Jumat, 11 Mei 2012

Tapak-Tapak Suci,Sebuah Kisah Perjalanan Pemuda Desa

Desah Di Atas Ferry
Deru ombak menerpa wajah kusamku, kilau dari sisik ikan memantulkan cahaya indah penuh pesona. Cahya mentari menambah cerah suasana alam ini. Suasana yang indah andai hati dan perasaan ini bahagia, namun kali ini aku tak dapat menikmati semuanya.
Kurebahkan badan diatas besi tua kapal Ferry ini, mataku jauh memandang pesisir pantai Bakauheni . Semburat cahaya berwarna kuning berasal dari tugu Siger, menghantamku. Sebuah benda seperti gigi gergaji berjumlah Sembilan mata gergaji berwarna kuning. Siger adalah icon kota asalku, topi kebesaran bangsaku..
Pemandangan yang begitu indah, udara segar dan birunya laut selat sunda ini tak mengobati rasa gundah di hatiku. “ Ah…. mengapa hatiku gundah? Apa aku sudah tak suka lagi dengan keindahan ini, nyanyian ikan ikan kecil itu, atau kebasan burung camar yang menyanyikan lagu tak bernada kepadaku, kenapa denganku., apa aku sudah gila? “ pikirku
Kusulut rokok dan kuhirup asap itu kuat kuat. Asap yang mengepul kutahan di dada, hingga terasa sesak, lalu kuhempaskan ke udara seolah menghempaskan seluruh perasaan gundah dihatiku. Asap yang keluar dari rongga dadaku seolah keluar dan menjerit, lalu mengutarakan seluruh kegundahanku.
“ Bukalah surat ini ketika kau berada di antara dua pulau, saat kau terombang ambing di tengah lautan, dan saat itu kau akan merasakan betapa aku menyayangimu”.
Masih kuingat kata kata itu, terlontar dari mulut sahabat karibku 9 jam yang lalu, kubuka lembaran kertas usam bertulis tinta kesedihan.
Dear Riyan,
Tak terasa waktu telah berlalu, seolah tak mau kompromi dengan keadaan, ia terus saja berlari meninggalkan keindahan diantara kita. Masa-masa bersama kita telah usang dimakannya, yang ada hanya kenangan yang semakin membuatku merasa rindu padamu.
Sahabat, terasa baru kemarin kita berkenalan, aku ingat waktu itu kau masih begitu culun memainkan stik Play Station tempat om Sunar. Lalu ku dekati kau dan ku ajak kau main bersama, masih ingatkah saat itu kau kukalahkan dengan skor telak 4-0. Dan masih terbayang wajahmu yang sangat terpukul dengan kekalahan itu. Lalu setelah itu kita banyak menghabiskan waktu berdua, menjadi sahabat karib, hingga kita terkenal dimana-mana. Jika ada kau, pasti ada aku. Senang sekali saat itu dan yang ada hanya keindahan.
Tapi kini kau pergi meninggalkan aku sendiri, disini meratapi nasib tanpamu, sepi teman!!!!aku kesepian tanpamu. Namun aku tak bisa menghalangimu untuk menggapai cita-citamu, walau harus ku korbankan rasa ini.
Teman…selamat berjuang disana, jangan lupakan aku. Aku disini juga akan terus berjuang demi menggapai cita-citaku, walau itu bukanlah keinginanku yang pertama, namun mungkin tuhan telah mentakdirkan kejadian yang seperti ini. Biarlah kujalani kehidupan seperti ini. Dulu kau yang selalu menyemangati ku untuk menghadapi semua kemungkinan ini, hanya kau yang bisa menerima kegagalanku. Saat orang lain mencemooh kegagalan itu, kau tetap tegar menemaniku dan mengembalikan kepercayaan ku untuk mengahadapi kehidupan ini.
Semoga kau bahagia disana. Aku mendoakan kau selalu. Jangan lupakan keindahan yang pernah kita lalui, biarlah dia menjadi kenangan indah dan cerita saat kita bertemu nanti.
Sobatmu, Dody.
Tak terasa air mata berlinang ketika aku selesai membaca surat dari Dody. Sudah lama aku berteman dengannya, namun baru kali ini, aku merasakan betapa ia sangat menyayangiku, ah…..aku seolah ingin pulang dan berkumpul dengannya lagi, menemaninya dengan indahnya persahabatan sejati. Tapi itu tak mungkin.
********
Kenangan Itu,,,
“Ayo lari terus, jangan berhenti Dod, ” aku menyemangati Dody dengan suara terindahku, kulihat ia sangat kelelahan, keringat bercucuran disekujur tubuhnya. Berkali kali ia harus mengusap keringat yang mengganggu pandangannya. Terik mentari sangat tidak bersahabat bagi Dody. Namun ia terus berlari karena takut padaku yang membawa rotan dan siap memukul pantatnya jika menghentikan langkahnya. Rotan itu kudapat dari pemberian ayah Dody.
“ Berhenti dulu ya Yan, cape nih” keluhnya memelas padaku.
“ Ooohhh,,mau coba pukulan baruku dengan ini” bentaku sambil mengayunkan tongkat rotan pemberian ayah Dody, mirip dengan koboy di film Zero yang membawa cambukl dan siap mendarat pada tubuh musuh.
