Selasa, 19 Juni 2012

Analisis Pemberitaan Ahmadiyah Pasca Kerusuhan Di Cikeusik, Pandeglang, Banten (Studi Kasus Konstruksi Wacana Surat Kabar Harian Republika Edisi Februari 2011)


BAB I
PENDAHULUAN

1.1    Latar Belakang
Media massa sering disebut sebagai fourth estate (kekuatan keempat) dalam kehidupan sosial ekonomi dan politik. Hal ini disebabkan oleh suatu presepsi  peran yang dapat dimainkan oleh media dalam kaitannya dengan pengembangan kehidupan sosial ekonomi dan politik masyarakat (Sobur,2004:30).
Media massa dinilai perkasa karena kemampuan dan  keampuhannya dalam menjangkau khalayak banyak dan tersebar di berbagai tempat di suatu daerah atau suatu negara. Banyak orang menggantungkan diri pada pemberitaan media massa untuk mengetahui atau mengenali sesuatu meskipun apa yang tersaji dalam berita media massa bukan merupakan kenyataan hakiki (pure reality), melainkan “realitas media” yang sering menjadi kebenaran semu (Romli,2003:29). Begitu berkuasanya media massa dalam mempengaruhi pikiran, perasaan dan perilaku penduduk, sehingga tidak salah jika Kevin Philips dalam bukunya “Responsbility in mass communication” seperi yang dikutip Onong Uchjana Effendi mengatakan bahwa era sekarang lebih merupakan mediacracy (pemerintahan media) daripada democracy (pemerintahan rakyat) (Effendi, 1986 : 207).
Media sesungguhnya berada di tengah realitas sosial yang sarat dengan berbagai kepentingan, konflik, dan fakta yang kompleks dan beragam.  Menurut pernyataan Louis Althusser seperti dikutip Sobur mengatakan bahwa media, dalam hubungannya dengan kekuasaan, menempati posisi strategis, terutama karena anggapan akan kemampuannya sebagai sarana legitimasi. Media massa sebagaimana lembaga-lembaga pendidikan, agama, seni, dan kebudayaan merupakan bagian dari alat kekuasaan Negara yang bekerja secara idiologis guna membangun kepatuhan khalayak terhadap kelompok yang berkuasa (ideological states apparatus).
Pendapat tersebut dibantah oleh Antonio Gramsci yang menyatakan bahwa media merupakan arena pergulatan antar ideologi yang saling berkompetisi (the battle ground for competiting ideologis). Gramsci melihat media sebagai ruang dimana berbagai ideologi direpresentasikan. Ini berarti di satu sisi media bisa menjadi sarana penyebaran ideologi penguasa, alat legitimasi dan kontrol atas wacana publik (Sobur, 2004 : 30).
Pendapat kedua tokoh diatas merupakan sebuah bukti bahwa media massa bukan sesuatu yang bebas, independen, akan tetapi memiliki keterkaitan dengan realitas sosial. Jelasnya ada berbagai kepentingan yang bermain dalam media massa. Seperti kepentingan kapitalisme pemilik modal, kepentingan keberlangsungan lapangan kerja bagi karyawan, kepentingan politik dan lain lain.
Pada awal tahun 2011, kisruh politik Timur Tengah menjadi berita hangat yang dibicarakan oleh kalangan pendidikan (akademisi), media cetak, media elektronik dan masyarakat luas di Indonesia. Revolusi yang terjadi di Tunisia, Mesir, Libya, Sudan dan beberapa negara Timur Tengah cukup menyita perhatian publik. Selama berminggu minggu, media massa baik lokal maupun nasional menjadikan peristiwa peristiwa tersebut sebagai berita utama (headline).
Selain kasus politik luar negeri tersebut,  politik dalam  negeri juga menjadi pemberitaan media, mulai dari masalah mafia pajak Gayus Tambunan, kisruh pemilihan ketua PSSI, susu formula berbakteri, dan berbagai kasus kriminal menjadi berita yang menghiasi halaman media cetak pada awal tahun 2011.
Ditengah berbagai kasus yang terjadi diatas, pada bulan Februari 2011 muncul kasus kerusuhan berbau SARA (Suku, Agama dan Ras) yang terjadi di dua tempat dalam waktu yang hampir bersamaan. Ironisnya, peristiwa-peristiwa itu muncul saat presiden Indonesia Susilo Bambang Yudhoyono meresmikan gong perdamaian di Kupang, Nusa Tenggara Timur pada 8 Februari 2011. Persis di tanggal yang sama terjadi kasus pembakaran gereja di Temanggung, dan dua hari sebelumnya pada 6 Februari 2011, terjadi kerusuhan di Cikeusik, Pandeglang, Banten antara Ahmadiyah dan warga yang menewaskan 3 pengikut Ahmadiyah.
Isu kerusuhan berbau SARA tersebut tentunya tidak luput dari perhatian media massa, khususnya media cetak (surat kabar). Hampir seluruh media cetak di Indonesia menaruh headline tentang isu tersebut. Salah satu media cetak yang memberitakan isu tersebut adalah surat kabar Harian Republika. Lebih dari satu bulan, yakni mulai 6 Februari sampai Maret 2011, berita tentang kerusuhan di Cikeusik antara warga dengan Jamaah Ahmadiyah menjadi topik utama Republika.
Setelah peristiwa SARA ini menjadi pemberitaan utama di media massa, perbedaan pendapat muncul dikalangan publik. Silang pendapat antara pihak yang pro dan kontra menghiasi halaman media massa. Saling membela, meghujat, pentakfiran, dan saling menganggap sesat. Masyarakat telah berhasil diformat seleranya oleh media. Seperti yang dikatakan Redi Panuju, Berita yang menegangkan yang tergolong “bad News” mempunyai empat efek pada komunitas yang berbeda karakteristiknya: salah satunya adalah ada sekelompok masyarakat yang terkena efek pengkondisian (conditioning). Artinya, secara perlahan lahan individu individu akan diformat seleranya, minatnya, cara berpikirnya, dan sebagainya itu oleh media (Panuju, 2002 : 72).
Kasus kerusuhan antara Ahmadiyah dengan warga di Cikeusik Pandeglang, Banten adalah kasus yang paling banyak disorot publik. Dalam kerusuhan itu, 3 orang meninggal dunia, dan belasan orang mengalami luka berat. Peristiwa kekerasan itu bukanlah kasus pertama yang dialami oleh Ahmadiyah di Indonesia. Menurut catatan Setara Institute, kasus penyerangan terhadap warga Ahmadiyah di Indonesia pada kurun waktu 2008-2010 terjadi sebanyak 276 kali. Pada 17 Februari 2006, terjadi perusakan dan pembakaran 31 rumah pengikut Ahmadiyah di Lombok Barat NTB, 15 Desember 2007 terjadi penyerbuan rumah dan tempat ibadah Ahmadiyah di Kuningan Jawa Barat, 9 Oktober 2010, penyerangan dan pembakaran permukiman Ahmadiyah di Bogor, Jawa Barat, dan kasus terbaru yakni penyerangan kediaman pimpinan Ahmadiyah di Kampung Peudeuy, Cikeusik Pandeglang, Banten yang menewaskan 3 anggota Ahmadiyah (Kompas, Senin 14/2/2011).
