BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Media massa
sering disebut sebagai fourth estate (kekuatan keempat) dalam kehidupan
sosial ekonomi dan politik. Hal ini disebabkan oleh suatu presepsi peran yang dapat dimainkan oleh media dalam
kaitannya dengan pengembangan kehidupan sosial ekonomi dan politik masyarakat (Sobur,2004:30).
Media massa
dinilai perkasa karena kemampuan dan
keampuhannya dalam menjangkau khalayak banyak dan tersebar di berbagai
tempat di suatu daerah atau suatu negara. Banyak orang menggantungkan diri pada
pemberitaan media massa untuk mengetahui atau mengenali sesuatu meskipun apa
yang tersaji dalam berita media massa bukan merupakan kenyataan hakiki (pure reality),
melainkan “realitas media” yang sering menjadi kebenaran semu (Romli,2003:29). Begitu
berkuasanya media massa dalam mempengaruhi pikiran, perasaan dan perilaku
penduduk, sehingga tidak salah jika Kevin Philips dalam bukunya “Responsbility
in mass communication” seperi yang dikutip Onong Uchjana Effendi mengatakan
bahwa era sekarang lebih merupakan mediacracy (pemerintahan media)
daripada democracy (pemerintahan rakyat) (Effendi, 1986 : 207).
Media
sesungguhnya berada di tengah realitas sosial yang sarat dengan berbagai
kepentingan, konflik, dan fakta yang kompleks dan beragam. Menurut pernyataan Louis Althusser seperti
dikutip Sobur mengatakan bahwa media, dalam hubungannya dengan kekuasaan,
menempati posisi strategis, terutama karena anggapan akan kemampuannya sebagai
sarana legitimasi. Media massa sebagaimana lembaga-lembaga pendidikan, agama,
seni, dan kebudayaan merupakan bagian dari alat kekuasaan Negara yang bekerja
secara idiologis guna membangun kepatuhan khalayak terhadap kelompok yang
berkuasa (ideological states apparatus).
Pendapat
tersebut dibantah oleh Antonio Gramsci yang menyatakan bahwa media merupakan
arena pergulatan antar ideologi yang saling berkompetisi (the battle ground
for competiting ideologis). Gramsci melihat media sebagai ruang dimana
berbagai ideologi direpresentasikan. Ini berarti di satu sisi media bisa menjadi
sarana penyebaran ideologi penguasa, alat legitimasi dan kontrol atas wacana
publik (Sobur, 2004 : 30).
Pendapat
kedua tokoh diatas merupakan sebuah bukti bahwa media massa bukan sesuatu yang
bebas, independen, akan tetapi memiliki keterkaitan dengan realitas sosial.
Jelasnya ada berbagai kepentingan yang bermain dalam media massa. Seperti
kepentingan kapitalisme pemilik modal, kepentingan keberlangsungan lapangan
kerja bagi karyawan, kepentingan politik dan lain lain.
Pada awal
tahun 2011, kisruh politik Timur Tengah menjadi berita hangat yang dibicarakan oleh kalangan pendidikan (akademisi), media cetak, media elektronik dan masyarakat luas di Indonesia. Revolusi yang terjadi di Tunisia, Mesir, Libya,
Sudan dan beberapa negara Timur Tengah cukup menyita perhatian publik. Selama
berminggu minggu, media massa baik lokal maupun nasional menjadikan peristiwa
peristiwa tersebut sebagai berita utama (headline).
Selain
kasus politik luar negeri tersebut, politik
dalam negeri juga menjadi pemberitaan
media, mulai dari masalah mafia pajak Gayus Tambunan, kisruh pemilihan ketua
PSSI, susu formula berbakteri, dan berbagai kasus kriminal menjadi berita yang
menghiasi halaman media cetak pada awal tahun 2011.
Ditengah berbagai
kasus yang terjadi diatas, pada bulan Februari 2011 muncul kasus kerusuhan
berbau SARA (Suku, Agama dan Ras) yang terjadi di dua tempat dalam waktu yang
hampir bersamaan. Ironisnya, peristiwa-peristiwa itu muncul saat presiden Indonesia
Susilo Bambang Yudhoyono meresmikan gong perdamaian di Kupang, Nusa Tenggara
Timur pada 8 Februari 2011. Persis di tanggal yang sama terjadi kasus pembakaran
gereja di Temanggung, dan dua hari sebelumnya pada 6 Februari 2011, terjadi kerusuhan
di Cikeusik, Pandeglang, Banten antara Ahmadiyah dan warga yang menewaskan 3 pengikut
Ahmadiyah.
Isu
kerusuhan berbau SARA tersebut tentunya tidak luput dari perhatian media massa,
khususnya media cetak (surat kabar). Hampir seluruh media cetak di Indonesia menaruh
headline tentang isu tersebut. Salah satu media cetak yang memberitakan
isu tersebut adalah surat kabar Harian Republika. Lebih dari satu bulan,
yakni mulai 6 Februari sampai Maret 2011, berita tentang kerusuhan di Cikeusik
antara warga dengan Jamaah Ahmadiyah menjadi topik utama Republika.
Setelah
peristiwa SARA ini menjadi pemberitaan utama di media massa, perbedaan pendapat
muncul dikalangan publik. Silang pendapat antara pihak yang pro dan kontra
menghiasi halaman media massa. Saling membela, meghujat, pentakfiran,
dan saling menganggap sesat. Masyarakat telah berhasil diformat seleranya oleh
media. Seperti yang dikatakan Redi Panuju, Berita yang menegangkan yang tergolong “bad News” mempunyai
empat efek pada komunitas yang berbeda karakteristiknya: salah satunya adalah
ada sekelompok masyarakat yang terkena efek pengkondisian (conditioning).
Artinya, secara perlahan lahan individu individu akan diformat seleranya,
minatnya, cara berpikirnya, dan sebagainya itu oleh media (Panuju, 2002 :
72).
Kasus kerusuhan antara Ahmadiyah dengan warga di
Cikeusik Pandeglang, Banten adalah kasus yang paling banyak disorot publik.
