Selasa, 26 Juni 2012

JAS MAMBU (Jangan Sekali-Kali Melupakan Bahasa Ibu)


Indonesia merupakan Negara yang kaya. Selain sumber daya alam yang melimpah, Indonesia yang terdiri dari berbagai pulau, menjadikannya kaya akan etnik dan budaya. Salah satunya adalah kekayaan bahasa.  Dunia mengakui bahwa terdapat lebih dari 700 bahasa daerah di Indonesia.
Seiring kemajuan zaman, timbul keresahan mengenai eksistensi bahasa daerah atau yang lebih dikenal dengan bahasa Ibu di Indonesia. Setiap hari, pengguna bahasa Ibu di negeri ini semakin menurun, terutama dikalangan remaja. Hal ini terbukti dari 746 bahasa Ibu di Indonesia, 726 diantaranya terancam punah  (Kompas,25 Juni 12).
Dalam catatan Kepala Pusat Bahasa Depdiknas, Dendy Sugono, di Papua ada sembilan bahasa yang punah dan Maluku Utara satu bahasa. Di Papua, rinciannya: bahasa Bapu, Darbe, dan Wares (Kabupaten Sarmi); Taworta dan Waritai (Jayapura); Murkim dan Walak (Jayawijaya); Meos – war (Manokwari); Loegenyem (Rajaampat). Di Maluku Utara yang punah adalah bahasa Ibu.
Hal ini patut dicemaskan, karena bahasa terutama bahasa ibu adalah warisan budaya bangsa yang dapat menentukan kemajuan sebuah bangsa. Mengutip pernyataan Koichiro Matsuura, Direktur UNESCO mengatakan bahwa apabila bahasa punah, maka kebudayaan lain juga ikut terancam. “Punahnya suatu bahasa menyebabkan hilang-nya berbagai bentuk warisan budaya, khususnya warisan tradisi dan ekspresi berbicara masyarakat penuturnya. Mulai dari sajak-sajak dan cerita hingga peribahasa dan lelucon-lelucon,’’ kata Direktur UNESCO, Koichiro Matsuura, di laman UNESCO.
Bahkan, mantan presiden Prancis, Jacques Chirac, pernah menyatakan ancaman kepunahan bahasa di dunia itu sebagai major risk for humanity, atau musibah besar bagi kemanusiaan.
Pengaruh Modernisasi
Belum lama ini, Urang (warga) Sunda mulai mengeluh dan khawatir akan keberlangsungan bahasa Ibu mereka. Bahasa Sunda yang telah didaftarkan ke UNESCO sejak 1951 silam, kini keberadaannya terancam punah. Saat ini, penutur bahasa Sunda diperkirakan tak lebih dari 27 juta penutur. Jumlah ini diprediksi terus menurut sekitar 20 % setiap tahunnya. (Balai Bahasa Bandung 2010, dalam Kompas 26 Juni 2012).
Pada edisi sebelumnya, Kompas juga menerbitkan sebuah artikel berjudul “Ngapak, Bukan Bahasa Rendahan” yang ditulis oleh Purnawan Andra. Dalam artikelnya tersebut, Purnawan menggambarkan bagaimana bahasa Ngapak (bahasa yang berkembang di Karesidenan Banyumas) terancam punah. Hal ini dikarenakan banyak remaja yang enggan menggunakan bahasa Ibu tersebut dalam kehidupan sehari-hari.
Modernisasi dan globalisasi merupakan hal yang paling disalahkan.  Karena secara langsung dan bertubi-tubi, mereka menyusup kedalam kehidupan sehari-hari dan memberikan antibody terhadap kemapanan. Ia merubah bahasa Ibu yang dahulu adalah bahasa keramat dan terhormat, menjadi bahasa yang lucu, pinggiran dan terkesan “rendahan”. Berkembangnya bahasa “gaul” menyebabkan bahasa Ibu terpinggirkan. Karena kesan inilah bahasa ibu mulai ditinggalkan oleh generasi penerus bangsa. Pemeliharaan keanekaragaman linguistic seperti yang dikatakan oleh Tove Skutnabb Kangas dalam Kompas 27 Juni 2012, dihadang oleh dominasi bahasa Inggris yang kian meningkat dan bahasa-bahasa “pembunuh” lain.
