Kamis, 07 Juni 2012

Memuliakan Tamu Dalam Perspektif Hadist


I.              Pendahuluan
Memuliakan tamu adalah kewajiban semua muslim bertamu itu merupakan ajaran Islam, kebiasaan para nabi dan orang-orang shalih. Sebagian ulama mewajibkan menghormati tamu tetapi sebagian besar dari mereka berpendapat hanya merupakan bagian dari akhlaq yang terpuji.
Lalu bagaimanakah kita harus menyambut tamu seperti yang di ajarkan oleh nabi kita muhammad SAW. Mari kita diskusikan bersama.

II.            Latar belakang
Sudah dijelaskan di atas bahwa memuliakan tamu adalah kewajiban bagi kaum muslim, namun kenyataannya banyak orang islam tidak menghormati tamu yang datang ke rumahnya, faktor egois atau yang lainnya mempengaruhi. Padahal Nabi sendiri tidak mengajarkan itu, malah nabi mengajarkan kita untuk menghormati  dan memuliakan tamu yang berkunjung kepada kita karena itu adalah hal yang dapat mempererat persatuan ummat. Oleh karena itu mari kita belajar dari nabi untuk memuliakan tamu.

III.           Rumusan masalah
1.    Hadist tentang memuliakan tamu
2.    Makna yang terkandung
3.    Kualitas hadist
4.    Asbabul wurud hadist
5.    Korelasi dengan ayat al-Quran
6.    Korelasi dengan masa sekarang

IV.          Pembahasan
1. Hadist tentang memuliakan tamu
عن أبي هريرة رضي الله عنه أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال : من كان يؤمن بالله واليوم الاخر فليقل خيراً أو ليصمت , ومن كان يومن بالله واليوم الاخر فليكرم جاره , ومن كان يؤمن بالله واليوم الاخر فليكرم ضيفه
Dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu, sesungguhnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam telah bersabda : “Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, maka hendaklah ia berkata baik atau diam, barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, maka hendaklah ia memuliakan tetangga dan barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, maka hendaklah ia memuliakan tamunya. H.R Bukhari no. 6018, Muslim no. 47
dalam hadist lain dijelaskan oleh imam Tirmidzi yang artinya
“ sesungguhnya para malaikat tetap mendoakan seseorang selama hidangan makanannya masih terhampar ( yakni untuk tamunya ). HR Tirmidzi.
2. Makna yang terkandung
Kalimat “barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhirat”, maksudnya adalah barang siapa beriman dengan keimanan yang sempurna, yang (keimanan nya itu) menyelamatkan nya dari adzab Allah dan membawanya mendapatkan ridha Allah, “maka hendaklah ia berkata baik atau diam” karena orang yang beriman kepada Allah dengan sebenar-benarnya tentu dia takut kepada ancaman-Nya, mengharapkan pahala-Nya, bersungguh-sungguh melaksanakan perintah dan meninggalkan larangan-Nya. Yang terpenting dari semuanya itu ialah mengendalikan gerak-gerik seluruh anggota badan nya karena kelak dia akan dimintai tanggung jawab atas perbuatan semua anggota badannya, sebagaimana tersebut pada firman Allah :
 وَلَا تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُولَئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْئُولًا ﴿36﴾
“Sesungguhnya pendengaran, penglihatan, dan hati semuanya kelak pasti akan dimintai tanggung jawabnya”. (QS. Al Isra’ : 36)
Sebagian ulama berkata: “Seluruh adab yang baik itu bersumber pada empat Hadits, antara lain adalah Hadits “barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, maka hendaklah ia berkata baik atau diam”. Sebagian ulama memaknakan Hadits ini dengan pengertian; “Apabila seseorang ingin berkata, maka jika yang ia katakan itu baik lagi benar, dia diberi pahala. Oleh karena itu, ia mengatakan hal yang baik itu. Jika tidak, hendaklah dia menahan diri, baik perkataan itu hukumnya haram, makruh, atau mubah”. Dalam hal ini maka perkataan yang mubah diperintahkan untuk ditinggalkan atau dianjurkan untuk dijauhi Karena takut terjerumus kepada yang haram atau makruh dan seringkali hal semacam inilah yang banyak terjadi pada manusia.
Kalimat “hendaklah ia memuliakan tetangganya…………maka hendaklah ia memuliakan tamunya” , menyatakan adanya hak tetangga dan tamu, keharusan berlaku baik kepada mereka dan menjauhi perilaku yang tidak baik terhadap mereka. Allah telah menetapkan di dalam Al Qur’an keharusan berbuat baik kepada tetangga dan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda :
“Jibril selalu menasehati diriku tentang urusan tetangga, sampai-sampai aku beranggapan bahwa tetangga itu dapat mewarisi harta tetangganya”.
Pengarang kitab Al Ifshah mengatakan : “Hadits ini mengandung hukum, hendaklah kita berkeyakinan bahwa menghormati tamu itu suatu ibadah yang tidak boleh dikurangi nilai ibadahnya, apakah tamunya itu orang kaya atau yang lain. Juga anjuran untuk menjamu tamunya dengan apa saja yang ada pada dirinya walaupun sedikit. Menghormati tamu itu dilakukan dengan cara segera menyambutnya dengan wajah senang, perkataan yang baik, dan menghidangkan makanan. Hendaklah ia segera memberi pelayanan yang mudah dilakukannya tanpa memaksakan diri”. Pengarang juga menyebutkan perkataan dalam menyambut tamu.[1]
Selanjutnya ia berkata : Adapun sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam “maka hendaklah ia berkata baik atau diam” , menunjukkan bahwa perkatan yang baik itu lebih utama daripada diam, dan diam itu lebih utama daripada berkata buruk. Demikian itu karena Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam dalam sabdanya menggunakan kata-kata “hendaklah untuk berkata benar” di dahulukan dari perkataan “diam”. Berkata baik dalam Hadits ini mencakup menyampaikan ajaran Allah dan rasul-Nya dan memberikan pengajaran kepada kaum muslim, amar ma’ruf dan nahi mungkar berdasarkan ilmu, mendamaikan orang yang berselisih, berkata yang baik kepada orang lain. Dan yang terbaik dari semuanya itu adalah menyampaikan perkataan yang benar di hadapan orang yang ditakuti kekejamannya atau diharapkan pemberiannya.