Dalam kerusuhan itu, 3 orang meninggal dunia, dan belasan orang mengalami luka
berat. Peristiwa kekerasan itu bukanlah kasus pertama yang dialami oleh Ahmadiyah
di Indonesia. Menurut catatan Setara Institute, kasus penyerangan
terhadap warga Ahmadiyah di Indonesia pada kurun waktu 2008-2010 terjadi
sebanyak 276 kali. Pada 17 Februari 2006,
terjadi perusakan dan pembakaran 31 rumah pengikut Ahmadiyah di Lombok Barat
NTB, 15 Desember 2007 terjadi penyerbuan rumah dan tempat ibadah Ahmadiyah di Kuningan
Jawa Barat, 9 Oktober 2010, penyerangan dan pembakaran permukiman Ahmadiyah di Bogor,
Jawa Barat, dan kasus terbaru yakni penyerangan kediaman pimpinan Ahmadiyah di Kampung
Peudeuy, Cikeusik Pandeglang, Banten yang menewaskan 3 anggota Ahmadiyah
(Kompas, Senin 14/2/2011).
Tewasnya
pengikut Ahmadiyah di Cikeusik, Pandeglang, Banten dalam kerusuhan
Minggu 06 Februari 2011 menambah daftar kekerasan yang terjadi
terhadap Aliran sesat itu di Indonesia. Pemerintah pun seakan kebingungan dalam
mengatasi konflik internal antara Ahmadiyah dengan Muslim di Indonesia. Argumen
tentang kebebasan beragama dan Hak Asasi Manusia menjadi sebuah dilema bila
dihubungkan dengan kelompok ajaran Ahmadiyah. Satu sisi Islam menolak keras dan
tidak menerima ajaran ini, sementara sisi lain hak untuk memeluk agama dan kepercayaan dilindungi oleh
Undang-Undang (http://balista.blogspot.com
diakses pada 20 Februari 2011).
Ahmadiyah
adalah ajaran dan gerakan yang ditokohi oleh Mirza Ghulam Ahmad (1839-1908) di
Qadian, Punjab, India. Ajaran ini oleh kalangan muslim Sunni ortodoks dianggap
menyimpang dari ajaran Islam yang sebenarnya (Iqbal,1991:vii). Di negara
asalnya (India), Ahmadiyah sudah dilarang. Tidak hanya di negara asalnya saja,
larangan ini juga telah disepakati oleh dunia Islam melalui tiga organisasi
internasionalnya, yaitu merupakan keputusan Rabithah Alam Islami (Liga
Muslim Dunia), Muktamar Alam Islami dan Konfrensi Negara-Negara
Islam (OKI) (http://www.inilah.com
diakses pada 20 Februari 2011).
Di Indonesia
sendiri, Ahmadiyah juga ditentang. Hal ini dibuktikan dengan fatwa MUI yang
dikeluarkan sejak Musyawarah Nasional (MUNAS) VII tanggal 26-29 Juli 2005.
Menegaskan kembali fatwa dan keputusan MUNAS II MUI tahun 1980 tentang Ahmadiyah
sebagai aliran yang berada diluar Islam, sesat dan menyesatkan serta menghukumi
orang yang mengikutinya sebagai murtad (telah keluar dari Islam). Dalam
fatwa tersebut juga dinyatakan bahwa pemerintah berkewajiban untuk melarang
penyebaran faham aliran Ahmadiyah diseluruh Indonesia, membekukan organisasi
serta menutup semua tempat kegiatannya (Himpunan Fatwa Majelis Ulama Indonesia
: 106 dalam www.mui.or.id diakses
pada 23 Februari 2011).
Penentangan
itu tidak lain karena Ahmadiyah diyakini sebagai ajaran sesat. Kesesatan itu
diakibatkan bebarapa poin, seperti menyatakan pemimpinnya yakni Mirza Ghulam
Ahmad sebagai Nabi dan Rasul, teks al Quran yang diubah ubah, dan menganggap
jihad itu tidak ada (Jaiz,2002 : 55).
Surat yang
disampaikan kedutaan besar Saudi Arabia kepada Kementrian Agama Republik
Indonesia yang menyatakan bahwa keputusan konferensi organisasi-organisasi
Islam di Makkah yang dikeluarkan pada bulan Rabi’ul Awal 1394 H serta
putusan dewan tertinggi masjid sedunia yang dikeluarkan dalam sidangnya yang ke 2, ke 3 dan ke 4
tahun 1397, 1398, dan 1399 H, kesemuanya berisi penentangan kaum muslimin
terhadap kegiatan destruktif yang dilakukan oleh golongan yang disebut
Qadyaniyah atau Ahmadiyah, ialah suatu golongan destruktif yang menjadikan
Islam sebagai kedok untuk menutupi tujuannya yang busuk yang bertentangan
dengan ajaran ajaran Islam (Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia, 1981:19).
Ahmadiyah
menemukan puncak kejayaannya di Indonesia terjadi pada masa kepemimpinan
Presiden Abdurrahman Wahid atau akrab disapa Gus Dur. Kala itu, dengan terang -
terangan Gus Dur menyatakan siap membela warga Ahmadiyah (http://oase.Kompas.com, diakses pada 20 Februari 2011). Pada masa pemerintahan Gus
Dur tahun 2000, ia justru menghadirkan dedengkot Ahmadiyah ke Indonesia, yaitu
Tahir Ahmad dari London yang disebut sebagai khalifah ke-4 (Jaiz, 2002 : 59).
Aliran Ahmadiyah
memiliki cita-cita yang tinggi, yakni untuk meremajakan moral Islam dan
nilai-nilai spiritual. Pergerakan ini mendorong dialog antar agama dan
senantiasa membela Islam serta berusaha untuk memperbaiki kesalah-pahaman
mengenai Islam di dunia Barat. Gerakan ini menganjurkan perdamaian, toleransi,
kasih dan saling pengertian diantara para pengikut agama yang berbeda serta
menolak kekerasan dan teror dalam bentuk apapun untuk alasan apapun (http://www.alislam.org/indonesia,
diakses pada 8 Maret 2011).
Pro dan kontra
masyarakat tentang aliran Ahmadiyah terjadi sejak kedatangannya ke Indonesia
pada tahun 1925. Ahmadiyah dianggap menjadi faktor timbulnya perpecahan
kerukunan umat beragama di Indonesia.
Sejak kedatangannya, aliran ini
langsung mendapat respon dari masyarakat dan juga pemerintah Indonesia. Lima
tahun kemudian muncul konflik yang disebabkan oleh menyimpangnya ajaran ini.
Dari masa ke masa pun, pemicu bentrokan itu adalah masalah yang sama, tidak
diterimanya aliran Ahmadiyah karena dianggap sesat menyesatkan (http://www.inilah.com, diakses pada 20
Februari 2011). Menurut Ichwan Syam,
Sekertaris Jendral Majelis Ulama Indonesia mengatakan bahwa Ahmadiyah dapat
menjadi “Kuda Troya” yang memecah belah kerukunan bangsa. Menurutnya,
terdapat indikasi adanya kepentingan kepentingan yang membonceng aliran yang
dianggap sesat ini” (Republika, Senin 21/2/2011).