“ Ah,,,kenapa kamu ikut saja kemauan ayahku. Kamu kan sahabatku. Masa kamu ga mau bantu aku, ayolah,,,,, atau kita berhenti di warung itu yuk, pesan es teh sambil menikmati rokok, heeemmm….kayaknya enak deh” jurus andalan Dody mulai Dikeluarkan.
“Emmmm,,,,” aku kebingungan, emang kalo Dody sudah mengeluarkan jurus andalannya, biasanya aku tak bisa berkutik. Wah emang bener kata Dody, Kayaknya nikmat bener kalo aku minum es disana, apalagi sambil menghirup asap rokok yang Kayaknya enak banget,,
“Gimana ,,setuju gak, kalo ga juga ga pa pa” ancamnya
“ Yah gimana ya dod”
“Ah,” wajah Dody mulai menunjukkan kekesalannya padaku, terlihat wajah sangarnya mulai mengkerut seperti abis di bogem mentah ayahnya
“ Gimana yah,,,enggak ah,,,aku takut kalo aku ga bisa menikmati itu untuk saat hampir perpisahan denganmu”
“Jadi kamu mau” seru Dody penuh semangat
“ Kita coba yuk”
“Ha..ha…ha..ha” ledakan tawa kami menggema., seolah ,menghempaskan jeritan akan teralis besi perintah ayah Dody. Secuil pun kami tak merasa bersalah, karena memang kali ini aku mengalah dengan Dody, biasanya aku adalah ayah kedua soal latihan rutinnya, kalau belum sampai rumah, belum boleh berhenti. Padahal kalau dihitung-hitung jarak yang ditempuhnya cukup jauh, hampir 12 km, dan itu ia lalui setiap hari menjelang pukul 12.00. kadang aku kasian juga, namun itu aku lakukan untuk mendukungnya menjadi apa yang ia impikan, menjadi tentara .
“ Es teh dua mbak” Dody memesan dengan semangat, lalu diambilnya sebatang rokok untukku dan kemudian ia menyulutkannya, persis kaya kacung yang menyulutkan rokok pimpinan Gank di film Jacky Chan. Aku hanya tersenyum dengan tingkah konyol sahabatku itu.
“ Thanx komandan, oya gimana persiapan besok, apa sudah dipersiapkan semuanya” aku membuka pembicaraan itu
“ Sudah dong, bahkan sejak seminggu kemarin aku mempersiapkannya, dari hal yang wajib dibawa sampai yang haram dibawa”
“ Haram dibawa??apa itu, jangan bilang kalo kamu make barang haram, atau kamu mulai terjun kedunia itu?” aku terheran dengan perkataan Dody. “ ingat dod,, cita-citamu hanya akan berhasil kamu tempuh jika kamu tidak menggunakan barang haram itu, ya setidaknya itu juga faktor yang menentukan keberhasilanmu” tandasku.
Dody hanya tertawa menahan kegeliannya. Ia menatapku tajam. Tatapannya itu sangat tidak jelas, apakah mengejek atau bangga karena aku sudah sangat perhatian dengannya.
“Tenang sobat,,aku bukan orang yang seperti itu, aku ingin tubuhku bersih dari barang seperti itu dan juga sejenisnya”
Kami menikmati segarnya es teh dalam panasnya terik mentari, hempasan asap rokok keluar bergantian menunggu giliran dan menghempaskan kegundahan dihati. Tak terasa waktu beranjak sore, dan kami meninggalkan kedai dan melanjutkan tugasa masing-masing. Dody lari seperti atlit lari dan aku mendaki sepeda motor sambil membawa pentungan dari rotan. adil memang susah!.
*********
Air mata itu???
“Ayo cepet dod, nanti kita telat” ayah Dody mengingatkan untuk cepat berbenah mempersiapkan diri, namun ia tak jua keluar kamar. Suara itu terdengar jelas bagi kami berdua. Namun seolah tak ada sesuatu pun dapat menggantikan betapa sedihnya hari itu. Dody terdiam sambil menatapku, aku memang sengaja tidur dirumahnya semalam, hanya ingin memberikan semangat padanya sebagai perpisahan dengannya.
Tak sengaja kulihat dua bola mata mata berkaca kaca, tak biasanya dia bisa seperti itu, dalam hatiku bertanya, “ Kau bisa juga nangis yan dod, aku kira air matamu itu telah kering” ejekku dalam hati, ingin sekali aku menertawakannya, namun aku tahu ini bukanlah waktu yang tepat untuk merayakan kemenanganku itu.
“ Doakan aku ya Yan, doakan aku agar berhasil,” ia memberanikan diri mengucapkan kata
Aku hanya terdiam, tak kuasa aku melihatnya, aku tahu detik aku akan berpisah dengannya. Saat ini, tak ada lagi canda tawa bersama sahabatku itu, karna ia akan meninggalkan aku untuk menggapai cita-citanya.
“ Aku pasti selalu mendoakanmu, semoga kau lancar disana, tak ada aral melintang disana” ah….rasanya berat sekali mengucapkan kata kata itu dan tenggorokan ini terasa sesak.
“ Kapan kau akan kembali” bodohnya aku menanyakan hal itu, aku tahu kata kata seperti itu tidaklah pantas jika aku ucapkan, harusnya semangat yang menggebu yang aku lontarkan, seperti teriakan bung Tomo saat menyemangati pemuda indonesia saat pertempuran Surabaya.
