I.
PENDAHULUAN
Suami dan istri apabila telah menikah, maka antara keduanya
memiliki hak dan kewajiban masing-masing dan dalam pemenuhannya haruslah
seimbang antara suami dan isteri.
Namun dalam pelaksanaannya, banyak
sekali ketimpangan yang terjadi dalam pemenuhan hak dan kewajiban antara suami
dan isteri, dimana budaya patriarkhi yang masih mendominasi dunia
membuat kesetaraan dalam pemenuhan hak dan kewajiban antara suami dan istri
belum dapat terpenuhi dalam arti yang seimbang. Masih tetap saja terjadi
ketidakseimbangan antara keduanya.
Bukan menjadi rahasia umum, jika
dalam rumah tangga, seorang istri diperlakukan tidak seimbang dalam hak nya.
Dan sebaliknya banyak kaum perempuan yang sangat tersiksa karena harus menaati
kewajibannya yang merupakan hak suami. Hal ini dimungkinkan kesalahan dalam
memahami dan terlanjur budaya telah membentuk maind set itu,
sehingga pemenuhan akan hak isteri kurang diperhatikan.
Dari sinilah penulis mengambil judul
tersebut, dan menurut hemat penulis hal tersebut adalah hal yang sangat krusial
dimana saat ini banyak perempuan yang tidak hanya berada di wilayah domestik
seperti hanya mengurus rumah tangga, namun zaman sekarang sudah banyak perempuan
yang turut berkecimpung di wilayah publik.
II.
BATASAN PERMASALAHAN
Karena keterbatasan waktu dan tenaga, maka penulis membatasi
permasalahan yang akan di bahas adalah:
a.
Kesalahan dalam pemahaman ayat maupun hadist
b.
Hak dan kewajiban suami isteri
c.
Hak dan kewajiban suami isteri ditinjau dari segi hukum
islam, hukum perundangan di Indonesia
dan hukum adat
d.
Kaitannya dengan isteri karier
III.
Pembahasan
a. Kesalahan dalam pemahaman ayat dan hadist
Adapun hak dan kewajiban adalah bagaikan dua sisi mata
uang yang keberadaannya tidak bisa dipisahkan, ketika ada hak, maka disana ada
kewajiban, begitu pula sebaliknya. Dalam pengertiannya dalam pernikahan, hak
dan kewajiban suami istri adalah sesuatu yang keberadaannya harus terpenuhi
secara seimbang dan selaras, karena untuk mencapai keluarga yang sakinah, mawaddah, warahmah adalah
ketika hak dan kewajiban suami isteri tersebut dapat terpenuhi.
Kebanyakan dalam kejadian selama ini, ketidak
terpenuhinya hak dan kewajiban antara suami dan isteri, dan lebih cenderung
kepada isteri, mungkin dikarenakan kurangnya pemahaman dalam ayat maupun hadist
tentang hak dan kewajiban suami isteri. Seperti misalnya dalam memahami surat an-nisa ayat 34 yang berbunyi:
الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ بِمَا
فَضَّلَ اللَّهُ بَعْضَهُمْ عَلَى بَعْضٍ وَبِمَا أَنْفَقُوا مِنْ أَمْوَالِهِمْ
فَالصَّالِحَاتُ قَانِتَاتٌ حَافِظَاتٌ لِلْغَيْبِ بِمَا حَفِظَ اللَّهُ
وَاللَّاتِي تَخَافُونَ نُشُوزَهُنَّ فَعِظُوهُنَّ وَاهْجُرُوهُنَّ فِي
الْمَضَاجِعِ وَاضْرِبُوهُنَّ فَإِنْ أَطَعْنَكُمْ فَلَا تَبْغُوا عَلَيْهِنَّ
سَبِيلًا إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلِيًّا كَبِيرًا
Artinya:”Kaum laki-laki itu
adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian
mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka
(laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Sebab itu maka wanita
yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya
tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka). Wanita-wanita yang kamu
khawatirkan nusyuznya, maka nasihatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat
tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka menaatimu, maka
janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha
Tinggi lagi Maha Besar. (QS. An Nisa: 34)
Selain itu
juga,kesalahan dalam pemahaman hadist nabi yang artinya:Nabi Muhammad SAW
pernah bersabda: “Jika aku boleh memerintahkan seseorang untuk menyembah
yang lain, aku akan memerintahkan istri untuk menyembah suaminya.” (HR.
