Jangan Bercerai-Berai Karena Perbedaan

Perbedaan memang tidak mungkin tidak terjadi, selama manusia terus berfikir. Maka perbedaan tersebut dapat menjadi sebuah rahmat, apabila dengan perbedaan tersebut, akan menumbuhkan rasa saling hormat-menghormati dan menghargai. Namun perbedaan akan menjadi adzab, apabila dalam diri kita tertanam sebuah virus bernama fanatic sempit.

Pelajaran Dari Romo Carolus

Charles Patrick Edwards Burrows,OMI adalah nama kecil sang peraih penghargaan tersebut. Ia adalah seorang Pastor di Paroki St Stephanus Cilacap. Setelah kedatangannya di Indonesia pada tahun 1973, ia tertarik untuk mengabdikan diri kepada masyarakat di Kampung Laut Kabupaten Cilacap.

Rintihku

Aku menatap dalam lara Kembali menitikkan air mata Ia tak berdosa Namun aku tega menjatuhkannya Butir putih itu Menghujam deras menghancurkan hidupku Remuk sudah hati menatap cahya Mu Yang terang, namun dihatiku kau gelap Tertutup nafsuku, egoisku, dan dosaku.

Tapak-Tapak Suci, Sebuah Kisah Perjalanan Pemuda Desa

“ Bukalah surat ini ketika kau berada di antara dua pulau, saat kau terombang ambing di tengah lautan, dan saat itu kau akan merasakan betapa aku menyayangimu”..

La Tahzan, Saudaraku!

La Tahzan, Saudaraku. Kecelakaan yang menimpa saudara kita penumpang Shukoi Superjet 100 memang sangatlah tragis. Kita semua bersedih. Namun jangan kita terlarut dalam kesedihan. Yakin bahwa Allah Tuhan Yang Maha Esa telah merencanakan hal dibalik itu semua.

Senin, 29 Oktober 2012

Narasi Kecil Melawan Lupa

Judul Buku      : Melawan Lupa;Narasi-Narasi Komunitas Taman 65 Bali
Editor              : Agung Wardana & Roberto Hutabarat
Tahun Cetak    : 2012
Penerbit           : Taman 65 Press
Tebal               : 184 Halaman
Resentator       : Kenthip Pujakesuma


Leganya Hatiku mendengarnya, karena kegelisahanku terjawab sudah..
Namun aku tidak peduli dengan sejarah kakekku yang mungkin beringas saat itu…
Aku berpikir kala itu hanya ada dua pilihan yang sangat dilematis
….Membunuh atau Dibunuh….
Mungkin saja kakekku memilih untuk membunuh
Namun, di akhir hayatnya justru dia yang harus mati terbunuh

Penggalan puisi berjudul ??? karya Indra Kusuma ini adalah salah satu dari tulisan tentang kengerian gerakan G 30 S PKI yang terjadi di Bali. Tulisan tulisan itu tertuang dalam sebuah buku berjudul Melawan Lupa; Narasi-Narasi Komunitas Taman 65 Bali. Buku setebal 184 halaman terbitan Taman 65 Press ini merupakan salah satu dari sekian banyak buku yang mencoba menguak kembali peristiwa masa kelam masa lalu.

Peristiwa G 30 S PKI adalah salah satu Peristiwa kelam yang saat ini hampir dilupakan oleh bangsa Indonesia. Bangsa ini memang dikenal sebagai bangsa pelupa, lupa atas dosa masa lalu, lupa atas kejadian penyimpangan masa lalu dan melupakan peristiwa kelam masa lalu.

 Buku berjudul Melawan lupa, Narasi-Narasi Komunitas Taman 65 Bali ini memang mengupas secara mendetail tentang peristiwa G 30 S PKI yang terjadi 65 tahun silam. Didalamnya terdapat cerita-cerita tentang bagaimana keberingasan sejarah kelam bangsa Indonesia waktu itu. Beragam peristiwa diceritakan oleh anggota Komunitas Taman 65 Bali yang merupakan keluarga dari peristiwa Gestok tersebut. Tidak hanya keluarga korban saja, melainkan dari keluarga Tameng.