“ Aku pasti merindukanmu teman, kelak aku pasti kembali untukmu,” jawabnya
Terdengar suara pintu terbuka, ayah Dody sudah ada di depan pintu itu, ia melihat kami berdua, ia tahu kami adalah sahabat yang sangat karib, ia tahu bahwa persahabatan kami telah terukir di nirwana dengan tinta emas berlapis perak.
“ Sudahlah, Yan,,,doakan saja Dody agar berhasil menggapai mimpinya, setelah ia berhasil, pasti ia akan kembali kesini”
“ Ia pak” jawabku
Aku tak kuasa lagi8 untuk menahan kepergian Dody, kupeluk ia erat, melepas kepergiannya,
“ Aku pasti kehilanganmu teman, bagaimana aku bisa menjalani hariku tanpa semangatmu”
“ Sudahlah, aku tetap menjadi sahabatmu yang paling baik. Pergilah, jangan cengeng, jadilah Dody seperti yang dulu aku kenal, berangkatlah, doaku selalu menyertaimu” tegurku, padahal aku juga merasakan seperti yang ia rasakan.
Mobil itu bergerak meninggalkan aku dan kenangan dengannya, yang terlihat hanya debu yang menggumul di angkasa, ia menerpa wajahku. Ah….debu sialan,
Tak terasa sebulan telah berlalu tanpa kelalui dengan Dody, ia temanku, kakakku, ayahku dan guruku. Aku merindukannya karena sudah satu bulan aku tak melihat wajahnya, bahkan mendengar suaranya pun aku tak bisa. Ia tak bisa aku hubungi, berkali-kali aku kewartel untuk menelponnya, namun hasilnya nihil, kata ayahnya ia tak bisa di hubungi, karena masih menjalani pendiDikan ketentarannya.
Aku menunggu dan terus menunggu, walau aku tahu itu tak akan membuatnya merasakan apa yang aku rasakan. Kulalui hari dengan penuh kesendirian, kucoba cari kesibukan, mulai dari aktif di berbagai organisasi, sampai serius belajar. Detik demi detik aku mulai bisa melupakan dia, hingga datang waktu itu, waktu yang membut seluruh alam menangis.
********
Mentari Kelabu
“ Nang, bangun temenmu datang” suara nenek membangunkan aku dari impian indah di siang bolong. Aku masih malas malasan untuk bangun, ya karena sudah biasa ada temen yang datang berkunjung kerumahku
“ Ntar aja nek, masih ngantuk nih” elak ku tanpa membuka mata
“ Ya sudah, dasar pemalas, tapi cobalah kau tengok siapa yang datang” nenek membuat aku penasaran.
Kupaksakan badanku untuk bangun, meski nyawaku belum terkumpul dalam jasad. Mereka masih melayang jauh di negeri antah berantah dunia mimpi. Namun suara nenek membuyarkan semua. Sialnya, hanya separuh yang kembali merasuk dalam jasadku.
Aku masih malas bangun dari tidurku, mencoba merangkai mimpi indah kembali dengan sang bidadari mimpi.
“Ayo bangun” nenek kembali membangunkanku, kali ini tidak hanya dengan kata kata, namun dengan bantal guling yang ada di sampingku.
“Emang siapa sih nek yang dating” tanyaku
“ Dody !”
“ Apa?? yang bener nek?” teriakku.
Aku terbangun sigap, rasa kantuk akibat semalam begadang hilang terbawa rasa kaget mendengar nama itu disebutkan nenek. Sontak aku keluar kamar meninggalkan kamar tanpa memperdulikan nenek. Aku berlari sekuat tenaga menuju ruang tamu, belum sempat aku tersadar akibat ulah nenek, aku Dikejutkan lagi dengan pemandangan yang sekarang ada dihadapanku.
Bumi berhenti berputar, bunga-bunga layu, ombak tak bersuara, sepi dan sunyi melintas dalam dada, terasa aku tak ada dalam dunia yang bernyawa ini. Semua musnah ketika kulihat sesosok laki laki yang pernah aku kenal, ia sahabatku Dody. Namun pemandangan yang tak bias aku terima, sekarang ia duduk di sebuah kursi roda sambil menunduk, sorot matanya tajam menerobos sampai ke inti bumi, ia tak menatapku. Aku tak tahu harus berkata apa, lidahku terasa kaku, pikirku tak bisa memikirkan apapun, kecuali bingung, apa yang harus kulakukan?
“ Kau sudah pulang dod”
Dody diam saja, bahkan ia pun tak beranjak dari posisinya menatap bumi seolah mengadukan semuanya. Kuberanikan diri mendekatinya, kuangkat wajahnya dan kutatap matanya, tanganku basah dibanjiri air matanya, begitu juga wajah dan matanya itu sembab karena air kesedihan itu, ia tetap tak mau bicara. Namun tatapan matanya itu seolah melayangkan sebuah permohonan maaf padaku “ Maafkan aku teman, aku gagal mewujudkan cita-citaku, dan juga harapanmu. Kini aku tidaklah berharga, jangankan untuk menjadi tentara, berjalan pun aku tak sanggup”. Ah…..terasa hari itu mentari berubah warna menjadi kelabu.
