Suara adzan
sayup-sayup terdengar dari masjid. Subuh sudah menjelma dalam hari. Ku raih
sarung dan pecisku bergegas menuju masjid. Kebetulan hari ini aku mendapat
tugas piket adzan dari pak Kiyai. Tanpa cuci muka ku kumandangkan lafal-lafal
adzan dengan merdunya, setelah itu ku basuh mukaku dengan segarnya air wudhu.
Tak lama
kemudian sahabat-sahabatku datang. Wajah yang masih muram menjadi berseri
ketika dibasuh dengan air wudhu. Wajah-wajah mereka seperti bersinar
memancarkan aura ketenangan.
Hari ini hari Minggu, biasanya setelah selesai sholat subuh, kami mengaji kitab. Tapi hari
ini adalah hari libur bagi kami, yah libur dari mengaji dan juga libur sekolah.
Kami merencanakan menghabiskan hari ini dengan bersuka cita.
“Mau kemana kita
hari ini teman?.” kata Kusnadi
“ Bagaimana kalau
kita hari ini memancing belut saja” ucap Hendro
“Wah ide bagus
itu” sahut kami bersamaan
Memang desa kami
adalah desa pertanian. Sepanjang mata memandang terbentang sawah-sawah yang
hijau. Kebetulan waktu tanam padi telah usai. Dan biasanya saat seperti itu
belut banyak yang kelaparan. Dan pancing-pancing kami siap untuk menjadikannya mereka
mangsa.
Persiapan sudah
kami lakukan. Mulai dari pancing sampai umpannya. Alat yang kami gunakan cukup
unik. Uniknya kail pancing yang kami gunakan terbuat dari jarum peniti. Dan
senar yang kami gunakan dengan senar yang di bentuk sedemikian rupa sehingga
membentuk seperti rambut kepangan teman perempuan kami.
Sesampainya di
sawah kami langsung mencari lubang-lubang yang ada di sepanjang pematang sawah.
Dengan kesabaran kami memasukkan kail kami berharap akan mendapat mangsa. Tiba
tiba
“Plek….plek..”
suara seperti benda yang dipukul di pematang sawah. Kulihat Kusnadi telah
berhasil menangkap seekor belut. Tapi sayang belutnya masih sangat kecil. Tak apalah,
yang penting kami mendapatkan mangsa yang nantinya akan kami bakar di tepi
sungai.
“Hore,,,,aku
dapat” teriak Kusnadi. Dan teriakan itu membuat hatiku panas karena sampai
detik ini pun umpan yang aku gunakan tak di embus oleh belut.
“Ah…suntuk ni,
cari permainan lain yuk” ujarku
Hendro hanya
tersenyum, ia sepertinya sudah mengenal watak ku yang tak bisa bersabar dan
selalu cemburu bila seseorang mendapatkan sesuatu sedangkan aku tidak.
“Yah…sabar dong
pren,,,,kata pak guru, memancing itu salah satu cara untuk melatih kesabaran
kita” Kusnadi mulai menceramahiku. Tapi tak mempan.
Akhirnya kami
memutuskan untuk mandi di sungai. Kebetulan tadi malam turun hujan, sehingga
sungai menjadi banjir. Dan saat seperti itulah yang dinanti oleh kami. Tanpa
komando kami lepaskan pakaian dan langsung menceburkan diri di sungai.
Kami bercanda
dengan senangnya, tanpa kami sadari bahwa tindakan kami telah membuat sebuah
kesalahan. Kami tidak sadar kalau kami telah menginjak injak tanaman padi milik
pak Amir. Sehingga tanaman padi yang baru berumur beberapa hari itu menjadi
rusak.
“ Gimana kalau
kita mengikuti arus ini sampai ke bawah” ajak ku kepada teman teman
“ Ok!, siapa
yang paling cepat, ia pemenangnya” sahut Hendro
Sontak kami
menghanyutkan tubuh kami menuju muara sungai yang letaknya sekitar satu kilo
itu. Dengan jerami yang kami gunakan sebagai perahu. Hanyut lepas mengikuti
arus sungai yang dalam. Sesekali kami melihat hewan hewan yang berkeliaran di
sungai. Aku memegang ranting pohon maja yang ada di tepi sungai. Pohon
yang buahnya bulat seperti semangka itu kini sedang berbuah. Kami biasanya
menggunakannya sebagai bola saat bermain bola kaki. Tiba tiba Hendro menjerit
“Awas…..”katanya
Aku tak
menghiraukan teriakan Hendro. Aku bingung apa yang sedang diteriakinya itu.