Bukhari dan Muslim)
Semuanya
ditafsirkan hanya tekstual saja, Padahal dalam ayat yang terkandung dalam ayat
dan hadist tersebut memaknai adanya hak-hak isteri, seperti :
والرجل راع اهله وهو مسؤل عن رعيته
Artinya:
“Laki-laki menjadi pemimpin bagi keluarganya dan dia bertanggung jawab atas apa
yang dipimpinnya” (HR bukhari muslim)
والمرأة
راعية فى بيت زوجهاومسؤلة عن رعيتها
Artinya: perempuan
adalah pemimpin di dalam rumah tangga suaminya dan dia bertanggung jawab
terhadap apa yang dipimpinnya” HR bukhori.
Dan
diakui dalam memahami makna tersdebut kurang pas dan hanya dilakukan secara
tekstual, padahal
b. Hak dan Kewajiban Suami Isteri
Hak dan kewajiban suami isteri terbagi menjadi 3 yaitu:
1.
Hak bersama suami isteri, yang meliputi:
-
Halal saling bergaul dan mengadakan hubungan kenikmatan
seksual
-
Haram melakukan perkawinan yang masih ada hubungan
darah yang sangat dekat
-
Hak saling mendapat waris akibat dari perkawinan nya
yang sah
-
Sahnya menasabkan anak kepada suami yang jadi teman
setempat tidur.
-
Berlaku dengan baik
2.
Hak isteri terhadap suaminya
-
Hak atas kebendaan yang meliputi mahar (maskawin),
barang bawaan, belanja (nafkah).
-
Hak yang bukan kebendaan meliputi hak untuk diperlakukan
dengan baik, menjaganya dengan baik, suami mendatangi istrinya, berseggama di tempat
yang tertutup, membaca doa ketika bersenggama, diharamkan membicarakan masalah
persenggamaan, ‘azl dan pembatasan kelahiran.
3.
Hak suami
-
Tidak memasukkan laki-laki lain kerumah nya
-
Bakti isteri terhadap suaminya
-
Menempatkan isteri
di rumah suami
-
Menghukum isteri karena menyeleweng
-
Isteri berhias untuk suaminya.[1]
Namun kesemuanya itu adalah menurut ulama fiqh yang masih
bersifat global, sedangkan di Indonesia
sendiri sudah ada UU yang mengatur tentang perkawinan tersebut, dan didalamnya
mengatur hak dan kewajiban suami isteri. Adapun hak dan kewajiban suami isteri
yang telah termuat dalam KHI adalah dimulai dari pasal 77-84 KHI. Adapun yang paling saya soroti dalam pasal-pasal
tersebut adalah:
-
Pasal 77 ayat 1 (suami isteri memikul kewajiban yang luhur untuk menegakkan
rumah tangga yang sakinah mawaddah warahmah yang menjadi sendi dasar dalam
susunan masyarakat.
-
Suami isteri wajib saling cinta mencintai, hormat
menghormati, dan memberi bantuan lahir dan batin yang satu kepada yang lainnya
-
Suami isteri memikul kewajiban untuk mengasuh anak dan
memelihara anak-anak mereka, baik mengenai
pertumbuhan jasmani, rohani, maupun kecerdasan dan pendidikan agamanya.
-
Suami isteri wajib memelihara kehormatannya
-
Jika suami isteri melalaikan kewajibannya, masing-masing
dapat mengajukan gugatan kepada pengadilan
Dan
disebutkan juga dalam pasal 79 tentang hak dan kedudukan isteri adalah seimbang
dengan hak dan kewajiban suami dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup
bersama dalam masyarakat.[2]
c.
Hak Dan Kewajiban Suami Isteri Ditinjau Dari Segi
Undang-Undang, Adat Dan Agama Islam
1.
