Jumat, 11 Mei 2012

Derita Istri Teroris

"Tempatkanlah mereka (para istri) dimana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu dan janganlah kamu menyusahkan mereka untuk menyempitkan hati mereka..." Q.S. ath-Thalaaq: 65

Kutipan ayat diatas mengingatkan agar menjaga istri dari tindakan yang dapat menyusahkan dan menyempitkan hati mereka. Sebagai suami, menjaga keluarga adalah satu kewajiban. Namun bagaimana dengan suami suami yang berprofesi sebagai teroris?.
Tidak bias dipungkiri, aksi teroris kembali mengacam kedaulatan negara kita. Ditemukannya markas pelatihan teroris di Aceh baru baru ini merupakan bukti nyata bahwa ancaman terror masih belum reda. Hal ini dapat menyebabkan keresahan timbul di berbagai kalangan. Apalagi data peledakan bom di Indonesia ditengarai sebagai sebuah gerakan sistematis (terorisme) yang mengancam demokrasi. Sekurang-kurangnya dalam sewindu terakhir semua tragedi di atas menyebabkan 262 orang tewas dan 782 orang luka-luka (Kompas, 12/8/2009).
Akibat kejadian tersebut, dampak psikologis berupa trauma dan menipisnya kepercayaan dari dunia global, mulai dari persoalan keamanan hingga investasi dilihat sebagai kendala upaya pencapaian kesejahteraan bangsa ini. Negara di cap sebagai sarang teroris, sehingga para investor enggan menanamkan modalnya.
Berbagai upaya dilakukan untuk menumpas gerakan teroris di Indonesia. Dari pengepungan, hukuman mati, sampai tembak mati di tempat kejadian. Sebenarnya, kasus teroris tidak hanya selesai dengan penyergapan atau hukuman mati bagi pelaku teroris. Permasalahan yang begitu pelik adalah tentang permasalahan istri dan anak pelaku teroris yang menjadi korban. Mereka harus memenuhi kebutuhan sehari hari dengan tanpa suami.
Kebanyakan dari mereka kini hanya bisa menggantungkan uluran tangan para dermawan. Dengan kematian para suami mereka, dan beberapa lainnya yang suaminya ditangkap, kini mereka harus hidup terkatung-katung. Mengurus anak dan menghidupi keluarga tanpa adanya penghasilan apapun yang mereka dapat. Apalagi sebagai wanita, sebagian besar dari mereka meyakini bahwa mereka tidak wajib bekerja dan mencari nafkah, sehingga kini mereka hanya bias pasrah menerima keadaan.
Ditambah lagi oleh dampak dari sorotan masyarakat. Berbagai guncangan, baik secara psikis maupun ekonomis jelas dirasakan. Tanpa tahu menahu, berbagai tudingan, cercaan, dan cemoohan seperti penjahat kemanusiaan, berasal dari keturunan yang kurang beres, kelompok radikal, dan lain sebagainya dinisbatkan kepada mereka.
Belum selesai disitu. Media massa baik cetak maupun elektronik akan berlomba lomba mengekspos mereka. Dan yang lebih parah, para istri dan kerabat di wawancara secara langsung dan mempublikasikan riwayat hidup secara telanjang. Perhatian massa jelas akan tertuju pada mereka dengan tidak sedikit stigma juga akan tersematkan kepada mereka.
Selain masalah ekonomi yang membelit setelah dibunuh dan ditangkapnya para suami mereka, wanita wanita korban Hak asasi manusia itu juga harus menanggung keterasingan akibat pengucilan di masyarakat. Jelas masyarakat akan mengucilkan dan bahkan mengusir keluarga teroris. Tindakan yang tidak rasional alih alih sebagai pembersi daerah tempat mereka tinggal dari cap sebagai “daerah penghasil teroris”.