Tewasnya pengikut Ahmadiyah di Cikeusik, Pandeglang, Banten dalam kerusuhan Minggu 06 Februari 2011 menambah daftar kekerasan yang terjadi terhadap Aliran sesat itu di Indonesia. Pemerintah pun seakan kebingungan dalam mengatasi konflik internal antara Ahmadiyah dengan Muslim di Indonesia. Argumen tentang kebebasan beragama dan Hak Asasi Manusia menjadi sebuah dilema bila dihubungkan dengan kelompok ajaran Ahmadiyah. Satu sisi Islam menolak keras dan tidak menerima ajaran ini, sementara sisi lain hak untuk memeluk  agama dan kepercayaan dilindungi oleh Undang-Undang (http://balista.blogspot.com diakses pada 20 Februari 2011).
Ahmadiyah adalah ajaran dan gerakan yang ditokohi oleh Mirza Ghulam Ahmad (1839-1908) di Qadian, Punjab, India. Ajaran ini oleh kalangan muslim Sunni ortodoks dianggap menyimpang dari ajaran Islam yang sebenarnya (Iqbal,1991:vii). Di negara asalnya (India), Ahmadiyah sudah dilarang. Tidak hanya di negara asalnya saja, larangan ini juga telah disepakati oleh dunia Islam melalui tiga organisasi internasionalnya, yaitu merupakan keputusan Rabithah Alam Islami (Liga Muslim Dunia), Muktamar Alam Islami dan Konfrensi Negara-Negara Islam (OKI) (http://www.inilah.com diakses pada 20 Februari 2011).
Di Indonesia sendiri, Ahmadiyah juga ditentang. Hal ini dibuktikan dengan fatwa MUI yang dikeluarkan sejak Musyawarah Nasional (MUNAS) VII tanggal 26-29 Juli 2005. Menegaskan kembali fatwa dan keputusan MUNAS II MUI tahun 1980 tentang Ahmadiyah sebagai aliran yang berada diluar Islam, sesat dan menyesatkan serta menghukumi orang yang mengikutinya sebagai murtad (telah keluar dari Islam). Dalam fatwa tersebut juga dinyatakan bahwa pemerintah berkewajiban untuk melarang penyebaran faham aliran Ahmadiyah diseluruh Indonesia, membekukan organisasi serta menutup semua tempat kegiatannya (Himpunan Fatwa Majelis Ulama Indonesia : 106 dalam www.mui.or.id diakses pada  23 Februari 2011).
Penentangan itu tidak lain karena Ahmadiyah diyakini sebagai ajaran sesat. Kesesatan itu diakibatkan bebarapa poin, seperti menyatakan pemimpinnya yakni Mirza Ghulam Ahmad sebagai Nabi dan Rasul, teks al Quran yang diubah ubah, dan menganggap jihad itu tidak ada (Jaiz,2002 : 55).
Surat yang disampaikan kedutaan besar Saudi Arabia kepada Kementrian Agama Republik Indonesia yang menyatakan bahwa keputusan konferensi organisasi-organisasi Islam di Makkah yang dikeluarkan pada bulan Rabi’ul Awal 1394 H serta putusan dewan tertinggi masjid sedunia yang dikeluarkan  dalam sidangnya yang ke 2, ke 3 dan ke 4 tahun 1397, 1398, dan 1399 H, kesemuanya berisi penentangan kaum muslimin terhadap kegiatan destruktif yang dilakukan oleh golongan yang disebut Qadyaniyah atau Ahmadiyah, ialah suatu golongan destruktif yang menjadikan Islam sebagai kedok untuk menutupi tujuannya yang busuk yang bertentangan dengan ajaran ajaran Islam (Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia, 1981:19).
Ahmadiyah menemukan puncak kejayaannya di Indonesia terjadi pada masa kepemimpinan Presiden Abdurrahman Wahid atau akrab disapa Gus Dur. Kala itu, dengan terang - terangan Gus Dur menyatakan siap membela warga Ahmadiyah (http://oase.Kompas.com, diakses pada 20 Februari 2011). Pada masa pemerintahan Gus Dur tahun 2000, ia justru menghadirkan dedengkot Ahmadiyah ke Indonesia, yaitu Tahir Ahmad dari London yang disebut sebagai khalifah ke-4 (Jaiz, 2002 : 59).
Aliran Ahmadiyah memiliki cita-cita yang tinggi, yakni untuk meremajakan moral Islam dan nilai-nilai spiritual. Pergerakan ini mendorong dialog antar agama dan senantiasa membela Islam serta berusaha untuk memperbaiki kesalah-pahaman mengenai Islam di dunia Barat. Gerakan ini menganjurkan perdamaian, toleransi, kasih dan saling pengertian diantara para pengikut agama yang berbeda serta menolak kekerasan dan teror dalam bentuk apapun untuk alasan apapun (http://www.alislam.org/indonesia, diakses pada 8 Maret 2011).
Pro dan kontra masyarakat tentang aliran Ahmadiyah terjadi sejak kedatangannya ke Indonesia pada tahun 1925. Ahmadiyah dianggap menjadi faktor timbulnya perpecahan kerukunan umat beragama di Indonesia.  Sejak kedatangannya, aliran ini langsung mendapat respon dari masyarakat dan juga pemerintah Indonesia.  Lima tahun kemudian muncul konflik yang disebabkan oleh menyimpangnya ajaran ini. Dari masa ke masa pun, pemicu bentrokan itu adalah masalah yang sama, tidak diterimanya aliran Ahmadiyah karena dianggap sesat menyesatkan (http://www.inilah.com, diakses pada 20 Februari 2011). Menurut Ichwan Syam, Sekertaris Jendral Majelis Ulama Indonesia mengatakan bahwa Ahmadiyah dapat menjadi “Kuda Troya” yang memecah belah kerukunan bangsa. Menurutnya, terdapat indikasi adanya kepentingan kepentingan yang membonceng aliran yang dianggap sesat ini” (Republika, Senin 21/2/2011).
Munculnya pro dan kontra yang berkembang di masyarakat tentang aliran Ahmadiyah, tidak terlepas dari pemberitaan media. Sebagai suatu alat untuk menyampaikan berita, penilaian, atau gambaran umum tentang banyak hal, media mempunyai kemampuan untuk berperan sebagai institusi yang dapat membentuk opini publik.
Fakta atau peristiwa yang disampaikan media adalah hasil konstruksi dan bersifat subjektif. Begitu pula tentang pemberitaan Ahmadiyah. Hal itu terjadi karena dalam teori komunikasi kontemporer dan ilmu sosial kritis, media (pers) dan teks komunikasi (wacana) termasuk pemberitaan Ahmadiyah pasca kerusuhan di Cikeusik, Pandeglang, Banten – menurut teori Van Dijk tidak bebas nilai dan kepentingan (Sobur, 2002 : 2-3).
