I.
Pendahuluan
Memuliakan tamu adalah kewajiban semua
muslim bertamu itu merupakan ajaran Islam, kebiasaan para nabi dan orang-orang
shalih. Sebagian ulama mewajibkan menghormati tamu tetapi sebagian besar dari
mereka berpendapat hanya merupakan bagian dari akhlaq yang terpuji.
Lalu bagaimanakah kita harus menyambut
tamu seperti yang di ajarkan oleh nabi kita muhammad SAW. Mari kita diskusikan
bersama.
II.
Latar belakang
Sudah dijelaskan di atas bahwa memuliakan
tamu adalah kewajiban bagi kaum muslim, namun kenyataannya banyak orang islam
tidak menghormati tamu yang datang ke rumahnya, faktor egois atau yang lainnya
mempengaruhi. Padahal Nabi sendiri tidak mengajarkan itu, malah nabi
mengajarkan kita untuk menghormati dan
memuliakan tamu yang berkunjung kepada kita karena itu adalah hal yang dapat
mempererat persatuan ummat. Oleh karena itu mari kita belajar dari nabi untuk
memuliakan tamu.
III.
Rumusan masalah
1. Hadist
tentang memuliakan tamu
2. Makna
yang terkandung
3. Kualitas
hadist
4. Asbabul
wurud hadist
5. Korelasi
dengan ayat al-Quran
6. Korelasi
dengan masa sekarang
IV.
Pembahasan
1. Hadist tentang memuliakan tamu
عن أبي هريرة رضي الله عنه أن رسول الله صلى
الله عليه وسلم قال : من كان يؤمن بالله واليوم الاخر فليقل خيراً
أو ليصمت , ومن كان يومن بالله واليوم الاخر
فليكرم جاره , ومن كان يؤمن بالله واليوم الاخر فليكرم ضيفه
Dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu, sesungguhnya Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa Sallam telah bersabda : “Barang siapa yang beriman
kepada Allah dan hari akhirat, maka hendaklah ia berkata baik atau diam, barang
siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, maka hendaklah ia memuliakan
tetangga dan barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, maka
hendaklah ia memuliakan tamunya. H.R Bukhari no. 6018, Muslim no. 47
dalam hadist lain dijelaskan oleh imam Tirmidzi yang artinya
“
sesungguhnya para malaikat tetap mendoakan seseorang selama hidangan makanannya
masih terhampar ( yakni untuk tamunya ). HR Tirmidzi.
2. Makna yang terkandung
Kalimat
“barang siapa yang beriman
kepada Allah dan hari akhirat”, maksudnya adalah barang siapa
beriman dengan keimanan yang sempurna, yang (keimanan nya itu) menyelamatkan
nya dari adzab Allah dan membawanya mendapatkan ridha Allah, “maka hendaklah ia berkata baik atau
diam” karena orang yang beriman kepada Allah dengan
sebenar-benarnya tentu dia takut kepada ancaman-Nya, mengharapkan pahala-Nya,
bersungguh-sungguh melaksanakan perintah dan meninggalkan larangan-Nya. Yang
terpenting dari semuanya itu ialah mengendalikan gerak-gerik seluruh anggota
badan nya karena kelak dia akan dimintai tanggung jawab atas perbuatan semua
anggota badannya, sebagaimana tersebut pada firman Allah :
وَلَا تَقْفُ مَا لَيْسَ
لَكَ بِهِ عِلْمٌ إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُولَئِكَ كَانَ
عَنْهُ مَسْئُولًا ﴿36﴾
“Sesungguhnya
pendengaran, penglihatan, dan hati semuanya kelak pasti akan dimintai tanggung
jawabnya”. (QS. Al
Isra’ : 36)
Sebagian ulama
berkata: “Seluruh adab yang baik itu bersumber pada empat Hadits, antara lain
adalah Hadits “barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, maka
hendaklah ia berkata baik atau diam”. Sebagian ulama memaknakan Hadits ini
dengan pengertian; “Apabila seseorang ingin berkata, maka jika yang ia katakan
itu baik lagi benar, dia diberi pahala. Oleh karena itu, ia mengatakan hal yang
baik itu. Jika tidak, hendaklah dia menahan diri, baik perkataan itu hukumnya
haram, makruh, atau mubah”. Dalam hal ini maka perkataan yang mubah
diperintahkan untuk ditinggalkan atau dianjurkan untuk dijauhi Karena takut
terjerumus kepada yang haram atau makruh dan seringkali hal semacam inilah yang
banyak terjadi pada manusia.