Ini jelas berpengaruh bagi kepercayaan diri istri dan pertumbuhan anak-anak seorang teroris. Mereka yang tidak tahu apa apa seolah menjadi pewaris apa yang dilakukan suami dan ayah mereka. Hidup di tengah kepungan makna terorisme yang kental dengan ketragisan.
Anak istri dari teroris di Situasi di atas membuktikan terjadinya kekerasan yang oleh Pierre Boerdieu (La Domination, 1998) disebut kekerasan simbolik (symbolic violence) yang dialami oleh istri dan keturunan seorang teroris. Cap teroris yang disematkan masyarakat kepada suami-suami mereka berlaku subjektif dan tidak mengindahkan prinsip-prinsip HAM serta hukum yang ada. Misalnya, digunakannya pre-emptive action dan pemberlakuan asas pembuktian terbalik, bertentangan dengan prinsip praduga tak bersalah (presumption of inosence). Banyak contoh yang dapat kita sampaikan, seperti kasus Munawaroh, salah satu istri dari Noordin M top yang dijadikan tersangka karena menyembunyikan teroris. Ada juga Munfiatun yang sempat dipenjara selama tiga bulan karena kasus yang sama. Tindakan teroris yang meninggalkan derita kepada anak istri jelas tidak sesuai dengan syariat agama. Seperti ayat yang saya kutipkan diatas, bahwa kita tidak boleh meninggalkan kesengsaraan kepada istri.
Hak asasi mereka sebagai makhluk berbangsa kian terancam. Padahal Hak Asasi Manusia adalah hak yang melekat pada diri setiap manusia sejak awal dilahirkan yang berlaku seumur hidup dan tidak dapat diganggu gugat siapa pun Akibat ulah suami teroris, kini mereka seperti tidak mugkin mendapatkan pengakuan dari masyarakat. Hak yang menyangkut hak pribadi, hak hokum, hak asasi ekonomi dan lain lain semakin mengerucut. Dimanapun mereka pergi, maka pandangan masyarakat terhadap mereka sinis. Tekanan batin jelas dirasakan bagi wanita wanita korban dari suami suami teroris tersebut.
Jika kita mencoba menganalogikan mereka dengan istri presiden. Setiap wanita yang menjadi istri presiden jelas menyandang sebagai ibu Negara. Kedudukan yang sangat terhormat namun tidak bias dipertanggung jawabkan. Apakah mereka mampu menjadi ibu Negara, atau hanya karena embel embel dari suami mereka yang kebetulan menjadi presiden. Kenyataan seperti inilah yang menjelama dalam maind set masyarakat sekarang. Disadari atau tidak, peran atau pekerjaan suami akan disandangkan kepada istri. Misalnya ibu menteri, ibu lurah, ibu camat, dan lain lain.
Yang ironis, jika suami teroris maka istri juga diduga teroris. Padahal sebenarnya ia tidak mengetahui sama sekali tentang kegiatan suami di luar rumah, bahkan mereka tidak mengenal nama nama seperti noordin M top karena suami mereka memiliki nama lain. Ketika para istri itu harus melayani suaminya dirumah, tudingan menyembunyikan teroris dilontarkan kepada mereka. Sungguh memprihatinkan.
Teroris memang sudah sepantasnya diberantas. Keberadaannya yang mengancam ketentraman kehidupan berbangsa memang tidak bias dimaafkan. Namun tidak seharusnya orang yang tidak ikut andil dengan kegiatan teroris juga menjadi sasaran dari kebencian kita. Seperti istri teroris misalnya. Bukanlah menjadi keingingan mereka bersuamikan seorang teroris. Mereka juga mempunyai hak hak yang sama seperti istri istri pejabat lainnnya. Cukuplah mereka menanggung beban ditinggal mati suaminya tanpa harus menerima beban mental akibat cemoohan dari masyararakat.

1 komentar:

Hai juga, terimakasih juga atas kunjungannya,,,,dan alhamdulilah jika tulisan yang sederhana ini dapat bermanfaat. salam.

Posting Komentar