Masih ingatkah anda dengan Gayus Tambunan?. Mafia pajak yang
wajahnya menghiasi seluruh media di Indonesia beberapa bulan lalu. Seorang pegawai
golongan III A yang memiliki kekayaan milyaran rupiah. Darimana uang itu
diperolehnya?. Anak kecil ingusan pun dapat menjawab. Korupsi!.
Memang, penyakit yang satu ini sungguh sangat sulit
disembuhkan. Korupsi ibarat virus yang sampai saat ini belum ditemukan antibiotiknya.
Ia menjalar dari institusi satu ke institusi yang lain. Setiap hari, rakyat
dipusingkan oleh perilaku bobrok para petinggi negeri ini yang terlibat dalam
lingkaran setan korupsi. Sementara Negara, sibuk mengurus dan berupaya
menangkap tikus berdasi, hingga melupakan persoalan rakyat yang lebih penting.
Kemiskinan, kelaparan, kerusuhan, dan berbagai kasus lain muncul dalam
permukaan.
Inilah saat yang sangat genting bagi Indonesia. Jika anda
membaca harian Kompas edisi 20 Juni 2012. Dalam sebuah beritanya dituliskan bahwa
dalam indeks Negara gagal (Failed States
Index / FSI) 2012 yang dipublikasikan di Washingtong DC, Amerika Serikat
pada senin (18/6) , Indonesia menduduki peringkat ke 63 dari 178 negara. Hal ini
lebih parah dibanding dengan tahun lalu yakni peringkat 64 dari 177 negara. Dalam
situasi ini, Indonesia dalam kategori sebagai Negara bahaya (in danger) menuju apa yang dikatakan
oleh Francis Fukuyama sebagai negara gagal (failed
states).
Sungguh ironi dibalik ironi. Negara yang subur, kaya akan sumber daya alam ini,
akan menjadi sebuah Negara yang gagal. Negara yang disebut oleh para penyair
sebagai serpihan surga yang jatuh ke bumi ini, akan berubah menjadi Negara hancur
berantakan seperti Somalia, karena ulah segelintir orang yang tak memiliki hati
nurani.
Berbagai upaya dilakukan, namun sekali lagi upaya tersebut
bukanlah jawaban atas persoalan yang dihadapi. Cara yang dilakukan Negara untuk
memangkas praktik korupsi di negeri ini terkesan setengah-setengah dan
bertele-tele. Hukum pun tak lagi menunjukkan keadilan, kini “mata” patung
simbol hukum yang tertutup, menjadi melotot saat disuguhi bongkahan uang. Sekali
lagi,,Ironi!.
Salah satu upaya yang baru-baru ini gencar diberitakan
adalah upaya Ditjen Pajak Republik Indonesia yang melakukan terobosan memerangi
praktik suap dengan menggembleng rasa cinta tanah air dan bangsa melalui
pendidikan militer kepada anggotanya. Langkah ini menurut Direktur Penyuluhan
dan Hubungan masyarakat (P2Humas) Dedi Rudaedi sebagai langkah yang sangat
positif. Karena menurutnya, para pegawai pajak mengemban amanah yang sangat
mulia untuk mengumpulkan penerimaan Negara, demi bangsa dan Negara. Diharapkan dari
pendidikan bela Negara ini, para pegawai pajak khususnya dapat memperkuat
mental agar tidak tergoda untuk berbuat korupsi.
Kita boleh saja mengapresiasi langkah yang dilakukan oleh Ditjen Pajak ini. Dalam tingkatan mencegah upaya praktik korupsi memang
sangatlah penting. Namun kembali kita
juga harus mencoba mencari hal yang lebih konkret agar benih-benih korupsi
tidak tumbuh dalam jiwa setiap generasi bangsa.
Memang, dengan memiliki rasa cinta dan bangga terhadap
bangsa dan Negara, seseorang tidak akan membuat bangsa dan negaranya menderita.