Buku ini mencoba mengingatkan kembali kepada pembaca, untuk tidak menerima begitu saja pernyataan yang ditulis dalam buku sejarah yang beredar selama ini. Anggapan bahwa sejarah yang bergulir saat ini merupakan penipuan oleh pemerintah pada waktu itu. Saat itu tidak ada seorang pun berani menentangnya, karena mempertanyakan tragedy 65 saja sudah dianggap melecehkan “sejarah resmi” bikinan Negara. Bangsa ini digiring dalam sebuah ingatan yang mistis tentang kepalsuan tersebut dengan cara penataran P4, kurikulum sekolah, museum, dan film yang wajib ditonton oleh setiap warga Indonesia.

 Tindakan pendiaman atau membuat orang lupa, menjadi tindakan sistematis yang dilakukan oleh penguasa waktu itu. Hal ini dimulai ketika para pelajar di sekolah diharuskan untuk menerima “asupan” dari penguasa akan sejarah yang berjalan di Indonesia. Upaya untuk meluruskan cara penulisan catatan atau sejarah inilah yang di giatkan oleh para penulis buku Menolak Lupa;. Narasi-Narasi Komunitas Taman 65 Bali. Misalnya tentang kekerasan atau pembantaian politik G30 S PKI. Sejarahnya hanya tersedia versi penguasa lengkap dengan versi pembenarannya. Perlu ada upaya untuk menggali, mengkaji dan menulis ulang perjalanan sejarah Negara, bangsa dan masyarakat negeri ini.

Buku setebal 184 halaman ini cukup jelas menggambarkan sejarah versi komunitas taman 65 Bali. Meski buku ini tidaklah dapat mewakili kompleksitas sejarah kekerasan politik 1965-1966 dan melakukan simplifikasi atas dinamika taman 65 berserta nilai nilai yang hidup dalam berkomunitas. Namun penulis berusaha untuk menyajikan pemikiran dan refleksi atas hubungan personal mereka dengan sejarah. Untuk itulah, tulisan buku ini dapat dikatakan sebagai narasi kecil untuk membongkar sejarah yang saat ini sudah dianggap mapan. Harapannya bertujuan untuk membongkar narasi sejarah yang sepertinya dengan sengaja membungkam kebenaran sejarah untuk me-lupa-kan ingatan masyarakat tentang kekejaman waktu itu.

Rabu, 24 Oktober 2012

Jalan Terjal Menuju Tanah Suci

Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan.
(Qs. al-Hajj/22:78)

 Ayat di atas sepertinya tidak berlaku saat ini. Di musim haji tahun 2012 ini, puluhan ribu umat Islam mengalami kesusahan dan kesempitan untuk menjalankan perintah agama, yakni berangkat ibadah Haji.

Hartati (65), warga Desa Batursari, Kecamatan Mranggen, Kabupaten Demak ini masih saja mengenakan pakaian Hajinya, meski gagal berangkat ke tanah suci. Hartati adalah salah satu korban betapa bobroknya penyelenggaraan haji di Indonesia. Ia tidaklah sendirian, puluhan ribu calon jemaah haji juga mengalami nasib yang sama dengan Hartati. Tidak hanya gagal berangkat haji, ada juga diantara calon jemaah yang ditipu oleh biro-biro haji “nakal” dengan membawa lari uang mereka.

Hartati masih saja termenung. Sesekali, air mata menetes berlinang membasahi bumi. Dalam dunia khayalnya, saat ini ia bersama ribuan orang yang lain, sedang khusyuk mengikuti segala ritual pelaksanaan Haji di Tanah suci. Tangannya sedang meraba dan mencium Hajar Aswad yang ada di dinding Ka’bah. Sementara matanya, memandang keagungan Tuhan dengan berbagai keindahan kota Makkah dan Madinah serta indahnya peninggalan para Nabi. Namun semua yang telah lama ia impikan itu sirna sudah ketika Hartati tersadar bahwa kenyatannya sekarang ia masih duduk di rumahnya.