Media bukanlah seperti yang digambarkan, memberitakan  apa adanya, cermin dari realitas. Media seperti kita lihat, justru mengkontruksi sedemikian rupa realitas. Tidak mengherankan jika  kita tiap hari secara terus menerus menyaksikan bagaimana peristiwa yang sama bisa diperlakukan secara berbeda oleh media. Ada peristiwa yang diberitakan, ada yang tidak diberitakan, ada yang menganggap penting, ada yang tidak menganggap sebagai berita, ada peristiwa yang dimaknai secara berbeda, dengan cara wawancara dan orang yang berbeda, dengan titik perhatian yang berbeda. Semua kenyataan ini menyadarkan kita betapa subyektifnya media. Mengetengahkan perbedaan semacam ini, tentu bukan menekankan bias atau distorsi dari pemberitaan media. Ini dipaparkan untuk memberikan ilustrasi bagaimana berita yang kita baca tiap hari telah melalui proses konstruksi (Eriyanto, 2004 : 2).
Salah satu media cetak yang menyoroti fenomena krusuhan berbau SARA yang terjadi di Cikeusik, Pandeglang, Banten ini adalah harian Republika. Disalah satu laporannya, Republika memberitakan bahwa kerusuhan yang terjadi pada 6 Februari 2011 adalah kesalahan dari pihak Ahmadiyah. ”Kerusuhan yang terjadi dipicu oleh arogansi rombongan Ahmadiyah yang memprofokasi warga” (Republika, 8 Februari 2011).  Selain itu, Republika juga memberitakan bahwa Ahmadiyah telah mempersiapkan diri dalam menghadapi kerusuhan itu dengan menyiapkan berbagai senjata tajam, seperti samurai, parang, dan tombak.
Perlu dianalisis lebih mendalam tentang hal ini, mengapa harian Republika memilih kata-kata tersebut. Makna apa yang terkandung dalam pemilihan teks tersebut. Melalui studi analisis wacana kritis ini, akan diketahui kontruksi wacana yang ditampilkan oleh Surat Kabar Harian (SKH) Republika. Penulis akan berusaha menemukan konstruksi wacana Republika dalam pemberitaan tentang Ahmadiyah  pasca kerusuhan yang terjadi di Cikeusik Pandeglang, Baten.
Penelitian ini berusaha mengkaji seputar pemberitaan tentang tema tersebut dalam harian Republika. Penulis akan berusaha menemukan kecenderungan sikap Republika dan bagaimana Republika mengkonstruksikan berita dan mengembangkan wacana pemberitaan Ahmadiyah pasca kerusuhan yang terjadi di Cikeusik Pandeglang, Banten. Alasan kenapa penulis memilih Republika sebagai subyek penelitian ini adalah karena banyak kalangan menganggap bahwa Republika adalah harian yang mempunyai visi keIslaman. Sebagai harian yang beridiologi dan mempunyai visi misi Islam Republika mengemban tanggung jawab untuk menjaga pemberitaannya dari berita yang dapat dianggap menyesatkan.
Peneliti meneliti masalah di atas dengan judul “Analisis Pemberitaan Ahmadiyah Pasca Kerusuhan Di Cikeusik, Pandeglang, Banten (Studi Kasus Konstruksi Wacana Surat Kabar Harian Republika Edisi Februari 2011)”.
1.2    Perumusan Masalah
Dari latar belakang yang telah diuraikan di atas, dapat dirumuskan permasalahan yang menjadi pembahasan dalam penelitian ini yaitu : Bagaimana Konstruksi wacana Surat Kabar Harian Republika dalam pemberitaan Ahmadiyah pasca kerusuhan di Cikeusik Pandeglang, Banten?.
1.3    Tujuan dan Manfaat Penelitian
1.3.1        Tujuan
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah Untuk mengetahui konstruksi berita tentang Ahmadiyah Pasca Kerusuhan Di Cikeusik, Pandeglang, Banten dalam SKH Republika.
1.3.2        Manfaat
1.      Manfaat Akademis
Memberikan sumbangsih bagi ilmu komunikasi khususnya penelitian dengan menggunakan metode analisis wacana kritis yang menjelaskan bahwa media massa mempunyai ideologi dan politik yang berbeda – beda dalam setiap pemberitaannya.
2.      Manfaat Praktis
-          Untuk media, diharapkan agar lebih objektif, berimbang dan netral dalam penyusunan berita.
-          Untuk masyarakat, agar mengetahui bagaimana sebuah berita diproduksi sehingga diharapkan dapat lebih kritis dan selektif dalam memahami berita yang disajikan oleh sebuah media tidak selalu bersifat netral.
1.4    Tinjauan Pustaka
Dalam melakukan penelitian ini, penulis akan mendeskripsikan pada peneliti peneliti lain yang berbentuk skripsi yang ada relevansinya dengan judul diatas. Penulis menyadari bahwa bukanlah satu-satunya orang yang mengangkat tema tentang pemberitaan Ahmadiyah di media massa. Setelah penulis teliti, baik di perpustakaan maupun media-media lain, ternyata telah ada beberapa pihak yang mengangkat tema serupa. Namun dalam penelitian ini tentu saja berbeda dengan yang lainnya, terutama masalah tema dan obyek penelitian. Di antara penelitian yang pernah dilakukan antara lain :
a.             Soeroso (2006), Pemberitaan Media Massa Tentang Aliran Ahmadiyah Di Indonesia (Analisis Framing Harian Kompas Dan Republika Edisi Juli-Agustus 2005).  Dalam penelitian ini, penulis menggunakan analisis framing untuk mencoba mengungkap bagaimana kedua surat kabar tersebut memberitakan tentang jamaah Ahmadiyah.
         Adapun hasil penelitian tersebut adalah Republika sebagai koran yang mempunyai visi dan missi keislaman, cenderung memaknai pemberitaan tersebut sebagai sesuatu kenyataan yang riil terjadi di lapangan. Dalam pemberitaannya, Republika seolah menekankan bahwasannya pemerintah baik daerah maupun pusat untuk segera mengambil langkah langkah tegas dan segera mengusut tuntas kasus kasus yang melibatkan Ahmadiyah. Hal ini dilakukan untuk mencegah kejadian kejadian serupa terjadi di kemudian hari yang menimbulkan permasalahan permasalahan yang semaki besar.
         Sedang disisi lain, Kompas mempunyai prinsip ”kehati-hatian” dalam pemberitaan sesuatu dan diladasi dengan kerja profesional dalam menanggapi pemberitaan mengenai Ahmadiyah ini dan tidak terlalu memberi porsi yang besar.  Hal ini ditunjukkan dengan hanya menurunkan tiga pemberitaan tentang Ahmadiyah selama penelitia dilaksanakan pada juli 2005. Selain itu, ketiga pemberitaan tersebut hanya dimuat dalam kolom kecil.
