Abstraksi
Memahami
konsep yang berbeda-beda tentang perempuan dalam berbagai kebudayaan tidak akan
gunanya jika kemudian kita cocokan dengan praktek kebudayaan bersangkutan dalam
memperlakukan perempuan. dengan kata lain kita berasumsi, sekalipun terdapat
berbagi konsep yang perempuan, namun dalam praktek hanya ada satu kenyataan,
yakni perempuan berada dibawah dominasi laki-laki, dan mau tidak mau keadaan
ini telah berarti segalanya bagi perempuan, dalam sejarah kebudayaan manusia,
sejarah manusia, baik hak sakral, yakni diambil dari kitab-kitab suci atau
mitos, maupun yang sekuler yakni disusun secara ilmiah, senantiasa menunjukkan
diri sebagai sejarah tentang kaum laki-laki itulah membangun dunia, dimana terdapat
perempuan didalamnya. Dengan kata lain, laki-laki dan perempuan tidak setara.[1]
Pada abad-abad sebelumnya
perempuan dianggap (oleh laki-laki) sebagai mahluk yang mirip manusia pada
perkembangan selanjutnya, tak bisa disangkal lagi. Kebudayaan kita mengajarkan
kepada kita untuk menempatkan perempuan sebagai manusia sekunder, sejumlah
agama besar yang bersifat kebapakan, menempatkan perempuan dalam posisi yang
kurang menguntungkan, itu karena fungsi reproduksi di sangga seluruhnya oleh
perempuan, menyebabkan berkurangnya untuk berperan secara aktif dalam kegiatan
politik. Perempuan ketinggalan dibandingkan laki-laki. Perempuan diidentikkan
dengan semua kegiatan yang bersifat domestik.
*Kata kunci budaya, islam, jawa,
dan perempuan
a. Perempuan dalam kebudayaan jawa
Bila
dikatakann bahwa sejarah kebudayaan manusia sangat bersifat lelaki, maka itu
merupakan kecenderungan umum yang tidak
menafikan kasus yang menyimpang. Hal ini perlu ditegaskan karena disamping
mungkin terdapat kasus-kasus semacam itu, juga karena kelelakian sejarah
bukanlah suatu keniscayaan sekaligus sangat kuat dan melimpah kasus seperti
kebudayaan Minangkabau yang matrilineal itu misalnya barang kali
matrialinialitas masyarakat Minang tidaklah seberapa berpengaruh terhadap
ciptaan kebudayaan mereka secara keseluruhan yang tetap maskulin namun yang
penting disini adalah bahwa perbedaan dapat dibuat sekalipun hanya dalam
wilayah konsep.
Perbedaan
yang “hanya” pada wilayah konsep ini menjadi penting bila dibandingkan dengan
kebudayaan jawa. Misalnya yang selara konsep pun menganggap lelaki lebih tinggi
dari pada perempuan penulis sejarah kebudayaan jawa yang seperti halnya
kebudayaan dari kebenaran terhadap ditebalkan terhadap nilai-nilai resmi yang
diluhurkan kebudayaan lain.
Seperti kebudayaan jawa
juga menempatkan perempuan sebagai the scond sex yang bahkan tercemar
dalam ungkapan proverbial yang sangat menganggukkan laki-laki. Ungkapan swarga
nunut neraka katut, yang berarti bahwa kebahagiaan atas pendirian. Istri
hanya tergantung pada suaminya adalah entah dimana perempuan dianggap tidak
berkepentingan dalam kehidupan. Situasi kebudayaan dengan semangat yang
tercermin dalam ungkapan itu sangat dominan hingga penggantian abad ke20 ini.
Sejarah menunjukkan bahwa hal itu harus berakhir karena datangnya kebudayaan
modern. Ketika anak-anak muda jawa yang terpelajar sedang tidak tahan lagi
dengan keadaan pada waktu itu, dan mereka mendirikan Budi Oetomo, maka yang
terjadi semacam pemberontakan semacam pemberontakan kebudayaan. Pemberontakan ini
amat penting dalam sejarah Indonesia,
karena ia menjadi tanda bangkitnya nasionalisme (Indonesia) dan sekaligus mundurnya
kebudayaan jawa. Cara berfikir modern yang melihat hubungan antara manusia
secara berbeda dengan yang diajarkan kondisi mereka,
Hal yang menarik dari
pemberontakan ini adalah bahwa sebelumnya telah terjadi pemberontakan serupa
dengan skala jauh lebih kecil yang dilakukan sendiri oleh orang gadis yang
berpikiran maju pada zamannya persis dari dalam salahsatu banteng kebudayaan jawa pada saat itu, kamar
pengantin dalam kebudayaan jepang. pemberontakan oleh gadis karena bermakna
Kartini itu menjadi manusia kedua dalam kebudayaan disini, Kartini merupakan
seorang perempuan yang pemberontak terhadap dominasi lelaki, namun kebetulan
bahwa semua itu karena ia berpikiran maju dan rasional, maksudnya siapapun
orangnya, asalkan ia berfikir rasional yang melihat hubungan lelaki dan
perempuan Serut itu, tentu akan terdorong untuk mengubahnya, mereka tidak
kebetulan pula jika Kartini menjadi perintis Indonesia yang pertama.