Munculnya pro
dan kontra yang berkembang di masyarakat tentang aliran Ahmadiyah, tidak
terlepas dari pemberitaan media. Sebagai suatu alat untuk menyampaikan berita,
penilaian, atau gambaran umum tentang banyak hal, media mempunyai kemampuan
untuk berperan sebagai institusi yang dapat membentuk opini publik.
Fakta atau
peristiwa yang disampaikan media adalah hasil konstruksi dan bersifat subjektif.
Begitu pula tentang pemberitaan Ahmadiyah. Hal itu terjadi karena dalam teori komunikasi kontemporer dan ilmu sosial
kritis, media (pers) dan teks komunikasi (wacana) termasuk pemberitaan Ahmadiyah
pasca kerusuhan di Cikeusik, Pandeglang, Banten – menurut teori Van Dijk tidak
bebas nilai dan kepentingan (Sobur, 2002 : 2-3).
Media
bukanlah seperti yang digambarkan, memberitakan
apa adanya, cermin dari realitas. Media seperti kita lihat, justru
mengkontruksi sedemikian rupa realitas. Tidak mengherankan jika kita tiap hari secara terus menerus
menyaksikan bagaimana peristiwa yang sama bisa diperlakukan secara berbeda oleh
media. Ada peristiwa yang diberitakan, ada yang tidak diberitakan, ada yang
menganggap penting, ada yang tidak menganggap sebagai berita, ada peristiwa
yang dimaknai secara berbeda, dengan cara wawancara dan orang yang berbeda,
dengan titik perhatian yang berbeda. Semua kenyataan ini menyadarkan kita
betapa subyektifnya media. Mengetengahkan perbedaan semacam ini, tentu bukan
menekankan bias atau distorsi dari pemberitaan media. Ini dipaparkan untuk
memberikan ilustrasi bagaimana berita yang kita baca tiap hari telah melalui
proses konstruksi (Eriyanto, 2004 : 2).
Salah satu
media cetak yang menyoroti fenomena krusuhan berbau SARA yang terjadi di
Cikeusik, Pandeglang, Banten ini adalah harian Republika. Disalah satu laporannya,
Republika memberitakan bahwa kerusuhan yang terjadi pada 6 Februari 2011 adalah
kesalahan dari pihak Ahmadiyah. ”Kerusuhan yang terjadi dipicu oleh arogansi
rombongan Ahmadiyah yang memprofokasi warga” (Republika, 8 Februari 2011). Selain itu, Republika
juga memberitakan bahwa Ahmadiyah telah mempersiapkan diri dalam menghadapi
kerusuhan itu dengan menyiapkan berbagai senjata tajam, seperti samurai,
parang, dan tombak.
Perlu dianalisis lebih mendalam tentang hal ini,
mengapa harian Republika memilih kata-kata tersebut. Makna apa yang terkandung
dalam pemilihan teks tersebut. Melalui studi analisis wacana kritis ini, akan diketahui kontruksi wacana
yang ditampilkan oleh Surat Kabar Harian (SKH) Republika. Penulis akan berusaha
menemukan konstruksi wacana Republika dalam pemberitaan tentang Ahmadiyah pasca kerusuhan yang terjadi di Cikeusik
Pandeglang, Baten.
Penelitian
ini berusaha mengkaji seputar pemberitaan tentang tema tersebut dalam harian Republika.
Penulis akan berusaha menemukan kecenderungan sikap Republika dan bagaimana Republika
mengkonstruksikan berita dan mengembangkan wacana pemberitaan Ahmadiyah pasca
kerusuhan yang terjadi di Cikeusik Pandeglang, Banten. Alasan kenapa penulis memilih Republika sebagai subyek
penelitian ini adalah karena banyak kalangan menganggap bahwa Republika adalah
harian yang mempunyai visi keIslaman. Sebagai harian yang beridiologi dan mempunyai visi misi Islam Republika
mengemban tanggung jawab untuk menjaga pemberitaannya dari berita yang dapat dianggap
menyesatkan.
Peneliti meneliti
masalah di atas dengan judul “Analisis
Pemberitaan Ahmadiyah Pasca Kerusuhan Di Cikeusik, Pandeglang, Banten (Studi
Kasus Konstruksi Wacana Surat Kabar Harian Republika Edisi Februari 2011)”.
1.2 Perumusan Masalah
Dari latar
belakang yang telah diuraikan di atas, dapat dirumuskan permasalahan yang
menjadi pembahasan dalam penelitian ini yaitu : Bagaimana Konstruksi wacana Surat
Kabar Harian Republika dalam pemberitaan Ahmadiyah pasca kerusuhan di Cikeusik
Pandeglang, Banten?.
1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian
1.3.1
Tujuan
Adapun tujuan
dari penelitian ini adalah Untuk mengetahui konstruksi berita tentang Ahmadiyah
Pasca Kerusuhan Di Cikeusik, Pandeglang, Banten dalam SKH Republika.
1.3.2
Manfaat
1. Manfaat Akademis
Memberikan
sumbangsih bagi ilmu komunikasi khususnya penelitian dengan menggunakan metode
analisis wacana kritis yang menjelaskan bahwa media massa mempunyai ideologi
dan politik yang berbeda – beda dalam setiap pemberitaannya.
2. Manfaat Praktis
-
Untuk
media, diharapkan agar lebih objektif, berimbang dan netral dalam penyusunan
berita.
-
Untuk
masyarakat, agar mengetahui bagaimana sebuah berita diproduksi sehingga
diharapkan dapat lebih kritis dan selektif dalam memahami berita yang disajikan
oleh sebuah media tidak selalu bersifat netral.
1.4 Tinjauan Pustaka
Dalam
melakukan penelitian ini, penulis akan mendeskripsikan pada peneliti peneliti
lain yang berbentuk skripsi yang ada relevansinya dengan judul diatas. Penulis
menyadari bahwa bukanlah satu-satunya orang yang mengangkat tema tentang
pemberitaan Ahmadiyah di media massa.
Setelah penulis teliti, baik di
perpustakaan maupun media-media lain, ternyata telah ada beberapa pihak yang
mengangkat tema serupa. Namun dalam penelitian ini tentu saja berbeda dengan
yang lainnya, terutama masalah tema dan obyek penelitian. Di antara penelitian
yang pernah dilakukan antara lain :
a.
