Indonesia
merupakan Negara yang kaya. Selain sumber daya alam yang melimpah, Indonesia yang
terdiri dari berbagai pulau, menjadikannya kaya akan etnik dan budaya. Salah
satunya adalah kekayaan bahasa. Dunia mengakui bahwa terdapat lebih dari
700 bahasa daerah di Indonesia.
Seiring
kemajuan zaman, timbul keresahan mengenai eksistensi bahasa daerah atau yang
lebih dikenal dengan bahasa Ibu di Indonesia. Setiap hari, pengguna bahasa Ibu
di negeri ini semakin menurun, terutama dikalangan remaja. Hal ini terbukti
dari 746 bahasa Ibu di Indonesia, 726 diantaranya terancam punah
(Kompas,25 Juni 12).
Dalam
catatan Kepala Pusat Bahasa Depdiknas, Dendy Sugono, di Papua ada sembilan
bahasa yang punah dan Maluku Utara satu bahasa. Di Papua, rinciannya: bahasa
Bapu, Darbe, dan Wares (Kabupaten Sarmi); Taworta dan Waritai (Jayapura);
Murkim dan Walak (Jayawijaya); Meos – war (Manokwari); Loegenyem (Rajaampat).
Di Maluku Utara yang punah adalah bahasa Ibu.
Hal
ini patut dicemaskan, karena bahasa terutama bahasa ibu adalah warisan budaya
bangsa yang dapat menentukan kemajuan sebuah bangsa. Mengutip pernyataan
Koichiro Matsuura, Direktur UNESCO mengatakan bahwa apabila bahasa punah, maka
kebudayaan lain juga ikut terancam. “Punahnya suatu bahasa menyebabkan
hilang-nya berbagai bentuk warisan budaya, khususnya warisan tradisi dan
ekspresi berbicara masyarakat penuturnya. Mulai dari sajak-sajak dan cerita
hingga peribahasa dan lelucon-lelucon,’’ kata Direktur UNESCO, Koichiro
Matsuura, di laman UNESCO.
Bahkan,
mantan presiden Prancis, Jacques Chirac, pernah menyatakan ancaman kepunahan
bahasa di dunia itu sebagai major risk for humanity, atau musibah besar
bagi kemanusiaan.
Pengaruh Modernisasi
Belum
lama ini, Urang (warga) Sunda mulai
mengeluh dan khawatir akan keberlangsungan bahasa Ibu mereka. Bahasa Sunda yang
telah didaftarkan ke UNESCO sejak 1951 silam, kini keberadaannya terancam
punah. Saat ini, penutur bahasa Sunda diperkirakan tak lebih dari 27 juta
penutur. Jumlah ini diprediksi terus menurut sekitar 20 % setiap tahunnya.
(Balai Bahasa Bandung 2010, dalam Kompas 26 Juni 2012).
Pada
edisi sebelumnya, Kompas juga menerbitkan sebuah artikel berjudul “Ngapak,
Bukan Bahasa Rendahan” yang ditulis oleh Purnawan Andra. Dalam artikelnya
tersebut, Purnawan menggambarkan bagaimana bahasa Ngapak (bahasa yang
berkembang di Karesidenan Banyumas) terancam punah. Hal ini dikarenakan banyak
remaja yang enggan menggunakan bahasa Ibu tersebut dalam kehidupan sehari-hari.
Modernisasi
dan globalisasi merupakan hal yang paling disalahkan. Karena secara
langsung dan bertubi-tubi, mereka menyusup kedalam kehidupan sehari-hari dan
memberikan antibody terhadap kemapanan. Ia merubah bahasa Ibu yang dahulu
adalah bahasa keramat dan terhormat, menjadi bahasa yang lucu, pinggiran dan
terkesan “rendahan”. Berkembangnya bahasa “gaul” menyebabkan bahasa Ibu
terpinggirkan. Karena kesan inilah bahasa ibu mulai ditinggalkan oleh generasi
penerus bangsa. Pemeliharaan keanekaragaman linguistic seperti yang dikatakan
oleh Tove Skutnabb Kangas dalam Kompas 27 Juni 2012, dihadang oleh dominasi
bahasa Inggris yang kian meningkat dan bahasa-bahasa “pembunuh” lain.