Kupeluk tubuh lunglai sahabatku itu, kucoba tenangkan ia dan mencoba masuk kedalam kesedihan yang sedang melanda dirinya.
“ Maafkan aku Yan” hanya itu yang ia ucapkan, bahkan sampai satu minggu, tak seuntai kata pun ia ucapkan padaku. Aku tahu kegagalan itu sangat memukul dan membuatnya sedih, bagaimana tidak, impiannya sejak ia mengenal dunia, impian yang setiap hari didukung dengan latihan rutin, bergelut dengan panas, lelah, hanya untuk meraih kegagalan. Yah….hanya kegagalan.
Berhari hari aku coba mengajaknya bercanda, tertawa dan mengembalikan semangatnya, namun usahaku menemukan titik nihil. Sampai usaha terakhirku untuk menghiburnya gagal, tak biasanya ia menolak jika aku ajak menyanyikan lagu kesayangan kami, Ungu dengan judul Jika Itu Yang Terbaik, namun tidak untuk detik itu, ia malah meninggalkan aku dan tidur Dikamar.
Aku sudah tak habis pikir, seberapa besar kekecewaannya. Apakah ia malu karena seluruh kampung halamanku tahu bahwa ia akan menjadi tentara, namun sekarang ia gagal, bahkan dengan cacat yang ia derita sekarang, ia beranggapan bahwa riwayat hidupnya telah habis?. Entahlah….
“ Yan, sekarang aku sudah seperti ini, aku tak bisa berbuat apa apa, aku sudah tak ada harganya lagi, aku sudah banyak membuat orang kecewa, ayah, ibu,saudara, semua berharap aku bisa menjadi tentara, bahkan kau juga pasti kecewa kan?”
Aku hanya diam,
“ Aku tahu semua orang menjadi kecewa padaku, semua orang bertingkah seolah tidak mengenalku, aku bukan seperti yang dulu lagi, bahkan aku sekarang cacat, ah….aku sudah tak diharapkan lagi ada di dunia ini, mungkin semua itu sudah cukup menjadi alasan bagiku untuk mengakhiri hidup ini”
Jlegerrrrrrrr,,,,,bagai disambar petir aku mendengar kata-kata itu, aku tak percaya Dody yang mengucapkan kata seperti itu, sontak emosiku meledak. Kutarik kerah bajunya, tamparan melesat ke pipinya. Tajam mataku menatap penuh emosi dan ketidak percayaan.
“ dod, kamu sadar dengan apa yang kau katakan? Kamu jangan jadi banci, hanya karena kau gagal, kau seenaknya saja ingin bunuh diri, kau pikir setelah sekian lama kau pergi meninggalkan aku sendiri, dengan semua kenangan, bahkan aku tak tahu dan tak pernah mimpi jika kau akan kembali, nah sekarang,,,kau sudah kembali, dan kau hanya kembali untuk mengatakan hal yang seperti itu, kau kembali untuk meninggalkan aku, kau jahat dod” suaraku meledak tak tertahankan lagi, Dody hanya diam saja
“ Aku tahu kegagalan membuatmu kecewa, semua orang kecewa, tapi aku tidak dod, aku tetap menerima kamu apa adanya, karena bagiku kau tetaplah sahabatku, bagaimanapun keadaanmu. Hidupmu masih panjang dod, masih banyak waktu dan cita-cita yang bisa kau raih esok, tapi lihat dirimu sekarang, kau bahkan tak lebih dari banci yang ada di pinggir jalan, kau tak mengaca bahwa dirimu itu masih beruntung jika dibanding dengan orang lain, dan satu lagi aku adalah sahabatmu dan bukan orang lain” begitulah kata-kata kasar itu keluar bagaikan air bah Tsunami dan tak ada yang menghalanginya.
“ Kalau kau masih seperti itu, jangan harap aku akan menemuimu, bahkan untuk mendoakan arwahmupun aku tak sudi”
Kasar,,,,,hancur,,,,,,begitulah saat aku tinggalkan Dody dalam kesendiriannya, hatinya hancur melihat kemarahanku, mungkin ia sendiri tak menyangka bahwa aku akan marah seperti itu, aku sendiri tak habis pikir mengapa aku berani mengatakan semua itu, tapi ah……semua telah terjadi dan tak bisa aku kembalikan lagi seperti semula.
Malam ini aku tak bisa tidur, aku masih terpikir dengan kata-kata kasarku tadi, dan aku menyesal dengan semua itu, aku tahu Dody juga pasti sampai detik ini masih memikirkan semua kata itu, “Apa ia membenciku, apa ia akan benar ingin bunuh diri dan apa yang harus aku lakukan,”? aku bingung memikirkan semua itu, mondar mandir sendirian aku di kamar , hingga kudengar pintu kamarku Diketuk.
“ Siapa?” tanyaku,
“ Aku, malam ini apa aku boleh tidur denganmu?” suara dibalik pintu menjawab, dan aku seperti mengenal suara itu, kubuka pintu itu dan kulihat Dody tersenyum,
“ Maafkan aku Yan, aku sadar kalau tindakanku salah, kau benar, bahwa aku masih punya masa depan, terimakasih Yan, kau t elah membuat semangat hidupku kembali”
Ahhhh….leganya mendengar ucapan itu, aku merasa lega dan malam ini aku pasti bisa tidur dengan nyaman.
