Jangan Bercerai-Berai Karena Perbedaan

Perbedaan memang tidak mungkin tidak terjadi, selama manusia terus berfikir. Maka perbedaan tersebut dapat menjadi sebuah rahmat, apabila dengan perbedaan tersebut, akan menumbuhkan rasa saling hormat-menghormati dan menghargai. Namun perbedaan akan menjadi adzab, apabila dalam diri kita tertanam sebuah virus bernama fanatic sempit.

Pelajaran Dari Romo Carolus

Charles Patrick Edwards Burrows,OMI adalah nama kecil sang peraih penghargaan tersebut. Ia adalah seorang Pastor di Paroki St Stephanus Cilacap. Setelah kedatangannya di Indonesia pada tahun 1973, ia tertarik untuk mengabdikan diri kepada masyarakat di Kampung Laut Kabupaten Cilacap.

Rintihku

Aku menatap dalam lara Kembali menitikkan air mata Ia tak berdosa Namun aku tega menjatuhkannya Butir putih itu Menghujam deras menghancurkan hidupku Remuk sudah hati menatap cahya Mu Yang terang, namun dihatiku kau gelap Tertutup nafsuku, egoisku, dan dosaku.

Tapak-Tapak Suci, Sebuah Kisah Perjalanan Pemuda Desa

“ Bukalah surat ini ketika kau berada di antara dua pulau, saat kau terombang ambing di tengah lautan, dan saat itu kau akan merasakan betapa aku menyayangimu”..

La Tahzan, Saudaraku!

La Tahzan, Saudaraku. Kecelakaan yang menimpa saudara kita penumpang Shukoi Superjet 100 memang sangatlah tragis. Kita semua bersedih. Namun jangan kita terlarut dalam kesedihan. Yakin bahwa Allah Tuhan Yang Maha Esa telah merencanakan hal dibalik itu semua.

Rabu, 20 Februari 2013

Selamatkan Industri Batik Dalam Negeri!

Kota batik di Pekalongan,
Bukan Jogja eh Bukan Solo..


Salah satu bait dari lagu Slank Berjudul “SBY (Sosial Betawi Yoi)” ini menggambarkan Pekalongan sebagai Icon batik di Nusantara. Bukan hanya Pekalongan, kota lain seperti Solo, Yogya, Cirebon, Indramayu, Garut, Pekalongan, Tasikmalaya, Ciamis, Lasem, Madura, Jambi,Tuban, Banyumas, Palembang, Trenggalek, dan kota lainnya juga tempat industry batik. Untuk alas an itulah, tidak salah jika Batik terkenal salah satu kebudayaan asli Indonesia. Hal ini lebih dikuatkan dengan ditetapkan oleh UNESCO (United nations educational, scientific and cultural organization) bahwa batik sebagai Warisan Budaya milik Indonesia pada tanggal 2 Oktober 2009.

Untuk melestarikan batik sebagai budaya bangsa, masyarakat berduyun-duyun membeli dan memakai batik. Kesan batik yang kuno, kini mulai terkikis dengan seringnya batik digunakan oleh masyarakat. Tidak hanya dalam acara resmi seperti pernikahan atau acara sacral lainnya, batik kini menjadi fashion dan trend di Nusantara.

Meningkatnya kesadaran masyarakat akan pelestarian Batik sebagai budaya bangsa, tentu menjadi angin segar bagi pengrajin batik. Secara signifikan, omzet mereka dipastikan meningkat. Permintaan pasar akan produk batik pasti melonjak. Dan hal ini akan berimbas pada peningkatan pendapatan masyarakat terutama pengrajin dan pembisnis batik.

Namun, industry batik yang seharusnya maju, harus dihadapkan dengan permasalahan pelik yang selalu saja mencekik produk dalam negeri. Permasalahan yang sejak dulu menjadi musuh bagi pengusaha dan pengrajin kelas menengah kecil, impor. Sudah sejak lama komoditas asli negeri ini, harus kalah saing dengan barang impor.

Kini, batik yang menghadapi permasalahan itu. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) yang dikutip detikFinance, Rabu (20/2/2013), tercatat sebanyak 1.037 ton produk batik yang masuk dari China ke Indonesia dengan nilai US$ 30 juta, atau sekitar Rp 285 miliar sepanjang 2012 lalu. Impor terbesar adalah untuk jenis kain tenun dicetak batik yaitu sebanyak 677,4 ton dengan nilai US$ 23,3 juta, dan kain tenun yang dicetak dengan proses batik sebanyak 199,2 ton dengan nilai US$ 1,8 juta pada 2012 lalu.

lagi, impor dari negeri tirai bambu menjamur di negeri ini. Setelah barang elektronik, buah-buahan, aneka mainan anak-anak, kini merambah ke dunia tekstil. Pepatah bahwa tidak ada barang di negeri ini yang lolos dari gempuran produk China sepertinya bukan gurauan. Buktinya, produk impor dari China begitu merajai di Indonesia dan membunuh pengusaha dan pengrajin kelas menengah ke bawah. Akibatnya, tidak ada kata lain selain gulung tikar.