Hak dan kewajiban suami isteri dalam perundangan
Dalam UU no 1 tahun 1974, yakni undang-undang perkawinan
nasional menyebutkan bahwa “suami isteri memikul kewajiban yang luhur untuk
menegakkan rumah tangga yang menjadi sendi dasar dari susunan masyarakat (pasal
30). Hak dan kedudukan suami isteri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan
suami dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bersama dalam
masyarakat. Masing-masing pihak mempunyai hak untuk melakukan perbuatan hukum,
suami adalah kepala rumah tangga dan isteri adalah ibu rumah tangga (pasal 31
(1-3). Selanjutnya diterangkan dalam pasal 33 yakni suami dan isteri wajib
saling cinta mencintai, hormat menghormati, setia dan memberi bantuan lahir
batin yang satu kepada yang lain.
Suami wajib melindungi istrinya, dan memberikan segala
sesuatu keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya. Isteri wajib
mengatur rumah tangga sebaik-baiknya. Jika suami isteri melalaikan
kewajibannya, masing-masing dapat mengajukan gugatan kepada pengadilan (pasal
34 (1-3)[3]
2.
Hak Dan Kewajiban Suami Isteri Ditinjau Dari Hukum
Adat
Sedangkan hak dan kewajiban suami isteri dilihat dari
hukum adat, dapat diambil analisa bahwa hukum adat hanya berlaku didaerah yang
sangat kental akan adat budayanya. Dan tidak dapat dipakai di adat lainnya,
jadi hukum adat adalah hukum yang diwariskan turun temurun dari nenek moyang.
Adapun contoh perkawinan dalam hukum adat adalah perkawinan semanda, perkawinan
bebas, perkawinan belarian dll. Dalam hal hak dan kewajiban dalam perkawinan dengan
hukum adat ini , dimungkinkan ketidakseimbangan dalam pemenuhannya. Contoh yang riel adalah seorang isteri yang hanya disuruh
menunggu ladang dan pemenuhan atas hak nya sama sekali tidak diperhatikan,
terjadi di lampung . mengapa isteri diperlakukan seperti itu?, karena dalam
adat suku lampung asli, wanita itu dibeli untuk dijadikan isteri, sehingga
terkesan setelah menjadi isteri wanita itu bisa diperlakukan semau suami.
Apalagi jika si isteri tersebut tidak membawa “sesan” (serah-serahan), mka akan
semakin parah diperlakukan seenaknya oleh suaminya.[4]
Namun hukum adat dewasa ini kebanyakan sudah berkembang
dan menyesuaikan diri dengan keadaan zaman. Ia tidak melarang lagi wanita bebas
keluar rumah, baik suami maupun isteri berhak untuk melakukan perbuatan hukum.[5]
3. Hak Dan Kewajiban Suami Isteri Ditinjau Dari
Agama (Islam)
Menurut hukum islam, suami dan isteri dalam membina
rumah tangga harus berlaku dengan cara yang baik (ma’ruf) sebagaimana firman
allah yang artinya:” dan bergaullah dengan mereka (para isteri) dengan cara yang
baik). Selanjutnya dikatakan pula dalam al-Qur’an bahwa (pria adalah pemimpin
bagi wanita) dan wanita (isteri) itu mempunyai hak yang seimbang dengan
kewajibannya menurut cara yang ma’ruf, tetapi suami mempunyai satu tingkatan
kelebihan dari istrinya Qs II ayat 228 yang berbunyi:[6]
وَالْمُطَلَّقَاتُ يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ
ثَلَاثَةَ قُرُوءٍ وَلَا يَحِلُّ لَهُنَّ أَنْ يَكْتُمْنَ مَا خَلَقَ اللَّهُ فِي
أَرْحَامِهِنَّ إِنْ كُنَّ يُؤْمِنَّ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآَخِرِ
وَبُعُولَتُهُنَّ أَحَقُّ بِرَدِّهِنَّ فِي ذَلِكَ إِنْ أَرَادُوا إِصْلَاحًا
وَلَهُنَّ مِثْلُ الَّذِي عَلَيْهِنَّ بِالْمَعْرُوفِ وَلِلرِّجَالِ عَلَيْهِنَّ
دَرَجَةٌ وَاللَّهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ
d.
