"Tempatkanlah mereka (para
istri) dimana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu dan janganlah
kamu menyusahkan mereka untuk menyempitkan hati mereka..." Q.S.
ath-Thalaaq: 65
Kutipan
ayat diatas mengingatkan agar menjaga istri dari tindakan yang dapat
menyusahkan dan menyempitkan hati mereka. Sebagai suami, menjaga
keluarga adalah satu kewajiban. Namun bagaimana dengan suami suami yang
berprofesi sebagai teroris?.
Tidak
bias dipungkiri, aksi teroris kembali mengacam kedaulatan negara kita.
Ditemukannya markas pelatihan teroris di Aceh baru baru ini merupakan
bukti nyata bahwa ancaman terror masih belum reda. Hal ini dapat
menyebabkan keresahan timbul di berbagai kalangan. Apalagi data
peledakan bom di Indonesia ditengarai sebagai sebuah gerakan sistematis
(terorisme) yang mengancam demokrasi. Sekurang-kurangnya dalam sewindu
terakhir semua tragedi di atas menyebabkan 262 orang tewas dan 782 orang
luka-luka (Kompas, 12/8/2009).
Akibat
kejadian tersebut, dampak psikologis berupa trauma dan menipisnya
kepercayaan dari dunia global, mulai dari persoalan keamanan hingga
investasi dilihat sebagai kendala upaya pencapaian kesejahteraan bangsa
ini. Negara di cap sebagai sarang teroris, sehingga para investor enggan
menanamkan modalnya.
Berbagai
upaya dilakukan untuk menumpas gerakan teroris di Indonesia. Dari
pengepungan, hukuman mati, sampai tembak mati di tempat kejadian.
Sebenarnya, kasus teroris tidak hanya selesai dengan penyergapan atau
hukuman mati bagi pelaku teroris. Permasalahan yang begitu pelik adalah
tentang permasalahan istri dan anak pelaku teroris yang menjadi korban.
Mereka harus memenuhi kebutuhan sehari hari dengan tanpa suami.
Kebanyakan
dari mereka kini hanya bisa menggantungkan uluran tangan para dermawan.
Dengan kematian para suami mereka, dan beberapa lainnya yang suaminya
ditangkap, kini mereka harus hidup terkatung-katung. Mengurus anak dan
menghidupi keluarga tanpa adanya penghasilan apapun yang mereka dapat.
Apalagi sebagai wanita, sebagian besar dari mereka meyakini bahwa mereka
tidak wajib bekerja dan mencari nafkah, sehingga kini mereka hanya bias
pasrah menerima keadaan.
Ditambah
lagi oleh dampak dari sorotan masyarakat. Berbagai guncangan, baik
secara psikis maupun ekonomis jelas dirasakan. Tanpa tahu menahu,
berbagai tudingan, cercaan, dan cemoohan seperti penjahat kemanusiaan,
berasal dari keturunan yang kurang beres, kelompok radikal, dan lain
sebagainya dinisbatkan kepada mereka.
Belum
selesai disitu. Media massa baik cetak maupun elektronik akan berlomba
lomba mengekspos mereka. Dan yang lebih parah, para istri dan kerabat di
wawancara secara langsung dan mempublikasikan riwayat hidup secara
telanjang. Perhatian massa jelas akan tertuju pada mereka dengan tidak
sedikit stigma juga akan tersematkan kepada mereka.
Selain
masalah ekonomi yang membelit setelah dibunuh dan ditangkapnya para
suami mereka, wanita wanita korban Hak asasi manusia itu juga harus
menanggung keterasingan akibat pengucilan di masyarakat. Jelas
masyarakat akan mengucilkan dan bahkan mengusir keluarga teroris.
Tindakan yang tidak rasional alih alih sebagai pembersi daerah tempat
mereka tinggal dari cap sebagai “daerah penghasil teroris”.