Dari data yang dikutip detik.com, masuknya impor produk batik ini terbesar terjadi pada Juli 2012 yaitu sebanyak 106,7 ton dengan nilai US$ 3,6 juta, dan pada Desember 2012 sebanyak 87,4 ton dengan nilai US$ 3 juta. Selain jenis kain batik, ada juga beberapa bentuk barang jadi seperti jaket, blazer, celana, baju untuk perempuan dan laki-laki, serta sapu tangan, syal, scarve, dan dasi dari proses batik.

Tentu masuknya impor batik dari China ini harus segera di evaluasi. Pemerintah dengan regulasi yang mengatur tentang ekspor impor harus segera bertindak. Tujuannya hanya untuk melindungi dan menyelamatkan pengusaha dan pengrajin dalam negeri. Jangan sampai, karena kalah modal, banyak pengusaha dan pengrajin gulung tikar. Akibat terburuknya, batik hanya akan tinggal sejarah karena tidak ada orang lagi yang berminat membuat batik atau memproduksinya.

Bukan rahasia lagi, jika barang impor dari China tak kalah kualitasnya dari barang local. Selain itu, harga yang ditawarkan batik impor dari China cukup mengerikan. Harga batik China jauh lebih murah bila dibandingkan dengan batik produksi lokal Pekalongan. Selisih harga antara keduanya bisa mencapai Rp 20-30 ribu/helai.

Masyarakat menengah ke bawah, tentu akan mengejar produk-produk impor dari China tersebut, dibanding membeli buatan asli Indonesia. Selain harganya relative murah, kualitasnya pun dapat dipastikan tidak kalah saing dengan produk lokal. Bahkan ada beberapa barang yang kualitasnya lebih bagus daripada batik local.

Sudah saatnya pemerintah mengambil sikap. Jika dibiarkan berlarut, barang-barang tekstil dari China membanjiri Nusantara. Hal ini akan berakibat fatal terhadap kelangsungan produksi batik dalam negeri. Jangan sampai, tragedy pengrajin mainan Indonesia yang harus berhenti berproduksi hanya karena kalah saing dengan produk mainan dari China terjadi juga terhadap produksi batik. Kita tidak menginginkan, industry batik kelas menengah kebawah kolep, kemudian banyak karyawan yang harus diberhentikan. Akibatnya, angka pengangguran negeri ini semakin bertambah.

Tentu ada cara yang dapat dilakukan untuk menyelamatkan batik dari kehancuran akibat impor dari China tersebut. Seperti pembatasan impor, pengenaan bea cukai yang tinggi, sampai pelarangan impor demi memajukan industry perbatikan dalam negeri. Atau dengan memberikan bantuan agar usaha batik menengah ke bawah mampu bersaing dalam pertarungan pasar global.

Rasanya aneh, jika kita mengaku bangga dengan batik sebagai warisan budaya nusantara, namun membeli batik buatan China hanya karena pertimbangan harga. Selain itu, tidak lucu juga apabila para pengrajin batik dan pengusaha batik kelas menengah ke bawah, harus bangkrut ditengah kemajuan batik dalam negeri. Maraknya peminat batik, seharusnya menjadi ajang bagi pengrajin batik dan pengusaha batik tanah air untuk meningkatkan taraf hidupnya yang lebih baik. Selain itu, batik yang telah menjadi budaya khas Indonesia, harus dijaga kemurniannya, jangan sampai orang mengira, bahwa batik adalah hasil budaya China. Mari bersama-sama kita selamatkan batik dalam negeri, sebagai perjuangan mempertahankan budaya luhur bangsa ini.

Kamis, 14 Februari 2013

Happy Valentine Days, Putri

Happy Valentine Putri,

Hari ini,14 Februari 2013
Ingin ku ungkapkan sesuatu yang mesti kau tahu
Tentang perasaanku padamu..

Hari ini,
Meski ku tak dapat memberikanmu sebatang Coklat yang manis
Juga sekuntum bunga mawar merah
nan elok merekah
Namun sayangku padamu tak pernah berkurang... 

Meski raga kita jauh,
Langit dan bumi jadi saksi
Betapa mereka iri melihat kemesraan kita berdua

Cinta kita bukan seperti sebatang coklat,
Yang manis hanya sesaat,
Lalu hilang tak berasa.

Juga bukan sekuntum mawar,
Yang suatu saat akan layu
Kemudian gugur tak berharga

Cinta kita bukan angin, 
Bukan langit,
Bukan Bumi,
Apalagi api,
Cinta kita adalah cinta sejati
Tak ada yang serupa dengannya.

Aku mencintaimu,
Saat ini, dan sampai kapanpun!

Hingga nyawa ini pergi,
Saat itu pun, aku tetap mencintaimu...
Akan ku pegang erat tanganmu,
Dan bisikkan kata mesra untukmu,
Bahwa aku akan menantimu
di Surga..

Happy Valentine kasih,
Dunia tahu bahwa aku mencintaimu
Itu sudah..

Semarang, 14 Februari 2013.
Untuk putriku yang jauh disana
Yang tak dapat merayakan Valentine bersamaku...









