Selasa, 25 September 2012

Mengurai Benang Kusut Generasi Tawur Indonesia

Dunia pendidikan kembali dirundung awan kelabu, setelah terjadi  tawuran antara siswa SMAN 6 dan SMAN 70 Jakarta di kawasan Bulungan - tak jauh dari Blok M Plaza - pada Senin (24/9/2012). Tak hanya tawuran biasa, kali ini, kembali satu nyawa terbuang sia-sia. Adalah Alawy Yusianto Putra, siswa SMA 6 kelas X berusia 15 tahun, tewas akibat terkena sabetan celurit di dadanya.

Peristiwa ini bukanlah pertama terjadi di kedua SMAN yang notabene adalah SMA favorit di wilayah Jakarta Selatan itu. Sudah berkali-kali, tawur antar kedua Sekolah Menengah Atas tersebut terjadi. Sampai-sampai, mantan Kapolrestro Jakarta Selatan, Kombes Imam Sugiyanto menyebut jalur antara SMAN 70 dan SMA 6 di Jalan Mahakam, Kebayoran Baru itu sebagai “Jalur Gaza”.

Jalur yang identik dengan wilayah rawan konflik  Palestina-Israel di Timur Tengah ini menurut Sugiyanto cocok untuk merepresentasikan bagaimana para siswa tersebut beradu adrenalin. Tentunya kita tidak perlu bangga dengan julukan tersebut. Karena prestasi tersebut bukanlah hal yang patut dibanggakan.

Tawuran sekelompok massa dengan pelaku manusia-manusia Indonesia sepertinya bisa dikatakan sudah menjadi budaya. Jika dihitung, sudah berapa korban yang menjadi tumbal dari tawuran tersebut. Tidak hanya kalangan remaja (Siswa dan Mahasiswa), masyarakat dan juga kelompok elit pun sepertinya terjangkit syindrom akut tentang budaya rimba ini.

Tentu diantara pelaku tersebut memiliki tujuan dan latar belakang yang berbeda-beda. Secara sosio-psikologis masa remaja merupakan masa  pencarian jati diri sekaligus eksistensinya ingin diakui. Namun sayangnya apa yang mereka persepsikan eksistensi tersebut tidak selamanya bukan merupakan hal-hal yang positif. Sebaliknya justru hal-hal yang negative contoh tawuran yang dilakukan, karena hal yang semacam itu lebih mudah untuk mendapatkan perhatian.

Sementara tawuran yang terjadi di kalangan elit politik, seringkali dilatarbelakangi oleh kepentingan yang menyangkut harga diri. Jika harga diri mereka terusik, maka tawuran adalah solusi untuk menyelesaikannya. Bukan tawuran secara fisik yang dilakukan, melainkan perang-perang kata, perang kebijakan, saling menjatuhkan dan sebagainya.

Tanggung jawab bersama
 Nasi telah menjadi bubur, nyawa telah hilang dari raga. Namun apakah kita akan diam saja dan membiarkan nyawa generasi penerus kita yang lain melayang?. Tentu saja tidak. Cukup sudah!. Semua pihak harus duduk bersama mencari solusi secepat mungkin. Bukan lagi mencari siapa yang bersalah, karena sampai kapanpun tidak akan selesai dengan upaya pengkambinghitaman dari kejadian ini.

Banyak kalangan yang menilai bahwa pihak sekolah yang patut disalahkan, karena tidak mengemban tugas dengan baik. Tentu tuduhan itu tak beralasan. Kadarwati, kepala sekolah SMAN 6 saat diwawancarai salah satu televisi swasta mengatakan bahwa pihak sekolah telah mengeluarkan kemampuan semaksimal mungkin untuk menekan perilaku negative dari siswanya. Bahkan, Kadarwati telah mengeluarkan atau men drop out puluhan siswanya yang telah melakukan pelanggaran berat. Selain itu, puluhan orang tua siswa juga telah mendapat surat teguran dari sekolah terkait kelakuan anak-anaknya.

Tidak hanya sekolah yang bertanggung jawab atas kejadian tragis ini, melainkan seluruh komponen pendidikan. Komponen tersebut meliputi siswa, keluarga, masyarakat, sekolah dan juga pemerintah. Keseluruhan komponen tersebut memiliki andil dalam membentuk karakter siswa. Apabila salah satu komponen tersebut tidak berjalan dengan baik, maka akan terjadi ketimpangan yang menyebabkan terjadinya konflik-konflik serupa.

Banyak solusi yang ditawarkan oleh para pakar pendidikan kita. Namun sebagai orang yang dahulu pernah mengalami kerasnya kehidupan tawuran, maka penulis menawarkan tiga buah solusi. Pertama penegakan hukum yang represif, kedua mengedepankan dialog dengan upaya pendekatan secara psikologis, dan terakhir dengan pemberian fasilitas untuk mereka berekspresi.

