Jangan Bercerai-Berai Karena Perbedaan

Perbedaan memang tidak mungkin tidak terjadi, selama manusia terus berfikir. Maka perbedaan tersebut dapat menjadi sebuah rahmat, apabila dengan perbedaan tersebut, akan menumbuhkan rasa saling hormat-menghormati dan menghargai. Namun perbedaan akan menjadi adzab, apabila dalam diri kita tertanam sebuah virus bernama fanatic sempit.

Pelajaran Dari Romo Carolus

Charles Patrick Edwards Burrows,OMI adalah nama kecil sang peraih penghargaan tersebut. Ia adalah seorang Pastor di Paroki St Stephanus Cilacap. Setelah kedatangannya di Indonesia pada tahun 1973, ia tertarik untuk mengabdikan diri kepada masyarakat di Kampung Laut Kabupaten Cilacap.

Rintihku

Aku menatap dalam lara Kembali menitikkan air mata Ia tak berdosa Namun aku tega menjatuhkannya Butir putih itu Menghujam deras menghancurkan hidupku Remuk sudah hati menatap cahya Mu Yang terang, namun dihatiku kau gelap Tertutup nafsuku, egoisku, dan dosaku.

Tapak-Tapak Suci, Sebuah Kisah Perjalanan Pemuda Desa

“ Bukalah surat ini ketika kau berada di antara dua pulau, saat kau terombang ambing di tengah lautan, dan saat itu kau akan merasakan betapa aku menyayangimu”..

La Tahzan, Saudaraku!

La Tahzan, Saudaraku. Kecelakaan yang menimpa saudara kita penumpang Shukoi Superjet 100 memang sangatlah tragis. Kita semua bersedih. Namun jangan kita terlarut dalam kesedihan. Yakin bahwa Allah Tuhan Yang Maha Esa telah merencanakan hal dibalik itu semua.

Sabtu, 01 September 2012

Jejak Misterius Sang Mamon


Kuceritakan padamu kawan, tentang seorang laki-laki hitam legam yang selalu saja berjalan di trotoar kota kami. Kami tak pernah tahu kapan dia datang ke kota ini. Sejak aku SD hingga saat ini lulus dari kuliah, kami selalu saja melihat laki-laki hitam legam itu. Sepertinya ia ada bahkan saat kedua orang tua kami masih remaja
.
Tak pernah ada orang yang tahu siapa nama laki-laki hitam legam ini. Bukannya tak mau menanyakannya, tapi kami takut menghadapi orang seperti itu. Kami takut laki-laki hitam legam itu merasa terganggu dan mengamuk kepada kami. Sudah banyak sekali kasus yang terjadi saat orang seperti laki-laki hitam legam itu saat kami goda. Mereka mengamuk dan tidak jarang beraksi brutal.

Lama-lama kami memberanikan diri untuk memberinya nama panggilan. Bukan untuk membuat dia terkenal, semua itu hanya untuk memudahkan kami dalam membicarakannya. Dengan nama itu, ia dapat kami bicarakan dengan teman, saudara, dan semua orang yang kami kenal. Kami menamainya Mamon, singkatan dari manusia monster. Kami kira nama itu pantas, karena memang tubuh jangkung Mamon dan wajah sangarnya, sudah menggambarkan betapa menyeramkannya ia.

Setiap hari, saat kami berangkat dan pulang sekolah, kami melihat Mamon terdiam di bawah pohon. Mulutnya bergumam seolah sedang membaca mantera-mantera ilmu kesaktian. Dan kadang, ia duduk jongkok di bahu jalan, sambil mencoret-coret trotoar dengan arang yang ia peroleh dari bekas pembakaran mebel.