Selain
itu, media juga menjadi actor musnahnya bahasa Ibu di negeri ini. Di televise
misalnya, seseorang yang berbahasa ibu, misalnya bahasa ngapak, atau
bahasa lain disimbolkan sebagai seorang babu, pembantu, tukang kebun, dan lain
sebagainya. Sementara majikan menggunakan bahasa inggris atau setidaknya bahasa
Indonesia.
Selain
hal diatas, bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional juga mempunyai andil dalam
musnahnya bahasa Ibu. Adanya pernikahan antar etnis, menjadikan bahasa Ibu
ditinggalkan dan beralih menggunakan bahasa Indonesia. Demikian seterusnya dan
diturunkan kepada anak-anak mereka. Bahkan yang lebih parah, tidak jarang di
pedalaman yang biasa menggunakan bahasa ibu dalam kehidupan sehari-hari,
mengajari anaknya sejak lahir dengan menggunakan bahasa Indonesia. Maka jangan
heran jika ada pepatah mengatakan “wong jowo ning ora njawani (orang
jawa tapi tidak paham jawa)” atau lain sebagainya.
Kekurangmampuan
generasi muda dalam menggunakan bahasa ibu, tak lepas dari desakan bahasa
Indonesia yang semula hanya dipakai dalam situasi resmi. Penggunaan bahasa ini
mulai bergeser dari situasi resmi menjadi bahasa pergaulan sehari hari. Sudah
jarang sekali sekarang anak-anak muda berkumpul dan bercanda gurau dengan
bahasa Ibu mereka. Apabila ini dibiarkan, maka tidak lama lagi bahasa ibu akan
benar-benar hilang di negeri ini.
Jangan
sampai kisah Marie Smith Jones, wanita berdarah Indian yang meninggal pada 21
Januari 2008 ini terjadi di Negara kita. Jones merupakan penutur terakhir
bahasa Eyak, bahasa suku yang mendiami wilayah selatan Alaska, negara bagian
Amerika Serikat. Sepeninggal Jones, bahasa Eyak tak lagi dituturkan. Jauh
sebelum Jones, bahasa Manx di Isle of Man, Inggris, lenyap pada 1974 setelah
Ned Mad – drell, penutur terakhir bahasa itu meninggal. Lenyapnya bahasa-bahasa
dunia, tak hanya dialami Eyak dan Manx.
(http://dekadeku.wordpress.com/2009/11/03/ancaman-punahnya-bahasa-dunia/).
Untuk
itulah, mulai saat ini mari kita sadar akan pentingnya menjaga
kelestarian bahasa Ibu. Jangan pernah memandang sebelah mata dan menganggap
bahasa ibu adalah bahasa lucu, pinggiran bahkan rendahan. Bahasa yang telah
diwariskan secara turun temurun itu patut dilestarikan sebagai warisan budaya
yang tak ternilai harganya. Karena bangsa yang maju akan selalu menghargai dan
melestarikan budayanya.
Mulailah
dari terbiasa mengucapkan bahasa ibu dalam kehidupan sehari-hari. Walau
mengetahui dan memahami bahasa lain juga perlu, setidaknya saat kita bersama
keluarga, atau orang serumpun, maka berbicara dengan bahasa Ibu adalah hal yang
harus selalu dilakukan. Selain itu, sekolah dan pendidikan lain juga wajib
memberikan porsi yang ideal bagi pelajaran bahasa ibu di masing-masing daerah.
Jangan hanya bahasa asing yang didahulukan demi gengsi dan nama besar sekolah.
Jika bukan kita, siapa lagi, jika bukan sekarang, kapan lagi!.
2 komentar:
Tegal terkenal bahasa ngapak, namun bahasa ini tergerus oleh kekejaman zaman. mengingat bahasa ibu yang perlu dilestarikan, maka pemerintah daerah berencana memasukan bahasa tersebut ke kurikulum pendidikan.
WAALAK, THANKS BRO
Posting Komentar