Selasa, 29 Mei 2012

Wanita, Dalam Pandangan Islam Dan Jawa


Abstraksi
            Memahami konsep yang berbeda-beda tentang perempuan dalam berbagai kebudayaan tidak akan gunanya jika kemudian kita cocokan dengan praktek kebudayaan bersangkutan dalam memperlakukan perempuan. dengan kata lain kita berasumsi, sekalipun terdapat berbagi konsep yang perempuan, namun dalam praktek hanya ada satu kenyataan, yakni perempuan berada dibawah dominasi laki-laki, dan mau tidak mau keadaan ini telah berarti segalanya bagi perempuan, dalam sejarah kebudayaan manusia, sejarah manusia, baik hak sakral, yakni diambil dari kitab-kitab suci atau mitos, maupun yang sekuler yakni disusun secara ilmiah, senantiasa menunjukkan diri sebagai sejarah tentang kaum laki-laki itulah membangun dunia, dimana terdapat perempuan didalamnya. Dengan kata lain, laki-laki dan perempuan tidak setara.[1]
         Pada abad-abad sebelumnya perempuan dianggap (oleh laki-laki) sebagai mahluk yang mirip manusia pada perkembangan selanjutnya, tak bisa disangkal lagi. Kebudayaan kita mengajarkan kepada kita untuk menempatkan perempuan sebagai manusia sekunder, sejumlah agama besar yang bersifat kebapakan, menempatkan perempuan dalam posisi yang kurang menguntungkan, itu karena fungsi reproduksi di sangga seluruhnya oleh perempuan, menyebabkan berkurangnya untuk berperan secara aktif dalam kegiatan politik. Perempuan ketinggalan dibandingkan laki-laki. Perempuan diidentikkan dengan semua kegiatan yang bersifat domestik.

*Kata kunci budaya, islam, jawa, dan perempuan



a. Perempuan dalam kebudayaan jawa
            Bila dikatakann bahwa sejarah kebudayaan manusia sangat bersifat lelaki, maka itu merupakan kecenderungan  umum yang tidak menafikan kasus yang menyimpang. Hal ini perlu ditegaskan karena disamping mungkin terdapat kasus-kasus semacam itu, juga karena kelelakian sejarah bukanlah suatu keniscayaan sekaligus sangat kuat dan melimpah kasus seperti kebudayaan Minangkabau yang matrilineal itu misalnya barang kali matrialinialitas masyarakat Minang tidaklah seberapa berpengaruh terhadap ciptaan kebudayaan mereka secara keseluruhan yang tetap maskulin namun yang penting disini adalah bahwa perbedaan dapat dibuat sekalipun hanya dalam wilayah konsep.
   Perbedaan yang “hanya” pada wilayah konsep ini menjadi penting bila dibandingkan dengan kebudayaan jawa. Misalnya yang selara konsep pun menganggap lelaki lebih tinggi dari pada perempuan penulis sejarah kebudayaan jawa yang seperti halnya kebudayaan dari kebenaran terhadap ditebalkan terhadap nilai-nilai resmi yang diluhurkan kebudayaan lain.
         Seperti kebudayaan jawa juga menempatkan perempuan sebagai the scond sex yang bahkan tercemar dalam ungkapan proverbial yang sangat menganggukkan laki-laki. Ungkapan swarga nunut neraka katut, yang berarti bahwa kebahagiaan atas pendirian. Istri hanya tergantung pada suaminya adalah entah dimana perempuan dianggap tidak berkepentingan dalam kehidupan. Situasi kebudayaan dengan semangat yang tercermin dalam ungkapan itu sangat dominan hingga penggantian abad ke20 ini. Sejarah menunjukkan bahwa hal itu harus berakhir karena datangnya kebudayaan modern. Ketika anak-anak muda jawa yang terpelajar sedang tidak tahan lagi dengan keadaan pada waktu itu, dan mereka mendirikan Budi Oetomo, maka yang terjadi semacam pemberontakan semacam pemberontakan kebudayaan. Pemberontakan ini amat penting dalam sejarah Indonesia, karena ia menjadi tanda bangkitnya nasionalisme (Indonesia) dan sekaligus mundurnya kebudayaan jawa. Cara berfikir modern yang melihat hubungan antara manusia secara berbeda dengan yang diajarkan kondisi mereka,
         Hal yang menarik dari pemberontakan ini adalah bahwa sebelumnya telah terjadi pemberontakan serupa dengan skala jauh lebih kecil yang dilakukan sendiri oleh orang gadis yang berpikiran maju pada zamannya persis dari dalam salahsatu banteng  kebudayaan jawa pada saat itu, kamar pengantin dalam kebudayaan jepang. pemberontakan oleh gadis karena bermakna Kartini itu menjadi manusia kedua dalam kebudayaan disini, Kartini merupakan seorang perempuan yang pemberontak terhadap dominasi lelaki, namun kebetulan bahwa semua itu karena ia berpikiran maju dan rasional, maksudnya siapapun orangnya, asalkan ia berfikir rasional yang melihat hubungan lelaki dan perempuan Serut itu, tentu akan terdorong untuk mengubahnya, mereka tidak kebetulan pula jika Kartini menjadi perintis Indonesia yang pertama.