         Walaupun ada kesan bahwa Kompas memaknai kejadian tentang Ahmadiyah sama dengan yang dilakukan Republika, yakni menganggap permasalahan itu adalah riil dan benar terjadi di lapangan, namun dalam permberitannya Kompas lebih menekankan dan menitikberatkan pada aspek aspek kebebasan beragama dan berkeyakinan.
b.            Fitriyani (2009), mengangkat penelitian dengan judul Pemberitaan Tentang Jamaah Ahmadiyah Di Media Massa (Analisis Framing Harian Suara Merdeka Dan Republika). Dalam penelitian ini, penulis menyimpulkan bahwa berita tentang Ahmadiyah yang menjadi sorotan media pada pertengahan tahun 2008 begitu menghebohkan. Kasus tentang Ahmadiyah dimaknai berbeda oleh Suara Merdeka dan Republika. Suara Merdeka sebagai koran nasionalis mencoba memberitakan kasus Ahmadiyah dengan sikap cenderung netral, yaitu memberikan berita berita yang berimbang. Bukti pemberitaan yang netral itu adalah Suara Merdeka mengambil kutipan dari narasumber Jaksa Agung yang mengatakan bahwa pemerintah akan berusaha mengeluarkan SKB pembubaran Ahmadiyah. Namun Suara Merdeka juga mengimbangi dengan pemberitaan jika SKB itu dikeluarkan, pengamanan terhadap Ahmadiyah ditambah. Selain itu pula, keadaan psikologis Ahmadiyah juga diberitakan oleh Suara Merdeka dengan dikeluarkannya SKB.
         Sedangkan Republika, cenderung kontra dengan Ahmadiyah. Hal ini terlihat dalam pemberitaannya yang memaknai Ahmadiyah sebagai aliran yang menyimpang, dan penyimpangan tersebut sebagai sesuatu yang harus diluruskan. Pada  dasarnya pemberitaan tentang kasus Ahmadiyah adalah implementasi dakwah dari Republika itu sendiri. Sesuai hadis Nabi yang mencoba untuk meluruskan ajaran agama Islam.
c.             Teguh Wibisono (2008), mengangkat judul skripsi Analisis Pemberitaan Al Jama’ah Al Islamiyah dalam Peristiwa Bom Bali II di Majalah Gatra Edisi Oktober-Desember 2005. Hasil penelitian menunjukkan bahwa psikologis GATRA menolak jihad versi AL-Jama'ah Al-Islamiyah dan menentang keras perilaku aksi teror, baik atas nama idiologi tertentu maupun atas nama agama (Islam). GATRA dalam membentuk berita lebih memfokuskan dan menyudutkan sekumpulan dari anggota Al-Jama'ah Al-Islamiah sebagai pelaku teror di Indonesia.
               Secara sosiologis GATRA, menampilkan dan memuat berita yang aktual, tajam dan akurat, namun terdapat beberapa kejanggalan didalamnya bahwa berita yang dimuat selalu menampilkan narasumber dari pihak pemerintah, sehingga kebijakan yang muncul secara tidak langsung akan dipengaruhi oleh kebijakan pemerintah pula. Meski GATRA berupaya menampilkan berita yang akurat, aktual, tajam tanpa ada tendensi dari pihak manapun.
d.            Januri (2006) yang mengangkat judul Studi Kritis  Terhadap Wacana Jaringan Islam Liberal (Pendekatan Analisis Wacana Kritis Terhadap Rubrik Kajian Utan Kayu Jawa Pos). Dari skripsi ini menghasilkan kesimpulan bahwa dari analisis kognisi sosial dapat diambil kesimpulan bahwa makna teks yang terdapat di  rubrik kajian Utan kayu jawa pos adalah gagasan JIL tentang liberalisme, kebebasan berekspresi, sekularisme, demokrasi, pluralisme, universalisme, substansialisme, relativisme, inklusivisme, toleransi, dialog antar agama, modernisasi, ijtihad, dan nikah beda agama.
         Dalam ekspresi teks di rubrik kajian Utan kayu Jawa Pos berupa ekspresi persuasif provokatif, bahasa yang melangit sehingga tidak mudah dipahami oleh kaum awam, kritis, vulgar, apologis, justifikasi, dan terkadang sensasional. Dalam hal idiologi, penulis menyimpulkan bahwa idiologi yang dianut oleh JIL adalah positivisme, rasionalisme, empirisme, humanisme, dan liberalisme.
Dari telaah pustaka yang penulis deskripsikan di atas ada beberapa perbedaan mendasar yang perlu digarisbawahi. Mengapa peneliti mengambil rujukan dari beberapa peneliti terdahulu karena peneliti anggap cukup relevan dengan penelitian yang peneliti teliti.           Walaupun dalam subjek yang dibahas ada kesamaan yakni pada skripsi Soeroso dan Fitriyani, namun penelitian penulis secara subjek, objek, waktu penelitian,  dan metode analisis data terdapat perbedaan. Pada penelitian ini, penulis mengangkat sisi-sisi yang belum pernah dibahas oleh peneliti-peneliti terdahulu yaitu dengan mengambil penekanan pada format konstruksi wacana pemberitaan media cetak dalam masyarakat dengan menggunakan pendekatan analisis wacana Van Dijk. Adapun tujuan menggunakan pendekatan ini adalah untuk mengetahui bagaimana kecenderungan, penonjolan, maupun frekuensi pemberitaan berkenaan dengan Pemberitaan Ahmadiyah pasca kerusuhan di Cikeusik Pandeglang, Banten dalam SKH Republika.
1.5    Kerangka Teoritik
Bagi kaum konstruksionis, fakta atau peristiwa adalah hasil konstruksi, dan bersifat subjektif. Realitas itu hadir, karena dihadirkan oleh konsep subjektif wartawan. Disini tidak ada realitas yang bersifat objektif, karena realitas itu tercipta lewat kostruksi (Eriyanto, 2002:19).
Lester Markel seperti dikutip William L. Rivers pernah melontarkan serangan terhadap objektifitas melalui kata kata dalam New York Times pada tanggal 12 september 1968. Ia mengemukakan bahwa sebenarnya, sedekat apapun pendekatan wartawan terhadap objektifitas, objektifitas tetaplah sebuah ilusi.
”Wartawan yang paling objektif sekalipun, mengumpulkan 50 fakta. Dari ke 50 fakta itu, ia memilih 12 untuk disertakan dalam beritanya. Jadi, ia menyisihkan 38 fakta. Inilah penilaian No 1.
Wartawan tadi atau redakturnya menentukan mana dari 12 fakta itu yang sebaiknya ditempatkan dalam alenia pertama dari beritanya. Dengan demikian lebih menonjolkan satu fakta diatas 11 fakta lainnya. Ini penilaian No 2.
Kemudian redaktur menentukan dihalaman satu atau dihalaman duabelas berita itu akan ditempatkan. Bila ditempatkan dihalaman satu, berita itu akan lebih menarik perhatian berlipat ganda dari pembaca, dibanding ditempatkan dihalaman terakhir.
Maka, penyajian  yang faktual itu masih harus menjalani tiga tingkatan penilaian dan semua itu buatan manusia” (Markel dalam William L.Rivers,1994:98).

