Rabu, 20 Februari 2013

Selamatkan Industri Batik Dalam Negeri!

Kota batik di Pekalongan,
Bukan Jogja eh Bukan Solo..


Salah satu bait dari lagu Slank Berjudul “SBY (Sosial Betawi Yoi)” ini menggambarkan Pekalongan sebagai Icon batik di Nusantara. Bukan hanya Pekalongan, kota lain seperti Solo, Yogya, Cirebon, Indramayu, Garut, Pekalongan, Tasikmalaya, Ciamis, Lasem, Madura, Jambi,Tuban, Banyumas, Palembang, Trenggalek, dan kota lainnya juga tempat industry batik. Untuk alas an itulah, tidak salah jika Batik terkenal salah satu kebudayaan asli Indonesia. Hal ini lebih dikuatkan dengan ditetapkan oleh UNESCO (United nations educational, scientific and cultural organization) bahwa batik sebagai Warisan Budaya milik Indonesia pada tanggal 2 Oktober 2009.

Untuk melestarikan batik sebagai budaya bangsa, masyarakat berduyun-duyun membeli dan memakai batik. Kesan batik yang kuno, kini mulai terkikis dengan seringnya batik digunakan oleh masyarakat. Tidak hanya dalam acara resmi seperti pernikahan atau acara sacral lainnya, batik kini menjadi fashion dan trend di Nusantara.

Meningkatnya kesadaran masyarakat akan pelestarian Batik sebagai budaya bangsa, tentu menjadi angin segar bagi pengrajin batik. Secara signifikan, omzet mereka dipastikan meningkat. Permintaan pasar akan produk batik pasti melonjak. Dan hal ini akan berimbas pada peningkatan pendapatan masyarakat terutama pengrajin dan pembisnis batik.

Namun, industry batik yang seharusnya maju, harus dihadapkan dengan permasalahan pelik yang selalu saja mencekik produk dalam negeri. Permasalahan yang sejak dulu menjadi musuh bagi pengusaha dan pengrajin kelas menengah kecil, impor. Sudah sejak lama komoditas asli negeri ini, harus kalah saing dengan barang impor.

Kini, batik yang menghadapi permasalahan itu. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) yang dikutip detikFinance, Rabu (20/2/2013), tercatat sebanyak 1.037 ton produk batik yang masuk dari China ke Indonesia dengan nilai US$ 30 juta, atau sekitar Rp 285 miliar sepanjang 2012 lalu. Impor terbesar adalah untuk jenis kain tenun dicetak batik yaitu sebanyak 677,4 ton dengan nilai US$ 23,3 juta, dan kain tenun yang dicetak dengan proses batik sebanyak 199,2 ton dengan nilai US$ 1,8 juta pada 2012 lalu.

lagi, impor dari negeri tirai bambu menjamur di negeri ini. Setelah barang elektronik, buah-buahan, aneka mainan anak-anak, kini merambah ke dunia tekstil. Pepatah bahwa tidak ada barang di negeri ini yang lolos dari gempuran produk China sepertinya bukan gurauan. Buktinya, produk impor dari China begitu merajai di Indonesia dan membunuh pengusaha dan pengrajin kelas menengah ke bawah. Akibatnya, tidak ada kata lain selain gulung tikar.

Dari data yang dikutip detik.com, masuknya impor produk batik ini terbesar terjadi pada Juli 2012 yaitu sebanyak 106,7 ton dengan nilai US$ 3,6 juta, dan pada Desember 2012 sebanyak 87,4 ton dengan nilai US$ 3 juta. Selain jenis kain batik, ada juga beberapa bentuk barang jadi seperti jaket, blazer, celana, baju untuk perempuan dan laki-laki, serta sapu tangan, syal, scarve, dan dasi dari proses batik.

Tentu masuknya impor batik dari China ini harus segera di evaluasi. Pemerintah dengan regulasi yang mengatur tentang ekspor impor harus segera bertindak. Tujuannya hanya untuk melindungi dan menyelamatkan pengusaha dan pengrajin dalam negeri. Jangan sampai, karena kalah modal, banyak pengusaha dan pengrajin gulung tikar. Akibat terburuknya, batik hanya akan tinggal sejarah karena tidak ada orang lagi yang berminat membuat batik atau memproduksinya.

Bukan rahasia lagi, jika barang impor dari China tak kalah kualitasnya dari barang local. Selain itu, harga yang ditawarkan batik impor dari China cukup mengerikan. Harga batik China jauh lebih murah bila dibandingkan dengan batik produksi lokal Pekalongan. Selisih harga antara keduanya bisa mencapai Rp 20-30 ribu/helai.

Masyarakat menengah ke bawah, tentu akan mengejar produk-produk impor dari China tersebut, dibanding membeli buatan asli Indonesia. Selain harganya relative murah, kualitasnya pun dapat dipastikan tidak kalah saing dengan produk lokal. Bahkan ada beberapa barang yang kualitasnya lebih bagus daripada batik local.

Sudah saatnya pemerintah mengambil sikap. Jika dibiarkan berlarut, barang-barang tekstil dari China membanjiri Nusantara. Hal ini akan berakibat fatal terhadap kelangsungan produksi batik dalam negeri. Jangan sampai, tragedy pengrajin mainan Indonesia yang harus berhenti berproduksi hanya karena kalah saing dengan produk mainan dari China terjadi juga terhadap produksi batik. Kita tidak menginginkan, industry batik kelas menengah kebawah kolep, kemudian banyak karyawan yang harus diberhentikan. Akibatnya, angka pengangguran negeri ini semakin bertambah.

Tentu ada cara yang dapat dilakukan untuk menyelamatkan batik dari kehancuran akibat impor dari China tersebut. Seperti pembatasan impor, pengenaan bea cukai yang tinggi, sampai pelarangan impor demi memajukan industry perbatikan dalam negeri. Atau dengan memberikan bantuan agar usaha batik menengah ke bawah mampu bersaing dalam pertarungan pasar global.

Rasanya aneh, jika kita mengaku bangga dengan batik sebagai warisan budaya nusantara, namun membeli batik buatan China hanya karena pertimbangan harga. Selain itu, tidak lucu juga apabila para pengrajin batik dan pengusaha batik kelas menengah ke bawah, harus bangkrut ditengah kemajuan batik dalam negeri. Maraknya peminat batik, seharusnya menjadi ajang bagi pengrajin batik dan pengusaha batik tanah air untuk meningkatkan taraf hidupnya yang lebih baik. Selain itu, batik yang telah menjadi budaya khas Indonesia, harus dijaga kemurniannya, jangan sampai orang mengira, bahwa batik adalah hasil budaya China. Mari bersama-sama kita selamatkan batik dalam negeri, sebagai perjuangan mempertahankan budaya luhur bangsa ini.

1 komentar:

Sbg konsumen kita bisa menyelematkan batik dgn cara membeli dan menggunakan produk lokal sehingga makin jadi tren berbusana

Posting Komentar