b. Wanita jawa
Konsep paternalistic yang ada secara formal hadir dalam hal pembagian peran antara laki-laki dan perempuan serta bagaimana kultur yang telah berlaku dan menjadi sebuah budaya. Ada beberapa konsepsi paternalistic yang berkembang di dalam masyarakat jawa bahwa istri adalah konco wiking.
            Terjemahan bebasnya asal mulanya wanita menjadi konco wiking tertera  dalam kitab suci, ketika tuhan menciptakan manusia pertama, yang diciptakan dahulu adalah laki-laki sesudah itu baru  wanita yang diambil dari rusuk Adam sebelah kiri. Intinya wanita derajatnya lebih rendah dari laki-laki dalam kultur jawa memang terdapat beberapa adapt kebiasaan yang bersifat samara-samar dan mengutamakan niatan paternal.
  1. Aturan pembagian harta perolehan bersama (gono gini) pada saat perceraian, dalam hal ini suami mendapat 2  bagian sedang istri mendapat 1 bagian
  2. Aturan tentang pembagian harta warisan. Dengan konsep sepikul segendongan maka anak laki-laki masing-masing mendapat dua buah sedang wanita mendapat 1 bagian
  3. Ada yang dinamakan “pancer wali” tentang perwalian nominal atas anak

Wanita oleh saudara laki-laki dari pihak bapak berkaitan dengan posisi dan kedudukan laki-laki dan wanita pada budaya jawa berlaku pula prinsip hormat yang harus diterapkan dalam pergaulan masyarakat termasuk dalam hubungan suami isteri.[2]
Dilihat dari kacamata masa kini wanita dalam karya sastra tradisional hanyalah didudukan pelampiasan nafsu seksual belum adegan-adegan erotiknya yang ada pada karya sastra jawa kuno dan jawa baru klasik juga banyak  menonjolkan wanita untuk mendudukkan wanita fungsi seksual belaka. Bukan hanya didalam sastra saja adegan-adegan erotik itu muncul, bahkan didalam mistik yang tinggi bertebaran juga adegan-adegan erotik yang sangat blak-blakan, terlalnya lagi didalam serat ghatoloco seorang guru mistik yang bernama ghatoloco (artinya alat untuk mengosek) berdebat dengan ajaran tasawuf dengan murid wanitanya yang pernama perjiwah (perji kemaluan) di alam berbagai genre sastra, naratif dan tasawuf, wanita selalu didahulukan pada fungsi seksualnya. Didalam genre sastra piwulang keadaannya sedikit berbeda gubahan mangkunegara IV sama sekali tidak menyinggung masalah wanita.[3]
Seperti juga karakter sek, karekteristik antar jawa sangat identik dengan kultur jawa, seperti betutur kata halus, tenang. Diam/kalem dan sebagai berikut. Adapun perbedaan yang ada itu merupakan salah satu manifestasi dari pada kebudayaan yang khas [ada masa itu dan perbedaan dengan kaum ialah bergandengan dengan kodratnya hidup yang khusus merupakan hidup kewanitaan.
Fungsi wanita dalam keluarga adalah sebagai ibu. Wanita sebagai pemangku turunan  pertama kalinya berkewajiban menunaikan tugas yang paling mulia. Demikian mulianya kedudukan dan tugas wanita sebagai ibu. Oleh karena seorang ibu mempunyai tubas-tugas yang tidak kalah pentingnya dengan tugas laki-laki. Memang berat bahwa sementara kalangan dalam masyarakat tidak jarang menyatakan secara siris bahwa seorang wanita yang tidak jauh sebagai orang yang fungsinya :
  1. Macak (bersolek, berdandan, berhias)
  2. Manak (beranak)
  3. Masak (memasak)[4]