Kusnadi mengikuti arah yang ditunjuk oleh Hendro.
“Andika, awas di
atasmu” jeritnya. Kulihat di atas pohon yang aku pegang. Ternyata seekor ular
besar sedang bergelantungan di atasku. Aku terkejut dan melepaskan pegangan ku.
Dan akibatnya aku tenggelam dan terbawa arus. Entah sudah seberapa banyak air
yang masuk ke dalam perutku. Aku tersedak hingga aku menepi dan memuntahkan
semua air yang ada di perut. Tapi anehnya kedua temanku malah tertawa mengejek
aku. “Ah dasar teman teman tak setia kawan” pikir ku.
Saat Hendro dan Kusnadi
menertawakan ku, di sisi lain kami tidak menyadari bahwa tindakan kami mengacak
acak tanaman padi pak Amir akan mendapat balasan. Pak Amir yang marah karena
melihat tanamannya rusak karena ulah kami langsung naik darah. Ia mencari siapa
gerangan yang merusak tanaman padinya. Namun tidak di temukan karena kami
sedang berada di muara sungai. Ia hanya
menemukan pakaian-pakaian kami yang kami tinggalkan di tepi sungai.
“ Dasar anak-anak
tidak tahu aturan, biar tahu rasa mereka” marahnya, sambil membawa pulang
pakaian kami. Dan saat kami kembali ke tempat pakaian kami, kami kebingungan
mencari dimana pakaian kami.
“Kus, tadi kamu
taruh dimana bajuku” Tanya Hendro
“Ia Kus, jangan
di sembunyikan dong” tambah ku
Kusnadi hanya
diam, ia merasa di pojokkan,
“Aku juga tidak
tahu” jawabnya
“Alah bohong
kamu, tadi kamu kan yang menaruh baju kita”
“Ia, tapi tadi
aku taruh di bawah pohon ini, tapi sekarang ko’ ga ada yah” bantahnya.
Kami kebingungan
mencari dimana pakaian kami. Ini adalah kejadian pertama selama kami mandi
di sungai ini. kami mencari di bawah pohon, di semak semak, sampai di bawah
tumpukan jerami. Namun tidak kami temukan.
“ Kalau ga ada pakaian, bagaimana kita pulang”
Tanya Hendro
Kami baru sadar
kalau kami sekarang benar benar telanjang bulat. Kami kebingungan bagaimana
caranya untuk pulang. Dan saat genting itu, Kusnadi, anak yang selama ini kami
jadikan bahan pesuruh ternyata memiliki ide yang sangat cemerlang.
“Kita jadi Tarzan
aja” ungkapnya
“Apa?” jawab ku
singkat
“ Yah,, kita akan jadi Tarzan. Biarkan alam yang
membimbing kita, kita gunakan alam ini untuk memenuhi kebutuhan kita. Seperti
tarzan” tegasnya
Kami hanya
terpaku. Masih belum terpikir apa yang ingin dilakukan oleh teman kami satu
ini. tanpa piker panjang, ia ambil daun daun dan juga semak semak yang ada di
tepi sungai. Kemudian ia menarik rumput yang menjalar dan mengikatkannya ke
tubuhnya. Hebat !!! pikirku, ia sekarang bukanlah Kusnadi teman kami, namun
menjelma menjadi Tarzan. Lalu dengan lantang ia meneriakkan teriakan khas
manusia hutan ini
“Auoooooo…..auoooooo….auooooo”
teriaknya persis seperti Tarzan di film film kartun. Mau tidak mau kamipun
mengikutinya. Menutupi bagian yang paling rahasia dengan daun daun dan
mengikatnya dengan rumput jalar. Dan jadilah kami tiga Tarzan. Lalu kami pulang
dengan perasaan malu karena sepanjang jalan kami menjadi perhatian warga.
0 komentar:
Posting Komentar