Pers kita sangat beragam versinya dalam menyampaikan sebuah berita. Kondisi politik dan pasarlah yang sangat menentukan bagaimana media massa mampu  survive. Di sini kita akan temukan bagaimana sosok seorang jurnalis, sosok hasil ramuan yang rumit antara seperangkat idealisme, ketrampilan dan keinginan yang sangat manusiawi (Nugroho, 1999, viii).
Demikian juga dengan proses pemberitaan realitas sosial, yang ada adalah hanya politisasi (pembangunan politik). Artinya bahwa netralitas dan objektivitas sebuah berita bisa saja digadaikan dan kalah saing dengan idielogi dari media tersebut dan juga penulisnya. Wacana yang ada di media yang terbentuk di teks-teks berita yang seharusnya menjadi sebuah bahan informasi yang berguna bagi khalayak, bisa berubah menjadi bahan perpecahan, profokasi yang menimbulkan ketegangan bahkan kerusuhan. Hal ini karena tidak adanya filterisasi oleh masyarakat dan tidak sesuai dengan sebuah ayat dari al-Quran surat al-Hujarat ayat 6 berikut:
يَا اَيُّهَا الَّذِيْنَ امَنُوا اِنْ جَاءَكُمْ فَاسِقٌ بِنَبَاءٍ فَتَبَيَّنُوْا اَنْ تُصِيْبُوْا قَوْمًا بِجَهَالَةٍ فَتُصْبِحُوْا عَلَى مَا فَعَلْتُمْ ندِمِيْنَ. (الحجرات: 6)