Soeroso
(2006), Pemberitaan Media Massa Tentang Aliran Ahmadiyah Di Indonesia
(Analisis Framing Harian Kompas Dan Republika Edisi Juli-Agustus 2005). Dalam penelitian ini, penulis menggunakan
analisis framing untuk mencoba mengungkap bagaimana kedua surat kabar tersebut
memberitakan tentang jamaah Ahmadiyah.
Adapun hasil penelitian tersebut adalah Republika sebagai
koran yang mempunyai visi dan missi keislaman, cenderung memaknai pemberitaan
tersebut sebagai sesuatu kenyataan yang riil terjadi di lapangan. Dalam
pemberitaannya, Republika seolah menekankan bahwasannya pemerintah baik daerah
maupun pusat untuk segera mengambil langkah langkah tegas dan segera mengusut
tuntas kasus kasus yang melibatkan Ahmadiyah. Hal ini dilakukan untuk mencegah
kejadian kejadian serupa terjadi di kemudian hari yang menimbulkan permasalahan
permasalahan yang semaki besar.
Sedang disisi lain, Kompas mempunyai prinsip ”kehati-hatian”
dalam pemberitaan sesuatu dan diladasi dengan kerja profesional dalam
menanggapi pemberitaan mengenai Ahmadiyah ini dan tidak terlalu memberi porsi
yang besar. Hal ini ditunjukkan dengan
hanya menurunkan tiga pemberitaan tentang Ahmadiyah selama penelitia
dilaksanakan pada juli 2005. Selain itu, ketiga pemberitaan tersebut hanya
dimuat dalam kolom kecil.
Walaupun ada kesan bahwa Kompas memaknai kejadian tentang Ahmadiyah
sama dengan yang dilakukan Republika, yakni menganggap permasalahan itu adalah
riil dan benar terjadi di lapangan, namun dalam permberitannya Kompas lebih
menekankan dan menitikberatkan pada aspek aspek kebebasan beragama dan
berkeyakinan.
b.
Fitriyani
(2009), mengangkat penelitian dengan judul Pemberitaan Tentang Jamaah Ahmadiyah
Di Media Massa (Analisis Framing Harian Suara Merdeka Dan Republika). Dalam
penelitian ini, penulis menyimpulkan bahwa berita tentang Ahmadiyah yang
menjadi sorotan media pada pertengahan tahun 2008 begitu menghebohkan. Kasus
tentang Ahmadiyah dimaknai berbeda oleh Suara Merdeka dan Republika. Suara
Merdeka sebagai koran nasionalis mencoba memberitakan kasus Ahmadiyah
dengan sikap cenderung netral, yaitu memberikan berita berita yang berimbang.
Bukti pemberitaan yang netral itu adalah Suara Merdeka mengambil kutipan dari
narasumber Jaksa Agung yang mengatakan bahwa pemerintah akan berusaha
mengeluarkan SKB pembubaran Ahmadiyah. Namun Suara Merdeka juga mengimbangi
dengan pemberitaan jika SKB itu dikeluarkan, pengamanan terhadap Ahmadiyah
ditambah. Selain itu pula, keadaan psikologis Ahmadiyah juga diberitakan oleh Suara
Merdeka dengan dikeluarkannya SKB.
Sedangkan Republika, cenderung kontra
dengan Ahmadiyah. Hal ini terlihat dalam pemberitaannya yang memaknai Ahmadiyah
sebagai aliran yang menyimpang, dan penyimpangan tersebut sebagai sesuatu yang
harus diluruskan. Pada dasarnya
pemberitaan tentang kasus Ahmadiyah adalah implementasi dakwah dari Republika
itu sendiri. Sesuai hadis Nabi yang mencoba untuk meluruskan ajaran agama Islam.
c.
Teguh
Wibisono (2008), mengangkat judul skripsi Analisis Pemberitaan Al Jama’ah Al
Islamiyah dalam Peristiwa Bom Bali II di Majalah Gatra Edisi Oktober-Desember
2005. Hasil penelitian menunjukkan bahwa psikologis GATRA menolak jihad
versi AL-Jama'ah Al-Islamiyah dan menentang keras perilaku aksi teror, baik
atas nama idiologi tertentu maupun atas nama agama (Islam). GATRA dalam
membentuk berita lebih memfokuskan dan menyudutkan sekumpulan dari anggota
Al-Jama'ah Al-Islamiah sebagai pelaku teror di Indonesia.
Secara sosiologis GATRA, menampilkan dan memuat berita yang aktual, tajam dan akurat, namun terdapat beberapa kejanggalan didalamnya bahwa berita yang dimuat selalu menampilkan narasumber dari pihak pemerintah, sehingga kebijakan yang muncul secara tidak langsung akan dipengaruhi oleh kebijakan pemerintah pula. Meski GATRA berupaya menampilkan berita yang akurat, aktual, tajam tanpa ada tendensi dari pihak manapun.
Secara sosiologis GATRA, menampilkan dan memuat berita yang aktual, tajam dan akurat, namun terdapat beberapa kejanggalan didalamnya bahwa berita yang dimuat selalu menampilkan narasumber dari pihak pemerintah, sehingga kebijakan yang muncul secara tidak langsung akan dipengaruhi oleh kebijakan pemerintah pula. Meski GATRA berupaya menampilkan berita yang akurat, aktual, tajam tanpa ada tendensi dari pihak manapun.
d.
Januri (2006) yang mengangkat judul Studi
Kritis Terhadap Wacana Jaringan Islam
Liberal (Pendekatan Analisis Wacana Kritis Terhadap Rubrik Kajian Utan Kayu
Jawa Pos). Dari skripsi ini menghasilkan kesimpulan bahwa dari
analisis kognisi sosial dapat diambil kesimpulan bahwa makna teks yang terdapat
di rubrik kajian Utan kayu jawa pos
adalah gagasan JIL tentang liberalisme, kebebasan berekspresi, sekularisme,
demokrasi, pluralisme, universalisme, substansialisme, relativisme,
inklusivisme, toleransi, dialog antar agama, modernisasi, ijtihad, dan nikah
beda agama.
Dalam
ekspresi teks di rubrik kajian Utan kayu Jawa Pos berupa ekspresi persuasif
provokatif, bahasa yang melangit sehingga tidak mudah dipahami oleh kaum awam,
kritis, vulgar, apologis, justifikasi, dan terkadang sensasional. Dalam hal
idiologi, penulis menyimpulkan bahwa idiologi yang dianut oleh JIL adalah
positivisme, rasionalisme, empirisme, humanisme, dan liberalisme.