Kasus Wanita Karier
Dalam perkawinan, terutama zaman sekarang, tidak sedikit
wanita yang menikah dan dia mempunyai
pekerjaan, baik sebelum ia menikah maupun setelah ia menikah. Dan biasanya,
menurut kebanyakan pendapat masyarakat perempuan yang menikah harus mengurusi
suaminya dan rumah tangganya, aksinya
hanya sebatas di dapur, kamar, dan mengurus anak. Itu adalah pandangan yang
salah dan merupakan kebudayaan yang harus dibenahi bersama, karena didalam
undang-undang dan hukum agama islam pun tidak menyebutkan bahwa seorang
perempuan harus mendapatkan perlakuan yang tidak seimbang dengan suami. Dan
banyak hal yang mendukung hal itu, seperti pendapat 4 mazhab dan mazhab zahiri
mengatakan bahwa isteri pada hakikatnya
tidak punya kewajiban untuk berkhidmat kepada suaminya. Dan pendapat itu
didukung oleh dalil yang kuat[7]
Perkawinan dalam
Islam, sebagaimana diketahui, merupakan sebuah kontrak antara dua pasang yang
setara. Seorang perempuan sebagai pihak yang sederajad dengan laki-laki dapat
menetapkan syarat-syarat yang diinginkan sebagaimana juga laki-laki. Sehingga
dalam sebuah perkawinan antara laki-laki dan perempuan tidak terdapat kondisi
yang mendominasi dan didominasi. Semua pihak setara dan sederajad untuk saling
bekerja sama dalam sebuah ikatan cinta dan kasih sayang (mawaddah wa rahmah).
Hak-hak perkawinan (Marital Right) merupakan salah
satu indikator penting bagi status perempuan dalam masyarakat. Persamaan hak
dalam perkawinan menunjukkan kesetaraan dan kesejajaran antara pihak laki-laki
(suami) dan perempuan (istri). Akan tetapi jika dalam sebuah keluarga terjadi
ketidakadilan dalam soal hak, dan kebanyakan perempuan yang menjadi korbannya,
maka perlu dipikirkan dan dicari jalan keluar dalam mengatasi hal tersebut
Dalam Sabda Rasulullah saw. di Haji Wada', "Ketahuilah,
bahwa kalian mempunyai hak-hak atas wanita-wanita (istri-istri)
kalian, dan sesungguhnya
wanita-wanita (istri-istri) kalian mempunyai hak-hak
atas kalian." (Diriwayatkan para pemilik Sunan dan At-Tirmidzi men-shahih-kan hadits ini).
Pada prinsipnya perkawinan dalam Islam membawa norma-norma
yang mendukung terciptanya suasana damai, sejahtera, adil dan setara dalam
keluarga. Akan tetapi karena pengaruh interpretasi ajaran yang kurang betul,
maka terjadi beberapa rumusan ajaran Islam yang tidak membela kepentingan –
bahkan menyudutkan – perempuan. Dan berikut ini akan penulis uraikan hak-hak
perempuan dalam perkawinan dari hasil pembacaan penulis terhadap nas-nas
al-Qur’an dan al-Hadis yang penulis dekati dengan pendekataan kesetaraan hak
laki-laki dan perempuan.[8]
Dalam keluarga yang suami dan istri keduanya sama-sama
menanggung beban mencari nafkah guna mencukupi kebutuhan keluarga, adalah tidak
adil jika hanya wanita saja yang harus mengurus semua pekerjaan rumah. Jika
wanita berusaha meningkatkan amal salehnya, maka terdapat kesempatan serupa
bagi kaum pria untuk meningkatkan partisipasinya lebih banyak lewat pekerjaan
rumah dan mengasuh anak. Di samping itu sistem penilaian al-Qur’an terhadap
amal saleh tidak memandang apakah laki-laki atau perempuan yang melakukannya :
“ Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh baik ia laki-laki atau perempuan
sedang ia orang beriman, maka mereka itu masuk surga ( Q.S. 4 4: 124)[9]
Dari keterangan diatas dapat diketahui bahwa urusan
publik(karier) bukan semata-mata untuk suami, namun isteri juga dapat
menempatinya. Jadi jelaslah bahwa keseimbangan hak dan kewajiban suami isteri
itu seimbang dan sederajat, karena allah sendiri telah berfirman bahwa yang
membedakan seseorang dihadapan allah adalah iman dan takwanya.[10]
IV.