 3. Kualitas hadist
Mengenai hadist ini, jika ditinjau dari kualitas hadist, sudah tentu bisa dikatakan hadist shohih, karena diriwayatkan oleh imam Bukhori dan imam muslim. Mengapa dapat kami katakan demikian? Karena dikalangan ummat islam sudah sangat familiar dikenal bahwa hadist yang masuk dalam hadist yang diriwayatkan oleh imam bukhori dan imam muslim adalah hadist shohih, karena telah melalui proses penyaringan yang sangat ketat.
Pada hadist yang diriwayatkan oleh imam turmudzi, bisa dikatakan bahwa hadist ini shohih, ditinjau dari segi  bahwa ia adalah perawi pada masa ulama hadist mutaqodimin, yakni setara dengan perawi hadist yang terkenal seperti imam bukhori dan muslim, juga yang lainnya. Selain itu juga ia pernah berguru pada imam tersebut.[2]
Atau bisa juga disebut hadist hasan, karena pada riwayat lain dikatakan bahwa pada pasal hadist hasan, Disebutkan bahwa sunan al-tirmidzi adalah induknya hadist hasan.[3]
4. Asbabul Wurud Hadist
Ketika Allah melihat salah satu bentuk, dimana Allah Swt memperlihatkan kepada hamba-hamba Nya bahwa Allah melihat semua perbuatan yang terkecil sekalipun. Maka disaat itu datanglah tamu kepada Sang Nabi saw dan Sang Nabi saw tidak bisa menjamunya karena tidak ada makanan. Rasul tanya pada istrinya “punya makanan apa kita untuk menjamu tamu ini?”, istri Nabi saw menjawab “tidak ada, yang ada cuma air”. Maka Rasul berkata “siapa yang mau menjamu tamuku ini?”  Satu orang anshar langsung mengacungkan tangan “aku yang menjamu tamumu ya Rasulullah”. Kemudian sahabat itu membawa tamu rasul itu  ke rumahnya, sampai dirumah mengetuk pintu dengan keras hingga istrinya bangun. “Kenapa suamiku? kau tampak terburu-buru”. akrimiy dhaifa Rasulillah, kita dapat kemuliaan tamunya Rasulullah. Ayoo.. muliakan, keluarkan semua yang kita miliki daripada pangan dan makanan, semua keluarkan. Ini tamu Rasulullah bukan tamu kita, datang kepada Rasul, Rasul saw tidak bisa menyambutnya. Rasul tanya “siapa yang bisa menyambutnya?”, aku buru - buru tunjuk tangan, ini kemuliaan besar bagi kita.” Istrinya berkata “suamiku, makanannya hanya untuk 1 orang. Tidak ada makanan lagi, itu pun untuk anak- anak kita. 2 orang anak- anak kita hanya akan makan makanan untuk 1 orang, kau ini bagaimana menyanggupi undangan tamu Rasul? kau tidak bertanya lebih dulu? apakah kita punya kambing, punya ayam, punya beras, punya roti, jangan main terima sembarangan!” Maka suaminya sudah terlanjur menyanggupi “sudah kalau begitu anak kita tidurkan cepat- cepat, matikan lampu agar anaknya tidur”. “belum makan, suruh tidur jangan suruh makan malam, biar saja”.
Di tidurkan anaknya tanpa makan. Lalu tinggal makanan yang 1 piring untuk 1 orang, “ini bagaimana? tamunya tidak mau makan kalau hanya ditaruh 1 piring kalau shohibul bait (tuan rumah) tidak ikut makan karena cuma 1 piring makanannya”. Suaminya berkata “nanti sebelum kau keluarkan piringnya, lampu ini kau betulkan lalu saat makan tiup agar mati pelitanya, jadi pura- pura lampu mati. Taruh piring, silahkan makan dan kita taruh piring kosong di depan kita, tamu makan kita tidak usah makan tapi seakan “ akan makan dan tidak kelihatan lampunya gelap”.