*********
Si Mata Setan
Pagi itu seperti biasanya aku mengajak Dody jalan jalan di kebun milik pak sholeh. Selain luas, disana juga banyak buah buahan, terutama durian, maklumlah sekarang sudah mulai musim durian, jadi kami setiap pagi mengajak Dody jalan jalan disana, selain untuk terapi kesembuhannya, kami juga bisa makan durian kalo ada durian yang jatuh, namun pagi itu masih terlalu pagi hingga kabut masih menyelimuti hari.
“ Kok pagi sekali si Yan” dody protes
“ Ntar kalo kesiangan ga kebagian durian, gimana mau kebagian, orang anak sekampung kesini semua buat rebutan duren, hehehe”
Lama kami berjalan dan tak jua menemukan durian yang kami nantikan, hingga lelah dan putus asa menghantui pencarian kami. Tiba-tiba Dody berteriak
“ Asyik aku nemu durian”
“ Mana dod” tanyaku senang,
“ Itu di bawah pohon di bawah sana”
Aku menunjuk kearah yang ditunjukkan Dody, namn yang kutemu adalah buah nangka,
“ Ah dod, seneng ya kalo ngerjain temen?” kataku kesel
“ Eeh,,,siapa yang ngerjain, itu durian” Dody tak mau dituduh
“ Siapa yang percaya padamu, mana ada durian segede itu, kalau nangka ia, “ jawabku meyakinkan.
“ Coba aja kamu ambil dan cium, bau durian ga”
Ah Dody,,,walaupun aku malas, tapi aku tak ingin membuatnya kecewa, aku ambil buah itu, dan aku cium buah itu, dan brengg,,,,bau durian sedap menyengat hidungku
“ Ia dod, ini durian, tapi kok besar banget yah,,” sorakku kegirangan
“ Gitu kamu ga percaya, kan sudah aku bilang. Ga percuma kan aku dijuluki si mata setan”
“ Ia simata setan, hilang matanya tinggal …..”
“ Setannya,,,,sialan” Dody gembringsung sendiri
“ Bukan aku lho yang ngomong” teriakku mengela. Kami hanya tertawa
*********
Getarannya Melebihi Gempa
Pagi telah sempurna menamkkan keindahan, daun daun bergerak menjatuhkan embun pagi dengan terpaan angin kencang. Burung burung kecil beterbangan kesana kemarim, bertengger diatas dahan jambu depan rumahku. Sayapnya yang basah oleh embun membuat ia jelek sekali, kedinginan, dan mereka pun mempunyai insting untuk mencari kehangatan dari celah celah cahaya mentari pagi yang merangsak menembus dedaunan.
Aku bergegas loncat dari tempat tidurku dan kuambil handuk dan teman-temannya langsung cabut kekamar mandi. “Ah sial aku terlambat bangun”. gerutuku
Hari ini adalah hari pengumuman kelulusan di sekolahku, hari ini adalah penentuan nasib dari 3 tahun aku menuntut ilmu disana, seolah semuanya tak berarti jika aku harus gagal dihari ini. Apa kata orang jika aku gagal, sudah jadi tradisiku menyandang peringkat 3 besar, kalau aku gagal, ah,,,betapa malunya aku.
Kupacu cepat sepeda tuaku, seolah tak memperdulikan jalanan terjal yang aku lewati. Pemandangan sawah yang masih hijau menambah indah, tapi aku seolah tak peduli, padahal aku sangat menyukai pemandangan hijau itu, sejuk dan mendamaikan setiap orang yang melihatnya, tapi aku juga heran kenapa kadang malah mereka yang seolah senang dengan pemandangan hijau, tip minggu pergi ke puncak, tapi malah yang menghancurkan keindahan itu, ah manusia memang serakah. Padahal mereka akan segera punah, dan anak cucu mereka yang akan meneruskan memperjuangkan keutuhan bumi, tapi hanya cerita cerita kolosal yang kini mereka siapkan untuk anak cucu mereka. Alih alih ingin mengadakan penghijaun, dengan menanam pohon, tapi tunggu dulu, nanti kalau sudah besar seDikit saja pasti sudah di babat lagi. Permainan tanda tangan itu memang kejam.
Pukul 09.15 menit aku sampai di sekolah, kulihat anak anak sudah berkumpul di halaman, ada yang bergembira dan ada juga yang menangis, aku meringis melihatnya.
“ Kamu telat Yan,” sapa gianto padaku,
“ Ia, semalam aku tak bisa tidur, memikirkan hari ini, bagaimana kabarnya 30 menit yang lalu?” tanyaku, memang pengumuman kelulusan sudah lewat 30 menit yang lalu.
“ Aku lulus Yan, tapi banyak teman-teman kita yang tidak lulus. Kamu tahu si novi, jenius dari anak tuha itu, ia tidak lulus”
Jegerrrrr…….apa aku tak salah dengar dengan perkataan Gianto tadi, si Novi, cewek cantik nan cerdas kembang desa Anak Tuha itu tidak lulus, padahal dia adalah sainganku yang sangat susah aku kalahkan. Ia selalu menempati 1 tingkat diatasku, walau sekali aku bisa mengalahkannya, itu pun saat ia jatuh sakit. Aku semakin tertunduk lemas, ingin rasanya aku pulang saja. Aku seolah sudah tahu kalau aku tak lulus. Pesimis ku mulai tampak pada wajahku, aku meringis, dan kutatap Gianto yang gembira seolah sudah terlepas dari jeratan malaikat maut
“ Kamu kok ga semangat gitu sih Yan, apa kamu takut ga lulus, udahlah Yan, dibikin enjoy aja, kamu pasti lulus, kalo gar tahun ini, ya tahun depan” kata itu muncul dari mulut Gianto. Entah ejekan, atau semangat. Kta itu mengingatkanku pada sebuah iklan rokok di terlevisi yang lasgi ngetren saat seperti ini.
