Gegap gempita Pilpres
2014 sudah terasa. Beberapa orang dengan keyakinan tinggi telah terbuka
menyatakan di depan umum siap menjadi calon pemimpin negeri ini. Sebut saja
Aburizal Bakrie, melalui bendera Golkar, ia telah mengumumkan dirinya maju
sebagai salah satu calon Presiden di Pilpres 2014. Selain itu, banyak nama juga
ikut disebut-sebut bakal kuat ikut bersaing, seperti Megawati, Jusuf Kalla,
Prabowo Subianto, Ani Yudhoyono, Surya Paloh, dan lain sebagainya.
Pencoblosan memang
baru akan dilangsungkan 2 tahun lagi, namun kampanye sudah start mulai
sekarang. Perlombaan diawali dari berbagai kegiatan partai untuk memunculkan
tokoh yang diusung ke permukaan. Tak mau ketinggalan, media juga berperan menjadikan
isu Pilpres sebagai isu yang selalu panas untuk dimunculkan. Walau ada juga
media yang menjadi kendaraan kampanye para calon Presiden.
Sudah bukan barang
baru lagi, ketika media yang notebene adalah sebuah instansi yang seharusnya
bebas, tidak berpihak, netral dan independen, sekarang menjadi “kuda perang”
yang menjanjikan bagi segelintir orang untuk memuluskan missi kampanyenya. Setiap
media bersaing mengenalkan kepada publik calon yang ternyata adalah pemilik
saham terbesar dari media tersebut. Benar memang pernyataan Louis Althusser,
bahwa media sesungguhnya berada di
tengah realitas sosial yang sarat dengan berbagai kepentingan, konflik, dan
fakta yang kompleks dan beragam. Media, dalam hubungannya dengan
kekuasaan, menempati posisi strategis, terutama karena anggapan akan
kemampuannya sebagai sarana legitimasi. Media massa sebagaimana lembaga-lembaga
pendidikan, agama, seni, dan kebudayaan merupakan bagian dari alat kekuasaan
Negara yang bekerja secara idiologis guna membangun kepatuhan khalayak terhadap
kelompok yang berkuasa (ideological states apparatus).
Media dengan berbagai cara, seolah ingin menampilkan sesuatu yang dapat
menjadikan masyarakat percaya terhadap apa yang ia beritakan. Masyarakat telah berhasil diformat seleranya oleh media.
Seperti yang dikatakan Redi Panuju,
Berita yang menegangkan yang tergolong “bad News” mempunyai empat efek
pada komunitas yang berbeda karakteristiknya: salah satunya adalah ada
sekelompok masyarakat yang terkena efek pengkondisian (conditioning).
Artinya, secara perlahan lahan individu individu akan diformat seleranya,
minatnya, cara berpikirnya, dan sebagainya itu oleh media.
Pembentukan opini publik itu, digiatkan sedemikian rupa,
sehingga masyarakat tergiring pandangannya tentang sesuatu hal, semisal citra
calon Presiden. Mereka para calon presiden itu seolah seperti dewa, dengan
mulut manis menebar janji. Namun sebenarnya, adalah serigala yang siap memangsa
bangsa ini.
Selain media, lembaga-lembaga survey pun giat melakukan jajak pendapat
kepada masyarakat. Walau ada yang meragukan jejak pendapat yang dilakukan oleh
lembaga-lembaga survey tersebut. Keraguan itu tidak terlepas dari ketidak
independennya mereka dalam melaksanakan survey. Bisa jadi, survey itu dibuat
hanya untuk meningkatkan elektabilitas para calon.
Kita lihat saja di berbagai media, baik media massa ataupun elektronik. Berbagai
lembaga survey gencar memberitakan tentang hasil survey mereka. Masing-masing
mengklaim bahwa hasil survey yang dilakukan adalah valid dengan standart error
0-3 persen. Dan anehnya, survey mereka walaupun melakukan survey sama terhadap
bangsa indonesia, namun hasilnya berbeda. Ada yang si A menempati urutan
teratas dalam hasil survey, Si B yang paling rendah dan sebaliknya.
Peristiwa-peristiwa di atas, sedikit banyak memang berhasil memberikan efek
kepada masyarakat. Namun bukan hanya efek positif, masyarakat juga sekarang
pusing dan bingung terhadap siapa yang akan mereka percaya untuk menjabat
sebagai RI 1?. Apatis adalah jawaban dari kebingunan itu. Masyarakat kini
seolah sudah tidak percaya dengan para pemimpin dengan kegagalan- demi
kegagalan yang dirasakan. Semboyan siapa saja yang memimpin, pasti hasilnya
sama saja, terekam jelas di pikiran masyarakat saat ini.
Anehnya lagi, mereka yang akan mencalonkan dirinya sebagai presiden di
Pilpres 2014 kebanyakan adalah mereka orang-orang lama. Singkatan IIS (itu-itu
saja) sepertinya memang akan kembali terjadi di setiap Pemilihan di Indonesia. Tak
ada orang baru, negarawan baru, calon pemimpin baru yang berani tampil dengan
gaya baru kepemimpinannya.
Satrio Piningit, istilah untuk seseorang yang ditunggu-tunggu belum juga
muncul di negeri ini. Banyak kalangan yang memperkirakan bahwa kehadiran Satrio
Paningit tersebut disaat Indonesia menghadapi kerusuhan besar. Setelah ia
menjadi pemimpin, maka akan membawa bangsa ini lepas dari kerusuhan itu dan
menuju kepada kemakmuran bangsa dan kejayaan seperti pada masa kerajaan Majapahit ataupunSriwijaya pada masa silam.
Lalu timbul pertanyaa, siapakah sang Satrio Piningit ini?. Apakah ia benar
nyata, atau hanya dalam dongeng karangan Ronggo Warsito?. Mungkin itulah
pertanyaan yang jawabnya selalu ditunggu bangsa ini. Kehadiran sang Kesatria
memang sudah dinanti, dimana saat ini Indonesia sedang mengalami sebuah
kerusuhan yang besar. Jika ramalan itu benar, maka seharusnya disaat seperti
inilah ia muncul dan menjadi pemimpin yang akan membawa kemakmuran dan kejayaan
bangsa ini.
Lalu, apakah jiwa Satrio Piningit ini sudah terdapat pada Megawati,
Prabowo, Surya Paloh, Jusuf Kalla, Ani, atau bahkan Sri Sultan HB X?. Entahlah.
Yang jelas, saat ini indonesia tidak hanya membutuhkan seorang politikus, bukan
tentara, bukan kyai, namun seorang negarawan sejati. Seorang Satrio Piningit
yang kelak membawa kebangkitan kembali bangsa yang hampir gagal ini. Siapapun orangnya,
ia akan selalu dinanti.
1 komentar:
Assalamu'alaikum poro sederek saksedayanipun ingkang kawulo hormati... Perjalanan dalam perjuangan seorang hamba Allah
" Satria Pininggit Cakrabuana Wahyu Cakraningrat Putra Pujangga "
Tuk Ibu Pertiwi Indonesia Persada... Aamiin
http://youtu.be/tlfqs6kgf-g
Posting Komentar