Malu dan sedih, mungkin itulah yang dirasakan oleh Hartati dan mereka yang mengalami nasib yang sama. Setelah sekian tahun menabung untuk keberangkatan ke Tanah Suci Mekah, setelah uang terkumpul, namun gagal berangkat. Penantian yang lama menjadi sia-sia. Dan yang paling menyedihkan lagi, uang yang mereka kumpulkan untuk berangkat Haji tersebut,ada juga yang raib dibawa kabur oleh biro haji yang nakal. Astaghfirullah, meminjam istilah Gus Mus, semua itu merupakan penderitaan yang benar-benar sempurna!.

Belum rampung kekecewaan dan kesedihan yang dihadapi, mereka calon haji yang gagal berangkat tersebut juga harus menanggung malu. Malu pasti menghantui, setelah keberangkatannya ke tanah suci, sudah tersebar luas ke seluruh masyarakat penjuru kampung namun pada akhirnya tidak terealisasi.  Ucapan miring dan cemoohan pasti akan keluar dari mulut tetangga yang kurang berempati terhadap mereka. Bias saja, mereka dijuluki Haji “gatot” kepanjangan dari Haji yang gagal total.

Kasus demi kasus dalam pelaksanaan ibadah Haji Indonesia terjadi setiap tahun. Beragam kasus selalu saja muncul di permukaan sesaat atau sebelum ibadah tahunan itu dilaksanakan. Mulai dari kasus penipuan oleh biro travel Haji, penundaan keberangkatan, hingga sarana dan prasarana yang belum memuaskan menjadi PR bagi pemerintah.

Buruknya penanganan kebijakan dan manajemen Haji di Indonesia membuat ribuan orang harus menghapus mimpi menuju tanah suci. Tak jarang dari mereka menjadi stress dan gila karena sudah habis semua barang berharga dijual untuk dana keberangkatan ibadah haji.

Sepertinya, pihak Kementerian Agama yang bertanggung jawab terhadap pelaksanaan haji di Indonesia, belum juga belajar dari berbagai masalah yang selalu dihadapi. Karena setiap tahun, masalah yang muncul hamper sebagian besar sama dengan pelaksanaan haji di tahun yang sudah lalu. Jika mereka mau membuka hati, pasti kejadian serupa tak akan terulang lagi.

Semoga Kementerian Agama terutama Dirjen Haji dan Umrah mau berbenah dan segera menemukan solusi dari permasalahan yang dihadapi. Penindakan yang tegas terhadap Biro Haji yang tidak amanah harus segera dilakukan. Diberlakukannya sejenis akreditasi kepada Biro Haji adalah hal mutlak untuk meminimalisir penipuan berkedok haji. Selain tindakan eksternal, Dirjen Haji dan Umrah juga harus melakukan pembenahan internal instansi, untuk menghapus praktik korupsi yang sudah berkembang pesat di sana.

Jika hal ini tidak segera dilakukan, maka setiap tahun Instansi ini akan menjadi sorotan dan cemooh banyak orang. Indikasi korupsi yang terjadi sekarang, sudah cukup membuat malu dan gerah umat Islam di Indonesia. Bagaimana tidak, mereka yang ada di Dirjen Haji dan Umrah memiliki embel-embel haji di depan namanya, namun menipu calon haji. Hal yang ironis dan sepertinya sudah terbiasa terjadi di Negara gagal ini. Subhanallah, semoga mereka segera diberikan kesadaran. Amin.