Selasa, 12 Februari 2013

Ironi Pecinan Semarang

Judul                     : Pecinan Semarang dan Dar-Der-Dor Kota
Penulis                 : Tubagus P.Svarajati
Penerbit               : Suka Buku
Tahun Terbit         : Oktober 2012
Tebal Halaman    : 250 Halaman
Harga                   : -
Resentator          : Kenthip Pujakesuma

Berbicara tentang keindahan wisata budaya di Semarang, pasti akan berbicara tentang daerah Pecinan. Sebuah kawasan di Semarang ini, kerap dijadikan objek wisata para pelancong untuk menyaksikan keindahan serta keunikan budaya di sana.

Di kawasan Pecinan, kita dapat menikmati aneka jajanan khas penduduk Tionghoa pada tiga hari di akhir pekan. Selain itu di tahun baru Imlek, kawasan ini ramai dipadati pengunjung. Sebuah acara bernama Pasar Imlek Semawis di gelar. Dalam acara Pasar Imlek Semawis itu, akan ditontonkan beraneka ragam kesenian khas masyarakat Tionghoa, makanan khas, aneka kerajinan pecah belah, kaligrafi dan tari barongsai dan juga tari naga.

Namun, dari keramaian dan kemegahan itu, ada sebuah ironi yang bergelayut di sana. Keindahan dan kemegahan yang ditampilkan bukan untuk menunjukkan bahwa inilah kawasan Pecinan, kota dengan sejuta sejarah. Tubagus P.Svarajati, adalah sesosok yang berani menguak ironi demi ironi tentang permasalahan yang dihadapi Pecinan Semarang.

Melalui buku berjudul “Pecinan Semarang dan Dar-Der-Dor kota” ini, Tubagus P.Svarajati mencoba menguak persoalan yang dihadapi Pecinan Semarang dalam bahasa kolom yang indah. Dalam buku ini, Tubagus mencoba  untuk menggiring kita ke dalam sebuah permasalahan dengan cara pandang yang berbeda. Melihat dari hal-hal yang kecil yang tak tampak oleh mata, mengenai hal mikro dari permasalahan makro yang dihadapi oleh masyarakat Pecinan Semarang.

Banyak hal yang disoroti oleh Tubagus dalam buku ini. Mengenai pelaksanaan kampong semawis misalnya, Tubagus menilai bahwa bukan revitalisasi yang terjadi seperti yang digaungkan oleh pegiat kampong semawis, melainkan hanya sebuah klangenan. Mereka seakan bergiat, padahal tidak berinteraksi atau mengakar kepada kebutuhan masyarakat yang hendak dilayani.  Adanya  konsep turisme di wilayah Pecinan menurut Tubagus, seharusnya berdampak pada kehidupan social masyarakatnya, bukan malah menjadikan mereka sebagai penonton.

Menurut Tubagus, premis “memajukan atau menghidupkan” (revitalisasi?) lagi kawasan Pecinan tidak berguna manakala dalam praktik malah kontraproduktif. Oleh karena itu, Kopi Semawis wajib melakukan riset komprehensif atas wilayah Pecinan sebelum menggelembungkan ide “revitalisasi”. (hlm 77).

Sejak Reformasi 1998 bergulir, kawasan Pecinan dijadikan sebagai salah satu lokasi wisata di Semarang. Namun Pecinan dirasa hanya dijadikan sebagai sumber komoditas (barang dagangan) untuk mengeruk keuntungan financial bagi segelintir elite yang terlibat. Sementara kekumuhan, kemiskinan, kesemerawutan serta soal kemacetan tak pernah diperhatikan.

Di titik-titik itulah tubagus menggugat. Melalui 48 esay yang terkumpul dalam buku ini, Tubagus mencoba untuk memberikan kritikan bahwa sebenarnya, ia tidak begitu setuju Pecinan dijadikan wilayah turisme. Ia ingin mengembalikan Pecinan sebagai tempat eksotis yang selama ini seakan-akan sekedar menjadi objek tatapan (object of the gaze) dari kalangan turis. Tubagus ingin mengembalikan anggapan bahwa Pecinan tidak boleh dipandang sebagai identitas yang bersifat statis. Ia berharap bahwa kawasan Pecinan harus berubah sesuai dinamika kehidupan yang ada.

Tidak hanya di bidang social dan tata kota saja yang menjadi bidikan Tubagus dalam buku setebal 250 halaman ini. Di bidang seni misalnya, Tubagus memandang seni bukan sekedar sebagai luapan estetika untuk membuktikan keahlian manusia mempraktikkan rasa keindahan. Ia menanggap bahwa kesenian sebagai kekuatan yang harus terlibat secara social. Untuk itu, ia selalu menggembar gemborkan tentang kehadiran mural untuk memperindah kota. Terutama diwilayah Pecinan, Tubagus sangat menekankan adanya kesenian mural sebagai tanda yang menunjukkan autentitas masyarakat Pecinan.

Di lain sisi, Tubagus sangat mengkritik keras upaya berkesenian yang sekedar menjiplak atau bergenit ria mengintimidasi kota lain yang memiliki akademi seni. Ia berkeinginan untuk menampik mitos yang telah dianggap mapan, bahwa Semarang adalah “kuburan bagi kesenian dan seniman”. Ia mengharapkan, bahwa Semarang dapat bangkit dan menjadi Kota yang memiliki nilai kesenian tinggi seperti masa lalu.

