Kamis, 05 Juli 2012

Bajing(an) Tengik!


Moralitas bangsa ini benar-benar sudah bejat!.
Mungkin itulah lead yang saya pilih untuk mengawali tulisan ini. Rasa muak dan marah sepertinya sudah tidak terbendung lagi. Kejadian demi kejadian yang selama ini terjadi begitu dahsyat, dan bom waktu itu meledak saat kitab suci Islam ikut disertakan.
Sebagai umat Islam yang menjunjung tinggi kitab suci Al-quran, tentu saya merasa sangat marah dan geram. Bagaimana tidak, kitab yang dianggap sakral oleh umat islam, dijadikan sebagai lahan korupsi oleh manusia yang menurut saya lebih buruk dari binatang atau iblis. Bahkan seburuk-buruknya iblis, ia masih menghormati dan menjunjung tinggi firman tuhan itu.
Adalah Zulkarnaen Djabar, seorang politisi dari partai Golkar yang menjadi tersangka kasus korupsi proyek pengadaan  Al Quran di Kementerian Agama senilai Rp 35 miliar. Kasus ini tentu saja membuat bangsa ini semakin terpuruk. Moralitas bangsa tergadaikan. Bagaimana tidak, kasus Zulkarnaen Djabar ini menggambarkan bahwa kejahatan koruptor Indonesia sudah benar-benar melampaui batas. Saat Tuhan dan agama tidak bisa lagi menjadi pencegah. Bahkan kejahatan telah merambah kepada tempat-tempat yang selama ini menjadi symbol religiusitas.
Mendengar kata korupsi saja, telinga kita menjadi panas. Apalagi yang dikorupsi membawa nama kitab suci Al-Quran yang didalamnya berisi firman Allah? Orang seperti inilah jika memang terbukti benar melakukan tindak korupsi, darahnya halal mengalir.
Saya menyadari, dalam menulis artikel ini, saya benar-benar subjektif. Pikiran saya dipenuhi rasa benci dan jijik dengan perilaku para pelaku korupsi pengadaan kitab suci Islam ini. Kemarahan saya meluap bak larva letusan gunung api yang siap menerjang. Bukan bermaksud menjadi provokator, melainkan hanya ingin mengetuk pintu hati, bahwa kejatahan kian parah terjadi di negeri ini.
Lalu, apa yang bisa kita lakukan? Pertanyaan klasik, mudah sekali diucapkan, namun sulit menemukan jawabnya. Mari coba kita renungkan, apa yang bisa kita lakukan?.
Mengutip sebuah hadist, Rosulullah Muhammad SAW pernah bersabda yang artinya “Barang siapa yang melihat kemungkaran, maka rubahlah dengan tangan, jika tak bisa, maka rubahlah dengan lisan, jika masih tak bisa, maka ingkarilah kemungkaran yang kalian lihat dengan hati”, Hadist tersebut memiliki penafsiran kurang lebih sebagai berikut,  Pertama, mereka yang wajib menghalau kemunkaran dengan tangan, yaitu para penguasa. Kedua, yang melalui lisan, yaitu para ulama. Ketiga, yang melalui hati yaitu orang kebanyakan.
Lalu termasuk kedalam bagian mana kita? Sebenarnya kita memiliki kemampuan dalam ketiga pilihan tersebut.  Bukan hanya penguasa yang dapat menghalau kemungkaran dengan tangan atau kekuasaan. Kita sebagai orang tua, guru, sesepuh, juga memiliki kekuasaan untuk mencegah kemungkaran. Minimal dalam lingkup kecil keluarga. Karena dari kehidupan berkeluarga itulah, pondasi dan nilai-nilai moral pertama dimulai. Bagaikan bangunan, apabila pondasinya kokoh dan kuat, maka seberapapun besar angin yang menerpa, ia tak akan pernah goyah. Begitu juga dengan moral generasi penerus yang sekarang tengah kita gembleng, apabila kita salah dalam mendidik dan memberikan pondasi yang lemah, maka dapat dipastikan kelak mereka akan mudah sekali goyah.
Namun pendidikan moral dalam lingkup keluarga saja belum cukup. Kita lihat yang terjadi sekarang, banyak koruptor berasal dari keluarga baik-baik. Tidak jarang mereka yang mendalami agama, baik saat studi ataupun nyantri.  Jadi jangan heran jika sekarang banyak orang tampak agamis, tapi memiliki moral bejat. Semua itu berkat pergaulan yang sekarang lebih mengedepankan sifat hedonism. Virus-virus itulah yang membuat seseorang rela melakukan apa saja, demi memenuhi nafsunya.
Moralitas bangsa kita semakin bejat, dimana agama yang dapat meredam semua aspek kejatahan sudah ditinggalkan. Bahkan lebih parah lagi, dihina di depan mata. Kasus korupsi yang melibatkan Zulkarnaen, adalah salah satu bukti bahwa agama sudah tidak dipandang sebagai sesuatu yang sacral. Korupsi uang Negara mungkin memang jahat, tapi korupsi pengadaan kitab suci al-Quran itu lebih dari bejat. Bagaimana tidak, jika imam masjid istiqlal mencontohkan, mencuri di rumah warga dengan mencuri di kantor polisi. Tentu saja hukuman mencuri di kantor polisi akan mendapat hukuman yang lebih berat.
Umat Islam khususnya dan bangsa Indonesia patut prihatin dengan kasus ini. Semoga ini menjadi kasus terakhir yang melecehkan Agama. Juga kasus terakhir  tentang perjalanan para bajingan tengik yang selalu saja menyengsarakan rakyat. Kita boleh saja bermimpi tentang masa depan Indonesia. Hanya ada dua pilihan, menjadi bangsa maju jika korupsi berhasil diberantas, dan menjadi bangsa terpuruk dan gagal apabila koruptor masih leluasa menjalankan perannya. Terserah kita memilih yang mana? Tentu saja pertanyaan yang tak perlu dijawab bukan?.


0 komentar:

Posting Komentar