Artinya: " Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu " (DEPAG RI, 1993 : 846).

Menurut Syekh Ahmad Mustafa Al Farran dalam Tafsir Imam Syafi’i mengatakan bahwa Imam Syafi’i memerintahkan kepada sesorang yang akan memutuskan suatu hal pada orang lain agar terlebih dahulu melakukan klarifikasi (Mustafa,2006:407). Sedangkan menurut Dr.Nashir Bin Sulaiman Al Umar dalam bukunya Tafsir Surat Al Hujarat, dalam ayat tersebut memerintahkan umat Islam untuk memeriksa dan meneliti berita yang datang. Ayat tersebut mengandung perintah untuk tatsobbut (meyakinkan kebenaran suatu berita) dan tabayyun (mencari kejelasan suatu berita).
Perintah pertama terkait dengan kebenaran yang datang dari sumber berita, sedangkan yang kedua berkaitan dengan kebenaran dan kejelasan substansi materi berita serta hal hal yang mengitarinya. Ayat tersebut memuat prinsip seleksi dan klarifikasi terhadap setiap berita yang sampai kepada kita (Nashir dalam Fitriyani, 2009:10).
Dari keterangan diatas, menunjukkan bahwa kita harus bisa menganalisis berita yang masuk kepada kita. Masyarakat seharusnya tidak terjebak dalam situasi fasik, terjebak dalam permainan idiologi media hingga terjadi perpecahan. Masyarakat harus bisa menyeleksi berita yang dihadirkan media. Karena akhir akhir ini banyak berkembang berita berita yang disebarkan kepada khalayak oleh media yang bersifat provokatif bahkan menjatukan dan sengaja membuat perpecahan.
Dalam model komunikasi Islam, apabila pesannya bersumber dari al-Quran dan Hadist Rasulullah SAW, tentulah pesan itu bersifat imperatif atau wajib hukumnya untuk dilaksanakan karena merupakan pesan kebenaran berdasarkan firman Allah SWT dan Hadist Nabi. Pesan tidak boleh merupakan sensasi, kebohongan, kefasikan, pelintiran kata kata, dan kebohongan publik (Muis,2001:70).
Umat Islam  harus dapat memilah dan meneliti berita yang datang kepada mereka. Kesadaran bahwa berita yang dikonsumsi setiap hari itu bukanlah semata mata datang dari langit, bukan pula suatu ruang hampa yang mandiri. Akan tetapi teks yang hadir adalah sebuah konstruksi dari realitas.
Dalam pandangan kontruksionis, media bukanlah sekadar saluran yang bebas, ia juga subjek yang mengkonstruksi realitas, lengkap dengan pandangan, bias, dan pemihakannya. Disini media dipandang sebagai agen konstruksi sosial yang mendefinisikan realitas. Berita yang kita baca bukan hanya menggambarkan realitas, bukan hanya menunjukkan pedapat sumber berita, tetapi juga konstruksi dari media itu sendiri (Eriyanto,2004:23).
1.6    Metode Penelitian
1.6.1        Jenis dan Pendekatan
                 Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan jenis penelitian kualitatif, yaitu penelitian yang bermaksud untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh subjek penelitian misalnya perilaku, persepsi, motivasi, tindakan dan lain-lain, secara holistik, dan dengan cara deskriptif dalam bentuk kata-kata dan bahasa, pada suatu konteks khusus yang alamiah dan dengan memanfaatkan berbagai metode alamiah (Moleong, 2006 : 6).
                 Berdasarkan sumbernya, data kualitatif dapat dikelompokkan menjadi empat, yaitu data historis, data teks, data kasus, dan data pengalaman individu. Karena yang diteliti penulis adalah teks, maka termasuk dalam penelitian data teks (Kriyantono, 2006 : 38).
Sedangkan pendekatan yang digunakan adalah analisis wacana menurut Teun A Van Dijk. Penelitian analisis wacana menurut Van Dijk, tidak cukup hanya didasarkan  pada analisis teks semata, karena teks hanya hasil dari suatu praktik produksi. Pemahaman produksi teks pada akhirnya akan memperoleh pengetahuan mengapa teks bisa demikian.
Teks yang muncul di permukaan terpengaruh oleh struktur sosial, dominasi, dan kelompok kekuasaan yang ada dalam masyarakat. Selain itu, Van Dijk melihat bagaimana kognisi/pikiran dan kesadaran yang membentuk dan berpengaruh terhadap teks-teks tertentu.
1.6.2        Sumber Data
1.      Sumber data primer
               Sumber data primer adalah berita pada SKH Republika yang terbit dari tanggal  7-28 Februari 2011. Alasan mengapa rentang waktu ini yang penulis pilih adalah karena intensitasnya dalam pemberitaan tema tersebut lebih banyak dibandingkan dengan waktu-waktu yang lain.
2.      Sumber data sekunder
               Dalam penelitian ini, penulis menggunakan segala data tertulis yang berhubungan dengan tema yang bersangkutan, baik itu dari buku, jurnal, skripsi, tesis, surat kabar dan penelitian-penelitian lain.
1.6.3        Definisi Konseptual
Penelitian ini akan difokuskan pada pemberitaan yang ada dalam media khususnya media yang berbentuk koran harian yang akan diteliti, yaitu harian Republika.  Pengertian berita sendiri mempunyai definisi yang beragam. Sulit sekali mendefinisikan berita, hal ini diungkapkan oleh Earl English & Clarence Hach dalam bukunya ”Scholastic Journalism” seperti dikutip Djafar Assegaf yang mengatakan bahwa: ”News is dificult to define, because it involves many variable factor” (Memberi batasan atau definisi berita adalah sukar, karena berita mencakup banyak faktor-faktor variable) (Assegaf,1991:23).
Berita dalam hal ini berbeda dengan fakta. Fakta menurut Kamus Umum Besar Bahasa Indonesia karangan WJS Poerwadarminto, sebagaimana dikutip oleh Darmanto berarti peristiwa atau kejadian yang sungguh-sungguh (Darmanto, 2005 : 17-18). Pemberitaan merupakan segala informasi yang terdapat di halaman-halaman surat kabar baik berupa laporan fakta, opini institusi surat kabar dan opini masyarakat yang dimuat dalam surat kabar (seperti penulisan artikel ilmiah popular & surat pembaca) (Assegaf, 1985 : 23).
Fokus penelitian ini adalah megenai pemberitaan Republika tentang Ahmadiyah pasca kerusuhan di Cikeusik Pandeglang, Banten, oleh karena itu berita pada penelitian ini hanya tertuju pada pengertian berita yang  didefinisikan oleh Willard C. Bleyer. Seperti dikutip dalam Djaffar Assegaf, Bleyer memberikan definisi berita adalah sesuatu yang termasa yang dipilih oleh wartawan untuk dimuat dalam surat kabar karena ia dapat menarik atau mempunyai makna bagi pembaca surat kabar, atau karena ia dapat menarik pembaca tersebut (Assegaf,1991:24).     
Berita diklasifikasikan menjadi dua kategori, yaitu berita berat (hard news) dan berita ringan (soft news) (Sumadiria, 2005 : 65). Dalam dunia jurnalistik, berita berdas arkan jenisnya dapat dibagi ke dalam tiga kelompok : elementary, intermediate, dan advance. Berita elementary mencakup berita langsung (straight news), berita mendalam (depth news report), dan berita menyeluruh (comprehensive news report). Berita intermediate meliputi pelaporan berita interpretative (interpretative news report), dan pelaporan karangan khas (feature story report). Sedangkan untuk kelompok advance menunjuk pada pelaporan mendalam (depth reporting), pelaporan penyelidikan (investigative reporting), dan penulisan tajuk rencana (editorial writing) (Sumadiria, 2005 : 69). Dari jenis berita tersebut, maka berita yang dimaksudkan dalam penelitian ini hanyalah mencakup berita langsung (straight news).
Berita langsung (straight news) adalah berita yang ditulis secara langsung, artinya informasi yang dituangkan dalam berita itu diperoleh langsung dari sumber beritanya. Biasanya diungkapkan dalam bentuk pemaparan (deskriptif), dan penulisannya lebih mengutamakan aktualitas informasinya (Djuroto,2000:49).
1.6.4        Tehnik Pengumpulan Data
Data dalam penelitian ini akan kami kumpulkan menggunakan metode dokumentasi.  Dokumentasi yaitu mencari data mengenai hal-hal berupa catatan, transkip, buku, surat kabar, majalah, prasasti, notulen rapat, agenda dan sebagainya (Arikunto, 1998: 236).
Data-data tersebut tak hanya penulis kumpulkan tetapi juga penulis olah sesuai dengan metodologi analisis wacana yang digunakan. Data yang kami maksud dalam penelitian ini adalah data primer yang telah disebutkan di atas.
1.6.5        Tehnik Analisis Data
Analisis data merupakan upaya mencari dan menata secara sistematis catatan hasil observasi, wawancara dan lainnya untuk meningkatkan pemahaman peneliti tentang kasus yang diteliti dan menyajikannya sebagai temuan untuk orang lain (Muhadjir, 1991:163).
Dalam penelitian ini penulis menggunakan analisis wacana model Teun A Van Dijk, karena dari sekian banyak model analisis wacana , model Van Dijk adalah model yang banyak sekali dipakai (Sobur,2004:73).
Metode analisis wacana Van Dijk adalah model analisis kognisi sosial. Istilah ini sebenarnya diadopsi dari pendekatan lapangan psikologi sosial, terutama untuk menjelaskan sruktur dan proses terbentuknya suatu teks. Menurut Van Dijk penelitian atas wacana tidak cukup hanya didasarkan pada analisis atas teks semata, karena teks hanya hasil dari suatu praktik produksi yang harus juga diamati. Penelitian mengenai wacana tidak bisa mengekslusi seakan-akan teks adalah bidang yang kosong, sebalikya ia adalah bagian kecil dari struktur besar masyarakat (Eriyanto, 2001:221).
Analisis kognisi sosial terdiri dari tiga dimensi, yaitu dimensi teks, kognisi sosial, dan konteks sosial.  Inti dari analisis Van Dijk adalah bagaimana menggabungkan ketiga dimensi wacana tersebut kedalam satu kesatuan analisis. Dalam dimensi teks, yang diteliti adalah bagaimana struktur teks dan stategi wacana yang dipakai untuk menegaskan suatu tema tertentu. Pada level kognisi sosial, dipelajari proses produksi teks berita yang melibatkan kognisi individu dari wartawan. Dan pada aspek ketiga yakni konteks sosial, mempelajari bangunan wacana yang berkembang dalam masyarakat akan suatu masalah (Eriyanto,2001:224).
Van Dijk membuat kerangka analisis wacana yang dapat didayagunakan. Ia melihat teks terdiri dari berbagai struktur atau tingakatan. Ia membaginya dalam tiga tingkatan yang masing masing bagian saling mendukung. Ketiga struktur tersebut adalah:
1.      Struktur makro, ini merupakan makna global/umum dari suatu teks yang dapat dipahami dengan melihat topik dari suatu teks, tema wacana ini bukan hanya isi, tetapi juga sisi tertentu dari suatu peristiwa.
2.      Superstruktur adalah kerangka suatu teks, bagaimana struktur dan elemen itu disusun dalam teks secara utuh.
3.      Struktur mikro, adalah makna wacana yang dapat diamati dengan menganalisis kata, kalimat, proporsisi, anak kalimat, parafase yang dipakai dan sebagainya (Sobur, 2004:73-74).
Model analisis wacana Teun Van Dijk di atas dapat dilihat secara sederhana pada tabel sebagai berikut:
Tabel 1.
Model Analisis Wacana Teun A Van Dijk

