Kamis, 07 Juni 2012

Susahnya Jadi Tarzan


Suara adzan sayup-sayup terdengar dari masjid. Subuh sudah menjelma dalam hari. Ku raih sarung dan pecisku bergegas menuju masjid. Kebetulan hari ini aku mendapat tugas piket adzan dari pak Kiyai. Tanpa cuci muka ku kumandangkan lafal-lafal adzan dengan merdunya, setelah itu ku basuh mukaku dengan segarnya air wudhu.
Tak lama kemudian sahabat-sahabatku datang. Wajah yang masih muram menjadi berseri ketika dibasuh dengan air wudhu. Wajah-wajah mereka seperti bersinar memancarkan aura ketenangan.
Hari ini hari Minggu, biasanya setelah selesai sholat subuh, kami mengaji kitab. Tapi hari ini adalah hari libur bagi kami, yah libur dari mengaji dan juga libur sekolah. Kami merencanakan menghabiskan hari ini dengan bersuka cita.
“Mau kemana kita hari ini teman?.” kata Kusnadi
“ Bagaimana kalau kita hari ini memancing belut saja” ucap Hendro
“Wah ide bagus itu” sahut kami bersamaan
Memang desa kami adalah desa pertanian. Sepanjang mata memandang terbentang sawah-sawah yang hijau. Kebetulan waktu tanam padi telah usai. Dan biasanya saat seperti itu belut banyak yang kelaparan. Dan pancing-pancing kami siap untuk menjadikannya mereka mangsa.
Persiapan sudah kami lakukan. Mulai dari pancing sampai umpannya. Alat yang kami gunakan cukup unik. Uniknya kail pancing yang kami gunakan terbuat dari jarum peniti. Dan senar yang kami gunakan dengan senar yang di bentuk sedemikian rupa sehingga membentuk seperti rambut kepangan teman perempuan kami.
Sesampainya di sawah kami langsung mencari lubang-lubang yang ada di sepanjang pematang sawah. Dengan kesabaran kami memasukkan kail kami berharap akan mendapat mangsa. Tiba tiba
“Plek….plek..” suara seperti benda yang dipukul di pematang sawah. Kulihat Kusnadi telah berhasil menangkap seekor belut. Tapi sayang belutnya masih sangat kecil. Tak apalah, yang penting kami mendapatkan mangsa yang nantinya akan kami bakar di tepi sungai.
“Hore,,,,aku dapat” teriak Kusnadi. Dan teriakan itu membuat hatiku panas karena sampai detik ini pun umpan yang aku gunakan tak di embus oleh belut.
“Ah…suntuk ni, cari permainan lain yuk” ujarku
Hendro hanya tersenyum, ia sepertinya sudah mengenal watak ku yang tak bisa bersabar dan selalu cemburu bila seseorang mendapatkan sesuatu sedangkan aku tidak.
“Yah…sabar dong pren,,,,kata pak guru, memancing itu salah satu cara untuk melatih kesabaran kita” Kusnadi mulai menceramahiku. Tapi tak mempan.
Akhirnya kami memutuskan untuk mandi di sungai. Kebetulan tadi malam turun hujan, sehingga sungai menjadi banjir. Dan saat seperti itulah yang dinanti oleh kami. Tanpa komando kami lepaskan pakaian dan langsung menceburkan diri di sungai.
Kami bercanda dengan senangnya, tanpa kami sadari bahwa tindakan kami telah membuat sebuah kesalahan. Kami tidak sadar kalau kami telah menginjak injak tanaman padi milik pak Amir. Sehingga tanaman padi yang baru berumur beberapa hari itu menjadi rusak.
Gimana kalau kita mengikuti arus ini sampai ke bawah” ajak ku kepada teman teman
“ Ok!, siapa yang paling cepat, ia pemenangnya” sahut Hendro