“ Ah dasar plagiat kelas kakap kamu” seruku jengkel sambil meninggalkan Gianto sendiri dengan senyum bodohnya
“ Plagiat apaan yah?”
Aku berjalan ke kantor, disekeliligku kulihat dua dunia berlangsung bersamaan, antara dunia kegembiraan , dan dunia kesediahan berlinang air mata, entah dunia mana yag akan menampungku saat aku keluar dari ruang kantor itu. Jawaban yang masih mengganggu fikirku. Dan aku melangkah dengan seDikit tergagap, bak seorang buta di tengah keramaian.
“Tok,,tok,,tok” daun pintu itu kuketuk, diatas pintu itu tertulis “kepala sekolah” dengan indah, namun tak seindah kenyataan yang akan kuhadapi.
“ Masuk” suara dari dalam ruangan itu.
Kubuka pintu, kulihat seorang laki-laki paruh baya sedang sibuk membuka lembar-lembaar kertas,
“ Selamat pagi pak” aku masih berdiri di pintu, dan belum kuberanikan diri untuk masuk keruang yang bagiku seperti ruang penentu nasib kemana akan aku lanjutkan untuk memilih dua dunia yang tadi telah aku saksikan.
“ Kamu terlambat” ucap pak Tofik. Tatapan matanya seolah tak senang padaku. Ia seolah kecewa padaku, apakah kecewa karena aku terlambat atau karena…….karena aku tidak lulus…ahhhh tuhan tolong aku.
“Duduk”, perintah pak Tofik. Kuturuti perintahnya,
“ Apa saja yang kau lakukan akhir akhir ini, kau sering terlambat, padahal kamu tahu ujian sudah dekat, dan ketika aku tanya teman temamu, kau sekarang tidak rajin lagi ikut belajar kelompok, padahal dulu kau yang memprakarsai berdirinya kegiatan itu, dan bapak senang dengan usulmu itu. Tapi sekarang bapak kecewa padamu” ia berhenti sejenak menghirup nafas panjang, dan aku hanya terdiam dengan hati berdebar, memang aku akui akhir akhir ini merasa tidak konsisten dengan belajarku.
“ Hasil belajarmu anjlok, yah mau apa lagi, bapak tidak bisa membantu, kamu sendiri yang menentukan itu semua”
Aku bagai terbang ke angan-angan, aku tak kuasa menahan tetes air tak bersalah menetas dari mataku, seolah hidupku berhenti sampai disini, apa yang harus aku lakukan, apa kata orang tuaku, keluargaku, tetanggaku, eka…ah,,,,,,,aku tak sanggup lagi. Gejolak jiwaku beranjak naik, getarannya seperti guncangan gempa Sumatra barat.
“ Yan, jangan kau sesali, ini sudah suratan darinya.” Pak Tofik menenangkan aku, seraya memberi amplop putih yang didalamnya terisi sebuah kertas kecil penentu masadepanku.
Perlahan ku buka kertas itu, dan kulirik pelan pelan dengan hati berdebar, kulihat tulisan lulus, tapi aku tak bahagia, karena kata lulus masih ada dua kemungkinan, lulus atau tidak lulus. Kubuka lebar lebar mencari apakah ada salah satu kata yang belum aku baca. Dan brak…kertas itu terbuka lebar
“ LULUS” dan tidak ada kata lain selain itu, aku beranjak dari tempat dudukku, pak Tofik hanya tertawa melihatku, ternyata ia memang sengaja mempermainkan aku
“ Selamat ya Yan, maaf kalo bapak tadi berbuat seperti itu, bapak hanya ingin memberikan kenangan kepadamu, kau adalah murid yang bapak sayang, kau cerdas, dan banyak menelorkan ide untuk sekolah ini lebih baik. Anggap itu hadiah dari bapak agar kau selalu ingat dengan bapak, walau bapak tahu ini adalah permainan bapak untuk terakhir kali denganmu, semoga kau sukses Yan”
Aku tak bisa berkata apa apa lagi, kupeluk tubuh pak Tofik dan aku menangis terharu dengannya.
*******
Pasir Putih
Hari ini indah, alunan musik pantai pasir putih menggema diiringi simfoni angin kemarau, ikan ikan kecil berlarian kesana kemari menampilkan keelokannya, bak penari hula hula, penyu pun tak mau ketinggalan mengais pasir untuk meletakkan bakal anaknya, kasian telur telur itu, ia pasti kesepian sendiri di dalam pekatnya timbunan pasir itu, kulepas jaket ku, dan kuhempaskan tubuh lepas menatap sekawanan burung burung diawan.
“ Kemana kau setelah ini Yan?” eka mulai bertanuya padaku.
