Minggu, 08 Juli 2012

Menanti Kedatangan Satrio Piningit


Gegap gempita Pilpres 2014 sudah terasa. Beberapa orang dengan keyakinan tinggi telah terbuka menyatakan di depan umum siap menjadi calon pemimpin negeri ini. Sebut saja Aburizal Bakrie, melalui bendera Golkar, ia telah mengumumkan dirinya maju sebagai salah satu calon Presiden di Pilpres 2014. Selain itu, banyak nama juga ikut disebut-sebut bakal kuat ikut bersaing, seperti Megawati, Jusuf Kalla, Prabowo Subianto, Ani Yudhoyono, Surya Paloh, dan lain sebagainya.
Pencoblosan memang baru akan dilangsungkan 2 tahun lagi, namun kampanye sudah start mulai sekarang. Perlombaan diawali dari berbagai kegiatan partai untuk memunculkan tokoh yang diusung ke permukaan. Tak mau ketinggalan, media juga berperan menjadikan isu Pilpres sebagai isu yang selalu panas untuk dimunculkan. Walau ada juga media yang menjadi kendaraan kampanye para calon Presiden.
Sudah bukan barang baru lagi, ketika media yang notebene adalah sebuah instansi yang seharusnya bebas, tidak berpihak, netral dan independen, sekarang menjadi “kuda perang” yang menjanjikan bagi segelintir orang untuk memuluskan missi kampanyenya. Setiap media bersaing mengenalkan kepada publik calon yang ternyata adalah pemilik saham terbesar dari media tersebut. Benar memang pernyataan Louis Althusser, bahwa media sesungguhnya berada di tengah realitas sosial yang sarat dengan berbagai kepentingan, konflik, dan fakta yang kompleks dan beragam.  Media, dalam hubungannya dengan kekuasaan, menempati posisi strategis, terutama karena anggapan akan kemampuannya sebagai sarana legitimasi. Media massa sebagaimana lembaga-lembaga pendidikan, agama, seni, dan kebudayaan merupakan bagian dari alat kekuasaan Negara yang bekerja secara idiologis guna membangun kepatuhan khalayak terhadap kelompok yang berkuasa (ideological states apparatus).
Media dengan berbagai cara, seolah ingin menampilkan sesuatu yang dapat menjadikan masyarakat percaya terhadap apa yang ia beritakan. Masyarakat telah berhasil diformat seleranya oleh media. Seperti yang dikatakan Redi Panuju, Berita yang menegangkan yang tergolong “bad News” mempunyai empat efek pada komunitas yang berbeda karakteristiknya: salah satunya adalah ada sekelompok masyarakat yang terkena efek pengkondisian (conditioning). Artinya, secara perlahan lahan individu individu akan diformat seleranya, minatnya, cara berpikirnya, dan sebagainya itu oleh media. Pembentukan opini publik itu, digiatkan sedemikian rupa, sehingga masyarakat tergiring pandangannya tentang sesuatu hal, semisal citra calon Presiden. Mereka para calon presiden itu seolah seperti dewa, dengan mulut manis menebar janji. Namun sebenarnya, adalah serigala yang siap memangsa bangsa ini.
Selain media, lembaga-lembaga survey pun giat melakukan jajak pendapat kepada masyarakat. Walau ada yang meragukan jejak pendapat yang dilakukan oleh lembaga-lembaga survey tersebut. Keraguan itu tidak terlepas dari ketidak independennya mereka dalam melaksanakan survey. Bisa jadi, survey itu dibuat hanya untuk meningkatkan elektabilitas para calon.
Kita lihat saja di berbagai media, baik media massa ataupun elektronik. Berbagai lembaga survey gencar memberitakan tentang hasil survey mereka. Masing-masing mengklaim bahwa hasil survey yang dilakukan adalah valid dengan standart error 0-3 persen. Dan anehnya, survey mereka walaupun melakukan survey sama terhadap bangsa indonesia, namun hasilnya berbeda. Ada yang si A menempati urutan teratas dalam hasil survey, Si B yang paling rendah dan sebaliknya.
Peristiwa-peristiwa di atas, sedikit banyak memang berhasil memberikan efek kepada masyarakat. Namun bukan hanya efek positif, masyarakat juga sekarang pusing dan bingung terhadap siapa yang akan mereka percaya untuk menjabat sebagai RI 1?. Apatis adalah jawaban dari kebingunan itu. Masyarakat kini seolah sudah tidak percaya dengan para pemimpin dengan kegagalan- demi kegagalan yang dirasakan. Semboyan siapa saja yang memimpin, pasti hasilnya sama saja, terekam jelas di pikiran masyarakat saat ini.
Anehnya lagi, mereka yang akan mencalonkan dirinya sebagai presiden di Pilpres 2014 kebanyakan adalah mereka orang-orang lama. Singkatan IIS (itu-itu saja) sepertinya memang akan kembali terjadi di setiap Pemilihan di Indonesia. Tak ada orang baru, negarawan baru, calon pemimpin baru yang berani tampil dengan gaya baru kepemimpinannya.
Satrio Piningit, istilah untuk seseorang yang ditunggu-tunggu belum juga muncul di negeri ini. Banyak kalangan yang memperkirakan bahwa kehadiran Satrio Paningit tersebut disaat Indonesia menghadapi kerusuhan besar. Setelah ia menjadi pemimpin, maka akan membawa bangsa ini lepas dari kerusuhan itu dan menuju kepada kemakmuran bangsa dan kejayaan seperti pada masa kerajaan Majapahit ataupunSriwijaya pada masa silam.
Lalu timbul pertanyaa, siapakah sang Satrio Piningit ini?. Apakah ia benar nyata, atau hanya dalam dongeng karangan Ronggo Warsito?. Mungkin itulah pertanyaan yang jawabnya selalu ditunggu bangsa ini. Kehadiran sang Kesatria memang sudah dinanti, dimana saat ini Indonesia sedang mengalami sebuah kerusuhan yang besar. Jika ramalan itu benar, maka seharusnya disaat seperti inilah ia muncul dan menjadi pemimpin yang akan membawa kemakmuran dan kejayaan bangsa ini.
Lalu, apakah jiwa Satrio Piningit ini sudah terdapat pada Megawati, Prabowo, Surya Paloh, Jusuf Kalla, Ani, atau bahkan Sri Sultan HB X?. Entahlah. Yang jelas, saat ini indonesia tidak hanya membutuhkan seorang politikus, bukan tentara, bukan kyai, namun seorang negarawan sejati. Seorang Satrio Piningit yang kelak membawa kebangkitan kembali bangsa yang hampir gagal ini. Siapapun orangnya, ia akan selalu dinanti.

1 komentar:

Assalamu'alaikum poro sederek saksedayanipun ingkang kawulo hormati... Perjalanan dalam perjuangan seorang hamba Allah
" Satria Pininggit Cakrabuana Wahyu Cakraningrat Putra Pujangga "
Tuk Ibu Pertiwi Indonesia Persada... Aamiin

http://youtu.be/tlfqs6kgf-g

Posting Komentar