Sontak kami menghanyutkan tubuh kami menuju muara sungai yang letaknya sekitar satu kilo itu. Dengan jerami yang kami gunakan sebagai perahu. Hanyut lepas mengikuti arus sungai yang dalam. Sesekali kami melihat hewan hewan yang berkeliaran di sungai. Aku memegang ranting pohon maja yang ada di tepi sungai. Pohon yang buahnya bulat seperti semangka itu kini sedang berbuah. Kami biasanya menggunakannya sebagai bola saat bermain bola kaki. Tiba tiba Hendro menjerit
“Awas…..”katanya
Aku tak menghiraukan teriakan Hendro. Aku bingung apa yang sedang diteriakinya itu. Kusnadi mengikuti arah yang ditunjuk oleh Hendro.
“Andika, awas di atasmu” jeritnya. Kulihat di atas pohon yang aku pegang. Ternyata seekor ular besar sedang bergelantungan di atasku. Aku terkejut dan melepaskan pegangan ku. Dan akibatnya aku tenggelam dan terbawa arus. Entah sudah seberapa banyak air yang masuk ke dalam perutku. Aku tersedak hingga aku menepi dan memuntahkan semua air yang ada di perut. Tapi anehnya kedua temanku malah tertawa mengejek aku. “Ah dasar teman teman tak setia kawan” pikir ku.
Saat Hendro dan Kusnadi menertawakan ku, di sisi lain kami tidak menyadari bahwa tindakan kami mengacak acak tanaman padi pak Amir akan mendapat balasan. Pak Amir yang marah karena melihat tanamannya rusak karena ulah kami langsung naik darah. Ia mencari siapa gerangan yang merusak tanaman padinya. Namun tidak di temukan karena kami sedang berada di muara sungai. Ia hanya  menemukan pakaian-pakaian kami yang kami tinggalkan di tepi sungai.
“ Dasar anak-anak tidak tahu aturan, biar tahu rasa mereka” marahnya, sambil membawa pulang pakaian kami. Dan saat kami kembali ke tempat pakaian kami, kami kebingungan mencari dimana pakaian kami.
“Kus, tadi kamu taruh dimana bajuku” Tanya Hendro
“Ia Kus, jangan di sembunyikan dong” tambah ku
Kusnadi hanya diam, ia merasa di pojokkan,
“Aku juga tidak tahu” jawabnya
“Alah bohong kamu, tadi kamu kan yang menaruh baju kita”
“Ia, tapi tadi aku taruh di bawah pohon ini, tapi sekarang ko’ ga ada yah” bantahnya.
Kami kebingungan mencari dimana pakaian kami. Ini adalah kejadian pertama selama kami mandi di sungai ini. kami mencari di bawah pohon, di semak semak, sampai di bawah tumpukan jerami. Namun tidak kami temukan.
“ Kalau ga ada pakaian, bagaimana kita pulang” Tanya Hendro
Kami baru sadar kalau kami sekarang benar benar telanjang bulat. Kami kebingungan bagaimana caranya untuk pulang. Dan saat genting itu, Kusnadi, anak yang selama ini kami jadikan bahan pesuruh ternyata memiliki ide yang sangat cemerlang.
“Kita jadi Tarzan aja” ungkapnya
“Apa?” jawab ku singkat
“ Yah,,  kita akan jadi Tarzan. Biarkan alam yang membimbing kita, kita gunakan alam ini untuk memenuhi kebutuhan kita. Seperti tarzan” tegasnya
Kami hanya terpaku. Masih belum terpikir apa yang ingin dilakukan oleh teman kami satu ini. tanpa piker panjang, ia ambil daun daun dan juga semak semak yang ada di tepi sungai. Kemudian ia menarik rumput yang menjalar dan mengikatkannya ke tubuhnya. Hebat !!! pikirku, ia sekarang bukanlah Kusnadi teman kami, namun menjelma menjadi Tarzan. Lalu dengan lantang ia meneriakkan teriakan khas manusia hutan ini
“Auoooooo…..auoooooo….auooooo” teriaknya persis seperti Tarzan di film film kartun. Mau tidak mau kamipun mengikutinya. Menutupi bagian yang paling rahasia dengan daun daun dan mengikatnya dengan rumput jalar. Dan jadilah kami tiga Tarzan. Lalu kami pulang dengan perasaan malu karena sepanjang jalan kami menjadi perhatian warga.

0 komentar:

Posting Komentar