Lagi ga ada ide buat nulis, si
akang teh mencoba membuka tulisan-tulisan lama. Akang nemuin nih tulisan
tentang curhatan usil akang. Begini ceritanya, pada tanggal 15 oktober 2009
kemarin, Suasananya dingin banget ya, ga
seperti biasanya. Enaknya ngopi sambil baca Koran. Kan udah sering akang
teh ga begini. Dulu mah waktu susah, ga sempet akang
santai. Tiap hari Cuma mikirin perut akang sama anak-anak, mikirin apa yang
harus dimakan sekarang. Pokoknya mah selalu pusing. Untung akang teh dapat
rejeki nomplok, jadi sekarang bias sedikit santai. Mumpung sekarang santai, akang
mau baca Koran sambil minum kopi ah.
Wah berita di Koran sama kaya
dulu. Semua tentang kebaikan dan sedikit sekali yang berisi kritikan. Awas
lho,,,kalo mengkritik hati-hati, tar salah-salah malah jadi tersangka. Kan sekarang sudah tidak bisa lagi
bicara ini itu, tar malah salah terus
berakhir di penjara lagi. Uffffhg jadi repot.
Kalo kita sedikit kembali ke
sejarah masa lalu tuh, kita teh tahu
kalo Semua orang memiliki hak untuk berbicara, ini dimulai sejak jatuhnya
pemerintahan Otoriter Orde Baru. Ada Undang Undang sendiri yang mengatur akan
hal itu. Seperti dalam pasal yang menyatakan tentang hak untuk berbicara di
depan umum. Bahwa setiap warga Negara berhak untuk mengeluarkan pendapat di
depan umum dan hak untuk berbicara.
Namun
apa yang terjadi sekarang, jika pasal itu harus ditarungkan dengan pasal
pencemaran nama baik? Tentu hak berbicara menjadi sempit dan bias dalam
pemaknaannya. Kritik dan keluhan dianggap mencemarkan nama baik. Padahal
kritikan dan saran yang kita berikan itu sifatnya untuk membangun, namun salah
diartikan. Seperti yang ini terjadi beberapa waktu lalu yang menimpa aktivis
antikorupsi, Emerson Yuntho dan Illian Deta Arta Sari. Aktivis yang tergabung
dalam Indonesia Corruption Watch (ICW) ini menjadi tersangka kasus pencemaran
nama baik oleh Kejaksaan Agung. Padahal mereka Cuma mempertanyakan dan mengkritik
atas dana hasil korupsi yang didapatkan dari koruptor tidak sepenuhnya kembali
ke Negara. Lalu ke kantong siapa yah,,,kalo kekantong akang mah akang mau.
Akibat
kasus demi kasus yang berkaitan dengan pencemaran nama baik ini, Indonesia
tidak ada lagi yang memonitoring. Gerak lembaga yang dijadikan kontrol sosial
menjadi sempit, mahasiswa ga bisa demo, padahal dulu saat akang jadi mahasiswa,
sering sekali akang teh ikut demo.
Akang sering mengalami nasib yang sangat parah, sampai di penjara juga. Tapi teh itu dulu, sekarang mah mahasiswa lebih baik pacaran saja di
kos, kuliah semaunya, pokoknya pragmatis banget deh. Nah dunia sekarang
berbeda, kebebasan berbicara di sunat jadi yang baik baik saja, yang buruk teh
disimpan di hati dalam dalam. Sekarang semua yang keluar dari mulut adalah coklat,
padahal aslinya tai kucing.
Kasus
Prita Mulyasari adalah contoh lain dimana hak berbicara masyarakat dibungkam
oleh cengkraman pasal pencemaran nama baik. Kriminalisasi itu menunjukkan bahwa
pemerintah saat ini meriru pola represif, antikritik dan otoriter seperti bagaimana
Orde Baru. Kriminalisasi dan penggunaan kekuatan Negara untuk membungkam kerja
masyarakat menggunakan pasal pencemaran nama baik adalah ancaman terhadap
demokrasi, kata Rusdi, yang akang kutip dari Kompas,15 oktober 2009.
Ah,,,,akang
teh jadi bingung, mau dikemanakan lagi hidup ini. Sudah hidup tak
tenang, di kisruhi sama orang lain. Ga kaya pemerintah, sekarang teh bisa tidur
nyenyak. Gimana enggak atuh,,,sekarang kan
semua sudah ada di dalam genggaman tangan, tak ada oposisi, tak ada yang
mengganggu pemerintahan. Sekali ada yang mengkritik, munculin aja tuh senjata
pasal pencemaran nama baik. Beres sudah. Terus mahasiswa disuap dengan beasiswa, rakyat
disuap dengan BLT. Beres kehidupan. Padahal euy….kita
Cuma diakalin ajah…biar mulut kita ga banyak omong.
Catatan Kang Andika Usil
0 komentar:
Posting Komentar