Sejarah keemasan kesenian Semarang, Ia sajikan dengan menuliskan kisah tiga orang tokoh seniman yang berasal dari Semarang, yakni Jongki Tio, Kok Poo, dan A.S Kurnia. Mereka yang dianggap Tubagus sebagai orang yang berjasa terhadap kesenian yang ada di Semarang. Namun, namanya kini tak pernah terdengar disebut lagi oleh generasi muda saat ini.

Secara keseluruhan, buku karya Tubagus P.Svarajati ini begitu mempesona. Kritik yang ia sampaikan tidak hanya kritik kosong tanpa solusi. Meski kadang, ia termasuk orang yang cenderung “pemarah” dalam menyampaikan kritiknya tersebut. Namun, secara keseluruhan, membaca tulisan-tulisan Tubagus, membuat kita enjoy dan begitu menikmati alur demi alur yang disajikan.

Terlepas dari kekurangan Tubagus, kumpulan esay yang dikumpulkan menjadi buku hebat ini, Tubagus membuat kita sadar tentang berbagai permasalahan yang terjadi di depan mata kita, juga solusi untuk mengembangkan kawasan Pecinan khususnya, dan Semarang pada umumnya untuk menjadi lebih baik. Benar yang dikatakan Gunawan Budi Susanto dalam endorsement buku ini, bahwa jika ada pertanyaan siapa yang mesti diajak bicara, sebagai pemangku kepentingan, tentang penanganan suatu kawasan dari segenap aspek di Kota Semarang, terutama kawasan Pecinan, jawabannya adalah Tubagus P.Svarajati!.

Kamis, 07 Februari 2013

Agama dalam Dekapan Politik Busuk

Menarik jika membaca sebuah tulisan Ahmad Syafii Maarif dalam Rubrik Opini di Surat Kabar Harian Kompas (6/2/13). Tulisan berjudul “Politik dan Uang” tersebut begitu menggelitik. Pendiri Maarif Institute tersebut dengan gamblang menyoroti kasus perpolitikan negeri ini. Titik permasalahannya sekali lagi tak lepas dari permasalahan yang kini masih saja menjadi momok negeri ini. Korupsi!.

Tulisan ini dimulai Syafii dengan menggambarkan tentang perdebatan panjang kurun waktu 1930 an antara kaum santri nasionalis dan nasionalis non santri. Perdebatan tersebut tidak lain tentang permasalahan politik itu kotor atau tidak.

Dalam perdebatan tersebut, kaum non santri menegaskan bahwa politik itu sampai kapanpun tetap kotor, sehingga agama yang suci jangan sampai terkontaminasi dengan membawanya kedalam kotornya politik tersebut. Sementara itu, kaum santri mengganggap, justru karena politik itu kotor, maka harus dibersihkan dengan kesucian agama.

Dari pandangan kedua belah pihak, sebenarnya keduanya mengakui bahwa politik itu benar-benar kotor. Perbedaannya adalah, kaum non santri ingin memisahkan agama agar tidak bercampur dengan kotornya politik. Di sisi lain, kaum santri bersikukuh bahwa agar politik itu tidak menjadi kotor, maka politik jangan sampai dipisahkan dari agama.

Kekhawatiran itu Benar Terjadi

Ada kesamaan perdebatan kaum santri dan non santri yang terjadi sekitar 1930 an itu, dengan kasus yang terjadi saat ini. Kasus di Gunturkannya Presiden Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Luthfi Hasan Ishaaq oleh KPK dalam kasus impor daging sapi dapat menjadi alas an mengapa kaum non santri menginginkan politik dipisahkan dari agama.

Bukan rahasia lagi, jika Partai Keadilan Sejahtera (PKS) adalah salah satu partai yang dengan berani mengatakan partai beridiologi islam. “Bersih, agamais dan professional” yang menjadi slogan partai dakwah ini dipertanyakan kebenarannya setelah presiden mereka menjadi tersangka dalam kasus Impor daging sapi.

Tidak hanya PKS yang menjadi sorotan dalam kasus ini, mau tidak mau, Islam pun menjadi “tersangka”. Serangan kaum lain yang selama ini selalu menjelek-jelekkan Islam akan terdengar begitu nyaring. Dengan kejadian ini, mereka akan semakin tertawa dan mengejek Islam. Seolah menemukan momennya, kasus tersebut membuka ruang untuk mereka untuk menyebarkan kebenciannya.

Disinilah mengapa gagasan Nur Kholis Madjid tentang “Islam Yes, Partai Islam No” patut dipertimbangkan.  Pemikiran yang kemudian dikenal dengan sebutan “Sekularisasi” ini, seharusnya menjadi acuan dalam perpolitikan Indonesia saat ini. Membedakan antara mana ranah agama dengan partai politik, tentu hal yang harus segera dilakukan. Hal ini untuk menghindari terseretnya kesucian agama lebih masuk ke dalam busuknya politik dewasa ini.

Gagasan Cak Nur tersebut sepertinya mendesak dilakukan saat ini. Dikala cita-cita luhur para kaum santri yang dahulu mencoba membersikan kebusukan politik, dengan mengikutkan agama dalam perpolitikan Nasional, sudah berubah haluan. Mereka para tokoh santri terdahulu yang terjun ke dunia politik, dengan kokoh menjaga martabat dirinya agar tidak terkontaminasi dengan kotornya politik. Namun sekarang, sebagian tokoh santri yang juga mencoba meneruskan cita-cita luhur itu, justru bangga berkubang dalam luapan lumpur kotor politik.

