Senin, 11 Juni 2012

Nyanyian Kehidupan di Warung Kopi Pak Kumis

Aneh, mungkin itulah hal yang pertama terucap oleh masyarakat awam seperti kami. Disaat orang bingung bagaimana bisa makan, orang-orang kaya di negeri ini malah selalu saja membuat iming-iming pada kami. Setiap hari, kami disuguhi berita-berita yang selalu saja menyakiti hati. Karena seringnya, sampai-sampai hati kami ini mengeras dan tak bias merasakan sakit lagi. Hati kami dalam bahasa kedokteran mungkin disebut mengidap penyakit sakit hati yang kronis. Dan yakin, hanya kami yang dapat merasakan sakit hati seperti ini.
Peristiwa korupsi, kolusi dan nepotisme bukan barang aneh lagi bagi kami. Celoteh orang yang mengedepankan pencitraan, padahal mafia juga bukan baru bagi kami. Meskipun merubah tema dan topic obrolan kami di warung kopi, dari membicarakan hama di sawah, menjadi membicarakan hama “tikus” di Senayan. Tapi keinginan dan ujung pembicaraan ini masih sama, bagaimana memberantas hama yang sudah beranak pinak itu.
Bagi kami, orang miskin dilarang mikir. Kami terbiasa mendengar dan membicarakan topic-topik hangat yang terjadi. Tapi bukan untuk menanggapi atau ikut pusing. Sekedar menertawakan dan sebagai alat perekat keakraban di warung kopi. Bahkan ada teman yang bercanda, ia memakan pisang goreng hangat sambil menyebut nama koruptor kelas kakap negeri ini. Sambil mengunyahnya keras- keras tanpa ampun. Kemudian menelannya. Dalam hati kami berfikir nakal, mungkin saja besok saat ia ke belakang, ia masih sempat menginjak-injak kotoran pisang goreng yang ia namai dengan nama koruptor itu.
Kopi kami masih separo, saat seorang teman menceletuk dan megatakan ingin buka bisnis. Namun jangan coba tanya bisnis apa yang ingin ia geluti. Saat pertama kami mendengarpun, langsung mengatakan orang ini tidak waras. Namun argumennya cukup kuat berdasarkan contoh real yang mengagumkan. Sungguh presentasi yang indah.
Bisnis jual beli tanah makam. Itulah bisnis yang ia coba geluti. Sebuah bisnis yang menurut pandangan kami aneh dan tabu. Mana mungkin tanah kuburan yang di desa kami biasa gratis dan memang sudah dijatah oleh desa itu mau diperjualbelikan?. Kami hanya bias geleng kepala.
Kemudian, ia menceritakan pada kami tentang sebuah makam di daerah Karawang Jawa Barat bernama San Diego Hill. Sebuah tempat yang menurutnya lebih pantas dibilang tempat rekreasi daripada tempat pemakaman. Kami tercengang, apa benar seperti itu?. Setahu kami, kuburan ya tempat yang menyeramkan sekaligus menakutkan. Mendengar namanya saja bulu kuduk bias merinding. Tapi ini, masa kuburan atau makam dikatakan tempat rekreasi? Kami bertanya.
Dengan sedikit sombong dan mungkin juga kesal dengan pengetahuan dan pengalaman kami yang cetek, ia menceritakan bahwa San Diego Hills Memorial Parks and Funeral Homes merupakan kawasan pemakaman pertama di dunia yang menawarkan kelengkapan fasilitas dan layanan berkualitas : taman pemakaman eksklusif, danau seluas 8 Ha., kapel, musholla, restoran Italia, jogging track, kolam renang, florist & gift shop, padang rumput asri bagi outdoor activity, hingga gedung serba guna berkapasitas 250 orang. Kini, melangsungkan pernikahan dan berwisata di kawasan pemakaman bukan lagi sesuatu hal yang tidak lazim dilakukan. Katanya ia kutip itu dari situs resminya di http://www.sandiegohills.co.id/ .
Mendengar itu, kami menjadi melongo. Tak sadar, Pak Kumis  si pemilik warung kopi juga ikut melongo mendengar cerita itu.Yang membuat kami tambah melongo, saat ia mengatakan bahwa harga satu buah kapling ukuran kurang lebih 1 m2 itu dibandrol dari puluhan juta hingga milyaran rupiah. Nilai yang tidak akan habis buat bayar kopi dan pisang goreng Pak Kumis selama seumur hidup kami.
Tanpa sadar, kami tersenyum. Pikiran kami tertuju di sebuah tempat antah berantah yang namanya pun susah diucapkan. Lalu kami sepertinya juga ingin sekali melihat dan berharap kelak dapat tinggal di sana. Namun kami terus disadarkan oleh sesuatu yang sangat kami benci sejak dulu. Kenyataan!.