Maka tamunya tidak tahu cerita lampunya mati, pelitanya rusak, tamunya makan dengan tenangnya, nyenyak dalam tidurnya, pagi-pagi shalat subuh kembali kepada Rasul saw “Alhamdulillah ya Rasulullah aku dijamu dengan makanan dan tidur dengan tenang”. Rasul berkata “Allah semalam sangat ridho kepada shohibul bait (tuan rumah) yang menjamumu itu” (shahih Bukhari).
Allah tersenyum, bukan Allah itu seperti manusia bisa tersenyum tapi maksudnya Allah sangat sayang dan sangat gembira. Dengan perbuatan itu Allah sangat terharu, bukan terharu karena tamunya saja tapi juga karena shohibul bait berucap. akrimiy dhaifa Rasulillahmuliakan tamu Rasulullah. Ini yang membuat Allah terharu, untuk tamunya Rasulullah rela anaknya tidak makan, tidur semalaman dalam keadaan lapar untuk memuliakan tamunya Rasulullah saw.[4]
c. Bandingannya dengan ayat atau hadist lain
      Dalam al-Quran surat Adz-Dzariyat: 24 – 27, Allah telah berfirman
      هَلْ أَتَاكَ حَدِيثُ ضَيْفِ إِبْرَاهِيمَ الْمُكْرَمِينَ ﴿24﴾ إِذْ دَخَلُوا عَلَيْهِ فَقَالُوا سَلَامًا قَالَ سَلَامٌ قَوْمٌ مُنْكَرُونَ ﴿25﴾ فَرَاغَ إِلَى أَهْلِهِ فَجَاءَ بِعِجْلٍ سَمِينٍ ﴿26﴾ فَقَرَّبَهُ إِلَيْهِمْ قَالَ أَلَا تَأْكُلُونَ ﴿27﴾
Sudah sampaikah padamu cerita tentang tamu Ibrahim yang dimuliakan? Ketika mereka masuk ke tempatnya lalu mengucapkan: "Salaman." Ibrahim menjawab: "Salamun, (kalian) adalah orang-orang yang tidak dikenal." Maka dia pergi dengan diam-diam menemui keluarganya lalu dibawanya daging bakar dari anak sapi yang gemuk dan dihidangkannya kepada mereka, Ibrahim berkata: "Tidakkah kalian makan?"   
Syaikh Salim Al-Hilali hafidhahullah menerangkan panjang lebar firman Allah di atas dalam kitabnya Bahjatun Nadhirin. Ia mengatakan: "Ini adalah kisah tentang malaikat-malaikat yang mulia. Mereka mendatangi Ibrahim `alaihis salam untuk menyampaikan berita gembira tentang kelahiran Ishaq dan anaknya Ya`qub. Mereka lantas mengucapkan salam dan Ibrahim pun menjawabnya dengan sebaik-baiknya. Beliau tidak mengenali mereka sebab mereka datang dalam bentuk pemuda tampan, beliau sangka mereka adalah tamu-tamu sehingga beliau berkeinginan menjamu mereka dan memang beliaulah yang pertama kali menjamu tamu. Beliau menyelinap dengan sembunyi-sembunyi dan dengan segera beliau datang dengan membawa daging panggang dari sapi yang gemuk. Itulah makanan terbaik yang dimiliki yang beliau panggang di atas batu panggang. Kemudian beliau mendekatkannya kepada mereka dan mempersilahkan dengan ungkapan yang lembut dan penghormatan yang bagus: ‘Tidakkah kalian makan?’
Dalam ayat-ayat ini terkandung adab menjamu tamu. Beliau (Ibrahim ‘alaihis salam) datang dengan segera membawa makanan tanpa mereka (para tamu) sadari dan tanpa mengharap sebelumnya karena ungkapan (tuan rumah): ‘Kami akan menghidangkan makan’, tetapi dengan cepat dan sembunyi-sembunyi, beliau menjamu tamunya dengan seutama-utama apa yang beliau dapati dari hartanya lalu beliau dekatkan dengan cara yang baik di hadapan mereka. Tidak dengan meletakkannya lalu berkata: "Silahkan mendekat!"  Tidak pula dengan perintah yang memberatkan pendengar dalam sighat jazm, tetapi beliau mengucapkan: "Tidakkah kalian makan?"
Ungkapan ini sama dengan ungkapan kita hari ini: "Bila anda ingin memuliakan, berbuat baik dan bersedekah maka silahkan lakukan." (Bahjatun Nadhirin:2/28 ).    