Kami tak pernah tahu dan bahkan tak pernah ingin tahu apa yang digumamkan oleh Mamon dan apa yang ditulisnya. Hingga datang waktu itu, saat bus sekolah yang kami tumpangi mengalami kerusakan di jalan. Sialnya, jalan tersebut adalah jalan yang dikuasai oleh Mamon. Di jalan itulah kami biasa melihat Mamon duduk dan tidur. Jalan ini seolah daerah kekuasaannya, yang tak dapat diganggu gugat oleh siapapun, termasuk Kami.

Kami ketakutan dan tidak berani pulang, namun supir Bus tak mau mengantarkan kami. Akhirnya dengan ketakutan, kami memberanikan diri untuk melalui jalan itu.
Kami tak ingin bertemu dengan Mamon, akhirnya kami mencari jalan pintas, yakni melewati hutan-hutan. Hutan memang menyeramkan, tapi bagi kami, seramnya hutan bersama penghuninya, tak seseram wajah Mamon. Wajah Mamon yang abstrak itu, lebih seram dari apapun menurut kami.

Jalan gelap dan dinginnya hutan yang kami lewati cukup membuat bulu kuduk kami berdiri. Kami juga ketakutan. Jangan-jangan, Mamonlah yang telah membuat Bus Sekolah kami mogok, dan telah menunggu kami untuk memangsa kami hidup-hidup. Atau ia akan membakar kami, dan menjadikan arang bekas bakaran tulang kami menjadi alat untuk menulisnya.

Pikiran kami melayang jauh. Ketakutan melanda. Hingga saat itu tiba, Rizal, teman kami yang berwajah lugu itu, terperosok ke dalam Lembah. Ia menjerit meminta tolong, namun kami tak dapat melakukan apa-apa. Kamipun panic, kami melihat tubuh Rizal tergantung di sebuah dahan pohon. Sepertinya setelah kelelahan dan mungkin terluka, tubuh Rizal tidak bergerak lagi.

“Rizal…..Rizal…” kami berteriak mencoba membangunkannya, namun tak ada balas.

Kami menangis dalam putus asa. Tak ada yang dapat kami lakukan. Saat itulah kami melihat tubuh besar hitam legam, meloncat ke dasar lembah. Kami tak tahu siapa itu, mungkinkah malaikat yang akan mencabut nyawa Rizal?. Entahlah,,yang jelas kami masih ketakutan dan tak dapat berbuat apa-apa.

Diam, sunyi, tak ada tanda-tanda gerakan dari Rizal. Namun tiba-tiba kami melihat tubuh besar hitam legam itu kembali mendaki ke atas bukit dengan tangan-tanganya yang kekar. Semakin lama, semakin jelas. Dan sepertinya tubuh itu kami kenal dengan baik. Mamon!.
Kami terpaku. Takut bercampur ngeri. Apakah Rizal telah ia bunuh? Lalu setelah itu baru giliran kami?. Anehnya, meski kami ketakutan, kami tak dapat lari dari tempat itu. Tenaga kami telah habis oleh degup jantung ketakutan memikirkan nasib kami yang diujung tanduk.

“Kenapa diam saja, Cepat bantu aku?”

Kata-kata itu keluar dari mulut Mamon. Demi tuhan, sepertinya kamilah orang yang pertama mendengar Mamon berkata dengan jelas dan dapat dimengerti. Kami masih tidak percaya bahwa kata-kata itu keluar dari mulut Mamon, orang yang sudah kami anggap tidak waras itu.

“Hei,,cepat, bantu aku membawanya, “ bentak Mamon

“I..iiiaa,,ia” kami menjawab dengan mulut terkatup.

Setelah kejadian itu, seluruh mata kini terbelalak. Cerita tentang kejadian malam itu telah menyebar ke seluruh pelosok kota ini. Tentang seorang pahlawan yang telah menyelamatkan nyawa seorang anak. Pahlawan itu adalah Mamon, orang yang dahulu kami anggap tidak waras, gila dan membahayakan. Yah,,kami merasa malu kepada Mamon. Ternyata ia orang yang berhati mulia.

