Lagi,
kemiskinan memainkan peranannya sebagai malaikat “pencabut nyawa”. Sugoro, (65)
ditemukan tewas mengenaskan di area pemakaman desa Ponowareng, Tulis,
Batang. Di sebuah dahan pohon kamboja, Sugoro
mengakhiri hidupnya dengan cara gantung diri. Ironisnya, Ia adalah seorang
penggali makam di area pemakaman tersebut. Ia sudah berpuluh tahun mengadu
nasib sebagai penggali makam di desanya itu.
Kasus
itu tentu saja menggegerakan masyarakat sekitar. Bagaimana tidak, seorang
penggali makam, tewas di makam tempat ia bekerja dengan cara gantung diri.
Sontak masyarakat berduyun duyun mendatangi Sugoro yang telah menjadi mayat dan
hanya miris melihat kejadian itu.
Usut
punya usut, menurut sumber yang didapat, factor yang diduga menjadi penyebab Sugoro
mengakhiri hidupnya adalah masalah ekonomi. Belitan hutang di warung tetangganya
menjadikan ia nekat gantung diri. Kasus yang menimpa Sugoro bukanlah hal yang
aneh dan pertama. Sudah berapa kasus bunuh diri yang dilakukan oleh orang
miskin di Indonesia?. Jika dihitung, mungkin lebih dari separuh penduduk negeri
ini mati karena dijerat kemiskinan.
Pilihan Hidup
Seorang teman pernah melucu saat
diskusi. Katanya, orang miskin itu hanya punya tiga pilihan dalam hidupnya,
yakni kelaparan, hutang, dan bunuh diri. Bahkan ada yang menambahkan pilihan
keempat, yang juga bukan pilihan yang enak. Gila. Lelucon yang sebenarnya masuk
akal juga, karena dari sekian banyak orang miskin di dunia, pasti akan
mengalami keempat hal diatas.
Siapa yang mau memilih empat pilihan itu
kecuali orang miskin. Walau sebenarnya merekapun tak mau memilih. Keterpaksaan
yang membuat mereka harus melakukannya. Selama hidupnya mereka didera
kelaparan. Hutang adalah jalan satu satunya yang wajib dilakukan untuk
menyambung nyawa. Mereka tidak bisa bekerja, karena bagi mereka, orang miskin
dilarang bekerja. Walaupun ada yang bekerja, gaji yang didapat sangat jauh dari
kata cukup. Mengapa gajinya sedikit, karena mereka tidak sekolah. Dan mengapa
mereka tidak sekolah, jawabnya kembali lagi karena tidak punya biaya.
Karena kebutuhan hidup semakin meningkat
itulah, mereka berhutang. Berhutang merupakan jembatan sementara untuk melawan
pilihan kedua, yakni kelaparan. Dan saat
hutang menumpuk dan tidak bisa membayar, disinilah peran pilihan ketiga dan
keempat tadi. Kalau tidak bunuh diri, ya menjadi gila.
Banyak orang lebih takut miskin daripada
mati, buktinya banyak orang yang memilih bunuh diri daripada hidup menahan
lapar dan menanggung hutang yang menggunung. Orang sepertinya menganggap bahwa
kematian adalah akhir dari penderitaan akibat kemiskinan yang diderita. Padahal,
bunuh diri bukanlah solusi untuk memecahkan masalah, melainkan menambah
masalah. Selain meninggalkan beban yang berat kepada keluarga, ia juga akan
dituntut oleh pengadilan tertinggi kelak di akherat. Karena bunuh diri adalah
hal yang paling dibenci oleh Tuhan.
Selain itu, keluarga yang ditinggalkan,
harus menanggung semua beban hutang yang ia tinggalkan. Hutang mungkin bisa
dilunasi, tapi rasa malu yang mendalam akan sulit diobati. Psikologi keluarga
akan terguncang dan jika tidak kuat, maka akan mengambil langkah yang sama,
yakni bunuh diri.
Peran Negara
Dalam UUD 1945 pasal
34 UUD 1945 ayat (1) disebutkan dengan lantang dan jelas bahwa “Fakir miskin
dan anak-anak yang terlantar dipelihara oleh Negara”. Selain itu, pada ayat
kedua juga menerangkan bahwa “Negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi
seluruh rakyat dan memberdayakan
masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan”.
Sebagai Negara yang memiliki
cita-cita luhur dan juga menjadikan UUD 1945 sebagai landasan Negara, permasalah kemiskinan yang telah
diatur didalamnya harus pula diselesaikan. Memang tidak akan mungkin
menghilangkan kemiskinan dari bumi pertiwi. Namun upaya untuk menekan angka
kemiskinan dengan memperbaiki system harus segera dilaksanakan. Banyak hal yang
dapat dilakukan untuk menekan angka kemiskinan di negeri ini. Mulai dari pemberantasan
korupsi yang kian merajalela, peningkatan mutu pendidikan, menekan sekuat
mungkin impor, pemanfaat SDA dengan tanpa campur tangan asing, pemberdayaan SDM
dan banyak hal lain. Kesemuanya itu, bila dilaksanakan dengan baik, maka
kemiskinan dapat ditekan.
Kemiskinan memang bukan tujuan hidup
seseorang, namun keadaan yang memaksa seseorang untuk bergelut dengannya.
Pemberian perhatian dan juga akses yang sama besar kepada mereka, sedikit
banyak dapat membantu meninggalkan kemiskinan. Bukan bantuan berupa uang untuk
makan yang mereka inginkan, tapi kepastian hidup. Pekerjaan, tempat tinggal,
juga pendidikan adalah hal mutlak yang mereka harapkan. Untuk apa memberi
mereka uang, bila malah -seperti yang dikatakan Megawati- mendidik mereka untuk
jadi pengemis?.
Negara harus dapat mengentaskan
kemiskinan mulai dari akarnya. Selain bantuan yang dapat menghasilkan materi,
motivasi untuk bangkit dari mental kemiskinan haruslah dilaksanakan. Karena
berawal dari mental itu manusia tumbuh. Jika sudah bermental pengemis dan
bermental miskin, maka selamanya akan nyaman dengan kemiskinan. Mental seperti
itulah yang harus segera diperbaiki dengan menumbuhkan motivasi dan semangat untuk
bekerja keras. Jika mental sudah tertata, baru diberikan jalan agar dapat
melangkah meninggalkan garis kemiskinan. Sehingga, semoga saja tidak ada kasus
seperti Sugoro, dan si Miskin lainnya yang mati karena virus bernama
“Kemiskinan”.
0 komentar:
Posting Komentar