Agama yang notabene adalah suci, harus ikut terlibat dalam kotor dan busuknya oknum yang bergelut di dunia politik. Serangan massif media massa, semakin membuat agama yang “di dzolimi” itu tercoreng. Ungkapan “Kiainya saja korupsi, bagaimana santrinya?” atau “Presiden partai yang katanya partai Dakwah saja di Gunturkan, bagaimana pengikutnya?” dan yang lebih parah lagi “Apakah agama mereka tidak mengajarkan pelajaran moral, bahwa mencuri uang rakyat itu termasuk perbuatan dosa?”.

Ungkapan dan pertanyaan itu mau tidak mau akan membuat kita penganut agama menjadi malu. Agama yang berarti “A” tidak dan “Gama” yang berarti rusak, malah dibuat tameng untuk menimbulkan kerusakan. Hal ini harus segera ditindak lanjuti, demi kesucian dan keluhuran agama.

Tentukan Jenis Kelamin

Tidak semua partai dengan symbol agama atau yang dengan tegas menyatakan bahwa landasan idiologis partainya adalah agama, kemudian tersandung masalah moral. Sejarah perpolitikan Indonesia mencatat, dua partai besar berlandaskan agama yang sukses menjadikan agama sebagai landasan dan ajaran moral yang wajib dipedomani dalam mengawal perilaku politik anggotanya. Sebut saja Masyumi dan Partai Katolik. Meski keduanya memiliki landasan agama yang berbeda, namun para tokohnya sangat ketat mengawal moralitas anggotanya.

Para tokoh kedua partai moralis tersebut percaya, bahwa tanpa moralitas yang baik, politik pasti merusak (deskruktif). Lalu bagaimana dengan kondisi yang sekarang terjadi dalam perpolitikan kita?. Pertanyaan yang cerdas. Dalam kondisi politik yang sudah rusak ini, sudah selayaknya kita mencoba melakukan apa yang kaum non santri pada era 1930-an dan juga tentang mandat Cak Nur dengan memisahkan keterlibatan agama dalam politik.

Sudah saatnya partai politik juga para politisi di Negeri ini menentukan jenis kelamin mereka. Jika masih ingin mengaku sebagai partai atau politisi yang beridiologi agama, maka harus membuktikannya dengan memberikan manfaat kepada orang banyak. Karena sebaik-baiknya manusia, adalah yang dapat bermanfaat bagi orang lain. Namun, jika memang tidak dapat melakukan hal tersebut, sudah buang saja simbol-simbol agama yang selama ini dipaksakan melekat. Jangan kepalang tanggung, langsung saja berendam dan menyelam dalam samudra politik yang kotor dan busuk itu. Bergabung dengan para politisi lain yang “seiman”.

Sumber Kompas edisi Rabu 6/2/2013 dan berbagai sumber terkait.

Rabu, 30 Januari 2013

Di Tepi Danau Ini, Aku Duduk dan Menangis

Aku merindukanmu
Di tepi danau ini, aku duduk dan menangis

Pancaran cahya mentari pagi ini,
Tak jua menghangatkan tubuhku
Batu kecil di dasar danau ini,
Adalah bulir air mata kerinduanku
Yang telah mengeras

Mencintamu adalah siksa bagiku,
Meski siksa itu terasa indah,
Sungguh,
Percayalah,
Siksa itu sangatlah indah!

Aku rela terluka
Menahan rindu yang selama ini menyayat dada
Karena aku memang pantas
Mendapatkan siksa,
Demi cintamu

Aku merindukanmu
Di tepi danau ini, aku duduk dan menangis

Saat kau datang dengan cinta ini,
Tak sedikitpun aku melihat sisi gelap darinya
Cintamu telah menuntunku lalui kegelapan
Cintamu telah menyelamatkanku
Dan membawaku kembali ke mimpiku

Aku ingin menjadi orang bijak
Bijak karena mencintaimu
Aku tak ingin menjadi orang yang bodoh
Bodoh karena aku mengira
Bisa memahami cintamu

Seberapapun aku berusaha
Aku tak dapat memahaminya
Yang ku bisa
Hanya merasakannya….

Sungguh,
Betapa kuat dan besar cinta
Yang kau berikan padaku….
Sekali lagi,
Aku merindukanmu kasih,

Di tepi danau ini, aku duduk dan menangis



*(Semarang, 30 Januari 2013)
Nyanyian rindu yang teramat sangat, teruntuk kekasihku....
Bersama angin, sambutlah kerinduanku ini.....