“ Entahlah, aku mungkin akan meneruskan sekolahku, aku sudah memutuskan untuk kuliah di jawa, seperti impianku dulu, dan kurasa impian itu sudah denkat diujung bulu mataku,”
Hempas di awan, hilang tertiup angin. Eka tak menjawab, hanya terdiam.
“ Kau sendiri mau kemana Ka?”. Tanyaku sambil kutatap mata biru itu, mata yang membuat aku tak bisa tidur seminggu, mata yang membuat aku menjadi salah tingkah jika memandangnya, mata yang pertama kali membuat aku jatuh cinta padanya. Dia cinta pertamaku
“ Entahlah, aku tak ada niatan untuk melanjutkan sekolahku, aku ingin kerja saja, membantu beban orang tuaku. Sudah biasa di keluargaku jika seorang anak perempuan yang ada disana, tidak bisa meneruskan sekolah, dan tugasnya hanyalah bekerja membantu orang tua” eka menjawab lemas
“ Jika kau benar ingin kuliah di Jawa, kau pasti akan lama sekali tidak pulang, lalu bagaimana dengan hubungan kita, aku tak bisa jika harus melakukan hubungan jarak jauh, terlalu menyiksaku, lagi pula kita masih belum punya handphone” eka mulai meragukan akan hubungan yang telah kami jalani selama hampir satu tahun
“ Kita bisa berkomunikasi dengan surat kan” usulku
“ Ia” jawabnya singkat, dan kami habiskan hari itu dengan penuh cinta di naungan indah pantai pasir putih.
Eka pulang ke rumahnya, ia memang bukan asli penduduk desaku. Ia tinggal bersama neneknya, orang tuanya tinggal jauh dari desaku, beda kabupaten denganku, entah dimana, aku juga tak tahu rumahnya,
Satu minggu setelah kepergian eka, beban itu terasa lebih berat lagi, awalnya aku tak begitu sedih dengan kepergian eka ke rumah ibunya, namun ketika aku tahu apa yang akan terjadi, semua itu setelah aku main ke rumah neneknya.
“Kamu Riyan ya,,,,eka banyak cerita dengan nenek tentangmu”
“ Ia nek” jawabku singkat
“ Oh iya….sebelum Eka pergi, ia menitipkan sesuatu pada nenek, katanya ini untukmu”
“ Apa nek?” tanyaku penasaran
“ Sepertinya sebuah surat”
Ku terima surat itu, kubaca pelan pelan.
Buat Riyan
Kau akan marah atau membenciku,terserah kamu, itulah yang harus aku terima, mau tak mau itu adalah resiko akan semua keputusanku. Maafkan aku jika keputusanku membuat kau kecewa, kepulanganku ke rumah orang tuaku adalah memenuhi permintaan orang tuaku yang telah menjodohkanku dengan pria pilihan mereka, aku tak bisa menolak itu. Karna aku tak sanggup.
Yan,,,aku sayang sama kamu, kamu adalah orang yang pertama mambuat aku mengerti akan arti indahnya cinta, dunia yang penuh cinta. Aku mencintaimu Yan, seperti bintang yang mencintai malam, tapi cinta itu tak bisa terwujud dengan indahnya kebahagiaan itu. Bumi dan langit tak mengijinkan kita berdua. Aku tak bisa mencegah kepergianmu kuliah di jawa, hanya untuk menikahiku.
Maaf jika aku berbuat seperti itu, lupakan aku Yan. Aku tahu kau orang yang tegar, kau tampan, cerdas, dan sifatmu yang baik dan menyayangi itu akan membuat kau menemukan pengganti diriku. Bahkan lebih baik dariku
Maaf
Eka
Aku berlari sekuatnya, kerikil dan batuan yang menghadang kuterjang sejadi jadinya, aku tak tahu apa yang ada dalam perasaanku saat Ini, kecewa marah atau apa…..
“ Haaaaaaaaaaaaaaa….Ekaaaa kenapa kau lakukan ini padakuuuuuu!!!” teriakku menggema menghempas pasir pantai yang putih. Deruan ombak memantulkan suara itu, dan seisi laut terbangun dari tidurnya mendengar jeritanku.
Terdiam, hening dan kehampaan yang kurasa saat itu, bahkan langit biru itu tak mampu memberikan jawaban atas keluh kesah yang sedang manghantuiku. Ku tatap ombak itu dengan penuh kemarahan, tanpa pikir panjang langsung kuterjang dia dengan emosi yang membara, kulawan arus yang kuat itu, arus yang hamper menjatuhkan tubuh kurusku, aku tetap malawannya, namun aku tak kuasa menahan kekuatan alam yang allah ciptakan itu, tubuhku terhempas dan tenggalam di lautan biru, entah berapa liter air yang masuk lewat kerongkonganku. Aku tersedak, air laut yang asin itu membuat tenggorokanku terasa sakit sekali, aku tak bisa mengeluarkan satu patah katapun, lunglai terseret air kesebuah pulau yang aku sendiri tak tahu dimana itu, gelap,.,,,tiba-tiba seluruh dunia ini menjadi gelap dan saat itu aku tak tahu apa yang terjadi padaku.
Kerincing,,,,
“ Bangun nak,,,,” suara itu membuat aku terbangun, pak tua berjubah putih dengan jenggot panjang itu menyadarkan aku dari ketidak sadaranku
“ Siapa kamu,,,aku dimana” tanyaku heran.