KESIMPULAN
Dari paparan diatas, dapat saya ambil kesimpulan, bahwasanya
pemenuhan hak dan kewajiban suami isteri
itu haruslah seimbang dan selaras, karna keduanya merupakan sama-sama makhluk
allah, yang hanya dibedakan dari iman dan takwanya.
Selain itu, dalam undang-undang perkawinan, dan hukum agama
islam, mengatakan bahwa kesederajatan antara suami dan isteri, yang berbeda
adalah menurut hukum adat. Namun sudah banyak hukum adat yang menyesuaikan
dengan zaman.
Mengenai isteri yang menjadi wanita karier, menurut makalah
diatas diperbolehkan, asal ia tidak melupakan hak dan kewajibannya yang harus
ditunaikan. Selain dari itu wanita karier diperbolehkan dalam al-quran dan
undang-undang hukum perkawinan nasional.
V.
PENUTUP
Demikian makalah ini penulis buat, apabila ada kesalahan
penulis meminta saran dan kritiknya yang membangun demi kelancaran bersama. Dan
semoga makalah ini dapat membawa kemanfaatan. Amin.
VI.
DAFTAR PUSTAKA
Sayyid sabiq, Fikih
Sunnah 7,Bandung PT.Alma’rif .2006
Kompilasi Hukum Islam,
Hukum Perkawinan, Hukum Kewarasan, Hukum Perwakafan. fokusmedia Bandung,2005.
Prof.H.Hilman Hadikusuma,
Hukum Perkawinan Di Indonesia
Menurut Perundangan, Hukum Adat Dan Hukum Islam,cv.mandar maju.bandung
1990.
http://islamfeminis.wordpress.com/
Cahyadi
takariawan dkk, Keakhwatan 3 bersama tarbiyah mempersiapkan tegaknya rumah
tangga islami,intermedia,solo.2004
Asghar
Ali Engineer, Hak-Hak Perempaun dalam Islam, terjemahan Farid Wajidi, Bandung, LSPPA, 1994
[1] Sayyid
sabiq, Fikih Sunnah 7,Bandung PT.Alma’rif ,hal.52
[2] Kompilasi
Hukum Islam, Hukum Perkawinan, Hukum Kewarisan, Hukum Perwakafan. Bandung Fokusmedia,2005.hal.28-31
[3]
Prof.H.Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Di Indonesia Menurut Perundangan,
Hukum Adat Dan Hukum Islam,cv.Mandar Maju.Bandung 1990.hal.110-111
[4] Cerita
masyarakat asli lampung yang penulis ketahui,selain itu ditinjau dap
pendapat Bang Rudi, mahasiswa
Pascasarjana IAIN Walisongo Semarang yang merupakan suku asli Lampung.
[5]
Prof.H.Hilman Hadikusuma Ibid hal.113
[6] Ibid
hal.115
[7] http://islamfeminis.wordpress.com/
[8] Asghar
Ali Engineer, Hak-Hak Perempaun dalam Islam, terjemahan Farid Wajidi, Bandung, LSPPA, 1994. hal
78
[9] Cahyadi
takariawan dkk, Keakhwatan 3 bersama tarbiyah mempersiapkan tegaknya rumah
tangga islami,intermedia,solo.2004. hal.54
[10] Ibid
hal 80
2 komentar:
Info yang menarik jangan lupa follow back me
Terimakasih mas Hasbi atas kunjungannya,,,pastinya dong,,hehehe
Posting Komentar