Setelah kejadian itu, Mamon pergi entah kemana. Kami tak pernah menemukannya lagi. Jejaknya hilang bersama angin. Bahkan kami belum sempat mengucapkan maaf dan terimakasih kepadanya. Lalu, kami yang  malam itu mengalami nasib tragis, mencoba mencari Mamon di tempat ia biasa berada. Di jalan yang telah sengang itu, kami menemukan sebuah keanehan dan kejanggalan baru. Keanehan dan kejanggalan  yang membuat kami benar-benar merasa bersalah.

Disepanjang bahu trotoar yang ada disana, hamper seratus meter panjangnya, kami menemukan jawaban tentang apa yang Mamon tulis disana. Ternyata bukan hanya coretan tanpa makna. Kata demi kata  yang ada disana, ternyata memiliki makna. Mereka tersusun dalam sebuah kalimat-kalimat,  yang membentuk bait-bait puisi. Dan ternyata, semua itu adalah puisi tentang Tuhannya.

Satu bait puisi yang sampai saat ini masih terngiang di benakku,

Hidup Itu indah, namun tak seindah keindahan yang tampak oleh mata,
Hidup itu bencana, namun tak seburuk neraka sang Pencipta..
Apalah arti hidup ini, jika kita sendiri tak mengerti untuk apa kita hidup,
Mengapa kita berpura-pura dengan kehidupan ini
Tuhan tidak suka dengan orang yang berpura-pura…

*Dalam diam, Syahid Add Dakhil, hamba Tuhan yang malang.

Kami tertegun dalam diam, menangis dalam penyesalan. Ternyata Mamon bukanlah orang yang gila. Ia bahkan seorang pujangga sejati, yang tidak pernah berpura-pura dalam hidupnya. Sementara kami, hanya seonggok jasad penuh kepura-puraan. Kami tertunduk dalam malu yang sangat.

Nasionalisme Kita Diujung Tanduk


Apa itu Nasionalisme? Seberapa pentingkah ia?. Lalu dengan apa kita membangkitkan rasa Nasionalisme tersebut? Apakah cukup dengan mengikuti upacara peringatan HUT Republik Indonesia, atau menghormati Sang Saka Merah Putih, atau khusyuk menyanyikan lagu Indonesia Raya?.

Pertanyaan-pertanyaan tersebut saat ini memang sudah sepantasnya kembali diperdebatkan. Seiring semakin menipisnya-bahkan jika boleh mengatakan sudah menghilangnya- rasa Nasionalisme dari bangsa ini. Entah karena sudah bosan, atau juga pengaruh dari luar, yang membuat bangsa Indonesia mulai apatis terhadap paham yang luhur ini.

Secara etimologi, Nasionalisme berasal dari kata “nasional” dan “isme” yaitu paham kebangsaan yang mengandung makna : kesadaran dan semangat cinta tanah air; memiliki kebanggaan sebagai bangsa, atau memelihara kehormatan bangsa; memiliki rasa solidaritas terhadap musibah dan kekurangberuntungan saudara setanah air, sebangsa dan senegara; persatuan dan kesatuan. Sedangkan bentuk dari Nasionalisme tersebut juga bermacam-macam. Ada Nasionalisme berdasarkan kewarganegaraan, etnis, budaya dan sebagainya.

Menarik jika kita mencoba membicarakan Nasionalisme dimasa sekarang ini. Ketika paham ini mulai terkikis oleh paham lain seperti kapitalisme. Paham yang selalu mengkultuskan keuntungan dan kekayaan duniawi. Disadari atau tidak, demi kekayaan dan keuntungan, rasa Nasionalisme kita dapat tergadaikan.