Dari telaah pustaka yang penulis deskripsikan di
atas ada beberapa perbedaan mendasar yang perlu digarisbawahi. Mengapa peneliti mengambil rujukan dari beberapa peneliti
terdahulu karena peneliti anggap cukup relevan dengan penelitian yang peneliti
teliti. Walaupun dalam subjek
yang dibahas ada kesamaan yakni pada skripsi Soeroso dan Fitriyani, namun
penelitian penulis secara subjek, objek, waktu penelitian, dan metode analisis data terdapat perbedaan. Pada
penelitian ini, penulis mengangkat sisi-sisi yang belum pernah dibahas oleh
peneliti-peneliti terdahulu yaitu dengan mengambil penekanan pada format
konstruksi wacana pemberitaan media cetak dalam masyarakat dengan menggunakan
pendekatan analisis wacana Van Dijk. Adapun tujuan menggunakan pendekatan ini
adalah untuk mengetahui bagaimana kecenderungan, penonjolan, maupun frekuensi
pemberitaan berkenaan dengan Pemberitaan Ahmadiyah pasca kerusuhan di Cikeusik
Pandeglang, Banten dalam SKH Republika.
1.5 Kerangka Teoritik
Bagi kaum
konstruksionis, fakta atau peristiwa adalah hasil konstruksi, dan bersifat
subjektif. Realitas itu hadir, karena dihadirkan oleh konsep subjektif
wartawan. Disini tidak ada realitas yang bersifat objektif, karena realitas itu
tercipta lewat kostruksi (Eriyanto, 2002:19).
Lester Markel seperti dikutip William L. Rivers pernah melontarkan serangan terhadap
objektifitas melalui kata kata dalam New York Times pada tanggal 12 september
1968. Ia mengemukakan bahwa sebenarnya, sedekat apapun pendekatan wartawan
terhadap objektifitas, objektifitas tetaplah sebuah ilusi.
”Wartawan yang paling objektif sekalipun,
mengumpulkan 50 fakta. Dari ke 50 fakta itu, ia memilih 12 untuk disertakan
dalam beritanya. Jadi, ia menyisihkan 38 fakta. Inilah penilaian No 1.
Wartawan tadi atau redakturnya menentukan mana
dari 12 fakta itu yang sebaiknya ditempatkan dalam alenia pertama dari
beritanya. Dengan demikian lebih menonjolkan satu fakta diatas 11 fakta
lainnya. Ini penilaian No 2.
Kemudian redaktur menentukan dihalaman satu atau
dihalaman duabelas berita itu akan ditempatkan. Bila ditempatkan dihalaman
satu, berita itu akan lebih menarik perhatian berlipat ganda dari pembaca,
dibanding ditempatkan dihalaman terakhir.
Maka, penyajian
yang faktual itu masih harus menjalani tiga tingkatan penilaian dan
semua itu buatan manusia” (Markel dalam William L.Rivers,1994:98).
Pers kita
sangat beragam versinya dalam menyampaikan sebuah berita. Kondisi politik dan pasarlah yang sangat
menentukan bagaimana media massa
mampu survive. Di sini kita akan temukan
bagaimana sosok seorang jurnalis, sosok hasil ramuan yang rumit antara
seperangkat idealisme, ketrampilan dan keinginan yang sangat manusiawi
(Nugroho, 1999, viii).
Demikian juga dengan proses pemberitaan realitas
sosial, yang ada adalah hanya politisasi (pembangunan politik). Artinya bahwa
netralitas dan objektivitas sebuah berita bisa saja digadaikan dan kalah saing
dengan idielogi dari media tersebut dan juga penulisnya. Wacana yang ada di
media yang terbentuk di teks-teks berita yang seharusnya menjadi sebuah bahan
informasi yang berguna bagi khalayak, bisa berubah menjadi bahan perpecahan,
profokasi yang menimbulkan ketegangan bahkan kerusuhan. Hal ini karena tidak
adanya filterisasi oleh masyarakat dan tidak sesuai dengan sebuah ayat dari
al-Quran surat al-Hujarat ayat 6 berikut:
يَا اَيُّهَا الَّذِيْنَ امَنُوا اِنْ
جَاءَكُمْ فَاسِقٌ بِنَبَاءٍ فَتَبَيَّنُوْا اَنْ تُصِيْبُوْا قَوْمًا بِجَهَالَةٍ
فَتُصْبِحُوْا عَلَى مَا فَعَلْتُمْ ندِمِيْنَ. (الحجرات: 6)
Artinya: " Hai
orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak
menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang
menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu " (DEPAG RI, 1993 : 846).
Menurut Syekh
Ahmad Mustafa Al Farran dalam Tafsir Imam Syafi’i mengatakan bahwa Imam Syafi’i
memerintahkan kepada sesorang yang akan memutuskan suatu hal pada orang lain
agar terlebih dahulu melakukan klarifikasi (Mustafa,2006:407). Sedangkan menurut Dr.Nashir Bin Sulaiman
Al Umar dalam bukunya Tafsir Surat Al Hujarat, dalam ayat tersebut
memerintahkan umat Islam untuk memeriksa dan meneliti berita yang datang. Ayat
tersebut mengandung perintah untuk tatsobbut (meyakinkan kebenaran suatu
berita) dan tabayyun (mencari kejelasan suatu berita).
Perintah pertama terkait dengan kebenaran yang
datang dari sumber berita, sedangkan yang kedua berkaitan dengan kebenaran dan
kejelasan substansi materi berita serta hal hal yang mengitarinya. Ayat
tersebut memuat prinsip seleksi dan klarifikasi terhadap setiap berita yang
sampai kepada kita (Nashir dalam Fitriyani, 2009:10).
Dari keterangan diatas, menunjukkan bahwa kita
harus bisa menganalisis berita yang masuk kepada kita. Masyarakat seharusnya
tidak terjebak dalam situasi fasik, terjebak dalam permainan idiologi media
hingga terjadi perpecahan. Masyarakat harus bisa menyeleksi berita yang
dihadirkan media. Karena akhir akhir ini banyak berkembang berita berita yang
disebarkan kepada khalayak oleh media yang bersifat provokatif bahkan menjatukan dan sengaja membuat
perpecahan.