Kalimat “hendaklah ia memuliakan
tetangganya…………maka hendaklah ia memuliakan tamunya” , menyatakan
adanya hak tetangga dan tamu, keharusan berlaku baik kepada mereka dan menjauhi
perilaku yang tidak baik terhadap mereka. Allah telah menetapkan di dalam Al
Qur’an keharusan berbuat baik kepada tetangga dan Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa Sallam bersabda :
“Jibril selalu
menasehati diriku tentang urusan tetangga, sampai-sampai aku beranggapan bahwa
tetangga itu dapat mewarisi harta tetangganya”.
Pengarang
kitab Al Ifshah mengatakan : “Hadits ini mengandung hukum, hendaklah kita
berkeyakinan bahwa menghormati tamu itu suatu ibadah yang tidak boleh dikurangi
nilai ibadahnya, apakah tamunya itu orang kaya atau yang lain. Juga anjuran
untuk menjamu tamunya dengan apa saja yang ada pada dirinya walaupun sedikit.
Menghormati tamu itu dilakukan dengan cara segera menyambutnya dengan wajah
senang, perkataan yang baik, dan menghidangkan makanan. Hendaklah ia segera
memberi pelayanan yang mudah dilakukannya tanpa memaksakan diri”. Pengarang
juga menyebutkan perkataan dalam menyambut tamu.[1]
Selanjutnya ia
berkata : Adapun sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam
“maka hendaklah ia berkata
baik atau diam” , menunjukkan bahwa perkatan yang baik itu lebih
utama daripada diam, dan diam itu lebih utama daripada berkata buruk.
Demikian itu karena Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam dalam sabdanya
menggunakan kata-kata “hendaklah untuk berkata benar” di dahulukan dari
perkataan “diam”. Berkata baik dalam Hadits ini mencakup menyampaikan ajaran
Allah dan rasul-Nya dan memberikan pengajaran kepada kaum muslim, amar ma’ruf
dan nahi mungkar berdasarkan ilmu, mendamaikan orang yang berselisih, berkata
yang baik kepada orang lain. Dan yang terbaik dari semuanya itu adalah
menyampaikan perkataan yang benar di hadapan orang yang ditakuti kekejamannya
atau diharapkan pemberiannya.
3. Kualitas hadist
Mengenai
hadist ini, jika ditinjau dari kualitas hadist, sudah tentu bisa dikatakan
hadist shohih, karena diriwayatkan oleh imam Bukhori dan imam muslim. Mengapa
dapat kami katakan demikian? Karena dikalangan ummat islam sudah sangat
familiar dikenal bahwa hadist yang masuk dalam hadist yang diriwayatkan oleh
imam bukhori dan imam muslim adalah hadist shohih, karena telah melalui proses
penyaringan yang sangat ketat.
Pada hadist yang diriwayatkan oleh imam
turmudzi, bisa dikatakan bahwa hadist ini shohih, ditinjau dari segi bahwa ia adalah perawi pada masa ulama hadist
mutaqodimin, yakni setara dengan perawi hadist yang terkenal seperti imam
bukhori dan muslim, juga yang lainnya. Selain itu juga ia pernah berguru pada
imam tersebut.[2]
Atau bisa juga
disebut hadist hasan, karena pada riwayat lain dikatakan bahwa pada pasal
hadist hasan, Disebutkan bahwa sunan al-tirmidzi adalah induknya hadist hasan.[3]
4. Asbabul Wurud Hadist
Ketika Allah
melihat salah satu bentuk, dimana Allah Swt memperlihatkan kepada hamba-hamba Nya
bahwa Allah melihat semua perbuatan yang terkecil sekalipun. Maka disaat itu
datanglah tamu kepada Sang Nabi saw dan Sang Nabi saw tidak bisa menjamunya
karena tidak ada makanan. Rasul tanya pada istrinya “punya makanan apa kita untuk menjamu tamu ini?”,
istri Nabi saw menjawab “tidak
ada, yang ada cuma air”. Maka Rasul berkata “siapa yang mau menjamu tamuku ini?” Satu orang anshar langsung mengacungkan tangan
“aku yang menjamu tamumu ya
Rasulullah”. Kemudian sahabat itu membawa tamu rasul itu ke rumahnya, sampai dirumah mengetuk pintu
dengan keras hingga istrinya bangun. “Kenapa suamiku? kau tampak terburu-buru”.
