Sabtu, 01 September 2012

Jejak Misterius Sang Mamon


Kuceritakan padamu kawan, tentang seorang laki-laki hitam legam yang selalu saja berjalan di trotoar kota kami. Kami tak pernah tahu kapan dia datang ke kota ini. Sejak aku SD hingga saat ini lulus dari kuliah, kami selalu saja melihat laki-laki hitam legam itu. Sepertinya ia ada bahkan saat kedua orang tua kami masih remaja
.
Tak pernah ada orang yang tahu siapa nama laki-laki hitam legam ini. Bukannya tak mau menanyakannya, tapi kami takut menghadapi orang seperti itu. Kami takut laki-laki hitam legam itu merasa terganggu dan mengamuk kepada kami. Sudah banyak sekali kasus yang terjadi saat orang seperti laki-laki hitam legam itu saat kami goda. Mereka mengamuk dan tidak jarang beraksi brutal.

Lama-lama kami memberanikan diri untuk memberinya nama panggilan. Bukan untuk membuat dia terkenal, semua itu hanya untuk memudahkan kami dalam membicarakannya. Dengan nama itu, ia dapat kami bicarakan dengan teman, saudara, dan semua orang yang kami kenal. Kami menamainya Mamon, singkatan dari manusia monster. Kami kira nama itu pantas, karena memang tubuh jangkung Mamon dan wajah sangarnya, sudah menggambarkan betapa menyeramkannya ia.

Setiap hari, saat kami berangkat dan pulang sekolah, kami melihat Mamon terdiam di bawah pohon. Mulutnya bergumam seolah sedang membaca mantera-mantera ilmu kesaktian. Dan kadang, ia duduk jongkok di bahu jalan, sambil mencoret-coret trotoar dengan arang yang ia peroleh dari bekas pembakaran mebel.

Kami tak pernah tahu dan bahkan tak pernah ingin tahu apa yang digumamkan oleh Mamon dan apa yang ditulisnya. Hingga datang waktu itu, saat bus sekolah yang kami tumpangi mengalami kerusakan di jalan. Sialnya, jalan tersebut adalah jalan yang dikuasai oleh Mamon. Di jalan itulah kami biasa melihat Mamon duduk dan tidur. Jalan ini seolah daerah kekuasaannya, yang tak dapat diganggu gugat oleh siapapun, termasuk Kami.

Kami ketakutan dan tidak berani pulang, namun supir Bus tak mau mengantarkan kami. Akhirnya dengan ketakutan, kami memberanikan diri untuk melalui jalan itu.
Kami tak ingin bertemu dengan Mamon, akhirnya kami mencari jalan pintas, yakni melewati hutan-hutan. Hutan memang menyeramkan, tapi bagi kami, seramnya hutan bersama penghuninya, tak seseram wajah Mamon. Wajah Mamon yang abstrak itu, lebih seram dari apapun menurut kami.

Jalan gelap dan dinginnya hutan yang kami lewati cukup membuat bulu kuduk kami berdiri. Kami juga ketakutan. Jangan-jangan, Mamonlah yang telah membuat Bus Sekolah kami mogok, dan telah menunggu kami untuk memangsa kami hidup-hidup. Atau ia akan membakar kami, dan menjadikan arang bekas bakaran tulang kami menjadi alat untuk menulisnya.

Pikiran kami melayang jauh. Ketakutan melanda. Hingga saat itu tiba, Rizal, teman kami yang berwajah lugu itu, terperosok ke dalam Lembah. Ia menjerit meminta tolong, namun kami tak dapat melakukan apa-apa. Kamipun panic, kami melihat tubuh Rizal tergantung di sebuah dahan pohon. Sepertinya setelah kelelahan dan mungkin terluka, tubuh Rizal tidak bergerak lagi.

“Rizal…..Rizal…” kami berteriak mencoba membangunkannya, namun tak ada balas.