Dalam model komunikasi Islam, apabila pesannya
bersumber dari al-Quran dan Hadist Rasulullah SAW, tentulah pesan itu bersifat
imperatif atau wajib hukumnya
untuk dilaksanakan karena merupakan pesan kebenaran berdasarkan firman Allah SWT
dan Hadist Nabi. Pesan tidak boleh merupakan sensasi, kebohongan, kefasikan,
pelintiran kata kata, dan kebohongan publik (Muis,2001:70).
Umat Islam harus dapat memilah dan meneliti berita yang datang kepada mereka. Kesadaran bahwa berita yang dikonsumsi setiap hari itu bukanlah semata mata datang dari langit, bukan pula
suatu ruang hampa yang mandiri. Akan tetapi teks yang hadir adalah sebuah
konstruksi dari realitas.
Dalam
pandangan kontruksionis, media bukanlah sekadar saluran yang bebas, ia juga
subjek yang mengkonstruksi realitas, lengkap dengan pandangan, bias, dan
pemihakannya. Disini media dipandang sebagai agen konstruksi sosial yang
mendefinisikan realitas. Berita yang kita baca bukan hanya menggambarkan
realitas, bukan hanya menunjukkan pedapat sumber berita, tetapi juga konstruksi
dari media itu sendiri (Eriyanto,2004:23).
1.6 Metode Penelitian
1.6.1
Jenis dan Pendekatan
Dalam
penelitian ini, peneliti menggunakan jenis penelitian kualitatif, yaitu
penelitian yang bermaksud untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh
subjek penelitian misalnya perilaku, persepsi, motivasi, tindakan dan
lain-lain, secara holistik, dan dengan cara deskriptif dalam bentuk kata-kata
dan bahasa, pada suatu konteks khusus yang alamiah dan dengan memanfaatkan
berbagai metode alamiah (Moleong, 2006 : 6).
Berdasarkan
sumbernya, data kualitatif dapat dikelompokkan menjadi empat, yaitu data
historis, data teks, data kasus, dan data pengalaman individu. Karena yang
diteliti penulis adalah teks, maka termasuk dalam penelitian data teks
(Kriyantono, 2006 : 38).
Sedangkan
pendekatan yang digunakan adalah analisis wacana menurut Teun A Van Dijk. Penelitian
analisis wacana menurut Van Dijk, tidak cukup hanya didasarkan pada
analisis teks semata, karena teks hanya hasil dari suatu praktik produksi.
Pemahaman produksi teks pada akhirnya akan memperoleh pengetahuan mengapa teks
bisa demikian.
Teks yang
muncul di permukaan terpengaruh oleh struktur sosial, dominasi, dan kelompok
kekuasaan yang ada dalam masyarakat. Selain itu, Van Dijk melihat bagaimana
kognisi/pikiran dan kesadaran yang membentuk dan berpengaruh terhadap teks-teks tertentu.
1.6.2
Sumber Data
1.
Sumber
data primer
Sumber data primer adalah berita pada SKH Republika yang terbit dari tanggal 7-28 Februari 2011. Alasan mengapa rentang
waktu ini yang penulis pilih adalah karena intensitasnya dalam pemberitaan tema
tersebut lebih banyak dibandingkan dengan waktu-waktu yang lain.
2. Sumber data sekunder
Dalam penelitian ini, penulis menggunakan
segala data tertulis yang berhubungan dengan tema yang bersangkutan, baik itu dari buku, jurnal, skripsi, tesis, surat
kabar dan penelitian-penelitian lain.
1.6.3
Definisi Konseptual
Penelitian
ini akan difokuskan pada pemberitaan yang ada dalam media khususnya media yang
berbentuk koran harian yang akan diteliti, yaitu harian Republika. Pengertian berita sendiri mempunyai definisi yang beragam. Sulit sekali
mendefinisikan berita, hal ini diungkapkan oleh Earl English & Clarence
Hach dalam bukunya ”Scholastic Journalism” seperti dikutip Djafar Assegaf
yang mengatakan bahwa: ”News is dificult to define, because it involves many
variable factor” (Memberi batasan atau definisi berita adalah sukar, karena
berita mencakup banyak faktor-faktor variable) (Assegaf,1991:23).
Berita
dalam hal ini berbeda dengan fakta. Fakta menurut Kamus Umum Besar Bahasa
Indonesia karangan WJS Poerwadarminto, sebagaimana dikutip oleh Darmanto
berarti peristiwa atau kejadian yang sungguh-sungguh (Darmanto, 2005 : 17-18).
Pemberitaan merupakan segala informasi yang terdapat di halaman-halaman surat
kabar baik berupa laporan fakta, opini institusi surat kabar dan opini
masyarakat yang dimuat dalam surat kabar (seperti penulisan artikel ilmiah
popular & surat pembaca) (Assegaf, 1985 : 23).
Fokus
penelitian ini adalah megenai pemberitaan Republika tentang Ahmadiyah pasca
kerusuhan di Cikeusik Pandeglang, Banten, oleh karena itu berita pada
penelitian ini hanya tertuju pada pengertian berita yang didefinisikan oleh Willard C. Bleyer. Seperti
dikutip dalam Djaffar Assegaf, Bleyer memberikan definisi berita adalah sesuatu
yang termasa yang dipilih oleh wartawan untuk dimuat dalam surat kabar karena
ia dapat menarik atau mempunyai makna bagi pembaca surat kabar, atau karena ia
dapat menarik pembaca tersebut (Assegaf,1991:24).
Berita diklasifikasikan
menjadi dua kategori, yaitu berita berat (hard
news) dan berita ringan (soft news)
(Sumadiria, 2005 : 65). Dalam dunia jurnalistik, berita berdas arkan jenisnya
dapat dibagi ke dalam tiga kelompok : elementary,
intermediate, dan advance. Berita
elementary mencakup berita langsung (straight
news), berita mendalam (depth news
report), dan berita menyeluruh (comprehensive
news report). Berita intermediate meliputi pelaporan berita interpretative
(interpretative news report), dan
pelaporan karangan khas (feature story
report). Sedangkan untuk kelompok advance menunjuk pada pelaporan mendalam
(depth reporting), pelaporan
penyelidikan (investigative reporting),
dan penulisan tajuk rencana (editorial
writing) (Sumadiria, 2005 : 69). Dari jenis berita tersebut, maka berita
yang dimaksudkan dalam penelitian ini hanyalah mencakup berita langsung (straight news).
Berita
langsung (straight news) adalah
berita yang ditulis secara langsung, artinya informasi yang dituangkan dalam
berita itu diperoleh langsung dari sumber beritanya. Biasanya diungkapkan dalam
bentuk pemaparan (deskriptif), dan penulisannya lebih mengutamakan aktualitas
informasinya (Djuroto,2000:49).
