Sabtu, 01 September 2012

Nasionalisme Kita Diujung Tanduk


Apa itu Nasionalisme? Seberapa pentingkah ia?. Lalu dengan apa kita membangkitkan rasa Nasionalisme tersebut? Apakah cukup dengan mengikuti upacara peringatan HUT Republik Indonesia, atau menghormati Sang Saka Merah Putih, atau khusyuk menyanyikan lagu Indonesia Raya?.

Pertanyaan-pertanyaan tersebut saat ini memang sudah sepantasnya kembali diperdebatkan. Seiring semakin menipisnya-bahkan jika boleh mengatakan sudah menghilangnya- rasa Nasionalisme dari bangsa ini. Entah karena sudah bosan, atau juga pengaruh dari luar, yang membuat bangsa Indonesia mulai apatis terhadap paham yang luhur ini.

Secara etimologi, Nasionalisme berasal dari kata “nasional” dan “isme” yaitu paham kebangsaan yang mengandung makna : kesadaran dan semangat cinta tanah air; memiliki kebanggaan sebagai bangsa, atau memelihara kehormatan bangsa; memiliki rasa solidaritas terhadap musibah dan kekurangberuntungan saudara setanah air, sebangsa dan senegara; persatuan dan kesatuan. Sedangkan bentuk dari Nasionalisme tersebut juga bermacam-macam. Ada Nasionalisme berdasarkan kewarganegaraan, etnis, budaya dan sebagainya.

Menarik jika kita mencoba membicarakan Nasionalisme dimasa sekarang ini. Ketika paham ini mulai terkikis oleh paham lain seperti kapitalisme. Paham yang selalu mengkultuskan keuntungan dan kekayaan duniawi. Disadari atau tidak, demi kekayaan dan keuntungan, rasa Nasionalisme kita dapat tergadaikan.

Saat saya membaca sebuah artikel di Kompas (29/8/12) berjudul “Nasionalisme Kita”, saya mengerti bahwa rasa Nasionalisme bangsa ini sudah diambang punah. Tulisan seorang Guru Besar Universitas Indonesia bernama  Sri Edi Swasono, menggambarkan betapa bangsa ini mulai kehilangan rasa Nasionalisme. Di awal tulisan itu, Sri mengemukakan pendapat seorang  Doctor di bidang Ekonomi (yang namanya tidak disebutkan) mengatakan bahwa “ Apa itu Nasionalisme, kuno itu, masukin aja ke saku….”. Mengapa Sri gerah, karena Doktor tersebut kini menjabat di bidang yang sangat rentan tentang Nasionalisme di negeri ini.

Doktor itu mungkin menafikkan betapa pentingnya kehadiran Nasionalisme dalam segala bidang. Ho Chi Minh, Bapak Bangsa Vietnam mengatakan bahwa bangsa Vietnam dapat memenangkan perang bukan karena bom Atom, Nuklir atau senjata pembasmi lainnya, namun mereka memiliki Nasionalisme yang tinggi. Katanya “Kami pasti menang perang, karena kami memiliki senjata rahasia. Senjata rahasia itu adalah Nasionalisme”.
Dilain pihak, makna pentingnya Nasionalisme juga dikemukakan oleh Ian Lustic, seorang tokoh politik antar bangsa yang mengatakan bahwa “Nasionalisme merupakan kekuatan pembangunan yang tidak ada tandingannya di dunia masa kini”.

Terkikisnya Nasionalisme, Hancurnya Bangsa
Bangsa ini, meskipun terlahir di tanah air Indonesia, bertumpah darah satu, berbahasa satu, namun bukanlah “pemilik” resmi negeri ini. Bangsa Indonesia tidak bisa To be the master in this own home land, yang artinya kurang lebih menjadi tuan di negeri sendiri. Bangsa ini disadari atau tidak, kini hanya menjadi master of ceremony yang hanya menyambut dan membiarkan “tamu-tamu” dari asing berdatangan serta menghormatinya. Parahnya, “tamu-tamu” itu kini mendominasi seluruh kekayaan yang ada di Negara ini. Namun kita hanya diam.

Contoh kecil hilangnya rasa Nasionalisme kita, kita sering bangga makan di MC Donald, KFC, sementara malas dan sungkan untuk makan makanan tradisional seperti pecel, gado-gado, soto dan lain sebagainya. Kita sering menyesaki mall, plaza dan toko waralaba lain, sementara enggan berbelanja di pasar. Dan kita bangga jika memakai produk-produk impor, dan merasa malu serta tidak percaya diri jika memakai produk dalam negeri.

Menumbuhkan kembali rasa Nasionalisme harus secepatnya dilakukan. Keteladanan adalah faktor utama untuk menumbuhkan semangat cinta tanah air seluruh rakyat Indonesia. Komponen bangsa yang harus memberikan contoh adalah para aparat negara, baik dari komponen legislatif, eksekutif, maupun yudikatif. Seluruh komponen ini didukung penuh oleh pemimpin bangsanya, mulai dari gaya hidup keseharian, sinkronisasi antara ucapan dan tindakan, berperilaku dalam berbangsa dan bernegara, menjalankan roda pemerintahan yang baik, dan seterusnya.

Dalam hal mencintai tanah air, seorang pemimpin harus mendahulukan kepentingan bangsa dan negaranya di atas kepentingan asing. Saat ini banyak pihak asing yang ingin menguasai harta dan kekayaan Negara melalui system penjajahan yang elegan. Dengan kekuatan ekonomi yang ditunjang dengan kekuatan konsep Kapitalisme yang disebar melalui media yang mapan dan canggih, pihak asing telah merangsak dan merongrong kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia kita ini.

Anehnya, bangsa ini seolah terlena dengan penjajahan yang telah dilakukan oleh pihak asing selama bertahun-tahun ini. Mungkin benar apa kata orang Barat, yang menganggap bahwa bangsa kita adalah bangsa terlembek di bumi, kulinya bangsa bangsa lain. Anggapan ini bisa benar, bisa juga salah. Dan sebenarnya, anggapan tersebut tidak pantas diterapkan kepada bangsa ini. Jika kita mencoba menelusuri sejarah, bahwa dengan berapi-api dan semangat Nasionalisme tinggi, Bung Hatta pernah berpidato di depan pengadilan tinggi Den Haag. Saat itu dengan lantang Bung Hatta mengatakan bahwa “Lebih baik Indonesia tenggelam di dasar laut, daripada jadi embel-embel bangsa lain”.

Sungguh ironis, para pahlawan kita yang gagah berani memperjuangkan kemerdekaan dari penjajahan bangsa asing dengan rasa Nasionalisme tinggi, kini menangis melihat kemerdekaan yang telah mereka perjuangkan sia-sia.  Disadari atau tidak, Nasionalismelah yang telah memerdekakan Indonesia dari penjajahan bersifat fisik pada zaman dahulu. Dan sekarang, yakinlah bahwa di masa penjajahan kaum Kapitalis ini, kita akan dapat memenangkan perang modern ini hanya dengan rasa Nasionalisme yang tinggi.

0 komentar:

Posting Komentar