Struktur Wacana
Hal Yang Diamati
Elemen

Struktur Makro
Tematik
Tema/topik yang dikedepankan dalam suatu berita

Topik

Superstruktur
Skematik
Bagaimana bagian dan urutan berita diskemakan dalam teks berita utuh

Skema








Struktur Mikro
Semantik
Makna yang ingin ditekankan dalam teks berita. Misal dengan memberi detil pada satu sisi atau membuat eksplisit satu sisi dan mengurangi detil sisi lain.

Latar, detil, maksud, pra anggapan, nominalisasi

Sintaksis
Bagaimana kalimat (bentuk, susunan) yang dipilih
Bentuk, kalimat, koherensi, kata ganti
Stilistik
Bagaimana pilihan kata yang dipakai dalam teks berita

Leksikon

Retoris
Bagaimana dan dengan cara penekanan dilakukan
Grafis, metafora, ekspresi

Diperlukan penelitian tentang Kognisi sosial untuk meneliti sebuah teks media. Van Dijk menitik beratkan pada beberapa hal, pertama, kesadaran mental wartawan yang membentuk teks tersebut. Dalam pandangan Van Dijk, analisis wacana tidak dibatasi hanya pada struktur teks,  karena struktur wacana itu sendiri menujukkan makna, pendapat dan idiologi. Pandangan bahwa teks tidak mempunyai makna, tetapi makna itu diberikan oleh pemakai bahasa yakni wartawan (Eriyanto, 2003:259-271).
Fungsi dari analisis kognisi sosial Van Dijk inilah yang penulis gunakan untuk menjawab pertanyaan tentang makna dan ekspresi kajian teks tentang pemberitaan Ahmadiyah pasca kerusuhan di Cikeusik Pandeglang, Banten dalam SKH Republika edisi Februari 2011.
1.7    Sistematika Penulisan
      Untuk memudahkan dalam penyusunan, skripsi ini akan menggunakan sistematika penulisan. Sistematika disini dimaksudkan untuk mendapatkan gambaran yang jelas dalam pembahasan skripsi ini. Sistematikanya adalah sebagai berikut:
            Bab pertama yaitu pendahuluan, yang berisi tentang latar belakang, rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, tinjauan pustaka, metodologi penelitian skripsi dan sistematika penulisan skripsi.
            Selanjutnya Bab kedua akan membahas media massa, surat kabar, berita dan dan wacana, yang di dalamnya tinjauan umum media massa, surat kabar, berita dan wacana menurut Teun A Van Dijk.
            Kemudian Bab ketiga akan dijabarkan data tentang Ahmadiyah dan  harian Republika. Obyek penelitian ini meliputi Ahmadiyah, sejarah harian Republika dan gambaran pemberitaan Ahmadiyah pasca kerusuhan di Cikeusik, Pandeglang, Banten.
            Bab keempat akan meneliti tentang analisis SKH Republika terhadap peristiwa Ahmadiyah pasca kerusuhan di Cikeusik, Pandeglang, Banten.  Peneliti akan menggunakan analisis wacana Van Dijk untuk menganalisa teks teks berita tersebut.
            Sedangkan dalam Bab kelima adalah bab terakhir yang berisi tentang kesimpulan, saran-saran dan penutup. 