Ini
jelas berpengaruh bagi kepercayaan diri istri dan pertumbuhan anak-anak
seorang teroris. Mereka yang tidak tahu apa apa seolah menjadi pewaris
apa yang dilakukan suami dan ayah mereka. Hidup di tengah kepungan makna
terorisme yang kental dengan ketragisan.
Anak
istri dari teroris di Situasi di atas membuktikan terjadinya kekerasan
yang oleh Pierre Boerdieu (La Domination, 1998) disebut kekerasan
simbolik (symbolic violence) yang dialami oleh istri dan keturunan
seorang teroris. Cap
teroris yang disematkan masyarakat kepada suami-suami mereka berlaku
subjektif dan tidak mengindahkan prinsip-prinsip HAM serta hukum yang
ada. Misalnya, digunakannya pre-emptive action dan pemberlakuan asas pembuktian terbalik, bertentangan dengan prinsip praduga tak bersalah (presumption of inosence). Banyak
contoh yang dapat kita sampaikan, seperti kasus Munawaroh, salah satu
istri dari Noordin M top yang dijadikan tersangka karena menyembunyikan
teroris. Ada juga Munfiatun yang sempat dipenjara selama tiga bulan
karena kasus yang sama. Tindakan teroris yang meninggalkan derita kepada
anak istri jelas tidak sesuai dengan syariat agama. Seperti ayat yang
saya kutipkan diatas, bahwa kita tidak boleh meninggalkan kesengsaraan
kepada istri.
Hak
asasi mereka sebagai makhluk berbangsa kian terancam. Padahal Hak Asasi
Manusia adalah hak yang melekat pada diri setiap manusia sejak awal
dilahirkan yang berlaku seumur hidup dan tidak dapat diganggu gugat
siapa pun Akibat ulah suami teroris, kini mereka seperti tidak mugkin
mendapatkan pengakuan dari masyarakat. Hak yang menyangkut hak pribadi,
hak hokum, hak asasi ekonomi dan lain lain semakin mengerucut. Dimanapun
mereka pergi, maka pandangan masyarakat terhadap mereka sinis. Tekanan
batin jelas dirasakan bagi wanita wanita korban dari suami suami teroris
tersebut.
Jika
kita mencoba menganalogikan mereka dengan istri presiden. Setiap wanita
yang menjadi istri presiden jelas menyandang sebagai ibu Negara.
Kedudukan yang sangat terhormat namun tidak bias dipertanggung jawabkan.
Apakah mereka mampu menjadi ibu Negara, atau hanya karena embel embel dari suami mereka yang kebetulan menjadi presiden. Kenyataan seperti inilah yang menjelama dalam maind set masyarakat
sekarang. Disadari atau tidak, peran atau pekerjaan suami akan
disandangkan kepada istri. Misalnya ibu menteri, ibu lurah, ibu camat,
dan lain lain.
Yang
ironis, jika suami teroris maka istri juga diduga teroris. Padahal
sebenarnya ia tidak mengetahui sama sekali tentang kegiatan suami di
luar rumah, bahkan mereka tidak mengenal nama nama seperti noordin M top
karena suami mereka memiliki nama lain. Ketika
para istri itu harus melayani suaminya dirumah, tudingan menyembunyikan
teroris dilontarkan kepada mereka. Sungguh memprihatinkan.
Teroris
memang sudah sepantasnya diberantas. Keberadaannya yang mengancam
ketentraman kehidupan berbangsa memang tidak bias dimaafkan. Namun tidak
seharusnya orang yang tidak ikut andil dengan kegiatan teroris juga
menjadi sasaran dari kebencian kita. Seperti istri teroris misalnya.
Bukanlah menjadi keingingan mereka bersuamikan seorang teroris. Mereka
juga mempunyai hak hak yang sama seperti istri istri pejabat lainnnya.
Cukuplah mereka menanggung beban ditinggal mati suaminya tanpa harus
menerima beban mental akibat cemoohan dari masyararakat.
1 komentar:
Hai juga, terimakasih juga atas kunjungannya,,,,dan alhamdulilah jika tulisan yang sederhana ini dapat bermanfaat. salam.
Posting Komentar