b. Wanita jawa
Konsep
paternalistic yang ada secara formal hadir dalam hal pembagian peran antara
laki-laki dan perempuan serta bagaimana kultur yang telah berlaku dan menjadi
sebuah budaya. Ada
beberapa konsepsi paternalistic yang berkembang di dalam masyarakat jawa bahwa
istri adalah konco wiking.
Terjemahan bebasnya asal mulanya
wanita menjadi konco wiking tertera
dalam kitab suci, ketika tuhan menciptakan manusia pertama, yang
diciptakan dahulu adalah laki-laki sesudah itu baru wanita yang diambil dari rusuk Adam sebelah
kiri. Intinya wanita derajatnya lebih rendah dari laki-laki dalam kultur jawa
memang terdapat beberapa adapt kebiasaan yang bersifat samara-samar dan
mengutamakan niatan paternal.
- Aturan pembagian harta perolehan bersama (gono gini) pada saat perceraian, dalam hal ini suami mendapat 2 bagian sedang istri mendapat 1 bagian
- Aturan tentang pembagian harta warisan. Dengan konsep sepikul segendongan maka anak laki-laki masing-masing mendapat dua buah sedang wanita mendapat 1 bagian
- Ada yang dinamakan “pancer wali” tentang perwalian nominal atas anak
Wanita oleh saudara laki-laki dari pihak bapak berkaitan dengan posisi
dan kedudukan laki-laki dan wanita pada budaya jawa berlaku pula prinsip hormat
yang harus diterapkan dalam pergaulan masyarakat termasuk dalam hubungan suami
isteri.[2]
Dilihat dari kacamata masa kini wanita dalam karya sastra tradisional
hanyalah didudukan pelampiasan nafsu seksual belum adegan-adegan erotiknya yang
ada pada karya sastra jawa kuno dan jawa baru klasik juga banyak menonjolkan wanita untuk mendudukkan wanita
fungsi seksual belaka. Bukan hanya didalam sastra saja adegan-adegan erotik itu
muncul, bahkan didalam mistik yang tinggi bertebaran juga adegan-adegan erotik
yang sangat blak-blakan, terlalnya lagi didalam serat ghatoloco seorang
guru mistik yang bernama ghatoloco (artinya alat untuk mengosek)
berdebat dengan ajaran tasawuf dengan murid wanitanya yang pernama perjiwah
(perji kemaluan) di alam berbagai genre sastra, naratif dan tasawuf,
wanita selalu didahulukan pada fungsi seksualnya. Didalam genre sastra
piwulang keadaannya sedikit berbeda gubahan mangkunegara IV sama sekali tidak
menyinggung masalah wanita.[3]
Seperti juga karakter sek, karekteristik antar jawa sangat identik dengan
kultur jawa, seperti betutur kata halus, tenang. Diam/kalem dan sebagai
berikut. Adapun perbedaan yang ada itu merupakan salah satu manifestasi dari
pada kebudayaan yang khas [ada masa itu dan perbedaan dengan kaum ialah
bergandengan dengan kodratnya hidup yang khusus merupakan hidup kewanitaan.
Fungsi wanita dalam keluarga adalah sebagai ibu. Wanita sebagai pemangku
turunan pertama kalinya berkewajiban
menunaikan tugas yang paling mulia. Demikian mulianya kedudukan dan tugas
wanita sebagai ibu. Oleh karena seorang ibu mempunyai tubas-tugas yang tidak
kalah pentingnya dengan tugas laki-laki. Memang berat bahwa sementara kalangan
dalam masyarakat tidak jarang menyatakan secara siris bahwa seorang wanita yang
tidak jauh sebagai orang yang fungsinya :
- Macak (bersolek, berdandan, berhias)
- Manak (beranak)
- Masak (memasak)[4]
c. Wanita Dalam Islam
Bilamana kita meneliti beberapa ayat al-Quran dan juga di dalam hadist
maka wanita itu dijadikan dari jenis laki-laki. Untuk kawan hidup laki-laki
diantaranya surat an Nisa’ ayat 1.