Minggu, 27 Januari 2013

Kisah Burung Camar

Inilah kisahku sebagai seekor burung Camar
Terbang ditengah derunya angin
Berkelana mengintai dunia
Arungi luas samudera
Tak bertepi,

Kudapati seonggok tubuh di tengah gelombang samudra
Ku ikuti kemana ia akan berlabuh
Terombang-ambing bak seonggok kotoran tak berharga
Pasrah tak tahu arah
Menghantam karang setinggi semeru
Kemudian sampai ke tepian
Sudah hancur tak berarti

Aku tahu,
Dulu Tubuh ini tegap
Dengan dada yang membusung
Kini,
Hanya tinggal tulang belulang yang tersisa
dililit selaput kulit tipis tak berharga

Apakah ia seorang tentara,
Presiden,
Menteri,
Atau hanya gembel yang mati mengenaskan
Dengan cara bunuh diri?
Hanya tubuh itu yang dapat menjawab pertanyaanku

Inilah kisahku sebagai burung Camar
Yang mendapati sebuah pelajaran hidup sederhana
Bahwa sebenarnya tubuh indah
Tak akan berguna
Saat nyawa telah lepas tinggalkan raga

Untuk apa kau bersolek
Untuk siapa kau berhias
Jika hanya untuk mempercantik tubuhmu

Padahal,
Tubuhmu tak akan abadi

Soleklah hatimu
Hiaslah perilakumu
Maka kau akan menemukan keabadian darinya.

Selasa, 08 Januari 2013

Ngangkang, Lebih Enak Lho!

Gaung genderang gender yang diteriakkan oleh tokoh Feminisme sekaliber Lady Mary Wortley Montagu dan Marquis de Condorcet, tak jua terasa di bumi Kartini. Pandangan sebelah mata terhadap perempuan masih saja dijumpai di negeri ini. Banyak kebijakan-kebijakan publik yang dinilai melukai semangat persamaan gender.

 Banyak kasus ketidaksetaraan gender terjadi di negeri ini menimpa kau hawa. Ironisnya, tak sedikit yang menilai bahwa kasus yang menimpa wanita disebabkan oleh tingkah lakunya sendiri. Bagai jatuh tertimpa tangga. Wanita di negeri ini selalu disalahkan atas setiap peristiwa yang menimpanya.

 Masih ingatkah tentang kasus pemerkosaan di angkutan umum yang terjadi di salah satu kota besar di Indonesia?. Apa yang terjadi saat itu, dikala si wanita korban tindakan asusila meminta perlindungan dan penegakan hukum setinggi-tingginya kepada pemerintah, ia malah disalahkan. Dengan enteng sang gubernur waktu itu mengatakan bahwa penggunaan rok mini oleh perempuan dalam angkutan umum menjadi penyebab awal keinginan sejumlah oknum untuk melakukan tindakan asusila.

 Begitulah wanita, sosok yang selalu didiskriminasi. Mulai sosoknya yang dijadikan objek iklan, kemolekan dan lekuk tubuhnya dipampang di ruang public, hingga kasus wanita yang selalu saja kalah bila berhadapan dengan laki-laki. Ada keluarga yang bercerai, yang disalahkan pasti perempuan. Tidak punya keturunan, wanita yang menjadi korban. Begitu dan selalu begitu yang terjadi.

 Kasus terbaru adalah surat edaran walikota Lhokseumawe, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) Suaidi Yahya, tentang pelarangan perempuan mengangkang saat di bonceng. Surat edaran tersebut diberlakukan pada seluruh perempuan di Lhoksumawe tak pandang bulu. Dari anak-anak, remaja putri, hingga ibu serta nenek di Lhoksumawe dilarang ngangkang saat di bonceng.

 Alih-alih menjaga kesopanan dan harkat martabat wanita seperti yang menjadi tujuan dari peraturan itu, kebijakan ini mendapat cemooh dan menimbulkan pro kontra. Banyak kalangan yang menilai penerapan kebijakan ini terlalu premature. Kebijakan yang terlalu dipaksakan tanpa melihat efek yang akan ditimbulkan.

 Melupakan hak dasar


Salah satu hak dasar manusia adalah hak untuk mendapatkan keselamatan dan kenyamanan. Pemaksaan kebijakan wanita tidak boleh ngangkang saat dibonceng tentu menafikkan hak dasar tentang keselamatan sekaligus kenyamanan. Menurut beberapa pakar transportasi, membonceng wanita dengan posisi miring, akan menjadikan kendaraan terutama sepeda motor menjadi tidak seimbang. Kelebihan berat di sebelah sisi kendaraan, mengakibatkan sepeda motor mudah oleng, dan mengalami kecelakaan.

 Kita bayangkan saja, jika seluruh wanita harus dibonceng dengan posisi miring, berapa korban yang akan ditimbulkan akibat kecelakaan di jalan?. Tidak jarang seseorang yang dibonceng, mengantuk. Dengan posisi miring, seseorang akan mudah terjatuh karena tidak memiliki keseimbangan yang baik. Dan ketika seseorang jatuh di jalan yang padat kendaraan, pasti menimbulkan kecelakaan karambol yang akan menimbulkan korban lainnya.

 Selain factor keselamatan, factor kenyamanan juga harus diperhatikan. Selain wanita yang dibonceng, para pria atau siapapun pengendara akan lebih nyaman bila yang dibonceng mengangkang. Kendaraan akan lebih stabil apabila yang dibonceng mengangkang, dibanding yang dibonceng duduk miring. Bagi wanita, dibonceng dengan posisi mengangkang pasti lebih enak dan nyaman. Selain tumpuan kaki yang lebih kuat karena menggunakan dua buah kaki, keseimbangan juga akan terjaga.