Selain itu, media juga menjadi actor musnahnya bahasa Ibu di negeri ini. Di televise misalnya, seseorang yang berbahasa ibu, misalnya bahasa ngapak, atau bahasa lain disimbolkan sebagai seorang babu, pembantu, tukang kebun, dan lain sebagainya. Sementara majikan menggunakan bahasa inggris atau setidaknya bahasa Indonesia.
Selain hal diatas, bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional juga mempunyai andil dalam musnahnya bahasa Ibu. Adanya pernikahan antar etnis, menjadikan bahasa Ibu ditinggalkan dan beralih menggunakan bahasa Indonesia. Demikian seterusnya dan diturunkan kepada anak-anak mereka. Bahkan yang lebih parah, tidak jarang di pedalaman yang biasa menggunakan bahasa ibu dalam kehidupan sehari-hari, mengajari anaknya sejak lahir dengan menggunakan bahasa Indonesia. Maka jangan heran jika ada pepatah mengatakan “wong jowo ning ora njawani (orang jawa tapi tidak paham jawa)” atau lain sebagainya.
Kekurangmampuan generasi muda dalam menggunakan bahasa ibu, tak lepas dari desakan bahasa Indonesia yang semula hanya dipakai dalam situasi resmi. Penggunaan bahasa ini mulai bergeser dari situasi resmi menjadi bahasa pergaulan sehari hari. Sudah jarang sekali sekarang anak-anak muda berkumpul dan bercanda gurau dengan bahasa Ibu mereka. Apabila ini dibiarkan, maka tidak lama lagi bahasa ibu akan benar-benar hilang di negeri ini.
Jangan sampai kisah Marie Smith Jones, wanita berdarah Indian yang meninggal pada 21 Januari 2008 ini terjadi di Negara kita. Jones merupakan penutur terakhir bahasa Eyak, bahasa suku yang mendiami wilayah selatan Alaska, negara bagian Amerika Serikat. Sepeninggal Jones, bahasa Eyak tak lagi dituturkan. Jauh sebelum Jones, bahasa Manx di Isle of Man, Inggris, lenyap pada 1974 setelah Ned Mad – drell, penutur terakhir bahasa itu meninggal. Lenyapnya bahasa-bahasa dunia, tak hanya dialami Eyak dan Manx. (http://dekadeku.wordpress.com/2009/11/03/ancaman-punahnya-bahasa-dunia/).
Untuk itulah, mulai saat ini  mari kita sadar akan pentingnya menjaga kelestarian bahasa Ibu. Jangan pernah memandang sebelah mata dan menganggap bahasa ibu adalah bahasa lucu, pinggiran bahkan rendahan. Bahasa yang telah diwariskan secara turun temurun itu patut dilestarikan sebagai warisan budaya yang tak ternilai harganya. Karena bangsa yang maju akan selalu menghargai dan melestarikan budayanya.
Mulailah dari terbiasa mengucapkan bahasa ibu dalam kehidupan sehari-hari. Walau mengetahui dan memahami bahasa lain juga perlu, setidaknya saat kita bersama keluarga, atau orang serumpun, maka berbicara dengan bahasa Ibu adalah hal yang harus selalu dilakukan. Selain itu, sekolah dan pendidikan lain juga wajib memberikan porsi yang ideal bagi pelajaran bahasa ibu di masing-masing daerah. Jangan hanya bahasa asing yang didahulukan demi gengsi dan nama besar sekolah. Jika bukan kita, siapa lagi, jika bukan sekarang, kapan lagi!.



2 komentar:

Tegal terkenal bahasa ngapak, namun bahasa ini tergerus oleh kekejaman zaman. mengingat bahasa ibu yang perlu dilestarikan, maka pemerintah daerah berencana memasukan bahasa tersebut ke kurikulum pendidikan.

Posting Komentar