Yah,,bahwa kenyataanlah yang mengatakan kami tidak akan mampu, kami bukan orang berduit seperti para konglomerat maupun selebritis. Kami hanya sampah. Mungkin kuburan desa kami yang angker itulah tempat yang sangat pantas bagi kami. Kuburan yang kumuh dan mengerikan dengan banyak hantu bergentayangan, dan kami mungkin akan menjadi salah satu hantu di sana.
Sekali lagi, terlihat jelas bagaimana sebenarnya nyanyian kehidupan ini. Yang kaya semakin kaya, sementara yang miskin tambah terpuruk. Tidak punya uang, maka sibuk mencari hutang. Hutang tetap kurang atau bahkan tidak dapat, ya berusaha mengurangi makan (puasa). Puasa tidak kuat, hutang semakin banyak dan tak kuasa membayar, jalan satu-satunya terpaksa bunuh diri. Tragis kawan!.
Sementara di sisi lain cerita nyanyian kehidupan ini, ada orang-orang kaya yang bahkan bingung bagaimana menghabiskan uang mereka. Sampai urusan kematian yang kedatangannya pun belum pasti kapan, sudah di siapkan. Bagi mereka yang berduit, membeli kapling makam mewah dengan harga milyaran, merupakan salah satu bentuk “nyanyian” dari lagu berjudul “demi Gengsi dan Nama Besar”. Sementara nyanyian kami, seperti penggalan syair puisi di bawah ini.
………………..
Kemudian lihat dengan cermat
Pada trotoar kota-kota yang mekar
Di sela gedung-gedung yang tinggi kekar
megah menjulangi langit
Orang-orang compang camping
menyeret nasibnya yang ringkih
menghela nuraninya yang pedih
meminta-minta ke sana kemari
Yang lain mengais-ngais tumpukan sampah
Mencari sisa-sisa rezeki (yang hanya pantas dilakukan oleh tikus dan coro)
O, mereka adalah saudara-saudara kami yang tersisih
Hatinya penuh tusukan jarum, tusukan paku dan duri
O, sungguh penderitaan yang telah sempurna
Dengan sikap gagah dan tanpa dosa,
kami saksikan,
kaum gelandangan kesulitan menyeret langkah
dari sebuah kota ke tempat-tempat lainnya
Mobil-mobil kami mendahuluinya di jalan-jalan raya
dengan klakson melengking ingin menambah wibawa
Sekaligus mengentutkan asap dan debu
yang memerihkan mata
dan menyesakkan dada
Masyaallah Indonesia
Pada sebuah sunyi yang basah
Kaum gelandangan bersumpah
diikuti orang-orang yang hatinya berdarah:
Sumpah kaum gelandangan
Satu. Kami kaum gelandangan bersumpah
bahwa kami akan mencintai
tanah air kami sehidup semati
Dua. Kami kaum gelandangan bersumpah
bahwa kami benar-benar
tidak punya tanah
Tiga. Kami kaum gelandangan bersumpah
bahwa kami berlimpah air
kalau ada banjir
Empat. Kami kaum gelandangan bersumpah
bahwa kami tidak akan
menjadi orang-orang yang serakah
Kami bersaksi
bahwa orang-orang miskin itu telah menepati sumpahnya
Menyimak sumpah itu kami jadi bertanya:
Kemakmuran tanah air ini sebenarnya untuk siapa?
 Barangkali kami memang telah dulu tahu
Tapi rasanya kok lebih enak
kalau kami selalu lupa
bahwa kemakmuran itu
untuk seluruh saudara sebangsa
Lalu mengapa ada orang-orang melarat dan terkapar?
Mengapa ada anak-anak perutnya busung disengat lapar?
Mengapa ada orang tinggal di gubuk reyot
seatap dengan bau bangkai bekicot?
Nurani yang berguru kepada Baginda Ali menjawab:
“Karena ada orang-orang serakah”
Masyaallah Indonesia
Kami teriak, bukannya marah,,
Tetapi bosan, kami melarat
Kami bernyanyi, bukan gembira,
Tetapi capek, kami menangis…..(Disadur dari penggalan puisi berjudul Keroncong Air Mata, Senandung Panjang untuk Nurcholish Madjid Karya KH. D. Zawawi Imron)

Itulah nyanyian hidup kami kawan, tragis!!.
Akhirnya, hanya secangkir kopi dan pisang goreng di warung kopi Pak Kumis inilah tempat yang kami jadikan pelampiasan akan keras dan kejamnya kehidupan. Dan bentuk pelampiasan itu dengan menertawakan drama dari nyanyian kehidupan ini. Sesekali boleh juga berekspresi dengan gaya kami yang mungkin menurut sebagian orang agak gila, yakni dengan mengumpamakan para pejabat yang tidak amanat rakyat itu dengan pisang goreng. lalu kami mengunyahnya keras-keras, seperti kami mengunyah perutnya yang gendut karena terlalu banyak memakan uang rakyat. Kemudian esoknya, kami keluarkan, jika perlu di injak-injak terlebih dahulu sebelum menjadi santapan belatung. Dengan hal seperti itu, sedikit mengurangi rasa sakit hati kami. 

Semarang, 
Warung Kopi Pak Kumis, bersama para Punggawa Kenthip Studies.

0 komentar:

Posting Komentar