Senin, 14 Mei 2012

Sebuah Ironi Berbalut Emansipasi


Belum lama ini, bangsa Indonesia memperingati hari bersejarah nasional, dimana hari itu merupakan wujud dari sebuah pemberontakan untuk memperoleh sebuah pengakuan dari kaum berjenis kelamin wanita, yah.. hari Kartini. Hari yang selalu diperingati pada tanggal 21 april itu, identik dengan nilai nilai sejarah masa lalu dari keberhasilan seorang bernama Raden Adjeng Kartini untuk mengangkat martabat kaumnya yang selalu menjadi makhluk nomor dua pada pandangan masyarakat waktu itu. Perjuangan Kartini untuk menegakkan keadilan sebenarnya adalah proses awal kemajuan kaum perempuan. Raden Ajeng Kartini sendiri adalah pahlawan yang mengambil tempat tersendiri di hati kita dengan segala cita-cita, tekad, dan perbuatannya. Ide-ide besarnya telah mampu menggerakkan dan mengilhami perjuangan kaumnya dari kebodohan yang tidak disadari pada masa lalu. Dengan keberanian dan pengorbanan yang tulus, dia mampu menggugah kaumnya dari belenggu diskriminasi.
Melalui surat-suratnya, ia menuliskan betapa kaum perempuan sangat diperlakukan tidak sesuai. Surat itu dikirimkannya kepada teman-temannya di belanda saat penjajahan belanda berlangsung di negeri ini. Karena kita tahu sejarah yang begitu kelam yang pernah dialami oleh kaum perempuan waktu pendudukan kolonialisme itu.
Dengan semboyan yang tertuang dalam bukunya berjudul “Habis Gelap Terbitlah Terang” itu Kartini berusaha membangkitkan semangat kaum wanita dari kungkungan feodalisme, yang memahami wanita hanya sebagai makhluk yang hanya mempunyai kewajiban 3 M, yakni macak , manak, masak (berdandan atau mempercantik diri untuk melayani suami, melahirkan sekaligus mengurus anak dan juga memasak), selain itu banyak masyarakat yang menganggap permpuan pasti akan kembali kedapur, sehingga tidak perlu menyekolahkannya sampai jenjang yang lebih tinggi. Maind set itulah yang harus dirubah menurut Kartini, karena dia menganggap bahwa kaum perempuan juga bagian dari manusia yang juga mempunyai hak dan kewajiban yang sama dalam berbagai hal sesuai kebutuhannya.seperti dalam suratnya yang berbunyi:
Alangkah besar bedanya bagi masyarakat Indonesia bila kaum perempuan dididik baik-baik. Dan untuk keperluan perempuan itu sendiri, berharaplah kami dengan harapan yang sangat supaya disediakan pelajaran dan pendidikan, karena inilah yang akan membawa behagia baginya (Suratnya kepada Nyonya Van Kool, Agustus 1901
Pertanyaan yang timbul sekarang, berhasilkah perjuangan Kartini dalam menegakkan nilai-nilai keadilan bagi kaum perempuan?Sungguh ironis jika kita telaah dengan seksama, bagaimana saat ini pun masih banyak kaum perempuan yang mengalami nasib yang tidak jauh beda dengan perempuan era Kartini, mereka diperlakukan sebagai buruh, dengan segudang pekerjaan yang semakin menyulitkan kaum perempuan untuk meningkatkan kemampuan dan keinginannya untuk diakui di ranah public.
Budaya Indonesia yang sampai sekarang masih terdominasi oleh budaya patriarkhi membuat peluh perjuangan Kartini masih belum usai Bagi wanita sendiri, dengan upaya awal Kartini, itu kini kaum wanita di negeri ini telah menikmati apa yang disebut persamaan hak tersebut.
Di era globalisasi ini masih banyak dirasakan penindasan dan perlakuan tidak adil terhadap perempuan, dimana permpuan sampai saat ini masih banyak yang bergantung pada laki-laki. Hal itu jauh sekali dari keinginan yang ditulis oleh Kartini yang kemudian dikumpulkan menjadi sebuah karya besar berjudul ”Door Duistermis tox Licht, atau Habis Gelap Terbitlah Terang” itu yang berbunyi:
Jika saja masih anak-anak ketika kata-kata “Emansipasi” belum ada bunyinya, belum berarti lagi bagi pendengaran saya, karangan dan kitab-kitab tentang kebangunan kaum putri masih jauh dari angan-angan saja, tetapi dikala itu telah hidup didalam hati sanubarai saya satu keinginan yang kian lama kian kuat, ialah keinginan akan bebas, merdeka, berdiri sendiri. (Suratnya kepada Nona Zeehandelaar, 25 Mei 1899)
Sepertinya keinginan Kartini itu sampai sekarang belum juga tercapai,namun anehnya masih banyak orang yang tidak begitu menghargai perjuangan Kartini, kita ambil contoh, hari Kartini saat ini tidak lebih dari hari besar yang “wajib” diperingati, cukup berbaris di lapangan mendengarkan pidato, dengan menggunakan kain kebaya layaknya Kartini, namun tidak meresapi apa yang diinginkan oleh pahlawan emansipasi tersebut. Malah jika kita sadari, dalam mengartikan perjuangan Kartini tersebut, para Kartini Indonesia mengalami over acting alias keblabasan dalam menerapkannya di masa modern ini. Banyak perempuan yang ingin menduduki sector-sektor penting dalam public, dengan dalih kesetaraan peran, namun tidak disadari bahwa sebenarnya keinginannya itu tidaklah mencerminkan perempuan. Seolah sangat bernafsu menunjukkan bahwa perempuan itu ada. Akibatnya banyak anak-anak yang terlantar akibat kekurangan perhatian dari orang tua, karena seorang wanita yang memiliki andil dalam mendidik anak, sibuk dengan pekerjannya.
Selain itu banyaknya perempuan yang menduduki pemerintahan juga masih menimbulkan pertanyaan, mampukah mereka menjalankan tugas dengan baik? Mampukah mereka mengemban tugas sang pahlawan emansipasi untuk mengangkat martabat mereka?
Bebas, merdeka dan berdiri sendiri, adalah keinginan Kartini yang mewakili keinginan seluruh wanita masa itu. Bebas dalam arti tidak adanya paksaaan dalam berbagai hal, seperti dalam menentukan jodoh, pendidikan, dll.

0 komentar:

Posting Komentar