Kami menangis dalam putus asa. Tak ada yang dapat kami lakukan. Saat itulah kami melihat tubuh besar hitam legam, meloncat ke dasar lembah. Kami tak tahu siapa itu, mungkinkah malaikat yang akan mencabut nyawa Rizal?. Entahlah,,yang jelas kami masih ketakutan dan tak dapat berbuat apa-apa.

Diam, sunyi, tak ada tanda-tanda gerakan dari Rizal. Namun tiba-tiba kami melihat tubuh besar hitam legam itu kembali mendaki ke atas bukit dengan tangan-tanganya yang kekar. Semakin lama, semakin jelas. Dan sepertinya tubuh itu kami kenal dengan baik. Mamon!.
Kami terpaku. Takut bercampur ngeri. Apakah Rizal telah ia bunuh? Lalu setelah itu baru giliran kami?. Anehnya, meski kami ketakutan, kami tak dapat lari dari tempat itu. Tenaga kami telah habis oleh degup jantung ketakutan memikirkan nasib kami yang diujung tanduk.

“Kenapa diam saja, Cepat bantu aku?”

Kata-kata itu keluar dari mulut Mamon. Demi tuhan, sepertinya kamilah orang yang pertama mendengar Mamon berkata dengan jelas dan dapat dimengerti. Kami masih tidak percaya bahwa kata-kata itu keluar dari mulut Mamon, orang yang sudah kami anggap tidak waras itu.

“Hei,,cepat, bantu aku membawanya, “ bentak Mamon

“I..iiiaa,,ia” kami menjawab dengan mulut terkatup.

Setelah kejadian itu, seluruh mata kini terbelalak. Cerita tentang kejadian malam itu telah menyebar ke seluruh pelosok kota ini. Tentang seorang pahlawan yang telah menyelamatkan nyawa seorang anak. Pahlawan itu adalah Mamon, orang yang dahulu kami anggap tidak waras, gila dan membahayakan. Yah,,kami merasa malu kepada Mamon. Ternyata ia orang yang berhati mulia.

Setelah kejadian itu, Mamon pergi entah kemana. Kami tak pernah menemukannya lagi. Jejaknya hilang bersama angin. Bahkan kami belum sempat mengucapkan maaf dan terimakasih kepadanya. Lalu, kami yang  malam itu mengalami nasib tragis, mencoba mencari Mamon di tempat ia biasa berada. Di jalan yang telah sengang itu, kami menemukan sebuah keanehan dan kejanggalan baru. Keanehan dan kejanggalan  yang membuat kami benar-benar merasa bersalah.

Disepanjang bahu trotoar yang ada disana, hamper seratus meter panjangnya, kami menemukan jawaban tentang apa yang Mamon tulis disana. Ternyata bukan hanya coretan tanpa makna. Kata demi kata  yang ada disana, ternyata memiliki makna. Mereka tersusun dalam sebuah kalimat-kalimat,  yang membentuk bait-bait puisi. Dan ternyata, semua itu adalah puisi tentang Tuhannya.

Satu bait puisi yang sampai saat ini masih terngiang di benakku,

Hidup Itu indah, namun tak seindah keindahan yang tampak oleh mata,
Hidup itu bencana, namun tak seburuk neraka sang Pencipta..
Apalah arti hidup ini, jika kita sendiri tak mengerti untuk apa kita hidup,
Mengapa kita berpura-pura dengan kehidupan ini
Tuhan tidak suka dengan orang yang berpura-pura…

*Dalam diam, Syahid Add Dakhil, hamba Tuhan yang malang.

Kami tertegun dalam diam, menangis dalam penyesalan. Ternyata Mamon bukanlah orang yang gila. Ia bahkan seorang pujangga sejati, yang tidak pernah berpura-pura dalam hidupnya. Sementara kami, hanya seonggok jasad penuh kepura-puraan. Kami tertunduk dalam malu yang sangat.

0 komentar:

Posting Komentar