“akrimiy
dhaifa Rasulillah,
kita dapat kemuliaan tamunya Rasulullah. Ayoo.. muliakan,
keluarkan semua yang kita miliki daripada pangan dan makanan, semua keluarkan.
Ini tamu Rasulullah bukan tamu kita, datang kepada Rasul, Rasul saw tidak bisa
menyambutnya. Rasul tanya “siapa yang bisa menyambutnya?”, aku buru -
buru tunjuk tangan, ini kemuliaan besar bagi kita.” Istrinya berkata “suamiku, makanannya hanya untuk 1 orang.
Tidak ada makanan lagi, itu pun untuk anak- anak kita. 2 orang anak- anak kita
hanya akan makan makanan untuk 1 orang, kau ini bagaimana menyanggupi undangan
tamu Rasul? kau tidak bertanya lebih dulu? apakah kita punya kambing, punya
ayam, punya beras, punya roti, jangan main terima sembarangan!” Maka
suaminya sudah terlanjur menyanggupi “sudah
kalau begitu anak kita tidurkan cepat- cepat, matikan lampu agar anaknya
tidur”. “belum makan, suruh tidur jangan suruh makan malam, biar saja”.
Di tidurkan anaknya
tanpa makan. Lalu tinggal makanan yang 1 piring untuk 1 orang, “ini bagaimana? tamunya tidak mau
makan kalau hanya ditaruh 1 piring kalau shohibul bait (tuan rumah) tidak ikut
makan karena cuma 1 piring makanannya”. Suaminya berkata “nanti sebelum kau keluarkan
piringnya, lampu ini kau betulkan lalu saat makan tiup agar mati pelitanya,
jadi pura- pura lampu mati. Taruh piring, silahkan makan dan kita taruh piring
kosong di depan kita, tamu makan kita tidak usah makan tapi seakan “ akan makan
dan tidak kelihatan lampunya gelap”.
Maka tamunya
tidak tahu cerita lampunya mati, pelitanya rusak, tamunya makan dengan
tenangnya, nyenyak dalam tidurnya, pagi-pagi shalat subuh kembali kepada Rasul
saw “Alhamdulillah ya
Rasulullah aku dijamu dengan makanan dan tidur dengan tenang”.
Rasul berkata “Allah semalam
sangat ridho kepada shohibul bait (tuan rumah) yang menjamumu itu” (shahih
Bukhari).
Allah
tersenyum, bukan Allah itu seperti manusia bisa tersenyum tapi maksudnya Allah
sangat sayang dan sangat gembira. Dengan perbuatan itu Allah sangat terharu,
bukan terharu karena tamunya saja tapi juga karena shohibul bait berucap. “akrimiy dhaifa Rasulillah” muliakan tamu
Rasulullah.
Ini yang membuat Allah terharu, untuk tamunya Rasulullah rela anaknya tidak
makan, tidur semalaman dalam keadaan lapar untuk memuliakan tamunya Rasulullah
saw.[4]
c. Bandingannya dengan ayat atau
hadist lain
Dalam
al-Quran surat Adz-Dzariyat: 24 – 27, Allah telah berfirman
هَلْ أَتَاكَ
حَدِيثُ ضَيْفِ إِبْرَاهِيمَ الْمُكْرَمِينَ ﴿24﴾ إِذْ دَخَلُوا عَلَيْهِ
فَقَالُوا سَلَامًا قَالَ سَلَامٌ قَوْمٌ مُنْكَرُونَ ﴿25﴾ فَرَاغَ إِلَى أَهْلِهِ
فَجَاءَ بِعِجْلٍ سَمِينٍ ﴿26﴾ فَقَرَّبَهُ إِلَيْهِمْ قَالَ أَلَا تَأْكُلُونَ
﴿27﴾
Sudah
sampaikah padamu cerita tentang tamu Ibrahim yang dimuliakan? Ketika mereka
masuk ke tempatnya lalu mengucapkan: "Salaman." Ibrahim menjawab:
"Salamun, (kalian) adalah orang-orang yang tidak dikenal." Maka dia
pergi dengan diam-diam menemui keluarganya lalu dibawanya daging bakar dari
anak sapi yang gemuk dan dihidangkannya kepada mereka, Ibrahim berkata:
"Tidakkah kalian makan?"
