Aneh, mungkin itulah hal yang pertama terucap oleh
masyarakat awam seperti kami. Disaat orang bingung bagaimana bisa makan,
orang-orang kaya di negeri ini malah selalu saja membuat iming-iming pada kami.
Setiap hari, kami disuguhi berita-berita yang selalu saja menyakiti hati.
Karena seringnya, sampai-sampai hati kami ini mengeras dan tak bias merasakan
sakit lagi. Hati kami dalam bahasa kedokteran mungkin disebut mengidap penyakit
sakit hati yang kronis. Dan yakin, hanya kami yang dapat merasakan sakit hati
seperti ini.
Peristiwa korupsi, kolusi dan nepotisme bukan barang
aneh lagi bagi kami. Celoteh orang yang mengedepankan pencitraan, padahal mafia
juga bukan baru bagi kami. Meskipun merubah tema dan topic obrolan kami di
warung kopi, dari membicarakan hama di sawah, menjadi membicarakan hama “tikus”
di Senayan. Tapi keinginan dan ujung pembicaraan ini masih sama, bagaimana
memberantas hama yang sudah beranak pinak itu.
Bagi kami, orang miskin dilarang mikir. Kami
terbiasa mendengar dan membicarakan topic-topik hangat yang terjadi. Tapi bukan
untuk menanggapi atau ikut pusing. Sekedar menertawakan dan sebagai alat
perekat keakraban di warung kopi. Bahkan ada teman yang bercanda, ia memakan
pisang goreng hangat sambil menyebut nama koruptor kelas kakap negeri ini.
Sambil mengunyahnya keras- keras tanpa ampun. Kemudian menelannya. Dalam hati
kami berfikir nakal, mungkin saja besok saat ia ke belakang, ia masih sempat
menginjak-injak kotoran pisang goreng yang ia namai dengan nama koruptor itu.
Kopi kami masih separo, saat seorang teman
menceletuk dan megatakan ingin buka bisnis. Namun jangan coba tanya bisnis apa
yang ingin ia geluti. Saat pertama kami mendengarpun, langsung mengatakan orang
ini tidak waras. Namun argumennya cukup kuat berdasarkan contoh real yang
mengagumkan. Sungguh presentasi yang indah.
Bisnis jual beli tanah makam. Itulah bisnis yang ia
coba geluti. Sebuah bisnis yang menurut pandangan kami aneh dan tabu. Mana
mungkin tanah kuburan yang di desa kami biasa gratis dan memang sudah dijatah
oleh desa itu mau diperjualbelikan?. Kami hanya bias geleng kepala.
Kemudian, ia menceritakan pada kami tentang sebuah
makam di daerah Karawang Jawa Barat bernama San Diego Hill. Sebuah tempat yang
menurutnya lebih pantas dibilang tempat rekreasi daripada tempat pemakaman.
Kami tercengang, apa benar seperti itu?. Setahu kami, kuburan ya tempat yang
menyeramkan sekaligus menakutkan. Mendengar namanya saja bulu kuduk bias
merinding. Tapi ini, masa kuburan atau makam dikatakan tempat rekreasi? Kami
bertanya.
Dengan sedikit sombong dan mungkin juga kesal dengan
pengetahuan dan pengalaman kami yang cetek, ia menceritakan bahwa San Diego Hills Memorial Parks and Funeral
Homes merupakan kawasan pemakaman pertama di dunia yang menawarkan
kelengkapan fasilitas dan layanan berkualitas : taman pemakaman eksklusif,
danau seluas 8 Ha., kapel, musholla, restoran Italia, jogging track, kolam
renang, florist & gift shop,
padang rumput asri bagi outdoor activity,
hingga gedung serba guna berkapasitas 250 orang. Kini, melangsungkan pernikahan
dan berwisata di kawasan pemakaman bukan lagi sesuatu hal yang tidak lazim
dilakukan. Katanya ia kutip itu dari situs resminya di http://www.sandiegohills.co.id/
.
Mendengar itu, kami menjadi melongo. Tak sadar, Pak Kumis si pemilik warung kopi juga ikut
melongo mendengar cerita itu.Yang membuat kami tambah melongo, saat ia
mengatakan bahwa harga satu buah kapling ukuran kurang lebih 1 m2 itu
dibandrol dari puluhan juta hingga milyaran rupiah. Nilai yang tidak akan habis
buat bayar kopi dan pisang goreng Pak Kumis selama seumur hidup kami.
Tanpa sadar, kami tersenyum. Pikiran kami tertuju di
sebuah tempat antah berantah yang namanya pun susah diucapkan. Lalu kami
sepertinya juga ingin sekali melihat dan berharap kelak dapat tinggal di sana.
Namun kami terus disadarkan oleh sesuatu yang sangat kami benci sejak dulu.
Kenyataan!.
Yah,,bahwa kenyataanlah yang mengatakan kami tidak
akan mampu, kami bukan orang berduit seperti para konglomerat maupun
selebritis. Kami hanya sampah. Mungkin kuburan desa kami yang angker itulah
tempat yang sangat pantas bagi kami. Kuburan yang kumuh dan mengerikan dengan
banyak hantu bergentayangan, dan kami mungkin akan menjadi salah satu hantu
di sana.