Pertama, pemerintah melalui lembaga hukumnya memiliki peran penting dalam menuntaskan kasus tawuran antar siswa ini. Masih adanya tawuran yang terjadi selama ini, dinilai karena hukum belum menjalankan tugas dan fungsinya dengan baik. Banyak pelaku kriminal dari kalangan siswa dalam tragedi tawuran masih berlindung aman di bawah ketiak orang tua mereka. Hukum dirasa lemah dalam pemberian punishment kepada pelaku tawuran. Berkedok perlindungan anak, hukum dengan mudah melepas para pelaku kekerasan dalam dunia pendidikan tersebut.

Padahal, jika kita mengingat perkataan Jeremy Bentham (1748-1832), seorang ahli filsafat hukum yang hidup semasa Revolusi Amerika Serikat dan Revolusi Prancis, bahwa hukum memiliki manfaat yang besar dalam menyelesaikan konflik-konflik yang terjadi dalam masyarakat. Hukum juga memiliki cara-cara yang efektif dalam menyelesaikan konflik tersebut sehingga mampu menciptakan kebahagiaan terbesar kepada sebanyak mungkin orang (the greatest happinest for the greatest numbers).

Pemberian hukuman yang setimpal memungkinkan akan menimbulkan efek jera, baik kepada pelaku maupun siswa lain yang rentan melakukan tawuran. Rasa takut pasti akan menghantui, sehingga mereka pasti akan berpikir dua kali untuk ikut beradu otot di jalanan. Mereka pasti tidak mau menjadi seperti teman mereka yang di drop out dari sekolah dan meringkuk di dalam sel tahanan.

Selain tindakan hukum yang represif di atas, langkah kedua yakni upaya pendekatan secara psikologis juga sangat perlu dilakukan. Mengedepankan aspek berdialog kepada mereka adalah hal mutlak untuk mengetahui apa akar permasalahan dari siswa. Baik keluarga, sekolah, masyarakat dan juga pemerintah dirasa kurang mau mendengar apa yang menjadi permasalahan di antara mereka. Yang sering terjadi, vonis tak diinginkan dilayangkan kepada mereka secara langsung, tanpa mau mendengar apa alasan mereka berperilaku seperti itu.

Ketiga, Memberikan fasilitas yang memadai bagi generasi muda itu untuk mengekspresikan dirinya, tentu dengan pengawasan dari berbagai pihak. Tidak menutup kemungkinan, tindak tawuran juga diakibatkan kuranya fasilitas yang memadai bagi mereka untuk berekspresi.

Tiga pendekatan di atas, harus segera dilakukan untuk mengurai permasalahan yang terjadi, sehingga dapat menekan angka tawuran di Indonesia. Sebagai generasi penerus bangsa, tidak sepantasnya mereka brutal dan mengedepankan otot dibanding otak. Sudah bukan saatnya lagi kita bangga dengan hal-hal yang negative. Belajar dengan rajin dan melakukan segala hal yang bermanfaat adalah tugas dan tanggungjawab mereka sebagai siswa, generasi penerus bangsa. Karena dipundak mereka, tersemat sebuah harapan akan masa depan bangsa.

Mari kita berusaha untuk menjadi generasi yang berkualitas, karena generasi tersebut, adalah aset bagi bangsa ini di masa yang akan datang. Rubah Hartanas (Hari Tawur Nasional) dengan Harpenas (Hari Prestasi Nasional). Busungkan dadamu, tatap masa depan dengan segudang prestasi yang membanggakan, bukan bangga disebut sebagai generasi tawur. Karena generasi tawur, atau apapun namanya, kalah menang akan jadi abu.

2 komentar:

Saya lebih setuju solusi ketiga: "Memberikan fasilitas yang memadai bagi generasi muda itu untuk mengekspresikan dirinya".

Poinnya pada "mengekspresikan diri". Buat saya, kalangan muda/remaja, kalau mereka disibukkan dengan kegiatan/aktivitas yang positif, ga bakalan ada tawuran. kegiatan/aktivitas yang positif itu macam-macam, bisa olahraga, kesenian, kebudayaan, teknologi, dan sebagainya.

Kalau para pelajar itu sepulang sekolah tidak ada aktivitas lain, pelariannya nongkrong ga jelas, salah gaul, termasuk tawuran.

bener banget mas arief, saya sependapat dengan saudara. pemeberian fasilitas untuk mereka mengekspresikan diri adalah hal yang penting. karena memang, fasilitas tempat mereka berekspresi dirasa sangat kurang, sehingga mereka enggan bahkan malas untuk melakukan hal positif. tapi selain itu, tindakan hukum yang represif juga dirasa perlu, untuk menimbulkan efek jera kepada mereka. dan pendekatan psikologis juga tak kalah penting untuk mengurai semua itu. trims atas kunjungan dan komentnya.

Posting Komentar