Masih
hangat di benak kita, bahkan nyaris menjadi sorotan banyak media di Indonesia
tentang wacana pencalonan Ani Yudhoyono (sekarang ibu Negara) menjadi Capres
2014. Hal ini menjadi menarik dan seolah
semakin menegaskan bahwa demokrasi di Indonesia kini mulai terkikis.
Nilai-nilai demokrasi kini digantikan dengan nilai-nilai dinasti. Sistem
kerajaan terutama dalam pemilihan pemimpin menjadi semakin ketara.
Bukan
hanya kasus Ani Yudhoyono, di berbagai daerah Indonesia banyak sekali yang
telah mengibarkan panji-panji dinasti kerajaan. Banyak kepala daerah yang
memimpin adalah anak atau keturunan dari penguasa. Bapaknya Gubernur, sementara
istrinya menjadi Bupati, anaknya menjadi Walikota dan banyak lagi contoh
lainnya. Kasus dinasti yang semakin merajalela di kalangan birokrasi di Negara
kita semakin mengkhawatirkan.
Pernyataan Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono yang mengatakan bahwa tidak mungkin ada sistem monarkhi yang
bertabrakan dengan konstitusi dan nilai demokrasi. Ungkapan tersebut terlontar
saat pidato yang menyinggung keistimewaan daerah Istimewa Yogyakarta beberapa
bulan terakhir.
Pernyataan presiden itu tidaklah
menengok sebenarnya yang terjadi di Indonesia. Bukan hanya Yogyakarta yang
notabene adalah kerajaan yang menjadikan keturunannya sebagai raja, di
pemerintahan Indonesia juga banyak yang
menggunakan hal itu. Seperti sebuah dinasti, dimana seluruh jabatan tinggi dan
strategis dijabat oleh keluarga besar dari sang pemimpin.
Pada Harian Kompas edisi Rabu (12/1/2011)
dinyatakan bahwa dinasti politik di Indonesia kian menguat. Oligarki dan dinasti
politik diperkirakan semakin menguat dan semakin banyak di tahun 2011 dan
seterusnya. Hal ini dikarenakan di tahun 2010 saja oligarki yang terjadi di jajaran pejabat publik Indonesia
mencapai 40 %.
“Dinasti politik di tahun ini akan
terjadi lebih banyak, anggota DPD dan DPRD akan diisi oleh kalangan muda yang
bila diusut mereka adalah anak atau keluarga dari pejabat seperti gubernur,
walikota, bupati, dll” ujar Kristiadi. peneliti senior Center For Strategic And International Studies (CSIS) yang saya
kutip dalam Kompas.
Seperti contoh, dinasti politik yang
berkuasa adalah keluarga dinasti Ratu Atut Choisyah (Gubernur Banten
2002-2007/2007-2012). Keluarga dinasti ini memiliki setidaknya 9 orang yang
memimpin di masing masing “kerajaannya”, seperti dirinya sendiri yang memimpin
Banten, suami menjadi anggota DPR, anak menjadi anggota DPD, menantu menjadi
anggota DPRD Kota Serang, adik menjadi anggota DPRD Banten, Adik tiri menjadi
wakil wali kota Serang, ibu tiri menjadi anggota DPRD Kab. Pandeglang, Ibu
tirinya yang satu lagi menjadi anggota DPRD kota Serang, dan adik ipar menjadi
calon Walikota Tangerang pada pemilihan yang akan datang.
Selain keluarga dinasti Ratu Atut
Choisyah tersebut, masih banyak lagi dinasti dinasti yang lain. Dari gambaran pernyataan di atas,
sebenarnya kedemokrasian Indonesia dipertanyakan. Dari penelitian yang
dilakukan CSIS itu, setidaknya menjadi tamparan bagi pemerintah negeri ini.
Ternyata bukanlah Yogyakarta yang diduga dapat merongrong kedaulatan demokratis
NKRI, melainkan institusi yang ada di negeri ini telah dikuasai oleh dinasti-dinasti
politik. Dinasti politik akan menghancurkan demokrasi, karena akses demokrasi
menjadi pertarungan yang tidak adil, hanya orang yang mempunyai kekuasaan dan
modal yang dapat menjadi pemimpin.
Tidak salah jika mereka yang
memiliki akses untuk menjadi pemimpin, memiliki kemudahan dalam proses
pencalonan, karena memiliki keluarga yang telah “sukses’ menjadi pejabat
terlebih dahulu. Hal ini lebih memudahkan mereka dalam hal politik uang dan
juga kekuasaan.
Memang, di zaman sekarang ini, semua
orang seolah tergila-gila untuk menjadi pemimpin. Ada banyak alasan mengapa
orang ingin menjadi pemimpin. Menurut D’Sousa, hasrat yang mendasar hingga
membuat seseorang ingin menjadi pemimpin adalah untuk mendapatkan kekuasaan,
kekayaan, gengsi, tantangan, kepenuhan diri, pengakuan, rasa hormat,
mengedalikan dan memberi arah. Dan D’Sousa merangkum alasan-alasan itu ke dalam
tiga kategori: (1) untuk mendapatkan kekuasaan; (2) untuk mendapatkan kendali
(menjadi yang berwenang); dan (3) untuk menjadi yang dilayani. (http://swaramanadonews.com/?p=4340).
Alas an yang dilontarkan oleh D’Sousa
di atas cukup beralasan, teori tersebut apabila dibenturkan dengan teori Abraham
Maslow tentang kebutuhan harga diri, yaitu kondisi yang membuat orang merasa
puas akan dirinya, bangga dan merasa dihargai dan juga kebutuhan perwujudan
diri, yaitu kebutuhan untuk terus berkembang dan berubah, serta berusaha ke arah
tujuan masa depan benar-benar menjadi
sebuah kesatuan. Banyak orang yang sudah merasa terpenuhi kebutuhan dasarnya,
menginginkan sesuatu yang lebih yang oleh Maslow disebut dengan kebutuhan harga
diri. Rasa bangga dan puas akan dirinya sehingga dihargai oleh orang lain,
adalah dengan menjadi seorang pemimpin.
Kedinastian politik di Indonesia harus
dicegah. Hal ini dikarenakan akan dapat menimbulkan permasalah yang terjadi
terhadap perpolitikan di negeri ini. Apabila sistem itu tetap saja
dilaksanakan, dikhawatirkan akan menambah merosotnya negeri ini kedalam sebutan
sebagai negara gagal. Hal ini tidak berlebihan, karena proses dinasti, tidak
menutup kemungkinan akan ada calon pejabat yang tidak berkopenten dibidangnya,
atau sama sekali tidak memiliki skill menjadi seorang pemimpin. Namun karena
tuntutan dinasti, maka harus dipaksakan bagaimanapun caranya.
Undang undang pemilihan umum harus
direvisi. Terjadinya kedinastian ditubuh republik harus ditekan dengan segenap
peraturan yang berlaku. Memang tidak ada yang melarang anggota keluarga menjadi
pejabat, namun apabila hal ini dibiarkan saja, maka hanya dari kalangan yang
mempunyai kekuasaan itulah yang mendapatkan akses menjadi pejabat. Sementara
di luar sana, masih banyak generasi yang lebih berkopenten yang dapat menjadi
pemimpin. Sayang akses mereka tertutup hanya karena mereka bukan anak pejabat.
Kekurangan modal dan tidak ada yang mendukung menjadikan kemampuan yang besar
itu tidak dapat direalisasikan.
0 komentar:
Posting Komentar