Saat saya membaca sebuah artikel di Kompas (29/8/12) berjudul “Nasionalisme Kita”, saya mengerti bahwa rasa Nasionalisme bangsa ini sudah diambang punah. Tulisan seorang Guru Besar Universitas Indonesia bernama  Sri Edi Swasono, menggambarkan betapa bangsa ini mulai kehilangan rasa Nasionalisme. Di awal tulisan itu, Sri mengemukakan pendapat seorang  Doctor di bidang Ekonomi (yang namanya tidak disebutkan) mengatakan bahwa “ Apa itu Nasionalisme, kuno itu, masukin aja ke saku….”. Mengapa Sri gerah, karena Doktor tersebut kini menjabat di bidang yang sangat rentan tentang Nasionalisme di negeri ini.

Doktor itu mungkin menafikkan betapa pentingnya kehadiran Nasionalisme dalam segala bidang. Ho Chi Minh, Bapak Bangsa Vietnam mengatakan bahwa bangsa Vietnam dapat memenangkan perang bukan karena bom Atom, Nuklir atau senjata pembasmi lainnya, namun mereka memiliki Nasionalisme yang tinggi. Katanya “Kami pasti menang perang, karena kami memiliki senjata rahasia. Senjata rahasia itu adalah Nasionalisme”.
Dilain pihak, makna pentingnya Nasionalisme juga dikemukakan oleh Ian Lustic, seorang tokoh politik antar bangsa yang mengatakan bahwa “Nasionalisme merupakan kekuatan pembangunan yang tidak ada tandingannya di dunia masa kini”.

Terkikisnya Nasionalisme, Hancurnya Bangsa
Bangsa ini, meskipun terlahir di tanah air Indonesia, bertumpah darah satu, berbahasa satu, namun bukanlah “pemilik” resmi negeri ini. Bangsa Indonesia tidak bisa To be the master in this own home land, yang artinya kurang lebih menjadi tuan di negeri sendiri. Bangsa ini disadari atau tidak, kini hanya menjadi master of ceremony yang hanya menyambut dan membiarkan “tamu-tamu” dari asing berdatangan serta menghormatinya. Parahnya, “tamu-tamu” itu kini mendominasi seluruh kekayaan yang ada di Negara ini. Namun kita hanya diam.

Contoh kecil hilangnya rasa Nasionalisme kita, kita sering bangga makan di MC Donald, KFC, sementara malas dan sungkan untuk makan makanan tradisional seperti pecel, gado-gado, soto dan lain sebagainya. Kita sering menyesaki mall, plaza dan toko waralaba lain, sementara enggan berbelanja di pasar. Dan kita bangga jika memakai produk-produk impor, dan merasa malu serta tidak percaya diri jika memakai produk dalam negeri.

Menumbuhkan kembali rasa Nasionalisme harus secepatnya dilakukan. Keteladanan adalah faktor utama untuk menumbuhkan semangat cinta tanah air seluruh rakyat Indonesia. Komponen bangsa yang harus memberikan contoh adalah para aparat negara, baik dari komponen legislatif, eksekutif, maupun yudikatif. Seluruh komponen ini didukung penuh oleh pemimpin bangsanya, mulai dari gaya hidup keseharian, sinkronisasi antara ucapan dan tindakan, berperilaku dalam berbangsa dan bernegara, menjalankan roda pemerintahan yang baik, dan seterusnya.

Dalam hal mencintai tanah air, seorang pemimpin harus mendahulukan kepentingan bangsa dan negaranya di atas kepentingan asing. Saat ini banyak pihak asing yang ingin menguasai harta dan kekayaan Negara melalui system penjajahan yang elegan. Dengan kekuatan ekonomi yang ditunjang dengan kekuatan konsep Kapitalisme yang disebar melalui media yang mapan dan canggih, pihak asing telah merangsak dan merongrong kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia kita ini.