1.6.4
Tehnik Pengumpulan
Data
Data dalam penelitian ini akan kami kumpulkan menggunakan metode dokumentasi.
Dokumentasi yaitu mencari data mengenai
hal-hal berupa catatan, transkip, buku, surat kabar, majalah, prasasti, notulen
rapat, agenda dan sebagainya (Arikunto, 1998: 236).
Data-data tersebut tak hanya penulis kumpulkan tetapi juga penulis olah sesuai
dengan metodologi analisis wacana yang digunakan. Data yang kami maksud dalam
penelitian ini adalah data primer yang telah disebutkan di atas.
1.6.5
Tehnik Analisis
Data
Analisis data merupakan upaya mencari dan menata secara sistematis
catatan hasil observasi, wawancara dan lainnya untuk meningkatkan pemahaman
peneliti tentang kasus yang diteliti dan menyajikannya sebagai temuan untuk
orang lain (Muhadjir, 1991:163).
Dalam penelitian ini penulis menggunakan analisis wacana model Teun
A Van Dijk, karena dari sekian banyak model analisis wacana , model Van Dijk
adalah model yang banyak sekali dipakai (Sobur,2004:73).
Metode analisis wacana Van Dijk adalah model analisis kognisi sosial.
Istilah ini sebenarnya
diadopsi dari pendekatan lapangan psikologi sosial, terutama untuk menjelaskan
sruktur dan proses terbentuknya suatu teks. Menurut Van Dijk penelitian atas
wacana tidak cukup hanya didasarkan pada analisis atas teks semata, karena teks
hanya hasil dari suatu praktik produksi yang harus juga diamati. Penelitian
mengenai wacana tidak bisa mengekslusi seakan-akan teks adalah bidang yang
kosong, sebalikya ia adalah bagian kecil dari struktur besar masyarakat
(Eriyanto, 2001:221).
Analisis kognisi sosial terdiri dari tiga dimensi, yaitu dimensi
teks, kognisi sosial, dan konteks sosial. Inti dari analisis Van Dijk adalah bagaimana
menggabungkan ketiga dimensi wacana tersebut kedalam satu kesatuan analisis.
Dalam dimensi teks, yang diteliti adalah bagaimana struktur teks dan stategi
wacana yang dipakai untuk menegaskan suatu tema tertentu. Pada level kognisi sosial,
dipelajari proses produksi teks berita yang melibatkan kognisi individu dari
wartawan. Dan pada aspek ketiga yakni konteks sosial, mempelajari bangunan
wacana yang berkembang dalam masyarakat akan suatu masalah (Eriyanto,2001:224).
Van Dijk membuat kerangka analisis wacana yang dapat
didayagunakan. Ia melihat teks terdiri dari berbagai struktur atau tingakatan.
Ia membaginya dalam tiga tingkatan yang masing masing bagian saling mendukung. Ketiga
struktur tersebut adalah:
1. Struktur
makro, ini merupakan makna global/umum dari suatu teks yang dapat dipahami
dengan melihat topik
dari suatu teks, tema wacana ini bukan hanya isi, tetapi juga sisi tertentu
dari suatu peristiwa.
2. Superstruktur
adalah kerangka suatu teks, bagaimana struktur dan elemen itu disusun dalam
teks secara utuh.
3. Struktur
mikro, adalah makna wacana yang dapat diamati dengan menganalisis kata,
kalimat, proporsisi, anak kalimat, parafase yang dipakai dan sebagainya (Sobur,
2004:73-74).
Model analisis wacana
Teun Van Dijk di atas dapat dilihat secara sederhana pada tabel sebagai berikut:
Tabel 1.
Model Analisis Wacana Teun A Van Dijk
Struktur Wacana
|
Hal Yang Diamati
|
Elemen
|
Struktur Makro
|
Tematik
Tema/topik yang dikedepankan dalam suatu berita
|
Topik
|
Superstruktur
|
Skematik
Bagaimana bagian dan urutan berita diskemakan
dalam teks berita utuh
|
Skema
|
Struktur Mikro
|
Semantik
Makna yang ingin ditekankan dalam teks berita.
Misal dengan memberi detil pada satu sisi atau membuat eksplisit satu sisi
dan mengurangi detil sisi lain.
|
Latar, detil,
maksud, pra anggapan, nominalisasi
|
Sintaksis
Bagaimana kalimat
(bentuk, susunan) yang dipilih
|
Bentuk, kalimat,
koherensi, kata ganti
|
|
Stilistik
Bagaimana pilihan
kata yang dipakai dalam teks berita
|
Leksikon
|
|
Retoris
Bagaimana dan dengan cara penekanan dilakukan
|
Grafis, metafora,
ekspresi
|
Diperlukan penelitian
tentang Kognisi sosial untuk meneliti sebuah teks media. Van Dijk menitik
beratkan pada beberapa hal, pertama, kesadaran mental wartawan yang
membentuk teks tersebut. Dalam pandangan Van Dijk, analisis wacana tidak
dibatasi hanya pada struktur teks,
karena struktur wacana itu sendiri menujukkan makna, pendapat dan
idiologi. Pandangan bahwa teks tidak mempunyai makna, tetapi makna itu diberikan
oleh pemakai bahasa yakni wartawan (Eriyanto, 2003:259-271).
Fungsi dari analisis kognisi sosial Van Dijk inilah yang penulis gunakan untuk
menjawab pertanyaan tentang makna dan ekspresi kajian teks tentang pemberitaan Ahmadiyah
pasca kerusuhan di Cikeusik Pandeglang, Banten dalam SKH Republika edisi
Februari 2011.
1.7 Sistematika Penulisan
Untuk memudahkan dalam
penyusunan, skripsi ini akan menggunakan sistematika penulisan. Sistematika disini dimaksudkan untuk mendapatkan gambaran yang jelas
dalam pembahasan skripsi ini. Sistematikanya adalah sebagai berikut:
Bab pertama yaitu pendahuluan, yang berisi tentang latar belakang, rumusan masalah, tujuan
dan manfaat penelitian, tinjauan pustaka, metodologi penelitian skripsi dan
sistematika penulisan skripsi.
Selanjutnya Bab kedua akan membahas media massa, surat kabar, berita
dan dan wacana, yang di
dalamnya tinjauan umum media
massa, surat kabar, berita dan wacana menurut Teun A Van
Dijk.
