memiliki Nasionalisme yang tinggi. Katanya “Kami pasti menang perang, karena kami memiliki senjata rahasia. Senjata rahasia itu adalah Nasionalisme”.
Dilain pihak, makna pentingnya Nasionalisme juga dikemukakan oleh Ian Lustic, seorang tokoh politik antar bangsa yang mengatakan bahwa “Nasionalisme merupakan kekuatan pembangunan yang tidak ada tandingannya di dunia masa kini”.

Terkikisnya Nasionalisme, Hancurnya Bangsa
Bangsa ini, meskipun terlahir di tanah air Indonesia, bertumpah darah satu, berbahasa satu, namun bukanlah “pemilik” resmi negeri ini. Bangsa Indonesia tidak bisa To be the master in this own home land, yang artinya kurang lebih menjadi tuan di negeri sendiri. Bangsa ini disadari atau tidak, kini hanya menjadi master of ceremony yang hanya menyambut dan membiarkan “tamu-tamu” dari asing berdatangan serta menghormatinya. Parahnya, “tamu-tamu” itu kini mendominasi seluruh kekayaan yang ada di Negara ini. Namun kita hanya diam.

Contoh kecil hilangnya rasa Nasionalisme kita, kita sering bangga makan di MC Donald, KFC, sementara malas dan sungkan untuk makan makanan tradisional seperti pecel, gado-gado, soto dan lain sebagainya. Kita sering menyesaki mall, plaza dan toko waralaba lain, sementara enggan berbelanja di pasar. Dan kita bangga jika memakai produk-produk impor, dan merasa malu serta tidak percaya diri jika memakai produk dalam negeri.

Menumbuhkan kembali rasa Nasionalisme harus secepatnya dilakukan. Keteladanan adalah faktor utama untuk menumbuhkan semangat cinta tanah air seluruh rakyat Indonesia. Komponen bangsa yang harus memberikan contoh adalah para aparat negara, baik dari komponen legislatif, eksekutif, maupun yudikatif. Seluruh komponen ini didukung penuh oleh pemimpin bangsanya, mulai dari gaya hidup keseharian, sinkronisasi antara ucapan dan tindakan, berperilaku dalam berbangsa dan bernegara, menjalankan roda pemerintahan yang baik, dan seterusnya.

Dalam hal mencintai tanah air, seorang pemimpin harus mendahulukan kepentingan bangsa dan negaranya di atas kepentingan asing. Saat ini banyak pihak asing yang ingin menguasai harta dan kekayaan Negara melalui system penjajahan yang elegan. Dengan kekuatan ekonomi yang ditunjang dengan kekuatan konsep Kapitalisme yang disebar melalui media yang mapan dan canggih, pihak asing telah merangsak dan merongrong kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia kita ini.

Anehnya, bangsa ini seolah terlena dengan penjajahan yang telah dilakukan oleh pihak asing selama bertahun-tahun ini. Mungkin benar apa kata orang Barat, yang menganggap bahwa bangsa kita adalah bangsa terlembek di bumi, kulinya bangsa bangsa lain. Anggapan ini bisa benar, bisa juga salah. Dan sebenarnya, anggapan tersebut tidak pantas diterapkan kepada bangsa ini. Jika kita mencoba menelusuri sejarah, bahwa dengan berapi-api dan semangat Nasionalisme tinggi, Bung Hatta pernah berpidato di depan pengadilan tinggi Den Haag. Saat itu dengan lantang Bung Hatta mengatakan bahwa “Lebih baik Indonesia tenggelam di dasar laut, daripada jadi embel-embel bangsa lain”.

Sungguh ironis, para pahlawan kita yang gagah berani memperjuangkan kemerdekaan dari penjajahan bangsa asing dengan rasa Nasionalisme tinggi, kini menangis melihat kemerdekaan yang telah mereka perjuangkan sia-sia.  Disadari atau tidak, Nasionalismelah yang telah memerdekakan Indonesia dari penjajahan bersifat fisik pada zaman dahulu. Dan sekarang, yakinlah bahwa di masa penjajahan kaum Kapitalis ini, kita akan dapat memenangkan perang modern ini hanya dengan rasa Nasionalisme yang tinggi.