Anehnya, bangsa ini seolah terlena dengan penjajahan yang telah dilakukan oleh pihak asing selama bertahun-tahun ini. Mungkin benar apa kata orang Barat, yang menganggap bahwa bangsa kita adalah bangsa terlembek di bumi, kulinya bangsa bangsa lain. Anggapan ini bisa benar, bisa juga salah. Dan sebenarnya, anggapan tersebut tidak pantas diterapkan kepada bangsa ini. Jika kita mencoba menelusuri sejarah, bahwa dengan berapi-api dan semangat Nasionalisme tinggi, Bung Hatta pernah berpidato di depan pengadilan tinggi Den Haag. Saat itu dengan lantang Bung Hatta mengatakan bahwa “Lebih baik Indonesia tenggelam di dasar laut, daripada jadi embel-embel bangsa lain”.

Sungguh ironis, para pahlawan kita yang gagah berani memperjuangkan kemerdekaan dari penjajahan bangsa asing dengan rasa Nasionalisme tinggi, kini menangis melihat kemerdekaan yang telah mereka perjuangkan sia-sia.  Disadari atau tidak, Nasionalismelah yang telah memerdekakan Indonesia dari penjajahan bersifat fisik pada zaman dahulu. Dan sekarang, yakinlah bahwa di masa penjajahan kaum Kapitalis ini, kita akan dapat memenangkan perang modern ini hanya dengan rasa Nasionalisme yang tinggi.

Senin, 27 Agustus 2012

Catatan Dari Menggala

Semua serba salah. Entah mengapa setiap aku mendengar keluhnya, aku selalu ingin menjerit. Ingin kuhempaskan semua beban di dada ini, dan berlari secepat angin. Pergi meninggalkan semuanya, dan berlari terus mencari cahaya yang sampai saat ini tak jua kutemukan. Aku sudah lelah.

Kuawali kisah ini kawan, saat aku duduk tersimpuh di depan orang tuaku. Tak banyak yang mereka katakan padaku, karena aku sudah tahu apa yang ingin mereka katakan. Kulihat Ibu duduk termenung memandang tumpukan kayu yang mulai habis dimakan rayap. Kayu-kayu itu adalah bahan baku untuk mendirikan rumah kami, yang sampai saat ini belum jua pindah dari tempatnya. Seharusnya, kayu-kayu itu sudah berubah menjadi tiang penyangga rumah kami, ataupun menjadi ornamen-ornamen indah penghias istana kami.

Sementara ayahku, hanya diam membisu. Seolah dia tidak mau pusing. Walau aku tahu, ia juga sudah sangat capek dengan keadaan seperti ini. Namun ia mencoba tak memperlihatkan padaku, walau aku tahu semuanya dengan jelas.

Tak jauh dari tempat ayahku duduk, kulihat adik-adikku duduk bersama. Sambil memegang buku yang telah usang, mereka mencoba melafalkan kata demi kata dari buku itu. Meski pandangan yang buram karena hanya di terangi oleh cahaya lampu minyak tanah. Tak ada listrik dirumah kami, namun semangat mereka membuat aku semakin terharu.

Tuhan!!! sampai kapan aku harus memandang keadaan seperti ini?.....


Aku selalu saja menjerit sekuat tenaga, sambil terkadang meneteskan air mata. Serasa beban semua keluarga ini bergantung padaku. Sementara aku tak dapat memberikan apa-apa. Harapan itu musnah, impian tinggi itu kian samar. Aku hancur.

Sementara aku tak dapat berbuat apa-apa. Ingin sekali berlari, dan menghindar dari semua ini. Beban ini terasa berat. Namun mereka pasti akan tambah kecewa jika aku berlari. Lalu siapa lagi yang akan mereka banggakan?. Dengan pendidikan tinggi yang telah kuraih, setidaknya ada sedikit kebanggaan dari diri mereka, bahwa aku kini menjadi orang yang sukses, meski bukan materi. Namun lagi-lagi, semua itu membuat beban hidupku semakin berat.