Sekali lagi, terlihat jelas bagaimana sebenarnya nyanyian
kehidupan ini. Yang kaya semakin kaya, sementara yang miskin tambah terpuruk. Tidak
punya uang, maka sibuk mencari hutang. Hutang tetap kurang atau bahkan tidak
dapat, ya berusaha mengurangi makan (puasa). Puasa tidak kuat, hutang semakin
banyak dan tak kuasa membayar, jalan satu-satunya terpaksa bunuh diri. Tragis
kawan!.
Sementara di sisi lain cerita nyanyian kehidupan
ini, ada orang-orang kaya yang bahkan bingung bagaimana menghabiskan uang
mereka. Sampai urusan kematian yang kedatangannya pun belum pasti kapan, sudah
di siapkan. Bagi mereka yang berduit, membeli kapling makam mewah dengan harga
milyaran, merupakan salah satu bentuk “nyanyian” dari lagu berjudul “demi
Gengsi dan Nama Besar”. Sementara nyanyian kami, seperti penggalan syair puisi
di bawah ini.
………………..
Kemudian
lihat dengan cermat
Pada
trotoar kota-kota yang mekar
Di
sela gedung-gedung yang tinggi kekar
megah
menjulangi langit
Orang-orang
compang camping
menyeret
nasibnya yang ringkih
menghela
nuraninya yang pedih
meminta-minta
ke sana kemari
Yang
lain mengais-ngais tumpukan sampah
Mencari
sisa-sisa rezeki (yang
hanya pantas dilakukan oleh tikus dan coro)
O,
mereka adalah saudara-saudara kami yang tersisih
Hatinya
penuh tusukan jarum, tusukan paku dan duri
O,
sungguh penderitaan yang telah sempurna
Dengan
sikap gagah dan tanpa dosa,
kami
saksikan,
kaum
gelandangan kesulitan menyeret langkah
dari
sebuah kota ke tempat-tempat lainnya
Mobil-mobil
kami mendahuluinya di jalan-jalan raya
dengan
klakson melengking ingin menambah wibawa
Sekaligus
mengentutkan asap dan debu
yang
memerihkan mata
dan
menyesakkan dada
Masyaallah
Indonesia
Pada
sebuah sunyi yang basah
Kaum
gelandangan bersumpah
diikuti
orang-orang yang hatinya berdarah:
Sumpah
kaum gelandangan
Satu.
Kami kaum gelandangan bersumpah
bahwa
kami akan mencintai
tanah
air kami sehidup semati
Dua.
Kami kaum gelandangan bersumpah
bahwa
kami benar-benar
tidak
punya tanah
Tiga.
Kami kaum gelandangan bersumpah
bahwa
kami berlimpah air
kalau
ada banjir
Empat.
Kami kaum gelandangan bersumpah
bahwa
kami tidak akan
menjadi
orang-orang yang serakah
Kami
bersaksi
bahwa
orang-orang miskin itu telah menepati sumpahnya
Menyimak
sumpah itu kami jadi bertanya:
Kemakmuran
tanah air ini sebenarnya untuk siapa?
Barangkali kami memang telah dulu tahu
Tapi
rasanya kok lebih enak
kalau
kami selalu lupa
bahwa
kemakmuran itu
untuk
seluruh saudara sebangsa
Lalu
mengapa ada orang-orang melarat dan terkapar?
Mengapa
ada anak-anak perutnya busung disengat lapar?
Mengapa
ada orang tinggal di gubuk reyot
seatap
dengan bau bangkai bekicot?
Nurani
yang berguru kepada Baginda Ali menjawab:
“Karena
ada orang-orang serakah”
Masyaallah
Indonesia
Kami
teriak, bukannya marah,,
Tetapi
bosan, kami melarat
Kami
bernyanyi, bukan gembira,
Tetapi
capek, kami menangis…..(Disadur dari penggalan puisi berjudul Keroncong Air Mata, Senandung Panjang untuk
Nurcholish Madjid Karya KH. D. Zawawi Imron)
Itulah nyanyian hidup kami kawan, tragis!!.
Akhirnya, hanya secangkir kopi dan pisang goreng di warung kopi Pak Kumis inilah tempat yang kami jadikan pelampiasan akan keras dan kejamnya kehidupan. Dan bentuk pelampiasan itu dengan menertawakan drama dari nyanyian kehidupan ini. Sesekali boleh juga berekspresi dengan gaya kami yang mungkin menurut sebagian orang agak gila, yakni dengan mengumpamakan para pejabat yang tidak amanat rakyat itu dengan pisang goreng. lalu kami mengunyahnya keras-keras, seperti kami mengunyah perutnya yang gendut karena terlalu banyak memakan uang rakyat. Kemudian esoknya, kami keluarkan, jika perlu di injak-injak terlebih dahulu sebelum menjadi santapan belatung. Dengan hal seperti itu, sedikit mengurangi rasa sakit hati kami.
Semarang,
Warung Kopi Pak Kumis, bersama para Punggawa Kenthip Studies.
0 komentar:
Posting Komentar