Moralitas bangsa ini
benar-benar sudah bejat!.
Mungkin itulah lead yang saya pilih untuk mengawali
tulisan ini. Rasa muak dan marah sepertinya sudah tidak terbendung lagi.
Kejadian demi kejadian yang selama ini terjadi begitu dahsyat, dan bom waktu
itu meledak saat kitab suci Islam ikut disertakan.
Sebagai umat Islam yang
menjunjung tinggi kitab suci Al-quran, tentu saya merasa sangat marah dan
geram. Bagaimana tidak, kitab yang dianggap sakral oleh umat islam, dijadikan
sebagai lahan korupsi oleh manusia yang menurut saya lebih buruk dari binatang
atau iblis. Bahkan seburuk-buruknya iblis, ia masih menghormati dan menjunjung
tinggi firman tuhan itu.
Adalah Zulkarnaen Djabar,
seorang politisi dari partai Golkar yang menjadi tersangka kasus korupsi proyek
pengadaan Al Quran di Kementerian Agama
senilai Rp 35 miliar. Kasus ini tentu saja membuat bangsa ini semakin terpuruk.
Moralitas bangsa tergadaikan. Bagaimana tidak, kasus Zulkarnaen Djabar ini
menggambarkan bahwa kejahatan koruptor Indonesia sudah benar-benar melampaui
batas. Saat Tuhan dan agama tidak bisa lagi menjadi pencegah. Bahkan kejahatan
telah merambah kepada tempat-tempat yang selama ini menjadi symbol
religiusitas.
Mendengar kata korupsi saja,
telinga kita menjadi panas. Apalagi yang dikorupsi membawa nama kitab suci
Al-Quran yang didalamnya berisi firman Allah? Orang seperti inilah jika memang
terbukti benar melakukan tindak korupsi, darahnya halal mengalir.
Saya menyadari, dalam
menulis artikel ini, saya benar-benar subjektif. Pikiran saya dipenuhi rasa
benci dan jijik dengan perilaku para pelaku korupsi pengadaan kitab suci Islam
ini. Kemarahan saya meluap bak larva letusan gunung api yang siap menerjang.
Bukan bermaksud menjadi provokator, melainkan hanya ingin mengetuk pintu hati,
bahwa kejatahan kian parah terjadi di negeri ini.
Lalu, apa yang bisa kita
lakukan? Pertanyaan klasik, mudah sekali diucapkan, namun sulit menemukan
jawabnya. Mari coba kita renungkan, apa yang bisa kita lakukan?.
Mengutip sebuah hadist, Rosulullah
Muhammad SAW pernah bersabda yang artinya “Barang siapa yang melihat
kemungkaran, maka rubahlah dengan tangan, jika tak bisa, maka rubahlah dengan
lisan, jika masih tak bisa, maka ingkarilah kemungkaran yang kalian lihat dengan
hati”, Hadist tersebut memiliki penafsiran kurang lebih sebagai berikut, Pertama, mereka yang wajib menghalau
kemunkaran dengan tangan, yaitu para penguasa. Kedua, yang melalui lisan, yaitu
para ulama. Ketiga, yang melalui hati yaitu orang kebanyakan.
Lalu termasuk kedalam bagian
mana kita? Sebenarnya kita memiliki kemampuan dalam ketiga pilihan
tersebut. Bukan hanya penguasa yang
dapat menghalau kemungkaran dengan tangan atau kekuasaan. Kita sebagai orang
tua, guru, sesepuh, juga memiliki kekuasaan untuk mencegah kemungkaran. Minimal
dalam lingkup kecil keluarga. Karena dari kehidupan berkeluarga itulah, pondasi
dan nilai-nilai moral pertama dimulai. Bagaikan bangunan, apabila pondasinya
kokoh dan kuat, maka seberapapun besar angin yang menerpa, ia tak akan pernah
goyah. Begitu juga dengan moral generasi penerus yang sekarang tengah kita
gembleng, apabila kita salah dalam mendidik dan memberikan pondasi yang lemah,
maka dapat dipastikan kelak mereka akan mudah sekali goyah.
Namun pendidikan moral dalam
lingkup keluarga saja belum cukup. Kita lihat yang terjadi sekarang, banyak
koruptor berasal dari keluarga baik-baik. Tidak jarang mereka yang mendalami
agama, baik saat studi ataupun nyantri. Jadi
jangan heran jika sekarang banyak orang tampak agamis, tapi memiliki moral
bejat. Semua itu berkat pergaulan yang sekarang lebih mengedepankan sifat hedonism.
Virus-virus itulah yang membuat seseorang rela melakukan apa saja, demi
memenuhi nafsunya.
Moralitas bangsa kita
semakin bejat, dimana agama yang dapat meredam semua aspek kejatahan sudah
ditinggalkan. Bahkan lebih parah lagi, dihina di depan mata. Kasus korupsi yang
melibatkan Zulkarnaen, adalah salah satu bukti bahwa agama sudah tidak
dipandang sebagai sesuatu yang sacral. Korupsi uang Negara mungkin memang
jahat, tapi korupsi pengadaan kitab suci al-Quran itu lebih dari bejat. Bagaimana
tidak, jika imam masjid istiqlal mencontohkan, mencuri di rumah warga dengan
mencuri di kantor polisi. Tentu saja hukuman mencuri di kantor polisi akan
mendapat hukuman yang lebih berat.
Umat Islam khususnya dan
bangsa Indonesia patut prihatin dengan kasus ini. Semoga ini menjadi kasus
terakhir yang melecehkan Agama. Juga kasus terakhir tentang perjalanan para bajingan tengik yang selalu saja menyengsarakan rakyat. Kita boleh
saja bermimpi tentang masa depan Indonesia. Hanya ada dua pilihan, menjadi
bangsa maju jika korupsi berhasil diberantas, dan menjadi bangsa terpuruk dan
gagal apabila koruptor masih leluasa menjalankan perannya. Terserah kita
memilih yang mana? Tentu saja pertanyaan yang tak perlu dijawab bukan?.
0 komentar:
Posting Komentar