Selasa, 12 Februari 2013

Ironi Pecinan Semarang

Judul                     : Pecinan Semarang dan Dar-Der-Dor Kota
Penulis                 : Tubagus P.Svarajati
Penerbit               : Suka Buku
Tahun Terbit         : Oktober 2012
Tebal Halaman    : 250 Halaman
Harga                   : -
Resentator          : Kenthip Pujakesuma

Berbicara tentang keindahan wisata budaya di Semarang, pasti akan berbicara tentang daerah Pecinan. Sebuah kawasan di Semarang ini, kerap dijadikan objek wisata para pelancong untuk menyaksikan keindahan serta keunikan budaya di sana.

Di kawasan Pecinan, kita dapat menikmati aneka jajanan khas penduduk Tionghoa pada tiga hari di akhir pekan. Selain itu di tahun baru Imlek, kawasan ini ramai dipadati pengunjung. Sebuah acara bernama Pasar Imlek Semawis di gelar. Dalam acara Pasar Imlek Semawis itu, akan ditontonkan beraneka ragam kesenian khas masyarakat Tionghoa, makanan khas, aneka kerajinan pecah belah, kaligrafi dan tari barongsai dan juga tari naga.

Namun, dari keramaian dan kemegahan itu, ada sebuah ironi yang bergelayut di sana. Keindahan dan kemegahan yang ditampilkan bukan untuk menunjukkan bahwa inilah kawasan Pecinan, kota dengan sejuta sejarah. Tubagus P.Svarajati, adalah sesosok yang berani menguak ironi demi ironi tentang permasalahan yang dihadapi Pecinan Semarang.

Melalui buku berjudul “Pecinan Semarang dan Dar-Der-Dor kota” ini, Tubagus P.Svarajati mencoba menguak persoalan yang dihadapi Pecinan Semarang dalam bahasa kolom yang indah. Dalam buku ini, Tubagus mencoba  untuk menggiring kita ke dalam sebuah permasalahan dengan cara pandang yang berbeda. Melihat dari hal-hal yang kecil yang tak tampak oleh mata, mengenai hal mikro dari permasalahan makro yang dihadapi oleh masyarakat Pecinan Semarang.

Banyak hal yang disoroti oleh Tubagus dalam buku ini. Mengenai pelaksanaan kampong semawis misalnya, Tubagus menilai bahwa bukan revitalisasi yang terjadi seperti yang digaungkan oleh pegiat kampong semawis, melainkan hanya sebuah klangenan. Mereka seakan bergiat, padahal tidak berinteraksi atau mengakar kepada kebutuhan masyarakat yang hendak dilayani.  Adanya  konsep turisme di wilayah Pecinan menurut Tubagus, seharusnya berdampak pada kehidupan social masyarakatnya, bukan malah menjadikan mereka sebagai penonton.

Menurut Tubagus, premis “memajukan atau menghidupkan” (revitalisasi?) lagi kawasan Pecinan tidak berguna manakala dalam praktik malah kontraproduktif. Oleh karena itu, Kopi Semawis wajib melakukan riset komprehensif atas wilayah Pecinan sebelum menggelembungkan ide “revitalisasi”. (hlm 77).

Sejak Reformasi 1998 bergulir, kawasan Pecinan dijadikan sebagai salah satu lokasi wisata di Semarang. Namun Pecinan dirasa hanya dijadikan sebagai sumber komoditas (barang dagangan) untuk mengeruk keuntungan financial bagi segelintir elite yang terlibat. Sementara kekumuhan, kemiskinan, kesemerawutan serta soal kemacetan tak pernah diperhatikan.

Di titik-titik itulah tubagus menggugat. Melalui 48 esay yang terkumpul dalam buku ini, Tubagus mencoba untuk memberikan kritikan bahwa sebenarnya, ia tidak begitu setuju Pecinan dijadikan wilayah turisme. Ia ingin mengembalikan Pecinan sebagai tempat eksotis yang selama ini seakan-akan sekedar menjadi objek tatapan (object of the gaze) dari kalangan turis. Tubagus ingin mengembalikan anggapan bahwa Pecinan tidak boleh dipandang sebagai identitas yang bersifat statis. Ia berharap bahwa kawasan Pecinan harus berubah sesuai dinamika kehidupan yang ada.

Tidak hanya di bidang social dan tata kota saja yang menjadi bidikan Tubagus dalam buku setebal 250 halaman ini. Di bidang seni misalnya, Tubagus memandang seni bukan sekedar sebagai luapan estetika untuk membuktikan keahlian manusia mempraktikkan rasa keindahan. Ia menanggap bahwa kesenian sebagai kekuatan yang harus terlibat secara social. Untuk itu, ia selalu menggembar gemborkan tentang kehadiran mural untuk memperindah kota. Terutama diwilayah Pecinan, Tubagus sangat menekankan adanya kesenian mural sebagai tanda yang menunjukkan autentitas masyarakat Pecinan.

Di lain sisi, Tubagus sangat mengkritik keras upaya berkesenian yang sekedar menjiplak atau bergenit ria mengintimidasi kota lain yang memiliki akademi seni. Ia berkeinginan untuk menampik mitos yang telah dianggap mapan, bahwa Semarang adalah “kuburan bagi kesenian dan seniman”. Ia mengharapkan, bahwa Semarang dapat bangkit dan menjadi Kota yang memiliki nilai kesenian tinggi seperti masa lalu.

Sejarah keemasan kesenian Semarang, Ia sajikan dengan menuliskan kisah tiga orang tokoh seniman yang berasal dari Semarang, yakni Jongki Tio, Kok Poo, dan A.S Kurnia. Mereka yang dianggap Tubagus sebagai orang yang berjasa terhadap kesenian yang ada di Semarang. Namun, namanya kini tak pernah terdengar disebut lagi oleh generasi muda saat ini.

Secara keseluruhan, buku karya Tubagus P.Svarajati ini begitu mempesona. Kritik yang ia sampaikan tidak hanya kritik kosong tanpa solusi. Meski kadang, ia termasuk orang yang cenderung “pemarah” dalam menyampaikan kritiknya tersebut. Namun, secara keseluruhan, membaca tulisan-tulisan Tubagus, membuat kita enjoy dan begitu menikmati alur demi alur yang disajikan.

Terlepas dari kekurangan Tubagus, kumpulan esay yang dikumpulkan menjadi buku hebat ini, Tubagus membuat kita sadar tentang berbagai permasalahan yang terjadi di depan mata kita, juga solusi untuk mengembangkan kawasan Pecinan khususnya, dan Semarang pada umumnya untuk menjadi lebih baik. Benar yang dikatakan Gunawan Budi Susanto dalam endorsement buku ini, bahwa jika ada pertanyaan siapa yang mesti diajak bicara, sebagai pemangku kepentingan, tentang penanganan suatu kawasan dari segenap aspek di Kota Semarang, terutama kawasan Pecinan, jawabannya adalah Tubagus P.Svarajati!.

0 komentar:

Posting Komentar