Kamis, 07 Februari 2013

Agama dalam Dekapan Politik Busuk

Menarik jika membaca sebuah tulisan Ahmad Syafii Maarif dalam Rubrik Opini di Surat Kabar Harian Kompas (6/2/13). Tulisan berjudul “Politik dan Uang” tersebut begitu menggelitik. Pendiri Maarif Institute tersebut dengan gamblang menyoroti kasus perpolitikan negeri ini. Titik permasalahannya sekali lagi tak lepas dari permasalahan yang kini masih saja menjadi momok negeri ini. Korupsi!.

Tulisan ini dimulai Syafii dengan menggambarkan tentang perdebatan panjang kurun waktu 1930 an antara kaum santri nasionalis dan nasionalis non santri. Perdebatan tersebut tidak lain tentang permasalahan politik itu kotor atau tidak.

Dalam perdebatan tersebut, kaum non santri menegaskan bahwa politik itu sampai kapanpun tetap kotor, sehingga agama yang suci jangan sampai terkontaminasi dengan membawanya kedalam kotornya politik tersebut. Sementara itu, kaum santri mengganggap, justru karena politik itu kotor, maka harus dibersihkan dengan kesucian agama.

Dari pandangan kedua belah pihak, sebenarnya keduanya mengakui bahwa politik itu benar-benar kotor. Perbedaannya adalah, kaum non santri ingin memisahkan agama agar tidak bercampur dengan kotornya politik. Di sisi lain, kaum santri bersikukuh bahwa agar politik itu tidak menjadi kotor, maka politik jangan sampai dipisahkan dari agama.

Kekhawatiran itu Benar Terjadi

Ada kesamaan perdebatan kaum santri dan non santri yang terjadi sekitar 1930 an itu, dengan kasus yang terjadi saat ini. Kasus di Gunturkannya Presiden Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Luthfi Hasan Ishaaq oleh KPK dalam kasus impor daging sapi dapat menjadi alas an mengapa kaum non santri menginginkan politik dipisahkan dari agama.

Bukan rahasia lagi, jika Partai Keadilan Sejahtera (PKS) adalah salah satu partai yang dengan berani mengatakan partai beridiologi islam. “Bersih, agamais dan professional” yang menjadi slogan partai dakwah ini dipertanyakan kebenarannya setelah presiden mereka menjadi tersangka dalam kasus Impor daging sapi.

Tidak hanya PKS yang menjadi sorotan dalam kasus ini, mau tidak mau, Islam pun menjadi “tersangka”. Serangan kaum lain yang selama ini selalu menjelek-jelekkan Islam akan terdengar begitu nyaring. Dengan kejadian ini, mereka akan semakin tertawa dan mengejek Islam. Seolah menemukan momennya, kasus tersebut membuka ruang untuk mereka untuk menyebarkan kebenciannya.

Disinilah mengapa gagasan Nur Kholis Madjid tentang “Islam Yes, Partai Islam No” patut dipertimbangkan.  Pemikiran yang kemudian dikenal dengan sebutan “Sekularisasi” ini, seharusnya menjadi acuan dalam perpolitikan Indonesia saat ini. Membedakan antara mana ranah agama dengan partai politik, tentu hal yang harus segera dilakukan. Hal ini untuk menghindari terseretnya kesucian agama lebih masuk ke dalam busuknya politik dewasa ini.

Gagasan Cak Nur tersebut sepertinya mendesak dilakukan saat ini. Dikala cita-cita luhur para kaum santri yang dahulu mencoba membersikan kebusukan politik, dengan mengikutkan agama dalam perpolitikan Nasional, sudah berubah haluan. Mereka para tokoh santri terdahulu yang terjun ke dunia politik, dengan kokoh menjaga martabat dirinya agar tidak terkontaminasi dengan kotornya politik. Namun sekarang, sebagian tokoh santri yang juga mencoba meneruskan cita-cita luhur itu, justru bangga berkubang dalam luapan lumpur kotor politik.

Agama yang notabene adalah suci, harus ikut terlibat dalam kotor dan busuknya oknum yang bergelut di dunia politik. Serangan massif media massa, semakin membuat agama yang “di dzolimi” itu tercoreng. Ungkapan “Kiainya saja korupsi, bagaimana santrinya?” atau “Presiden partai yang katanya partai Dakwah saja di Gunturkan, bagaimana pengikutnya?” dan yang lebih parah lagi “Apakah agama mereka tidak mengajarkan pelajaran moral, bahwa mencuri uang rakyat itu termasuk perbuatan dosa?”.

Ungkapan dan pertanyaan itu mau tidak mau akan membuat kita penganut agama menjadi malu. Agama yang berarti “A” tidak dan “Gama” yang berarti rusak, malah dibuat tameng untuk menimbulkan kerusakan. Hal ini harus segera ditindak lanjuti, demi kesucian dan keluhuran agama.

Tentukan Jenis Kelamin

Tidak semua partai dengan symbol agama atau yang dengan tegas menyatakan bahwa landasan idiologis partainya adalah agama, kemudian tersandung masalah moral. Sejarah perpolitikan Indonesia mencatat, dua partai besar berlandaskan agama yang sukses menjadikan agama sebagai landasan dan ajaran moral yang wajib dipedomani dalam mengawal perilaku politik anggotanya. Sebut saja Masyumi dan Partai Katolik. Meski keduanya memiliki landasan agama yang berbeda, namun para tokohnya sangat ketat mengawal moralitas anggotanya.

Para tokoh kedua partai moralis tersebut percaya, bahwa tanpa moralitas yang baik, politik pasti merusak (deskruktif). Lalu bagaimana dengan kondisi yang sekarang terjadi dalam perpolitikan kita?. Pertanyaan yang cerdas. Dalam kondisi politik yang sudah rusak ini, sudah selayaknya kita mencoba melakukan apa yang kaum non santri pada era 1930-an dan juga tentang mandat Cak Nur dengan memisahkan keterlibatan agama dalam politik.

Sudah saatnya partai politik juga para politisi di Negeri ini menentukan jenis kelamin mereka. Jika masih ingin mengaku sebagai partai atau politisi yang beridiologi agama, maka harus membuktikannya dengan memberikan manfaat kepada orang banyak. Karena sebaik-baiknya manusia, adalah yang dapat bermanfaat bagi orang lain. Namun, jika memang tidak dapat melakukan hal tersebut, sudah buang saja simbol-simbol agama yang selama ini dipaksakan melekat. Jangan kepalang tanggung, langsung saja berendam dan menyelam dalam samudra politik yang kotor dan busuk itu. Bergabung dengan para politisi lain yang “seiman”.

Sumber Kompas edisi Rabu 6/2/2013 dan berbagai sumber terkait.

0 komentar:

Posting Komentar