V.           Kesimpulan
Dalam kesimpulan, kami mencoba menarik sebuah analisa bahwa memuliakan tamu adalah hal yang dianjurkan oleh setiap muslim, ini dapat kita tarik dari asbabul wurud hadist yang telah kami ceritakan, walaupun kita tidak mempunyai apa-apa, namun kita harus tetap memuliakan tamu yang hadir di rumah kita.
Selain itu juga, sandaran kita untuk memuliakan tamu sudah di tentukan pada hadist dan juga al-Quran, dimana kita harus mengikuti itu sebagai pedoman bagi setiap muslim.

VI.          Penutup
Demikian makalah ini kami buat, kritik dan saran yang membangun sangat kami harapkan. Semoga bermanfaat. Amin

VII.         Daftar pustaka
Najieh, Ahmad 323 Hadist Dan Syair Untuk Bekal Dakwah, Jakarta: Pustaka Amani,

Sutarmadi, Akhmad, Dr. H .al Imam al-Tiridzi, Peranannya Dalam Pengembangan Hadist Dan Fiqh, jakarta: logos.1998.

Www.geocities.com/dmgto/mabhats201/tamu.htm - 22k

http/Syarah hadist arba’in an-Nawawihadits ke-15 berkata baik atau lebih baik diam, serta memuliakan tamu


[1]http// syarah hadist arba’in an-nawawi hadits ke-15 berkata baik atau lebih baik diam, serta memuliakan tamu        

[2] Ahmad najieh, 323 hadist dan syair untuk bekal dakwah, jakarta: pustaka amani, hal 107
[3] Dr. h. akhmad sutarmadi, Al Imam Al-Tiridzi, Peranannya Dalam Pengembangan Hadist Dan Fiqh, jakarta: logos.1998. hal 61
[4]www.geocities.com/dmgto/mabhats201/tamu.htm - 22k

2 komentar:

Permisi Numpang Promo
Refiza Souvenir menyediakan paket undangan pernikahan cantik nan elegan, paket yasin untuk souvenir acara pengajian tahlilan dan berbagai macam souvenir tasbih cantik dan elegan untuk oleh-oleh haji dan umroh. cek katalog kami di www.refiza.com

Posting Komentar