Dalam diam,,,kudengar suara adzan di masjid, disusul bunyi lonceng di Gereja, juga Asap dupa yang semerbak mewangi menusuk hidungku. Tanpa kusadari aku lunglai tak berdaya. Suara dan aroma yang ditimbulkan oleh mereka, mencoba menyadarkanku. Membawaku kepada pemandangan yang aneh tapi nyata. Tentang seekor Cicak yang sedang mencari makan. Cicak tidak punya sayap, dia tidak dapat terbang, sementara semua makanan yang ia makan memiliki sayap. Namun mengapa ia dapat makan? mengapa mereka tidak kelaparan?..

Itulah bukti kebesaran Tuhan,,Allah yang maha kuasa. Ia tak akan pernah meninggalkan dan membiarkan makhluknya hidup sendiri dalam kesusahan. Setiap ciptaannya memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing. Hanya saja tinggal bagaimana kita mencoba mensyukuri apa yang telah Tuhan berikan kepada kita. bukankah ia sudah bersabda, bahwa barang siapa mensyukuri nikmatku, maka akan kutambahkan nikmat kepadanya, dan barangsiapa yang kufur akan nikmatku,,niscaya siksaku amat pedih.


Aku menangis dalam doa,,dalam penyesalan.
Betapa sombong dan angkuh diri ini,,,
Maafkan aku Tuhan,,
Berikan kemudahan kepada hambamu,
Itu sudah.


*catatan dari Menggala, 1433 H


Senin, 06 Agustus 2012

Sajak Untuk Putri Tidurku


Aku memanggilmu dalam diam
Lewat kata yang tak terucap

Kuawali bait ini dengan sebuah kata
Dari sang kekasih tuhan
Yang cintanya tak pernah tertandingi oleh makhluk
Termasuk Nabi

Katanya,

“Aku mencintai-Mu dengan dua macam Cinta,
Cinta rindu dan Cinta karena Engkau layak dicinta,
Dengan Cinta rindu,
kusibukan diriku dengan mengingat-ingat-Mu selalu,
Dan bukan selain-Mu.
Sedangkan Cinta karena Engkau layak dicinta,
di sanalah Kau menyingkap hijab-Mu,
agar aku dapat memandangmu”

Aku ingin seperti empunya kata indah itu,
Adalah Rabi’ah Adawiyah, sang kekasih Tuhan
Seperti itulah aku ingin mencintaimu

Sadarkah, bahwa tuhan telah menakdirkan kita bersama
Setelah sekian lama,
Kau hadir disampingku,
Namun seolah tak nampak

Dulu, Aku ada didekatmu,
Ada tawa dan canda,
Namun tak ada rasa

Kita telah saksikan, betapa badai itu kejam,
Kita juga telah sama rasakan,
Betapa empedu itu pahit
Tenggelam dalam lara,
Hingga sukma enggan kembali
Mereka yang telah mengoyak keindahan itu, selalu saja menghantui
Hingga timbul rasa dendam dan benci

Kemudian aku memanggilmu dalam diam
Lewat kata yang tak terucap

Pernahkah kau lihat, seorang musafir yang hamper mati pada hamparan gurun?
Atau kau juga pernah melihat, seekor ikan yang terdampar di bibir pantai?
Tubuh lunglai dengan tatapan mata sayu
Tak ada harapan untuk hidup, bahkan sedikitpun tak ada!

Jika tak pernah, Cukup lihat saja diriku
Maka kau akan menemukan jawabnya.

Tenggelam dalam kesendirian dan kehancuran yang mendalam
Hingga wajah ini tak mampu menatap indahnya rembulan
Detik demi detik, tak jua aku bangkit
Hingga kutemukan sebuah syair dari sang maestro jagad kata
Orang menyebutnya Khalil Gibran
Sambil berbisik ia berkata:

“Kadangkala, orang yang paling mencintaimu adalah
orang yang tak pernah menyatakan cinta
kepadamu, karena takut kau berpaling dan
memberi jarak, dan bila suatu saat pergi, kau akan
menyadari bahwa dia adalah cinta yang tak kau sadari

Tahukah orang yang sebenarnya Gibran maksud?
Seseorang yang kini mengisi hidupku
Seseorang yang mampu membangkitkanku dari jurang kesengsaraan
Ia adalah secawan air, bagi musafir dan ikan yang hampir mati
Ia adalah Anugerah terindah yang tuhan turunkan untukku
Lalu dengan lantang,
Kusebut ia Putri Tidurku!