Kemudian Bab
ketiga akan dijabarkan data tentang Ahmadiyah dan harian Republika. Obyek penelitian ini meliputi Ahmadiyah, sejarah harian Republika dan gambaran pemberitaan Ahmadiyah pasca
kerusuhan di Cikeusik, Pandeglang, Banten.
Bab keempat akan meneliti tentang analisis SKH Republika
terhadap peristiwa Ahmadiyah pasca
kerusuhan di Cikeusik, Pandeglang, Banten.
Peneliti akan menggunakan analisis wacana Van Dijk untuk menganalisa
teks teks berita tersebut.
Sedangkan dalam Bab kelima
adalah bab terakhir yang berisi tentang kesimpulan, saran-saran dan penutup.
DAFTAR PUSTAKA
Al Farran, Syekh Ahmad
Mustofa.2006. Tafsir Imam Syafi’i Juz 3, Jakarta : al Mahira
Anonim.1994. Perkembangan
dan Prospek Dalam Tahun Kedua Harian Republika, Jakarta: Republika
Ardiyanto, Elvinaro &
Lukiati Komala Erdinaya. 2004. Komunikasi Massa Suatu Pengantar. Bandung
: Simbiosa Rekatama Media.
Arikunto, Suharsimi.1998. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek, Jakarta : Rineka Cipta
Assegaf,Djafar.1991. Jurnalistik
Masa Kini, Jakarta : Ghalia Indonesia.
Bungin, M, Burhan.
2008. Sosiologi Komunikasi; Teori, Paradigma, Dan Diskursus Teknologi
Komunikasi di Masyarakat, Jakarta: Kencana Prenada Media Group
DEPAG RI.1993. Al-Qur’an dan Terjemahnya, Jakarta : Yayasan Penyelenggara
Terjemah.
Dewan Dakwah
Islamiyah Indonesia.
1981. Dokumen Dokumen Resmi Dan Keputusan Konferensi Islam Internasional
Tentang Ahmadiyah, Jakarta : Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia.
Djuroto,
Totok 2000. Manajemen Penerbitan Pers, Bandung:Rosdakarya.
Effendi, Uchjana, Onong.1986. Dinamika Komunikasi, Bandung
: Remadja Karya.
______________________.2005. Ilmu,
Teori, dan Filsafat Komunikasi, Bandung: Remaja Rosdakarya.
______________________.1983.Dimensi-Dimensi Komunikasi,
Bandung: Remaja Rosdakarya.
Eriyanto.2001. Analisis Wacana : Pengantar Teks Media, Yogyakarta : LkiS.
_______. 2002. Analisis Framing: Konstruksi, Idiologi, dan politik
Media, Yogyakarta : LkiS.
Ermanto,2005. Wawasan
Jurnalistik Praktis, Yogyakarta:Cinta
Pena.
Fathoni,Muslih, 1994. Faham Mahdi Syiah dan Ahmadiyah dalam
Prespektif, Jakarta:
Raja Grafindo Persada.
Fitriyani.2009. Pemberitaan
Tentang Jamaat Ahmadiyah Di Media Massa
: Analisis Framing Harian Suara
Merdeka Dan Republika. Skripsi,
tidak dipublikasikan, Fakultas dakwah IAIN Walisongo Semarang.
Iqbal, sir Muhammad.1991. Islam dan Ahmadiyah, Penerjemah, Machnun Husein, Jakarta: Bumi Aksara.
Jaiz, Hartono Ahmad.2002. Aliran Dan Paham Sesat Di
Indonesia, Jakarta
: Pustaka al Kautsar.
Kasman, Suf, 2010. Pers Dan Pencitraan Umat Islam Di Indonesia
Analisis Isi Pemberitaan Harian Kompas Dan Republika, Jakarta: Balai Litbang Dan Diklat
Kementrian Agama RI.
________.2004. Jurnalisme
Universal, Menelusuri Prinsip Prinsip Dakwah Bil Qalam Dalam Al Quran, Jakarta:Teraju.
Kriyantono, Rachmat. 2006. Teknik
Praktis Riset Komunikasi. Jakarta : Prenada Media Group
Kompas, Senin 14/2/2011.
Kusnawan, Aep, 2004. Berdakwah Lewat Tulisan, Bandung, Mujahid.
Kusumaningrat,Hikmat,
Kusumaningrat, Purnama. 2005. Jurnalistik Teori & Praktik,
Bandung:Rosdakarya.
Lestari, Puji. A.2010.
Analisis Wacana Pemberitaan Pro Kontra Pemidanaan Pelaku Nikah Sirri Di
Harian Seputar Indonesia Edisi Februari 2010, (Tidak Dipublikasikan, Skripsi, Fakultas Dakwah IAIN Walisongo).
Muhajir, Noeng.1996. Metodologi
Penelitian Kualitatif, Yogyakarta: Rake Surasin.
Muis, A.2001. Komunikasi Islam, Bandung : Rosda.
Oetama, Jakob.1987. Perspektif Pers Indonesia, Jakarta : LP3ES.
Panuju, Redi. 2002. Relasi Kuasa Negara, Media massa
dan Publik : pertarungan memenangkan
opini publik dan peran dalam transformasi sosial, Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
Republika, Senin 7/2/2011.
Republika, Selasa 8/2/2011.
Republika, Kamis 10/2/2011.
Republika, Senin 14/2/2011.
Republika, Senin 21/2/2011.
Rivers,L.William,
Cleve Mathews.1994. Etika Media Massa Dan
Kecenderungan Untuk Melanggarnya, Jakarta
: Gramedia.
Romli, Asep Syamsul M.
2003. Jurnalistik Dakwah Visi dan Misi Dakwah Bilqolam. Bandung: Remaja Rosda Karya.
Shobur,
Alex.2002. Analisis Teks Media, Bandung : Rosdakarya.
Sumadiria, AS Haris.2005. Jurnalistik Indonesia, Menulis Berita dan
Feature, Panduan Praktis Jurnalistik Profesional, Bandung: Remaja
Rosdakarya.
Undang-Undang Nomor 40 tahun 1999 Tentang Pers.
Wibowo,Wahyu.2009. Menuju Jurnalisme Beretika, Jakarta
: Kompas.
Wijana, I Dewa Putu.1996.Dasar-dasar Pragmatik, Yogyakarta:Andi
Yusof, M.Farahwahida,
Siti Ramlan Ibrahim.2008. Penyelewengan Ajaran Qadiani, Kuala Lumpur:
Universiti Tekhnologi Malaysia Press.
0 komentar:
Posting Komentar