c. Wanita Dalam Islam
Bilamana kita meneliti beberapa ayat al-Quran dan juga di dalam hadist maka wanita itu dijadikan dari jenis laki-laki. Untuk kawan hidup laki-laki diantaranya surat an Nisa’ ayat 1.
Sesungguhnya orang perempuan itu dijadikan dari tulang rusuk, hendaklah kamu beri nasehat pada orang-orang perempuan itu dengan baik baik karena sesungguhnya orang perempuan itu dijadikan dari tulang rusuk itu ialah paling atas
Kalau ada orang atau agama yang beranggapan bahwa wanita itu dijadikan  dari tulang (rusuk) laki-laki mereka al-Quran tidak membenarkan anggapan itu, dikatakan bahwa laki-laki dan perempuan dijadikan tuhan dari satu dzat hingga dengan demikian kentaralah kedudukan wanita sederajat dengan laki-laki mulai dari titik tolaknya.[5]
            Kehormatan manusia dan banyak lagi statement yang sifatnya (meyudutkan) terhadap islam. Kedua pandangan tersebut menurutnya dilatarbelakangi oleh ketidak pahaman mereka terhadap hakekat ajaran islam akan tetapi dengan sengaja mereka mencampur adukan antara kebenaran dan kebatinan.
            Islam menempatkan wanita pada posisi yang mulia, dan agama ini menyapa kaum wanita dengan kelembutan. Kelembutan islam dan pandanganya yang positif  terhadap wanita dapat dilihat bagaimana ia memandang wanita dari sudut spiritual, sosial ekonomi dan politik.
            Tuhan memandang kedudukan wanita peranan sama dengan pria dalam hak dan tanggung jawab. Islam memandang peranan wanita di masyarakat yang paling suci dan esensial adalah sebagai seorang istri dan seorang ibu tidak dapat digantikan oleh siapapun namun islam tidak melarang wanita mencari nafkah sendiri, jika dibutuhkan, asal yang sesuai dengan harkat kewanitaanya.
            Petunjuk islam menyangkut wanita diatas seakan-akan mempersilahkan wanita untuk menjadi modern dengan melakukan aktifitas-aktifitas sebagaimana manusia lain pada umumnya. Namun kepada mereka diandalkan harus menjaga harga dirinya, akhlaknya, martabat kewanitanya, dan yang paling fundamental adalah kehambaanya kepada Allah[6]
Kebudayaan jawa menempatkan perempuan sebagai the scond sex. Dalam hal pembagian peran antara laki-laki dan perempuan serta bagaimana kultur yang telah berlalu dan menjadi budaya. Ada sebuah konsepsi peternalistik yang berkembang dalam masyarakat jawa bahwa istri adalah konco wingking. Namun dalam islam., semua dipandang sama dimata allah. Mereka dipandang dari iman dan taqwanya. Tidak ada yang membedakan kecuali hal yang bersifat kodrati. Sehinga disini terjadi perbedaan kedudukan budaya islam dan jawa dalam aspek wanita.


Daftar pustaka
1. Fauzie Ridjal, et.al, Dinamika Gerakan Perempuan Di Indonesia, Yogyakarta Tiara Wacana, 1993
2. Cristina S. Handayani, Andrian Novianto, kuasa wanita jawa, Yogyakarta : LKIS 2004
3. Dr. Budi Santoso, Citra wanita dan Kekuasaan (Jawa), yogyakartaKanisius, 1992, hlm 39
4. Hardjito Notopuro, SH, Masalah Wanita, Kedudukan dan Perananya, Jakarta : Bina Cipta, 1977
5. Syahrin Harahap,Islam Dinamis, Yogyakarta : PT Tiara Wacana, 1997, hlm 147


[1] Fauzie Ridjal, Et.Al, Dinamika Gerakan Perempuan Di Indonesia, Yogyakarta : Tiara Wacana, 1993, Hlm 49
[2] Cristina S. Handayani, Andrian Novianto, kuasa wanita jawa, Yogyakarta : LKIS 2004, hlm 113
[3] Dr. Budi Santoso, Citra wanita dan Kekuasaan (Jawa), yogyakarta : Kanisius, 1992, hlm 39
[4] Hardjito Notopuro, SH, Masalah Wanita, Kedudukan dan Perananya, Jakarta : Bina Cipta, 1977, hlm 14-15
[5] Ibid, hlm 3
[6] Syahrin Harahap,Islam Dinamis, Yogyakarta : PT Tiara Wacana, 1997, hlm 147

0 komentar:

Posting Komentar