Selasa, 29 Mei 2012

Virus Mematikan Itu Bernama “Kemiskinan”


Lagi, kemiskinan memainkan peranannya sebagai malaikat “pencabut nyawa”. Sugoro, (65) ditemukan tewas mengenaskan di area pemakaman desa Ponowareng, Tulis, Batang.  Di sebuah dahan pohon kamboja, Sugoro mengakhiri hidupnya dengan cara gantung diri. Ironisnya, Ia adalah seorang penggali makam di area pemakaman tersebut. Ia sudah berpuluh tahun mengadu nasib sebagai penggali makam di desanya itu.
Kasus itu tentu saja menggegerakan masyarakat sekitar. Bagaimana tidak, seorang penggali makam, tewas di makam tempat ia bekerja dengan cara gantung diri. Sontak masyarakat berduyun duyun mendatangi Sugoro yang telah menjadi mayat dan hanya miris melihat kejadian itu.
Usut punya usut, menurut sumber yang didapat, factor yang diduga menjadi penyebab Sugoro mengakhiri hidupnya adalah masalah ekonomi. Belitan hutang di warung tetangganya menjadikan ia nekat gantung diri. Kasus yang menimpa Sugoro bukanlah hal yang aneh dan pertama. Sudah berapa kasus bunuh diri yang dilakukan oleh orang miskin di Indonesia?. Jika dihitung, mungkin lebih dari separuh penduduk negeri ini mati karena dijerat kemiskinan.
 Pilihan Hidup
Seorang teman pernah melucu saat diskusi. Katanya, orang miskin itu hanya punya tiga pilihan dalam hidupnya, yakni kelaparan, hutang, dan bunuh diri. Bahkan ada yang menambahkan pilihan keempat, yang juga bukan pilihan yang enak. Gila. Lelucon yang sebenarnya masuk akal juga, karena dari sekian banyak orang miskin di dunia, pasti akan mengalami keempat hal diatas.
Siapa yang mau memilih empat pilihan itu kecuali orang miskin. Walau sebenarnya merekapun tak mau memilih. Keterpaksaan yang membuat mereka harus melakukannya. Selama hidupnya mereka didera kelaparan. Hutang adalah jalan satu satunya yang wajib dilakukan untuk menyambung nyawa. Mereka tidak bisa bekerja, karena bagi mereka, orang miskin dilarang bekerja. Walaupun ada yang bekerja, gaji yang didapat sangat jauh dari kata cukup. Mengapa gajinya sedikit, karena mereka tidak sekolah. Dan mengapa mereka tidak sekolah, jawabnya kembali lagi karena tidak punya biaya.
Karena kebutuhan hidup semakin meningkat itulah, mereka berhutang. Berhutang merupakan jembatan sementara untuk melawan pilihan kedua,  yakni kelaparan. Dan saat hutang menumpuk dan tidak bisa membayar, disinilah peran pilihan ketiga dan keempat tadi. Kalau tidak bunuh diri, ya menjadi gila.
Banyak orang lebih takut miskin daripada mati, buktinya banyak orang yang memilih bunuh diri daripada hidup menahan lapar dan menanggung hutang yang menggunung. Orang sepertinya menganggap bahwa kematian adalah akhir dari penderitaan akibat kemiskinan yang diderita. Padahal, bunuh diri bukanlah solusi untuk memecahkan masalah, melainkan menambah masalah. Selain meninggalkan beban yang berat kepada keluarga, ia juga akan dituntut oleh pengadilan tertinggi kelak di akherat. Karena bunuh diri adalah hal yang paling dibenci oleh Tuhan.
Selain itu, keluarga yang ditinggalkan, harus menanggung semua beban hutang yang ia tinggalkan. Hutang mungkin bisa dilunasi, tapi rasa malu yang mendalam akan sulit diobati. Psikologi keluarga akan terguncang dan jika tidak kuat, maka akan mengambil langkah yang sama, yakni bunuh diri.
Peran Negara
Dalam UUD 1945 pasal 34 UUD 1945 ayat (1) disebutkan dengan lantang dan jelas bahwa “Fakir miskin dan anak-anak yang terlantar dipelihara oleh Negara”. Selain itu, pada ayat kedua juga menerangkan bahwa “Negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan”.
Sebagai Negara yang memiliki cita-cita luhur dan juga menjadikan UUD 1945 sebagai landasan  Negara, permasalah kemiskinan yang telah diatur didalamnya harus pula diselesaikan. Memang tidak akan mungkin menghilangkan kemiskinan dari bumi pertiwi. Namun upaya untuk menekan angka kemiskinan dengan memperbaiki system harus segera dilaksanakan. Banyak hal yang dapat dilakukan untuk menekan angka kemiskinan di negeri ini. Mulai dari pemberantasan korupsi yang kian merajalela, peningkatan mutu pendidikan, menekan sekuat mungkin impor, pemanfaat SDA dengan tanpa campur tangan asing, pemberdayaan SDM dan banyak hal lain. Kesemuanya itu, bila dilaksanakan dengan baik, maka kemiskinan dapat ditekan.
Kemiskinan memang bukan tujuan hidup seseorang, namun keadaan yang memaksa seseorang untuk bergelut dengannya. Pemberian perhatian dan juga akses yang sama besar kepada mereka, sedikit banyak dapat membantu meninggalkan kemiskinan. Bukan bantuan berupa uang untuk makan yang mereka inginkan, tapi kepastian hidup. Pekerjaan, tempat tinggal, juga pendidikan adalah hal mutlak yang mereka harapkan. Untuk apa memberi mereka uang, bila malah -seperti yang dikatakan Megawati- mendidik mereka untuk jadi pengemis?.
Negara harus dapat mengentaskan kemiskinan mulai dari akarnya. Selain bantuan yang dapat menghasilkan materi, motivasi untuk bangkit dari mental kemiskinan haruslah dilaksanakan. Karena berawal dari mental itu manusia tumbuh. Jika sudah bermental pengemis dan bermental miskin, maka selamanya akan nyaman dengan kemiskinan. Mental seperti itulah yang harus segera diperbaiki dengan menumbuhkan motivasi dan semangat untuk bekerja keras. Jika mental sudah tertata, baru diberikan jalan agar dapat melangkah meninggalkan garis kemiskinan. Sehingga, semoga saja tidak ada kasus seperti Sugoro, dan si Miskin lainnya yang mati karena virus bernama “Kemiskinan”.



0 komentar:

Posting Komentar