Senin, 08 Oktober 2012

Permataku


Tak pernah kubayangkan memiliki permata seindah dirimu
Cahya yang terpancar dari rona wajah manismu
Buatku melayang

Dua hari terindah yang kulalui kemarin,
Tak 'kan bermakna tanpamu
Mereka hanya menjadi hari yang biasa aku lalui
Dalam kesendirian yang membosankan

Kau warnai setiap lekuk hidup yang kujalani
Hingga buatku tertawa
Meski hanya dua hari

Permataku
Setelah pertemuan itu,
Salahkah jika kini aku semakin mencintaimu
Dan berharap untuk selalu bersamamu?
 
Permataku
Aku hanya yakin, kau 'kan selalu disampingku
Saat dunia ini berantakan
Dan kelak,
Kau pun akan selalu di sisiku
Saat dunia memulai kehidupannya kembali 
Membimbing dan memapahku menuju sebuah kebahagiaan

Permataku,
Tetaplah kau menjadi permata indah yang kumiliki
Meski aku hanya sebongkah kerikil tak berarti

*Semarang, 6-7 Oktober 2012, bersama sang Putri Tidur.






Selasa, 25 September 2012

Mengurai Benang Kusut Generasi Tawur Indonesia

Dunia pendidikan kembali dirundung awan kelabu, setelah terjadi  tawuran antara siswa SMAN 6 dan SMAN 70 Jakarta di kawasan Bulungan - tak jauh dari Blok M Plaza - pada Senin (24/9/2012). Tak hanya tawuran biasa, kali ini, kembali satu nyawa terbuang sia-sia. Adalah Alawy Yusianto Putra, siswa SMA 6 kelas X berusia 15 tahun, tewas akibat terkena sabetan celurit di dadanya.

Peristiwa ini bukanlah pertama terjadi di kedua SMAN yang notabene adalah SMA favorit di wilayah Jakarta Selatan itu. Sudah berkali-kali, tawur antar kedua Sekolah Menengah Atas tersebut terjadi. Sampai-sampai, mantan Kapolrestro Jakarta Selatan, Kombes Imam Sugiyanto menyebut jalur antara SMAN 70 dan SMA 6 di Jalan Mahakam, Kebayoran Baru itu sebagai “Jalur Gaza”.

Jalur yang identik dengan wilayah rawan konflik  Palestina-Israel di Timur Tengah ini menurut Sugiyanto cocok untuk merepresentasikan bagaimana para siswa tersebut beradu adrenalin. Tentunya kita tidak perlu bangga dengan julukan tersebut. Karena prestasi tersebut bukanlah hal yang patut dibanggakan.

Tawuran sekelompok massa dengan pelaku manusia-manusia Indonesia sepertinya bisa dikatakan sudah menjadi budaya. Jika dihitung, sudah berapa korban yang menjadi tumbal dari tawuran tersebut. Tidak hanya kalangan remaja (Siswa dan Mahasiswa), masyarakat dan juga kelompok elit pun sepertinya terjangkit syindrom akut tentang budaya rimba ini.

Tentu diantara pelaku tersebut memiliki tujuan dan latar belakang yang berbeda-beda. Secara sosio-psikologis masa remaja merupakan masa  pencarian jati diri sekaligus eksistensinya ingin diakui. Namun sayangnya apa yang mereka persepsikan eksistensi tersebut tidak selamanya bukan merupakan hal-hal yang positif. Sebaliknya justru hal-hal yang negative contoh tawuran yang dilakukan, karena hal yang semacam itu lebih mudah untuk mendapatkan perhatian.

Sementara tawuran yang terjadi di kalangan elit politik, seringkali dilatarbelakangi oleh kepentingan yang menyangkut harga diri. Jika harga diri mereka terusik, maka tawuran adalah solusi untuk menyelesaikannya. Bukan tawuran secara fisik yang dilakukan, melainkan perang-perang kata, perang kebijakan, saling menjatuhkan dan sebagainya.

Tanggung jawab bersama
 Nasi telah menjadi bubur, nyawa telah hilang dari raga. Namun apakah kita akan diam saja dan membiarkan nyawa generasi penerus kita yang lain melayang?. Tentu saja tidak. Cukup sudah!. Semua pihak harus duduk bersama mencari solusi secepat mungkin. Bukan lagi mencari siapa yang bersalah, karena sampai kapanpun tidak akan selesai dengan upaya pengkambinghitaman dari kejadian ini.

