Kuceritakan padamu kawan,
tentang seorang laki-laki hitam legam yang selalu saja berjalan di trotoar kota
kami. Kami tak pernah tahu kapan dia datang ke kota ini. Sejak aku SD hingga
saat ini lulus dari kuliah, kami selalu saja melihat laki-laki hitam legam itu.
Sepertinya ia ada bahkan saat kedua orang tua kami masih remaja
.
Tak pernah ada orang yang
tahu siapa nama laki-laki hitam legam ini. Bukannya tak mau menanyakannya, tapi
kami takut menghadapi orang seperti itu. Kami takut laki-laki hitam legam itu
merasa terganggu dan mengamuk kepada kami. Sudah banyak sekali kasus yang
terjadi saat orang seperti laki-laki hitam legam itu saat kami goda. Mereka mengamuk
dan tidak jarang beraksi brutal.
Lama-lama kami memberanikan
diri untuk memberinya nama panggilan. Bukan untuk membuat dia terkenal, semua
itu hanya untuk memudahkan kami dalam membicarakannya. Dengan nama itu, ia
dapat kami bicarakan dengan teman, saudara, dan semua orang yang kami kenal. Kami
menamainya Mamon, singkatan dari manusia monster. Kami kira nama itu pantas,
karena memang tubuh jangkung Mamon dan wajah sangarnya, sudah menggambarkan
betapa menyeramkannya ia.
Setiap hari, saat kami
berangkat dan pulang sekolah, kami melihat Mamon terdiam di bawah pohon. Mulutnya
bergumam seolah sedang membaca mantera-mantera ilmu kesaktian. Dan kadang, ia
duduk jongkok di bahu jalan, sambil mencoret-coret trotoar dengan arang yang ia
peroleh dari bekas pembakaran mebel.
Kami tak pernah tahu dan
bahkan tak pernah ingin tahu apa yang digumamkan oleh Mamon dan apa yang
ditulisnya. Hingga datang waktu itu, saat bus sekolah yang kami tumpangi
mengalami kerusakan di jalan. Sialnya, jalan tersebut adalah jalan yang
dikuasai oleh Mamon. Di jalan itulah kami biasa melihat Mamon duduk dan tidur.
Jalan ini seolah daerah kekuasaannya, yang tak dapat diganggu gugat oleh
siapapun, termasuk Kami.
Kami ketakutan dan tidak
berani pulang, namun supir Bus tak mau mengantarkan kami. Akhirnya dengan
ketakutan, kami memberanikan diri untuk melalui jalan itu.
Kami tak ingin bertemu
dengan Mamon, akhirnya kami mencari jalan pintas, yakni melewati hutan-hutan. Hutan
memang menyeramkan, tapi bagi kami, seramnya hutan bersama penghuninya, tak seseram
wajah Mamon. Wajah Mamon yang abstrak itu, lebih seram dari apapun menurut
kami.
Jalan gelap dan dinginnya
hutan yang kami lewati cukup membuat bulu kuduk kami berdiri. Kami juga
ketakutan. Jangan-jangan, Mamonlah yang telah membuat Bus Sekolah kami mogok,
dan telah menunggu kami untuk memangsa kami hidup-hidup. Atau ia akan membakar
kami, dan menjadikan arang bekas bakaran tulang kami menjadi alat untuk
menulisnya.
Pikiran kami melayang jauh. Ketakutan
melanda. Hingga saat itu tiba, Rizal, teman kami yang berwajah lugu itu,
terperosok ke dalam Lembah. Ia menjerit meminta tolong, namun kami tak dapat
melakukan apa-apa. Kamipun panic, kami melihat tubuh Rizal tergantung di sebuah
dahan pohon. Sepertinya setelah kelelahan dan mungkin terluka, tubuh Rizal
tidak bergerak lagi.
“Rizal…..Rizal…” kami
berteriak mencoba membangunkannya, namun tak ada balas.