Syaikh Salim Al-Hilali
hafidhahullah menerangkan panjang lebar firman Allah di atas dalam kitabnya
Bahjatun Nadhirin. Ia mengatakan: "Ini adalah kisah tentang
malaikat-malaikat yang mulia. Mereka mendatangi Ibrahim `alaihis salam untuk
menyampaikan berita gembira tentang kelahiran Ishaq dan anaknya Ya`qub. Mereka
lantas mengucapkan salam dan Ibrahim pun menjawabnya dengan sebaik-baiknya.
Beliau tidak mengenali mereka sebab mereka datang dalam bentuk pemuda tampan,
beliau sangka mereka adalah tamu-tamu sehingga beliau berkeinginan menjamu
mereka dan memang beliaulah yang pertama kali menjamu tamu. Beliau menyelinap
dengan sembunyi-sembunyi dan dengan segera beliau datang dengan membawa daging
panggang dari sapi yang gemuk. Itulah makanan terbaik yang dimiliki yang beliau
panggang di atas batu panggang. Kemudian beliau mendekatkannya kepada mereka
dan mempersilahkan dengan ungkapan yang lembut dan penghormatan yang bagus:
‘Tidakkah kalian makan?’
Dalam
ayat-ayat ini terkandung adab menjamu tamu. Beliau (Ibrahim ‘alaihis salam)
datang dengan segera membawa makanan tanpa mereka (para tamu) sadari dan tanpa
mengharap sebelumnya karena ungkapan (tuan rumah): ‘Kami akan menghidangkan
makan’, tetapi dengan cepat dan sembunyi-sembunyi, beliau menjamu tamunya
dengan seutama-utama apa yang beliau dapati dari hartanya lalu beliau dekatkan
dengan cara yang baik di hadapan mereka. Tidak dengan meletakkannya lalu
berkata: "Silahkan mendekat!" Tidak pula dengan perintah yang
memberatkan pendengar dalam sighat jazm,
tetapi beliau mengucapkan: "Tidakkah kalian makan?"
Ungkapan
ini sama dengan ungkapan kita hari ini: "Bila anda ingin memuliakan,
berbuat baik dan bersedekah maka silahkan lakukan." (Bahjatun
Nadhirin:2/28 ).
V.
Kesimpulan
Dalam kesimpulan, kami
mencoba menarik sebuah analisa bahwa memuliakan tamu adalah hal yang dianjurkan
oleh setiap muslim, ini dapat kita tarik dari asbabul wurud hadist yang
telah kami ceritakan, walaupun kita tidak mempunyai apa-apa, namun kita harus
tetap memuliakan tamu yang hadir di rumah kita.
Selain itu juga, sandaran
kita untuk memuliakan tamu sudah di tentukan pada hadist dan juga al-Quran,
dimana kita harus mengikuti itu sebagai pedoman bagi setiap muslim.
VI.
Penutup
Demikian makalah ini kami buat, kritik
dan saran yang membangun sangat kami harapkan. Semoga bermanfaat. Amin
VII.
Daftar pustaka
Najieh, Ahmad 323 Hadist Dan Syair Untuk Bekal Dakwah, Jakarta: Pustaka
Amani,
Sutarmadi, Akhmad,
Dr. H .al Imam al-Tiridzi, Peranannya Dalam
Pengembangan Hadist Dan Fiqh, jakarta: logos.1998.
Www.geocities.com/dmgto/mabhats201/tamu.htm - 22k
http/Syarah
hadist arba’in an-Nawawihadits ke-15
berkata baik
atau lebih baik diam, serta memuliakan tamu
[1]http// syarah hadist arba’in an-nawawi hadits ke-15 berkata baik atau lebih baik diam, serta
memuliakan tamu
[2]
Ahmad najieh, 323 hadist dan syair untuk
bekal dakwah, jakarta:
pustaka amani, hal 107
[3]
Dr. h. akhmad sutarmadi, Al Imam Al-Tiridzi, Peranannya Dalam Pengembangan
Hadist Dan Fiqh, jakarta:
logos.1998. hal 61
2 komentar:
Permisi Numpang Promo
Refiza Souvenir menyediakan paket undangan pernikahan cantik nan elegan, paket yasin untuk souvenir acara pengajian tahlilan dan berbagai macam souvenir tasbih cantik dan elegan untuk oleh-oleh haji dan umroh. cek katalog kami di www.refiza.com
syukran....
Posting Komentar