Banyak kalangan yang menilai bahwa pihak sekolah yang patut disalahkan, karena tidak mengemban tugas dengan baik. Tentu tuduhan itu tak beralasan. Kadarwati, kepala sekolah SMAN 6 saat diwawancarai salah satu televisi swasta mengatakan bahwa pihak sekolah telah mengeluarkan kemampuan semaksimal mungkin untuk menekan perilaku negative dari siswanya. Bahkan, Kadarwati telah mengeluarkan atau men drop out puluhan siswanya yang telah melakukan pelanggaran berat. Selain itu, puluhan orang tua siswa juga telah mendapat surat teguran dari sekolah terkait kelakuan anak-anaknya.

Tidak hanya sekolah yang bertanggung jawab atas kejadian tragis ini, melainkan seluruh komponen pendidikan. Komponen tersebut meliputi siswa, keluarga, masyarakat, sekolah dan juga pemerintah. Keseluruhan komponen tersebut memiliki andil dalam membentuk karakter siswa. Apabila salah satu komponen tersebut tidak berjalan dengan baik, maka akan terjadi ketimpangan yang menyebabkan terjadinya konflik-konflik serupa.

Banyak solusi yang ditawarkan oleh para pakar pendidikan kita. Namun sebagai orang yang dahulu pernah mengalami kerasnya kehidupan tawuran, maka penulis menawarkan tiga buah solusi. Pertama penegakan hukum yang represif, kedua mengedepankan dialog dengan upaya pendekatan secara psikologis, dan terakhir dengan pemberian fasilitas untuk mereka berekspresi.

Pertama, pemerintah melalui lembaga hukumnya memiliki peran penting dalam menuntaskan kasus tawuran antar siswa ini. Masih adanya tawuran yang terjadi selama ini, dinilai karena hukum belum menjalankan tugas dan fungsinya dengan baik. Banyak pelaku kriminal dari kalangan siswa dalam tragedi tawuran masih berlindung aman di bawah ketiak orang tua mereka. Hukum dirasa lemah dalam pemberian punishment kepada pelaku tawuran. Berkedok perlindungan anak, hukum dengan mudah melepas para pelaku kekerasan dalam dunia pendidikan tersebut.

Padahal, jika kita mengingat perkataan Jeremy Bentham (1748-1832), seorang ahli filsafat hukum yang hidup semasa Revolusi Amerika Serikat dan Revolusi Prancis, bahwa hukum memiliki manfaat yang besar dalam menyelesaikan konflik-konflik yang terjadi dalam masyarakat. Hukum juga memiliki cara-cara yang efektif dalam menyelesaikan konflik tersebut sehingga mampu menciptakan kebahagiaan terbesar kepada sebanyak mungkin orang (the greatest happinest for the greatest numbers).

Pemberian hukuman yang setimpal memungkinkan akan menimbulkan efek jera, baik kepada pelaku maupun siswa lain yang rentan melakukan tawuran. Rasa takut pasti akan menghantui, sehingga mereka pasti akan berpikir dua kali untuk ikut beradu otot di jalanan. Mereka pasti tidak mau menjadi seperti teman mereka yang di drop out dari sekolah dan meringkuk di dalam sel tahanan.

Selain tindakan hukum yang represif di atas, langkah kedua yakni upaya pendekatan secara psikologis juga sangat perlu dilakukan. Mengedepankan aspek berdialog kepada mereka adalah hal mutlak untuk mengetahui apa akar permasalahan dari siswa. Baik keluarga, sekolah, masyarakat dan juga pemerintah dirasa kurang mau mendengar apa yang menjadi permasalahan di antara mereka. Yang sering terjadi, vonis tak diinginkan dilayangkan kepada mereka secara langsung, tanpa mau mendengar apa alasan mereka berperilaku seperti itu.