Dan sekarang,
Aku mulai berani memanggilmu
Dengan kata yang terucap


Kamis, 02 Agustus 2012

Opera Sabun di Olimpiade London

Banyak cara yang dapat dilakukan negeri ini dalam mempromosikan dirinya kepada kancah dunia. Salah satunya dari dunia olahraga. Dan momentum Olimpiade London 2012 yang sedang dihelat di Kota Ratu Elizabeth itu, menjadi tempat promosi yang bagus bagi bangsa ini.

 Dalam tradisi Olimpiade, siapa atlet yang menjadi juara, maka bendera Negaranya akan dikibarkan dan diiringi oleh lagu kebangsaan masing-masing Negara. Saat itulah, seluruh mata di penjuru dunia menyaksikan bagaimana bendera Negara kita dapat berkibar, dan lagu kebangsaan Indonesia raya berkumandang dengan gagahnya. Masih ingatkah kita, saat beberapa Pahlawan olahraga kita telah berhasil mengibarkan bendera Merah Putih dalam beberapa tournament internasional. Sebut saja Susi Susanti, Alan Budi Kusuma, dan atlet lain yang telah berhasil membuat bangga bangsa ini.

Namun kejadian beberapa tahun lalu itu, sepertinya tidak akan terulang pada momentum Olimpiade London 2012. Sampai hari ini, baru 2 torehan medali yang diperoleh oleh kontingen Indonesia. Medali tersebut adalah 1 perak dan 1 perunggu yang diperoleh oleh Lifter kita Triyatno dan Eko Yuli Irawan.

 Sementara cabang yang digadang-gadang mendapatkan medali emas, yakni Bulutangkis tak dapat menyumbangkan medali paling bergengsi itu. Satu persatu mereka berguguran di medan juang. Praktis hanya tinggal pasangan Ganda Campuran Liliyana Natsir/Tantowi Ahmad dan Ganda Putra Bona Septano/Mohamad Ahsan yang tinggal berjuang memperbutkan Perunggu.

Selain gagal mempersembahkan medali emas bagi negeri ini, terdapat kejadian yang cukup membuat bangsa ini tertunduk malu. Tepat pada Rabu (1/8), pasangan ganda putri Indonesia, Greysia Polli dan Meiliana Jauhari di diskualifikasi dari arena Olimpiade London 2012 karena dianggap melanggar kode etik (code of conduct ) Federasi Bulu Tangkis Dunia (BWF) pasal 4.5 dan 4.16. Mereka divonis karena tidak mengeluarkan kemampuan terbaiknya dalam bertanding untuk memperoleh kemenangan.

Selain pasangan ganda putri Indonesia Greysia Polli dan Meiliana Jauhari, BWF juga memulangkan tiga pasangan lain, yakni Wang Xiaoli/Yu Yang (China), Kim Ha Na/Jung Kyung Eun dan Ha Jung Eun/Kim Min Jung (Korea). Keempat pasang pemain tersebut diduga melakukan tindakan yang menciderai Fair Play dan juga bertingkah laku menghina dan merusak reputasiBulutangkis.

Kejadian ini sontak menjadi sorotan dunia. Banyak kalangan terutama pecinta Bulutangkis mengecam peristiwa memalukan ini. Tindakan tidak fair play kedelapan orang tersebut membuat citra Bulutangkis menjadi sedikit tercoreng. Dan mereka khawatir, akibat ulah para oknum tersebut, Bulutangkis akan dihapus dari Olimpiade.