“ Kau ada di dalam anganmu sendiri” ia tersenyum
“ Ah,,,mana mungkin. Ini gila,,,,apa aku sudah gila,,hai pak tua,,katakan dimana aku sekarang, dan siapa kau?” aku terus mendesak pak tua itu untuk memberikan identitasnya, namun ia malah lari meninggalkan aku dan menghilang ditengah kegelapan
Hening, kembali aku terperangkap dalam keheningan ini, kabut putih kembali merangsak menggangu pernafasanku.
********
Langkah Baru
Pagi itu,,,,kulihat semua mata menuju kearahku. Tak ada suara. Ku kepak baju yang akan aku bawa. Sambil meneteskan air mata, ibuku membantuku mengemasi barang barangku. Di sudut ruang hampa itu, kulihat bapak terdiam. Matanya lepas menatap awan nan jauh disana. Seperti ia sedang menatapku. Terlintas dibenaknya akan burung kecil yang selama ini ia rawat dengan sepenuh cinta. Kini burung itu telah tumbuh dewasa. Kedua sayapnya siap untuk terbang dan meninggalkan ia sendiri. Asap rokok sesekali mengepul menutupi wajahnya yang mulai mengerut.
“Kau yakin dengan niatmu, nang?” ibu bertanya.
“Doakan saja, bu” jawabku lirih.
“ Hati hati di negeri orang” ibu membuyarkan lamunanku. Aku hanya terdiam dan tak bisa berkata apa apa. Tak mampu kata kata itu terucap dari bibirku, hanya anggukan kepala yang menjawabnya.
Langkah demi langkah ku tinggalkan semua orang yang terpaku menatapku. Air mata ibu terus mengalir bak sumber mata air suci dari aliran gunung fuji. Sementara bapak hanya diam sambil berjalan disampingku. Aku tak bisa berkata apa apa lagi. Kuhentikan langkahku dan ku tengok ke belakang. Ibu belum berhenti menangis.
Tangisan ibu seolah tidak mengizinkan aku pergi meninggalkannya, namun ibu tahu siapa diriku, seorang anak keras kepala yang harus dituruti apa kemauannya. Namun kali ini, kemauan ku yang gila. Benar benar gila.
Dody sudah sembuh, kini ia sudah bisa berjalan seperti semula, walau kadang langkahnya tidak sejajar. Pagi itu dody ingin mengantarkan aku ke terminal. Dengan sepeda motornya, ia mengantarkan aku dan bapakku ke terminal. Tidak banyak kata yang terucap, hingga aku sampai di terminal. Segalanya berubah menjadi haru. Air mata itu kembali menetes. Dody yang ku kenal berwajah sangar, bertubuh kuat, ternyata melancolis juga. Air matanya menetes jatuh di bumi.
Ku peluk ia, kutenangkan jiwanya. Namun ia tahu bahwa ia akan kehilangan aku untuk beberapa lama.
“jaga diri baik baik, sob” pesannya
“kau juga dody, jaga diri baik baik. Teruslah berjuang untuk menyelesaikan hidup dengan memberikan manfaat bagi semua orang”
“Ia, aku janji akan terus semangat mengejar cita citaku. Selamat jalan sobatku, semoga apa yang kau cita citakan, menjadi kenyataan”
Kembali drama kesedihan terjadi di terminal itu. Semua orang menatap kami, bahkan diantara mereka ada juga yang berlinang air mata.
Sementara bapak, tipikalnya yang tenang, tak banyak kata. Hanya terdiam sambil menghempaskan pandangan ke alam liar. Saat ku sentuh tangannya, kucium dengan penuh hidmat. Ku rasakan getaran tangannya, sambil berbisik ia berucap.
“Kini kau sudah tumbuh dewasa, jagalah dirimu baik baik. Hanya dirimu yang bisa menyelamatkanmu disana. Bapak hanya bisa mendoaakan kamu, agar semua cita citamu berhasil. Jika ini memang sudah niat dari hatimu, pesan bapak…jangan pulang sebelum berhasil” itulah kata kata bapak yang sampai saat ini masih ku ingat.
Saat ini aku masih terapung diantara dua pulau,, di depan sana terbentang jelas pulau yang aku impikan. Pulau jawa. Sebentar lagi aku akan dapat menggapainya. Ku tatap lepas lautan biru. Ku pandangi sebuah wajah memantul dari permukaan air. Aku berkata padanya. Pada bayangan itu…
“ Saatnya kau bisa menjadi dirimu sendiri. Cita citamu pasti tercapai asalkan kau mau bersungguh sungguh. Ingatlah betapa orang tuamu sedih saat kau tinggal. Ingatlah sahabatmu. Kau harus berhasil agar kebahagiaan mereka terbayar.”
Gelora jiwa kini menyatu. Api semangat kembali berkobar. Kulihat sekeliling berubah menjadi indah. Nyanyian burung camar terdengar syahdu, sementera tarian ikan lumba lumba seperti tarian ballet putri Diana. Kini aku benar benar mantap dengan apa yang aku cita citakan. Walau alang rintang akan menghadangku, aku tidak pernah takut untuk melawannya. Pulau jawa….aku datang untukmu.

0 komentar:

Posting Komentar