Kami menangis dalam putus
asa. Tak ada yang dapat kami lakukan. Saat itulah kami melihat tubuh besar hitam
legam, meloncat ke dasar lembah. Kami tak tahu siapa itu, mungkinkah malaikat
yang akan mencabut nyawa Rizal?. Entahlah,,yang jelas kami masih ketakutan dan
tak dapat berbuat apa-apa.
Diam, sunyi, tak ada
tanda-tanda gerakan dari Rizal. Namun tiba-tiba kami melihat tubuh besar hitam
legam itu kembali mendaki ke atas bukit dengan tangan-tanganya yang kekar. Semakin
lama, semakin jelas. Dan sepertinya tubuh itu kami kenal dengan baik. Mamon!.
Kami terpaku. Takut
bercampur ngeri. Apakah Rizal telah ia bunuh? Lalu setelah itu baru giliran
kami?. Anehnya, meski kami ketakutan, kami tak dapat lari dari tempat itu. Tenaga
kami telah habis oleh degup jantung ketakutan memikirkan nasib kami yang
diujung tanduk.
“Kenapa diam saja, Cepat
bantu aku?”
Kata-kata itu keluar dari
mulut Mamon. Demi tuhan, sepertinya kamilah orang yang pertama mendengar Mamon
berkata dengan jelas dan dapat dimengerti. Kami masih tidak percaya bahwa
kata-kata itu keluar dari mulut Mamon, orang yang sudah kami anggap tidak waras
itu.
“Hei,,cepat, bantu aku
membawanya, “ bentak Mamon
“I..iiiaa,,ia” kami menjawab
dengan mulut terkatup.
Setelah kejadian itu,
seluruh mata kini terbelalak. Cerita tentang kejadian malam itu telah menyebar
ke seluruh pelosok kota ini. Tentang seorang pahlawan yang telah menyelamatkan
nyawa seorang anak. Pahlawan itu adalah Mamon, orang yang dahulu kami anggap
tidak waras, gila dan membahayakan. Yah,,kami merasa malu kepada Mamon. Ternyata
ia orang yang berhati mulia.
Setelah kejadian itu, Mamon
pergi entah kemana. Kami tak pernah menemukannya lagi. Jejaknya hilang bersama
angin. Bahkan kami belum sempat mengucapkan maaf dan terimakasih kepadanya. Lalu,
kami yang malam itu mengalami nasib
tragis, mencoba mencari Mamon di tempat ia biasa berada. Di jalan yang telah
sengang itu, kami menemukan sebuah keanehan dan kejanggalan baru. Keanehan dan
kejanggalan yang membuat kami
benar-benar merasa bersalah.
Disepanjang bahu trotoar
yang ada disana, hamper seratus meter panjangnya, kami menemukan jawaban
tentang apa yang Mamon tulis disana. Ternyata bukan hanya coretan tanpa makna. Kata
demi kata yang ada disana, ternyata
memiliki makna. Mereka tersusun dalam sebuah kalimat-kalimat, yang membentuk bait-bait puisi. Dan ternyata,
semua itu adalah puisi tentang Tuhannya.
Satu bait puisi yang sampai
saat ini masih terngiang di benakku,
Hidup
Itu indah, namun tak seindah keindahan yang tampak oleh mata,
Hidup
itu bencana, namun tak seburuk neraka sang Pencipta..
Apalah
arti hidup ini, jika kita sendiri tak mengerti untuk apa kita hidup,
Mengapa
kita berpura-pura dengan kehidupan ini
Tuhan
tidak suka dengan orang yang berpura-pura…
*Dalam diam, Syahid Add
Dakhil, hamba Tuhan yang malang.
Kami tertegun dalam diam,
menangis dalam penyesalan. Ternyata Mamon bukanlah orang yang gila. Ia bahkan
seorang pujangga sejati, yang tidak pernah berpura-pura dalam hidupnya. Sementara
kami, hanya seonggok jasad penuh kepura-puraan. Kami tertunduk dalam malu yang
sangat.
0 komentar:
Posting Komentar