Belum Bermental Juara
Pecinta bulu tangkis dimanapun, baik yang menyaksikan pada layar televise maupun para penonton  di Wembley Arena, pasti akan merasa kecewa dengan penampilan para atlet yang bertanding waktu itu. Tak salah jika penonton mencemooh dengan kata-kata “boo” sebuah teriakan ejekan kepada kedua ganda campuran itu. Hal ini karena penampilan mereka dianggap jauh dari apa yang diharapkan untuk sebuah turnamen sebesar Olimpiade.

Kejadian ini cukup menyita perhatian public olahraga. Banyak komentar dari insane olahraga yang menganggap kejadian itu adalah kejadian paling memalukan. Fair play yang selama ini dijunjung, tidak lagi tampak pada para “oknum” itu. Mereka menodai keindahan olahraga.

Alasan yang melatarbelakangi peristiwa memalukan itu adalah untuk menghindari lawan yang lebih berat di final. Pasangan nomor satu dunia asal Cina, Wang Xiaoli/Yu Yang, berupaya untuk kalah saat melawan pasangan Korea Selatan, Jung Kyung-eun/Kim Ha-na, agar tidak menjadi juara grup karena tidak ingin bertemu pasangan asal Cina lainnya, Tian Qing/Zhao Yunlei, di semifinal. Sebagai pasangan nomor satu dunia, menjadi hal yang mengherankan jika mereka kalah dua set langsung dengan skor yang cukup telak. Dari permainanya saja dapat dilihat jika mereka “sengaja” mengalah.

Sementara hal itu juga terjadi pada pertandingan Indonesia dan Korea. Kedua pasangan berusaha mengalah agar menjadi runner up, untuk menghindari pasangan nomor satu dunia yang asal China Wang Xiaoli/Yu Yang. Sontak “Opera Sabun”ini mendapat ganjaran Kartu Hitam dari wasit dengan didiskualifikasikannya mereka  dari Olimpiade.

Disinilah letak dimana bangsa ini harus malu. Kehormatan bangsa menjadi tercoreng dengan sikap “mental tempe” ini. Seharusnya sebagai seorang atlet internasional, harus bertarung dengan sungguh-sungguh untuk memperoleh kemenangan yang sejati. Bukan dengan sekandal yang memalukan itu. Mengutip pernyataan legenda Bulutangkis kita, Susi Susanti “Juara sejati Harus Siap Melawan Siapa Saja”. 

Mental seperti inilah yang seharusnya terbenam dalam jiwa para atlet kita. Sikap mental juara ini yang membuat bangsa ini dapat menengadahkan kepala, dengan bangga bersorak penuh doa. Siap menerima kekalahan dan kemenangan dengan dada terbusung karena telah berjuang dengan penuh semangat. Itulah sebenarnya juara sejati. 

Namun sesuatu yang telah terjadi tidak dapat terulang kembali. Ibarat nasi sudah menjadi bubur. Kita patut menyesal dan kecewa dengan keterpurukan ini. Namun kita harus segera bangkit. Jangan pernah menyalahkan siapapun. Karena bukan saling menyalahkan yang dapat mengangkat kembali prestasi negeri ini.  Instrospeksi diri, juga segera melakukan tindakan kongkret untuk mengembalikan Indonesia sebagai macan Asia.  Itulah yang harus segera dilakukan.

Kekalahan yang menimpa para atlet kita di perhelatan akbar Olimpiade London, patut dijadikan bahan diskusi dan juga evaluasi. Pasti ada yang salah dan kurang. Namun sebagai masyarakat  yang selalu menghormati jasa para pahlawan ini, standing applause kepada mereka yang telah berjuang sekuat tenaga dengan cucuran keringat demi mengangkat derajat Bangsa Indonesia.  

Terimakasih, dan tetap berjuang pahlawanku!.