Senin, 14 Mei 2012

Peran Dosen Sebagai Gate Keeper


Kasus penjiplakan atau praktek plagiarisasi di Indonesia seperti fenomena gunung es. Pasalnya, kejadian yang menimpa seorang professor sebuah universitas di Bandung beberapa waktu lalu, terungkap kasus kasus yang serupa dilakukan oleh kalangan intelektual, seperti Dosen, mahasiswa dan para peneliti.
Penjiplakan kini berubah menjadi sebuah budaya. Budaya praktis serba instan dan juga pragmatisme komersialisme. Tidak bisa dipungkiri bahwa di kalangan mahasiswa sekarang, aktivitas menjiplak menjadi hal yang biasa dilakukan sehari hari. Bagi kalangan dosen , plagiat adalah sebuah jalan mulus mencapai gelar akademik yang tinggi.
Bila melihat kondisi seperti ini, hati siapa yang tidak miris. Para cendekia malas berkarya dan mengandalkan karya orang lain. Parahnya lagi, karya yang mereka tiru itu seolah hasil dari pemikiran briliannya. Pintu ijtihad dalam berkarya seolah sudah tertutup. Kemampuan untuk mendapatkan karya baru yang menggugah masyarakat sangat kurang akhir akhir ini.
Kurangnya menulis dan membaca menjadi alas an tindakan plagiat. Di kalangan mahasiswa, budaya membaca dan menulis kini menjadi hal yang . Dengan adanya internet mereka beranggapan bahwa kemudahan lebih . Dengan media itu, mahasiswa akan dengan mudah mendapat bahan pembelajaran. Tidak hanya itu, tugas resensi, sampai makalah dapat dengan mudah didapat di internet. Hanya dengan copy paste tugas dapat terselesaikan.
Mau tidak mau, dunia kampus harus mampu menghindari praktek plagiat, terutama di kalangan dosen dan mahasiswa. Tindakan tegas harus dilaksanakan terhadap mahasiswa atau dosen yang melakukan penjiplakan. Tidak bisa tidak, karena selain melanggar undang undang tentang hak cipta, juga dapat membuat nama baik dunia pendidikan tercoreng.
Pengembalian pada kesadaran hati nurani memang hal yang paling mendasar dalam menangkal proses penjiplakan. Proses aplikasi dari pendidikan moral harus di jadikan acuan sebagai pembentukan karakter diri. Dengan tingkat kesadaran akan penghargaan karya orang lain dan keinginan untuk lebih banyak berkarya, penjiplakan tidak akan terjadi. Namun sayang, kebutuhan yang mendesak dapat dengan mudah menghilangkan kesadaran mahasiswa.
Kontrol yang super ketat dari kalangan dosen sangat diperlukan. Dosen sebagai seorang yang di berikan tanggung jawab mendidik harus bisa menjadi seorang “gate keeper” bagi praktek penjiplakan oleh mahasiswa. Walaupun ia sendiri harus bisa menjadikan dirinya contoh yang baik dengan bersikap anti plagiat. Karena ada sebuah kata bijak, “Jika ingin membersihkan kotoran di lantai, pakailah sapu yang bersih”.
Untuk menjadi seorang gate keeper, minat membaca dosen harus ditambah. Kemampuan menguasai teknologi informatika juga wajib di miliki . Tidak menafik kemungkinan, di zaman sekarang masih terdapat dosen yang gaptek (gagap teknologi) sehingga hasil penjiplakan mahasiswa dari internet dianggap sebagai karya dari mahasiswa itu sendiri.
Setelah hal itu dipenuhi, barulah tindakan lanjut yang harus di lakukan oleh perguruan tinggi dalam memberikan sanksi kepada pelaku plagiat. Sanksi yang diambil harus mempertimbangkan aspek jera bagi pelaku dan juga orang yang akan melakukan. Kesalahan mendasar mengapa plagiat masih menjamur hingga saat ini, tidak lain adalah sanksi yang diberikan tidak menunjukka aspek jera, seperti dikeluarkan dari kampus dan dikenai status tidak terhormat.
Setelah itu, ditinjau dari segi hukum, jelas praktek plagiat adalah bentuk pelanggaran terhadap hukum terutama hukum tentang hak cipta. Pelaku plagiat harus bisa mempertanggung jawabkan kelakuannya di depan hukum. Intinya tidak ada tempat bagi pelaku plagiarisasi di Negara kita.

0 komentar:

Posting Komentar