 Kebijakan larangan ngangkang saat dibonceng bagi wanita tentu menafikkan factor kenyamanan dan keselamatan wanita sendiri. Berdalih demi melindungi marwah perempuan, mewujudkan kesopanan, dan juga sebagai representasi dari budaya aceh yang berlatar belakang Syariat Islam, larangan ngangkang saat dibonceng bagi wanita telah menciderai hak dasar bagi manusia itu sendiri.

 Bukan syariat Islam

Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) KH Amidhan, mengatakan, dalam Syariat Islam, tidak ada aturan yang secara jelas membahas perempuan duduk ngangkang. Prinsip dasar Syariat Islam adalah membawa kemasalahatan atau membawa kesejahteraan bagi masyarakat, bukan sebaliknya membawa keresahan. Jika wanita dibonceng dengan posisi miring dapat menimbulkan banyak terjadi kecelakaan, hal itu berarti larangan membonceng ngangkang menimbulkan keresahan.

 Inilah yang harus dibenahi jika pemerintah Lhoksumawe mengeluarkan larangan itu berdasarkan ingin menegakkan Syariat Islam. Syariat islam tidak pernah membebani umatnya. Jika peraturan itu didasari adat istiadat serta budaya di Aceh, bisa dimaklumi.

 Namun, dalam mengeluarkan sebuah peraturan, tentu tidak akan melepaskan dari sisi historis dan juga sosiologis masyarakatnya. Mari kita mencoba mengenang sejarah, baik dalam Islam maupun sejarah Aceh. Dalam Islam, diceritakan bahwa Siti Aisyah r.a (Istri Nabi Muhammad SAW), dan perempuan lainnya waktu menunggang kuda ataupun onta saat berperang, pasti duduk dengan mengangkang. Mereka tidak mungkin duduk miring, jika duduk dengan posisi miring, mereka tidak akan bisa mengendalikan kuda ataupun onta yang ditungganginya.

 Dari sisi sosiologis dan juga historis Aceh, kita mengenal dan mengerti bahwa Cut Nyak Dhien, Cut Mutia dan beberapa pahlawan perempuan Aceh dahulu, menunggang kuda saat berperang juga pasti duduk dengan posisi mengangkang. Kita bayangkan saja, apabila pahlawan Nasional Aceh tersebut menunggang kuda dengan cara duduk miring saat berperang, tentu akan menjadi lucu dan tidak berwibawa. Selain itu, hal sebodoh itu pasti tidak akan terjadi.

 Lalu, apakah duduknya Siti Aisyah, Cut Nyak Dhien dan Cut Mutia yang mengangkang saat menunggang kuda dianggap tidak sopan? Dari sisi mana peraturan tersebut di buat, karena dari sisi historis dan juga sosiologis tidak nyambung?.

 Disinilah letak permasalahan tentang larangan duduk ngangkang yang akan diterapkan di Lhoksumawe. Sopan itu relative. Perempuan memang tidak sopan, jika duduk ngangkang saat dibonceng sepeda motor, dengan celana atau rok mini, sehingga auratnya terlihat. Selain itu, perempuan juga dianggap tidak sopan apabila ia mengangkang dan memeluk pria yang memboncengnya dengan erat, padahal mereka belum muhrim.

 Mengangkang akan dirasa sangat sopan, bila duduk dengan sewajarnya. Perempuan yang membawa barang atau anak kecil, akan lebih nyaman duduk mengangkang daripada miring. Selain itu, bagi yang sudah muhrim, tentu tidak ada masalah bagi mereka untuk duduk ngangkang. Karena diyakini atau tidak, dibonceng dengan posisi ngangkang, akan lebih enak dan nyaman, baik bagi pengemudi maupun penumpang. Tak percaya? Tanya saja pada mereka.

Minggu, 06 Januari 2013

Bola Salju Pelelangan Selaput Dara

Adalah Catarina Migliorini, gadis berusia 20 tahun asal Brasil yang menjadi bahan pembicaraan di tahun baru 2013 ini. Ia menggemparkan dunia dengan melelang keperawanannya seharga US$ 780 ribu (atau sekitar Rp 7,4 miliar). Anehya, seorang pria asal jepang bernama Natsu bersedia membeli keperawanan Catarina tersebut.

Menurut beberapa sumber, upaya Catarina Migliorini menjual keperawanannya untuk membangun rumah bagi keluarga-keluarga miskin di negara bagian Santa Catarina, Brasil. Missi itu ia lakukan karena Catarina telah berkecimpung dalam proyek ini selama kurang lebih 2 tahun. Dalam waktu sekejap saja, Catarina telah menjadi wanita dengan uang berlimpah.


Kemudahan Catarina mendapatkan uang dengan cara instan ini, diikuti pula oleh seorang gadis brasil lain bernama Rebbeca Bernardo. Gadis cantik asal Kota Sapeacu, Negara Bagian Bahia, Brasil ini mengikuti jejak seniornya, Catarina Migliorini untuk menjual keperawanannya. Dengan media internet, Rebecca menawarkan keperawanannya kepada laki-laki yang mampu memberikannya uang banyak. Diketahui sudah ada penawaran sekitar Rp. 337 juta, namun bukan tidak mungkin, angka itu akan bertambah mengingat Rebecca memiliki paras yang menawan.