DAFTAR PUSTAKA
Al Farran, Syekh Ahmad Mustofa.2006. Tafsir Imam Syafi’i Juz 3, Jakarta : al Mahira

Anonim.1994. Perkembangan dan Prospek Dalam Tahun Kedua Harian Republika, Jakarta: Republika

Ardiyanto, Elvinaro & Lukiati Komala Erdinaya. 2004. Komunikasi Massa Suatu Pengantar. Bandung : Simbiosa Rekatama Media.

Arikunto, Suharsimi.1998. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek, Jakarta : Rineka Cipta

Assegaf,Djafar.1991. Jurnalistik Masa Kini, Jakarta : Ghalia Indonesia.

Bungin, M, Burhan. 2008. Sosiologi Komunikasi; Teori, Paradigma, Dan Diskursus Teknologi Komunikasi di Masyarakat, Jakarta: Kencana Prenada Media Group

DEPAG RI.1993. Al-Qur’an dan Terjemahnya, Jakarta : Yayasan Penyelenggara Terjemah.

Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia. 1981. Dokumen Dokumen Resmi Dan Keputusan Konferensi Islam Internasional Tentang Ahmadiyah, Jakarta  : Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia.

            Djuroto, Totok 2000. Manajemen Penerbitan Pers, Bandung:Rosdakarya.

Effendi, Uchjana, Onong.1986. Dinamika Komunikasi, Bandung : Remadja Karya.

______________________.2005. Ilmu, Teori, dan Filsafat Komunikasi, Bandung: Remaja Rosdakarya.

______________________.1983.Dimensi-Dimensi Komunikasi, Bandung: Remaja Rosdakarya.

Eriyanto.2001. Analisis Wacana : Pengantar Teks Media, Yogyakarta : LkiS.

_______. 2002. Analisis Framing: Konstruksi, Idiologi, dan politik Media, Yogyakarta : LkiS.

Ermanto,2005. Wawasan Jurnalistik Praktis, Yogyakarta:Cinta Pena.

Fathoni,Muslih, 1994. Faham Mahdi Syiah dan Ahmadiyah dalam Prespektif, Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Fitriyani.2009. Pemberitaan Tentang Jamaat Ahmadiyah Di Media Massa : Analisis Framing Harian Suara Merdeka Dan Republika. Skripsi, tidak dipublikasikan, Fakultas dakwah IAIN Walisongo Semarang.

http:// www.mui.or.id


            http://id.shvoong.com

Iqbal, sir Muhammad.1991. Islam dan Ahmadiyah, Penerjemah,  Machnun Husein, Jakarta: Bumi Aksara.

Jaiz, Hartono Ahmad.2002. Aliran Dan Paham Sesat Di Indonesia, Jakarta : Pustaka al Kautsar.

Kasman, Suf, 2010. Pers Dan Pencitraan Umat Islam Di Indonesia Analisis Isi Pemberitaan Harian Kompas Dan Republika, Jakarta: Balai Litbang Dan Diklat Kementrian Agama RI.

________.2004. Jurnalisme Universal, Menelusuri Prinsip Prinsip Dakwah Bil Qalam Dalam Al Quran, Jakarta:Teraju.

Kriyantono, Rachmat. 2006. Teknik Praktis Riset Komunikasi. Jakarta : Prenada Media Group

Kompas, Senin 14/2/2011.

Kusnawan, Aep, 2004. Berdakwah Lewat Tulisan, Bandung, Mujahid.

Kusumaningrat,Hikmat, Kusumaningrat, Purnama. 2005. Jurnalistik Teori & Praktik, Bandung:Rosdakarya.

Lestari, Puji. A.2010. Analisis Wacana Pemberitaan Pro Kontra Pemidanaan Pelaku Nikah Sirri Di Harian Seputar Indonesia Edisi Februari 2010, (Tidak Dipublikasikan, Skripsi, Fakultas Dakwah IAIN Walisongo).

Muhajir, Noeng.1996. Metodologi Penelitian Kualitatif, Yogyakarta: Rake Surasin.

Muis, A.2001. Komunikasi Islam, Bandung : Rosda.
Oetama, Jakob.1987. Perspektif Pers Indonesia, Jakarta : LP3ES.
Panuju, Redi. 2002. Relasi Kuasa Negara, Media massa dan Publik :  pertarungan memenangkan opini publik dan peran dalam transformasi sosial, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Republika, Senin 7/2/2011.

Republika, Selasa 8/2/2011.

Republika, Kamis 10/2/2011.

Republika, Senin 14/2/2011.

Republika, Senin 21/2/2011.

Rivers,L.William, Cleve Mathews.1994. Etika Media Massa Dan Kecenderungan Untuk Melanggarnya, Jakarta : Gramedia.

Romli, Asep Syamsul M.  2003. Jurnalistik Dakwah Visi dan Misi Dakwah Bilqolam. Bandung: Remaja Rosda Karya.

Shobur, Alex.2002. Analisis Teks Media, Bandung : Rosdakarya.
Sumadiria, AS Haris.2005. Jurnalistik Indonesia, Menulis Berita dan Feature, Panduan Praktis Jurnalistik Profesional, Bandung: Remaja Rosdakarya.

Undang-Undang Nomor 40 tahun 1999 Tentang Pers.
Wibowo,Wahyu.2009. Menuju Jurnalisme Beretika, Jakarta : Kompas.
Wijana, I Dewa Putu.1996.Dasar-dasar Pragmatik, Yogyakarta:Andi

Yusof, M.Farahwahida, Siti Ramlan Ibrahim.2008. Penyelewengan Ajaran Qadiani, Kuala Lumpur: Universiti Tekhnologi Malaysia Press.

0 komentar:

Posting Komentar