Kamis, 07 Juni 2012

“Kerajaan” Baru Bernama Indonesia


Masih hangat di benak kita, bahkan nyaris menjadi sorotan banyak media di Indonesia tentang wacana pencalonan Ani Yudhoyono (sekarang ibu Negara) menjadi Capres 2014. Hal ini menjadi  menarik dan seolah semakin menegaskan bahwa demokrasi di Indonesia kini mulai terkikis. Nilai-nilai demokrasi kini digantikan dengan nilai-nilai dinasti. Sistem kerajaan terutama dalam pemilihan pemimpin menjadi semakin ketara.

Bukan hanya kasus Ani Yudhoyono, di berbagai daerah Indonesia banyak sekali yang telah mengibarkan panji-panji dinasti kerajaan. Banyak kepala daerah yang memimpin adalah anak atau keturunan dari penguasa. Bapaknya Gubernur, sementara istrinya menjadi Bupati, anaknya menjadi Walikota dan banyak lagi contoh lainnya. Kasus dinasti yang semakin merajalela di kalangan birokrasi di Negara kita semakin mengkhawatirkan.
Pernyataan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang mengatakan bahwa tidak mungkin ada sistem monarkhi yang bertabrakan dengan konstitusi dan nilai demokrasi. Ungkapan tersebut terlontar saat pidato yang menyinggung keistimewaan daerah Istimewa Yogyakarta beberapa bulan terakhir.
            Pernyataan presiden itu tidaklah menengok sebenarnya yang terjadi di Indonesia. Bukan hanya Yogyakarta yang notabene adalah kerajaan yang menjadikan keturunannya sebagai raja, di pemerintahan Indonesia juga banyak  yang menggunakan hal itu. Seperti sebuah dinasti, dimana seluruh jabatan tinggi dan strategis dijabat oleh keluarga besar dari sang pemimpin.
            Pada Harian Kompas edisi Rabu (12/1/2011) dinyatakan bahwa dinasti politik di Indonesia kian menguat. Oligarki dan dinasti politik diperkirakan semakin menguat dan semakin banyak di tahun 2011 dan seterusnya. Hal ini dikarenakan di tahun 2010 saja oligarki yang  terjadi di jajaran pejabat publik Indonesia mencapai 40 %.
            “Dinasti politik di tahun ini akan terjadi lebih banyak, anggota DPD dan DPRD akan diisi oleh kalangan muda yang bila diusut mereka adalah anak atau keluarga dari pejabat seperti gubernur, walikota, bupati, dll” ujar Kristiadi. peneliti senior Center For Strategic And International Studies (CSIS) yang saya kutip dalam Kompas.
            Seperti contoh, dinasti politik yang berkuasa adalah keluarga dinasti Ratu Atut Choisyah (Gubernur Banten 2002-2007/2007-2012). Keluarga dinasti ini memiliki setidaknya 9 orang yang memimpin di masing masing “kerajaannya”, seperti dirinya sendiri yang memimpin Banten, suami menjadi anggota DPR, anak menjadi anggota DPD, menantu menjadi anggota DPRD Kota Serang, adik menjadi anggota DPRD Banten, Adik tiri menjadi wakil wali kota Serang, ibu tiri menjadi anggota DPRD Kab. Pandeglang, Ibu tirinya yang satu lagi menjadi anggota DPRD kota Serang, dan adik ipar menjadi calon Walikota Tangerang pada pemilihan yang akan datang.
            Selain keluarga dinasti Ratu Atut Choisyah tersebut, masih banyak lagi dinasti dinasti  yang lain. Dari gambaran pernyataan di atas, sebenarnya kedemokrasian Indonesia dipertanyakan. Dari penelitian yang dilakukan CSIS itu, setidaknya menjadi tamparan bagi pemerintah negeri ini. Ternyata bukanlah Yogyakarta yang diduga dapat merongrong kedaulatan demokratis NKRI, melainkan institusi yang ada di negeri ini telah dikuasai oleh dinasti-dinasti politik. Dinasti politik akan menghancurkan demokrasi, karena akses demokrasi menjadi pertarungan yang tidak adil, hanya orang yang mempunyai kekuasaan dan modal yang dapat menjadi pemimpin.
            Tidak salah jika mereka yang memiliki akses untuk menjadi pemimpin, memiliki kemudahan dalam proses pencalonan, karena memiliki keluarga yang telah “sukses’ menjadi pejabat terlebih dahulu. Hal ini lebih memudahkan mereka dalam hal politik uang dan juga kekuasaan.
            Memang, di zaman sekarang ini, semua orang seolah tergila-gila untuk menjadi pemimpin. Ada banyak alasan mengapa orang ingin menjadi pemimpin. Menurut D’Sousa, hasrat yang mendasar hingga membuat seseorang ingin menjadi pemimpin adalah untuk mendapatkan kekuasaan, kekayaan, gengsi, tantangan, kepenuhan diri, pengakuan, rasa hormat, mengedalikan dan memberi arah. Dan D’Sousa merangkum alasan-alasan itu ke dalam tiga kategori: (1) untuk mendapatkan kekuasaan; (2) untuk mendapatkan kendali (menjadi yang berwenang); dan (3) untuk menjadi yang dilayani.  (http://swaramanadonews.com/?p=4340).
Alas an yang dilontarkan oleh D’Sousa di atas cukup beralasan, teori tersebut apabila dibenturkan dengan teori Abraham Maslow tentang kebutuhan harga diri, yaitu kondisi yang membuat orang merasa puas akan dirinya, bangga dan merasa dihargai dan juga kebutuhan perwujudan diri, yaitu kebutuhan untuk terus berkembang dan berubah, serta berusaha ke arah tujuan masa depan benar-benar  menjadi sebuah kesatuan. Banyak orang yang sudah merasa terpenuhi kebutuhan dasarnya, menginginkan sesuatu yang lebih yang oleh Maslow disebut dengan kebutuhan harga diri. Rasa bangga dan puas akan dirinya sehingga dihargai oleh orang lain, adalah dengan menjadi seorang pemimpin.
Kedinastian politik di Indonesia harus dicegah. Hal ini dikarenakan akan dapat menimbulkan permasalah yang terjadi terhadap perpolitikan di negeri ini. Apabila sistem itu tetap saja dilaksanakan, dikhawatirkan akan menambah merosotnya negeri ini kedalam sebutan sebagai negara gagal. Hal ini tidak berlebihan, karena proses dinasti, tidak menutup kemungkinan akan ada calon pejabat yang tidak berkopenten dibidangnya, atau sama sekali tidak memiliki skill menjadi seorang pemimpin. Namun karena tuntutan dinasti, maka harus dipaksakan bagaimanapun caranya.
            Undang undang pemilihan umum harus direvisi. Terjadinya kedinastian ditubuh republik harus ditekan dengan segenap peraturan yang berlaku. Memang tidak ada yang melarang anggota keluarga menjadi pejabat, namun apabila hal ini dibiarkan saja, maka hanya dari kalangan yang mempunyai kekuasaan itulah yang mendapatkan akses menjadi pejabat. Sementara di luar sana, masih banyak generasi yang lebih berkopenten yang dapat menjadi pemimpin. Sayang akses mereka tertutup hanya karena mereka bukan anak pejabat. Kekurangan modal dan tidak ada yang mendukung menjadikan kemampuan yang besar itu tidak dapat direalisasikan.
           


0 komentar:

Posting Komentar