Berbeda dengan Catarina, gadis cantik berusia 18 Tahun ini mengaku menjual selaput daranya untuk mengobati sang ibu yang sedang tergolek sakit. Ibu Rebecca diberitakan menderita penyakit sroke yang parah. Namun alasan ini segera dapat ditampik, karena ada pihak yang mengaku siap memberikan biaya pengobatan ibu Rebecca, namun ditolak. Ia mengatakan bahwa ia juga sebenarnya membutuhkan uang untuk hidupnya ke depan.


Sebuah Keputus-asaan


Ada peristiwa yang patut kita cermati dari kasus penjualan keperawanan ini. Kasus ini ditakutkan akan menjadi bola salju, yang akan menggelinding ke bawah dan semakin besar. Akan banyak gadis-gadis yang terinspirasi dari “kesuksesan” Catarina dan Rebecca. Alih-alih kebutuhan ekonomi, mereka akan dengan mudah menjual dan menjajakan keperawanan mereka ke orang lain.


Factor ekonomi menjadi alasan klasik. Meski kadang, globalisasi lah yang menjadi momok yang menyeramkan. Seperti yang dikatakan oleh M.Waters, bahwa globalisasi akan memperkecil halangan – halangan yang bersifat geografis pada tatanan sosial dan budaya dan setiap orang semakin sadar bahwa mereka semakin dekat satu sama lain. Dari kedekatan itulah, timbul kesamaan dan keserataan pola hidup dan budaya yang membuat seseorang akan mudah meniru gaya hidup orang lain. 


Dari globalisasi akan muncul sebuah sikap hidup konsumerisme dan mudah terpengaruh oleh hal yang tidak sesuai dengan kebiasaan atau kebudayaan suatu negara. Seseorang akan mudah melakukan apa saja untuk menjadi seperti idola mereka. Bergaya hidup mewah, meski bukan dari keluarga punya. Inilah yang menjadi penyebab seseorang melakukan pelbagai hal untuk mendapatkan keinginannya, termasuk harus melelang selaput dara.


Ditengah kehidupan yang semakin sulit, orang akan mudah sekali mengalami keputus-asaan. Bisa jadi, apa yang dilakukan dua gadis Brasil ini, merupakan sebuah keputusasaan. Putus asa karena terhimpit kemiskinan, putus asa karena terpuruk oleh system yang salah, sehingga hidup yang lebih baik tak jua di dapat.


Kasus Catarina da Rebecca besar sekali peluangnya terjadi di Indonesia. Sebetulnya sudah banyak sekali kasus yang sama terjadi di Indonesia, meski dalam bentuk yang sedikit berbeda. Bukan secara terang-terangan melelang keperawanannya kepada public via Youtube, di Indonesia kasus seperti ini dilakukan di bawah tangan. Berembel-embel nikah sirri, atau kawin kontrak, gadis cantik di negeri ini menjual keperawanan mereka. Bukan rahasia umum lagi, bahwa orang yang mau dinikah sirri oleh pejabat atau orang berduit, hanya mengincar kemegahan hidup dengan harta yang berlimpah. 


Banyak artis, perempuan cantik bahkan anak-anak dibawah umur yang rela di nikah secara sirri ataupun kontrak oleh pejabat dan orang kaya di negeri ini. Tujuan mereka hanya satu, memperolah uang banyak sehingga dapat hidup dengan gaya hidup mewah. Semua dilakukan meski harus menjadi budak dari laki-laki berduit. Dari kasus ini, adakah perbedaan dengan kasus penjualan keperawanan oleh Catarina dan Rebecca?. 


Kasus yang dilakukan Catarina dan Rebecca serta kasus lain yang serupa harus segera diantisipasi. Bukan hanya uang dan hidup mewah yang akan didapat oleh mereka yang senang mengambil jalan pintas, termasuk menjual keperawanan. Banyak bahaya yang akan diderita. Selain secara sosiologis terhadap masyarakat yang akan menurunkan citra dirinya, secara kesehatanpun bahaya akan datang mengancam. Penyebaran penyakit kelamin seperti HIV/AIDS, sipilis, raja singa, dan penyakit lainnya pun menjadi resiko yang suatu saat dapat menjangkitinya.


Pencegahan terhadap praktik-praktik tindakan amoral seperti ini harus dicegah sedini mungkin. Mulai dari keluarga kecil, yang meliputi anak-anak. Penanaman nilai-nilai agama yang selama ini dianggap efektif, semakin ditekankan. Juga penanaman moral dengan pancasila dan norma hidup lainnya juga penting ditekankan. Jangan sampai, ada saudara kita yang melakukan hal-hal yang menyimpang dari nilai-nilai dan norma, yang akan menjadikan nama baik keluarga tercoreng. 


Selain itu, sudah sepantasnya kita mencegah perbuatan mungkar yang terjadi di dunia ini. Meskipun tidak bisa dengan kekuatan, bisa dengan kata-kata bijak kita. Jika dengan kata-kata pun kita tidak bisa,dapat juga dilakukan dengan hati. Artinya kita meneguhkan kepada hati kita untuk tidak melakukan kemungkaran itu.