Ketiga, Memberikan fasilitas yang memadai bagi generasi muda itu untuk mengekspresikan dirinya, tentu dengan pengawasan dari berbagai pihak. Tidak menutup kemungkinan, tindak tawuran juga diakibatkan kuranya fasilitas yang memadai bagi mereka untuk berekspresi.

Tiga pendekatan di atas, harus segera dilakukan untuk mengurai permasalahan yang terjadi, sehingga dapat menekan angka tawuran di Indonesia. Sebagai generasi penerus bangsa, tidak sepantasnya mereka brutal dan mengedepankan otot dibanding otak. Sudah bukan saatnya lagi kita bangga dengan hal-hal yang negative. Belajar dengan rajin dan melakukan segala hal yang bermanfaat adalah tugas dan tanggungjawab mereka sebagai siswa, generasi penerus bangsa. Karena dipundak mereka, tersemat sebuah harapan akan masa depan bangsa.

Mari kita berusaha untuk menjadi generasi yang berkualitas, karena generasi tersebut, adalah aset bagi bangsa ini di masa yang akan datang. Rubah Hartanas (Hari Tawur Nasional) dengan Harpenas (Hari Prestasi Nasional). Busungkan dadamu, tatap masa depan dengan segudang prestasi yang membanggakan, bukan bangga disebut sebagai generasi tawur. Karena generasi tawur, atau apapun namanya, kalah menang akan jadi abu.

Rabu, 12 September 2012

Pemimpin, Berhati-Hatilah Dalam Berbicara!

Beberapa waktu lalu, tepatnya pada minggu malam (9/9), dunia kesenian digemparkan oleh pernyataan Gubernur Jawa Tengah, Bibit Waluyo. Dalam sambutannya pada acara The 14th Merapi And Borobudur Senior’s Amateur Golf Tournament Competing The Hamengku Buwono X Cup, Bibit menyatakan bahwa kesenian Jaran Kepang (kuda lumping) adalah kesenian terjelek di dunia. “ Kesenian Jaran Kepang adalah kesenian terjelek di dunia, Walikota Magelang sungguh memalukan, menampilkan kesenian tersebut untuk acara seperti ini” katanya.

Pada acara yang digelar di Borobudur International golf and Country Club tersebut, dihadiri oleh beberapa pejabat penting. Bukan hanya dari pejabat dalam negeri seperti Gamawan Fauzi dan pejabat penting lainnya, melainkan dari perwakilan Negara-negara lain. Pada kesempatan tersebut, kesenian Jaran Kepang dari sanggar Kartika Harapan mendapat kesempatan tampil memberikan hiburan kepada pengunjung acara tersebut.

Namun bukan tepuk tangan dan pujian yang didapat, melainkan “kopi pahit” dari Gubernur Jawa Tengah Bibit Waluyo. Dalam sambutannya, ia menilai bahwa kesenian Kuda Kepang adalah kesenian terjelek sedunia. Dan Walikota Magelang dikatakannya memalukan karena menampilkan kesenian ini. Sontak pernyataan Bibit membuat geram berbagai pegiat kesenian, terutama kesenian Kuda Kepang. Berbagai anggapan pun dilontarkan kepada sang Gubernur. Pagi harinya, sebagian besar media cetak di Jawa Tengah memberitakan kejadian  penuh kontroversi tersebut.

Kurang Arif

Meskipun pada acara Gerakan Nasional Indonesia Membaca pada Senin (10/9) di Semarang, Bibit mengklarifikasi pernyataannya. Bahwa yang dia maksud bukan kesenian Kuda Kepang secara keseluruhan, melainkan khusus kepada sanggar Kartika Harapan yang malam itu tampil. Menurut Bibit, masih banyak kesenian Kuda Kepang yang lebih bagus di Jawa Tengah dari Kartika Harapan yang dinilainya buruk saat tampil waktu itu. “Masa Peralatannya di ikat pakai Rafia begitu?” katanya.

