Rabu, 20 Juni 2012

Negeri Ironi Dibalik Ironi (Korupsi vs Bela Negara)


Masih ingatkah anda dengan Gayus Tambunan?. Mafia pajak yang wajahnya menghiasi seluruh media di Indonesia beberapa bulan lalu. Seorang pegawai golongan III A yang memiliki kekayaan milyaran rupiah. Darimana uang itu diperolehnya?. Anak kecil ingusan pun dapat menjawab. Korupsi!.
Memang, penyakit yang satu ini sungguh sangat sulit disembuhkan. Korupsi ibarat virus yang sampai saat ini belum ditemukan antibiotiknya. Ia menjalar dari institusi satu ke institusi yang lain. Setiap hari, rakyat dipusingkan oleh perilaku bobrok para petinggi negeri ini yang terlibat dalam lingkaran setan korupsi. Sementara Negara, sibuk mengurus dan berupaya menangkap tikus berdasi, hingga melupakan persoalan rakyat yang lebih penting. Kemiskinan, kelaparan, kerusuhan, dan berbagai kasus lain muncul dalam permukaan.
Inilah saat yang sangat genting bagi Indonesia. Jika anda membaca harian Kompas edisi 20 Juni 2012. Dalam sebuah beritanya dituliskan bahwa dalam indeks Negara gagal (Failed States Index / FSI) 2012 yang dipublikasikan di Washingtong DC, Amerika Serikat pada senin (18/6) , Indonesia menduduki peringkat ke 63 dari 178 negara. Hal ini lebih parah dibanding dengan tahun lalu yakni peringkat 64 dari 177 negara. Dalam situasi ini, Indonesia dalam kategori sebagai Negara bahaya (in danger) menuju apa yang dikatakan oleh Francis Fukuyama sebagai negara gagal (failed states).
Sungguh ironi dibalik ironi. Negara  yang subur, kaya akan sumber daya alam ini, akan menjadi sebuah Negara yang gagal. Negara yang disebut oleh para penyair sebagai serpihan surga yang jatuh ke bumi ini, akan berubah menjadi Negara hancur berantakan seperti Somalia, karena ulah segelintir orang yang tak memiliki hati nurani.
Berbagai upaya dilakukan, namun sekali lagi upaya tersebut bukanlah jawaban atas persoalan yang dihadapi. Cara yang dilakukan Negara untuk memangkas praktik korupsi di negeri ini terkesan setengah-setengah dan bertele-tele. Hukum pun tak lagi menunjukkan keadilan, kini “mata” patung simbol hukum yang tertutup, menjadi melotot saat disuguhi bongkahan uang. Sekali lagi,,Ironi!.
Salah satu upaya yang baru-baru ini gencar diberitakan adalah upaya Ditjen Pajak Republik Indonesia yang melakukan terobosan memerangi praktik suap dengan menggembleng rasa cinta tanah air dan bangsa melalui pendidikan militer kepada anggotanya. Langkah ini menurut Direktur Penyuluhan dan Hubungan masyarakat (P2Humas) Dedi Rudaedi sebagai langkah yang sangat positif. Karena menurutnya, para pegawai pajak mengemban amanah yang sangat mulia untuk mengumpulkan penerimaan Negara, demi bangsa dan Negara. Diharapkan dari pendidikan bela Negara ini, para pegawai pajak khususnya dapat memperkuat mental agar tidak tergoda untuk berbuat korupsi.
Kita boleh saja mengapresiasi langkah yang dilakukan oleh Ditjen Pajak ini. Dalam tingkatan mencegah upaya praktik korupsi memang sangatlah penting.  Namun kembali kita juga harus mencoba mencari hal yang lebih konkret agar benih-benih korupsi tidak tumbuh dalam jiwa setiap generasi bangsa.