“Sesungguhnya
orang perempuan itu dijadikan dari tulang rusuk, hendaklah kamu beri nasehat
pada orang-orang perempuan itu dengan baik baik karena sesungguhnya orang
perempuan itu dijadikan dari tulang rusuk itu ialah paling atas “
Kalau ada orang atau agama yang beranggapan bahwa wanita itu
dijadikan dari tulang (rusuk) laki-laki
mereka al-Quran tidak membenarkan anggapan itu, dikatakan bahwa laki-laki dan
perempuan dijadikan tuhan dari satu dzat hingga dengan demikian kentaralah
kedudukan wanita sederajat dengan laki-laki mulai dari titik tolaknya.[5]
Kehormatan manusia dan banyak lagi
statement yang sifatnya (meyudutkan) terhadap islam. Kedua pandangan tersebut
menurutnya dilatarbelakangi oleh ketidak pahaman mereka terhadap hakekat ajaran
islam akan tetapi dengan sengaja mereka mencampur adukan antara kebenaran dan
kebatinan.
Islam menempatkan wanita pada posisi
yang mulia, dan agama ini menyapa kaum wanita dengan kelembutan. Kelembutan
islam dan pandanganya yang positif
terhadap wanita dapat dilihat bagaimana ia memandang wanita dari sudut
spiritual, sosial ekonomi dan politik.
Tuhan memandang kedudukan wanita
peranan sama dengan pria dalam hak dan tanggung jawab. Islam memandang peranan
wanita di masyarakat yang paling suci dan esensial adalah sebagai seorang istri
dan seorang ibu tidak dapat digantikan oleh siapapun namun islam tidak melarang
wanita mencari nafkah sendiri, jika dibutuhkan, asal yang sesuai dengan harkat
kewanitaanya.
Petunjuk islam menyangkut wanita
diatas seakan-akan mempersilahkan wanita untuk menjadi modern dengan melakukan
aktifitas-aktifitas sebagaimana manusia lain pada umumnya. Namun kepada mereka
diandalkan harus menjaga harga dirinya, akhlaknya, martabat kewanitanya, dan
yang paling fundamental adalah kehambaanya kepada Allah[6]
Kebudayaan
jawa menempatkan perempuan sebagai the scond sex. Dalam hal pembagian
peran antara laki-laki dan perempuan serta bagaimana kultur yang telah berlalu
dan menjadi budaya. Ada sebuah konsepsi peternalistik yang berkembang dalam masyarakat
jawa bahwa istri adalah konco wingking. Namun dalam islam., semua
dipandang sama dimata allah. Mereka dipandang dari iman dan taqwanya. Tidak ada
yang membedakan kecuali hal yang bersifat kodrati. Sehinga disini terjadi
perbedaan kedudukan budaya islam dan jawa dalam aspek wanita.
Daftar
pustaka
1.
Fauzie Ridjal, et.al, Dinamika Gerakan Perempuan Di Indonesia,
Yogyakarta Tiara Wacana, 1993
2.
Cristina S. Handayani, Andrian Novianto, kuasa wanita jawa, Yogyakarta : LKIS 2004
3.
Dr. Budi Santoso, Citra wanita dan Kekuasaan (Jawa), yogyakartaKanisius,
1992, hlm 39
4.
Hardjito Notopuro, SH, Masalah Wanita, Kedudukan dan Perananya, Jakarta : Bina Cipta, 1977
5.
Syahrin Harahap,Islam Dinamis, Yogyakarta
: PT Tiara Wacana, 1997, hlm 147
[1]
Fauzie Ridjal, Et.Al, Dinamika Gerakan Perempuan Di Indonesia, Yogyakarta
: Tiara Wacana, 1993, Hlm 49
[2]
Cristina S. Handayani, Andrian Novianto, kuasa wanita jawa, Yogyakarta : LKIS 2004, hlm 113
[3]
Dr. Budi Santoso, Citra wanita dan Kekuasaan (Jawa), yogyakarta :
Kanisius, 1992, hlm 39
[4]
Hardjito Notopuro, SH, Masalah Wanita, Kedudukan dan Perananya, Jakarta : Bina Cipta,
1977, hlm 14-15
[5]
Ibid, hlm 3
[6]
Syahrin Harahap,Islam Dinamis, Yogyakarta : PT Tiara Wacana,
1997, hlm 147
0 komentar:
Posting Komentar