Salah satu hal yang dapat membuat bangsa dan Negara menderita adalah korupsi. Penanaman
rasa nasionalisme terhadap bangsa, merupakan salah satu cara yang harus
ditempuh oleh pemerintah negeri ini. Namun, upaya tersebut hanya dapat
memperbaiki moral saja.
Anggapan yang selama ini menyebar dalam masyarakat bahwa memperbaiki
akhlak dan nilai-nilai moral adalah hal yang mutlak untuk menghindari praktik
korupsi. Intinya adalah menekankan kepada masyarakat bahwa, “jika ingin korupsi
dibasmi, maka perbaikilah moral dan akhlak dasar kita, sebab moral yang bobrok
merupakan akar penyebab korupsi di Indonesia”. Anggapan tersebut tidaklah
salah, namun kurang tepat. Bahwa tidak hanya moral dan akhlak saja hal dasar
yang harus diperbaiki, melainkan banyak factor lain yang harus dibenahi.
Salah satu di antara banyak faktor yang berperan menyuburkan
korupsi adalah “sentralisme kekuasaan”, atau struktur pemerintahan yang
memusatkan kekuasaan di tangan segelintir elit saja. Bayangkan, jika kekuasaan
dijalankan dengan tangan besi, betapa mudahnya praktek korupsi ini dilakukan
atas nama kepentingan bersama. Sama persis dengan praktek kekuasaan yang
dijalankan oleh pemerintahan Orde Baru Soeharto, dimana pemerintah dengan
begitu mudahnya menghisap pajak dan uang rakyat atas nama dan untuk
pembangunan. Siapa yang menghalang-halangi, dicap sebagai anti pemerintah, membahayakan
stabilitas Negara, hingga tuduhan komunis gaya baru dan lain sebagainya.
Hakekatnya, kekuasaan Negara yang terpusat kepada segelintir orang saja, tentu
akan mengakibatkan dominasi dan hegemoni yang kuat terhadap mayoritas rakyat
Indonesia. Hal inilah yang menjadi faktor penting mengapa korupsi begitu sangat
mudahnya tumbuh subur dan berkembang di Indonesia. (http://belanegarari.wordpress.com/2009/11/05/membongkar-jejak-sejarah-budaya-korupsi-di-indonesia/).
Pemberian efek jera, mungkin itulah satu-satunya jalan yang
harus ditempuh. Saat penjara tak lagi memberikan efek tersebut, mungkin hukuman
mati adalah jawabannya. Memang terdengar cukup ekstrem, apalagi di kalangan para pembela hak asasi manusia.
Saat hukum dapat dipermainkan, saat keadilan tak dapat
ditegakkan, maka harus ada tindakan tegas yang dilakukan. Hongkong misalnya, Negara
ini terkenal sebagai Negara yang sukses memberantas korupsi. Apakah dengan
tindakan bela Negara? Tidak, melainkan dengan pemberantasan secara langsung. Pemerintah
memecat seluruh jaksa dan polisi serta aparatur Negara yang terindikasi korupsi.
Dan digantikan dengan petugas yang baru dengan seleksi yang sangat ketat. Sementara
di Negara kita, orang yang sudah tersangka korupsi pun masih menduduki
jabatannya. Atau bahkan yang sudah di penjarapun, dapat berlenggang santai tanpa
dosa.
Sudah saatnya negeri ini berbenah. Korupsi harus diberantas
dari akar-akarnya. Tindakan tegas harus dilakukan secepatnya sebelum Negara ini
benar-benar disebut Negara gagal seperti Somalia. Waktu terus berjalan, dan
tindakan tegas, cepat dan tepat, tidak
hanya mengumbar kata “prihatin” saja. Selain itu juga, upaya pencegahan seperti
yang dilakukan oleh Dirjen Pajak juga harus ditingkatkan. Jika itu terwujud,
maka Indonesia bebas dari korupsi, bukan sekedar mimpi.
0 komentar:
Posting Komentar