Selain itu, Bibit juga mengatakan bahwa pada kesempatan seperti itu, harus ditampilkan kesenian khas Jawa Tengah dengan sebagus dan semaksimal mungkin. Mengingat Jawa Tengah sedang gencar-gencarnya mempromosikan Visit Jawa Tengah 2013, dan salah satu yang dibanggakan dari Jawa Tengah adalah seni budayanya, sehingga harus digarap secara lebih serius.

Meskipun begitu, nasi telah menjadi bubur. Pernyataan Bibit Waktu itu telah melukai hati para pegiat seni. Hasilnya, para pegiat seni Kuda Kepang dari berbagi daerah melakukan aksi simpatik dengan cara turun ke Jalan. Seperti yang dilakukan oleh Pegiat seni yang tergabung Komunitas 'Ebeg' (kuda kepang) Banyumas, mereka melakukan aksi protes terhadap pernyataan Bibit di Alun-Alun Purwokerto, Kabupaten Banyumas.

Selain Ebeg Banyumas, kemarin (12/9) Kelompok Jathilan Rukun Agawe Santoso (RAS) Krido Turonggo dari Magelang juga melakukan aksi simpatik di depan kantor Gubernur Jateng di Semarang. Aksi itu diikuti oleh sekitar 50 orang berpakaian lengkap pemain Kuda Kepang. Inti dari aksi tersebut menuntut Bibit meminta maaf kepada masyarakat terutama pegiat kesenian Kuda Kepang atas pernyataannya.

Sebagai seorang pemimpin, rasanya kurang arif jika Bibit mengluarkan pernyataan seperti itu. Apalagi hal itu dilakukan di depan umum. Jika memang kesenian Kuda Kepang yang ditampilkan oleh Kartika Harapan kurang bagus, tetap harus diberikan apresiasi. Karena mereka telah menguri-uri (menjaga) kesenian yang sangat berharga ini sampai sekarang. Jika memang ada yang perlu di perbaiki, maka dibicarakan di belakang layar. Dengan mendatangi mereka dan memberikan motivasi agar kelak lebih baik lagi. Hal itu pasti akan diterima oleh mereka, dan mereka juga merasa diperhatikan dan diayomi oleh pemimpinnya. Pasti mereka akan segera berbenah memperbaiki kesalahan tersebut.

Namun, jika hal itu dilakukan di depan umum, seperti yang telah dilakukan, pasti malu dan marah yang dirasakan oleh mereka para pegiat seni. Mereka yang telah susah payah menjaga kesenian agar tetap lestari, menjadi kecil hati dan merasa tidak dihargai. Akibatnya, mereka akan meninggalkan kesenian itu. Akhirnya, hanya ada dua pilihan yang akan terjadi pada kesenian Indonesia, jika tidak mati, ya di klaim oleh bangsa lain seperti yang sudah-sudah.

Untuk itulah, mari kita mencoba mengambil hikmah dari kejadian ini. Sebagai pemimpin, selayaknya kita memberikan apresiasi kepada mereka para seniman dan pegiat seni, karena telah menjaga kelestarian budaya Indonesia. Bentuk perhatian tersebut tidak hanya berupa ucapan terima kasih tanpa langkah kongkret, melainkan juga pemenuhan akan fasilitas sarana dan prasarana yang dibutuhkan oleh mereka. Apabila diperhatikan dengan serius, maka kesenian Indonesia akan menjadi kesenian yang sangat agung dan indah.

Semoga, ini menjadi pernyataan terakhir yang keluar dari para pemimpin kita. Bagaimanapun dan sampaikapanpun, kesenian tradisional Indonesia adalah kesenian terbaik sedunia. Dan kita mesti bangga dengan kesenian itu. Dan dengan rasa bangga, pasti dengan sendirinya, kita akan melestarikan kesenian bangsa ini sampai anak cucu. Kalau bukan kita yang bangga, siapa lagi?, kalau bukan sekarang melestarikannya, kapan lagi?