Memang, dengan memiliki rasa cinta dan bangga terhadap bangsa dan Negara, seseorang tidak akan membuat bangsa dan negaranya menderita. Salah satu hal yang dapat membuat bangsa dan Negara menderita adalah korupsi. Penanaman rasa nasionalisme terhadap bangsa, merupakan salah satu cara yang harus ditempuh oleh pemerintah negeri ini. Namun, upaya tersebut hanya dapat memperbaiki moral saja.
Anggapan yang selama ini menyebar dalam masyarakat bahwa memperbaiki akhlak dan nilai-nilai moral adalah hal yang mutlak untuk menghindari praktik korupsi. Intinya adalah menekankan kepada masyarakat bahwa, “jika ingin korupsi dibasmi, maka perbaikilah moral dan akhlak dasar kita, sebab moral yang bobrok merupakan akar penyebab korupsi di Indonesia”. Anggapan tersebut tidaklah salah, namun kurang tepat. Bahwa tidak hanya moral dan akhlak saja hal dasar yang harus diperbaiki, melainkan banyak factor lain yang harus dibenahi.
Salah satu di antara banyak faktor yang berperan menyuburkan korupsi adalah “sentralisme kekuasaan”, atau struktur pemerintahan yang memusatkan kekuasaan di tangan segelintir elit saja. Bayangkan, jika kekuasaan dijalankan dengan tangan besi, betapa mudahnya praktek korupsi ini dilakukan atas nama kepentingan bersama. Sama persis dengan praktek kekuasaan yang dijalankan oleh pemerintahan Orde Baru Soeharto, dimana pemerintah dengan begitu mudahnya menghisap pajak dan uang rakyat atas nama dan untuk pembangunan. Siapa yang menghalang-halangi, dicap sebagai anti pemerintah, membahayakan stabilitas Negara, hingga tuduhan komunis gaya baru dan lain sebagainya. Hakekatnya, kekuasaan Negara yang terpusat kepada segelintir orang saja, tentu akan mengakibatkan dominasi dan hegemoni yang kuat terhadap mayoritas rakyat Indonesia. Hal inilah yang menjadi faktor penting mengapa korupsi begitu sangat mudahnya tumbuh subur dan berkembang di Indonesia. (http://belanegarari.wordpress.com/2009/11/05/membongkar-jejak-sejarah-budaya-korupsi-di-indonesia/).
Pemberian efek jera, mungkin itulah satu-satunya jalan yang harus ditempuh. Saat penjara tak lagi memberikan efek tersebut, mungkin hukuman mati adalah jawabannya. Memang terdengar cukup ekstrem,  apalagi di kalangan para pembela hak asasi manusia.
Saat hukum dapat dipermainkan, saat keadilan tak dapat ditegakkan, maka harus ada tindakan tegas yang dilakukan. Hongkong misalnya, Negara ini terkenal sebagai Negara yang sukses memberantas korupsi. Apakah dengan tindakan bela Negara? Tidak, melainkan dengan pemberantasan secara langsung. Pemerintah memecat seluruh jaksa dan polisi serta aparatur Negara yang terindikasi korupsi. Dan digantikan dengan petugas yang baru dengan seleksi yang sangat ketat. Sementara di Negara kita, orang yang sudah tersangka korupsi pun masih menduduki jabatannya. Atau bahkan yang sudah di penjarapun, dapat berlenggang santai tanpa dosa.
Sudah saatnya negeri ini berbenah. Korupsi harus diberantas dari akar-akarnya. Tindakan tegas harus dilakukan secepatnya sebelum Negara ini benar-benar disebut Negara gagal seperti Somalia. Waktu terus berjalan, dan tindakan  tegas, cepat dan tepat, tidak hanya mengumbar kata “prihatin” saja. Selain itu juga, upaya pencegahan seperti yang dilakukan oleh Dirjen Pajak juga harus ditingkatkan. Jika itu terwujud, maka Indonesia bebas dari korupsi, bukan sekedar mimpi.

0 komentar:

Posting Komentar