Selasa, 08 Januari 2013

Ngangkang, Lebih Enak Lho!

Gaung genderang gender yang diteriakkan oleh tokoh Feminisme sekaliber Lady Mary Wortley Montagu dan Marquis de Condorcet, tak jua terasa di bumi Kartini. Pandangan sebelah mata terhadap perempuan masih saja dijumpai di negeri ini. Banyak kebijakan-kebijakan publik yang dinilai melukai semangat persamaan gender.

 Banyak kasus ketidaksetaraan gender terjadi di negeri ini menimpa kau hawa. Ironisnya, tak sedikit yang menilai bahwa kasus yang menimpa wanita disebabkan oleh tingkah lakunya sendiri. Bagai jatuh tertimpa tangga. Wanita di negeri ini selalu disalahkan atas setiap peristiwa yang menimpanya.

 Masih ingatkah tentang kasus pemerkosaan di angkutan umum yang terjadi di salah satu kota besar di Indonesia?. Apa yang terjadi saat itu, dikala si wanita korban tindakan asusila meminta perlindungan dan penegakan hukum setinggi-tingginya kepada pemerintah, ia malah disalahkan. Dengan enteng sang gubernur waktu itu mengatakan bahwa penggunaan rok mini oleh perempuan dalam angkutan umum menjadi penyebab awal keinginan sejumlah oknum untuk melakukan tindakan asusila.

 Begitulah wanita, sosok yang selalu didiskriminasi. Mulai sosoknya yang dijadikan objek iklan, kemolekan dan lekuk tubuhnya dipampang di ruang public, hingga kasus wanita yang selalu saja kalah bila berhadapan dengan laki-laki. Ada keluarga yang bercerai, yang disalahkan pasti perempuan. Tidak punya keturunan, wanita yang menjadi korban. Begitu dan selalu begitu yang terjadi.

 Kasus terbaru adalah surat edaran walikota Lhokseumawe, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) Suaidi Yahya, tentang pelarangan perempuan mengangkang saat di bonceng. Surat edaran tersebut diberlakukan pada seluruh perempuan di Lhoksumawe tak pandang bulu. Dari anak-anak, remaja putri, hingga ibu serta nenek di Lhoksumawe dilarang ngangkang saat di bonceng.

 Alih-alih menjaga kesopanan dan harkat martabat wanita seperti yang menjadi tujuan dari peraturan itu, kebijakan ini mendapat cemooh dan menimbulkan pro kontra. Banyak kalangan yang menilai penerapan kebijakan ini terlalu premature. Kebijakan yang terlalu dipaksakan tanpa melihat efek yang akan ditimbulkan.

 Melupakan hak dasar


Salah satu hak dasar manusia adalah hak untuk mendapatkan keselamatan dan kenyamanan. Pemaksaan kebijakan wanita tidak boleh ngangkang saat dibonceng tentu menafikkan hak dasar tentang keselamatan sekaligus kenyamanan. Menurut beberapa pakar transportasi, membonceng wanita dengan posisi miring, akan menjadikan kendaraan terutama sepeda motor menjadi tidak seimbang. Kelebihan berat di sebelah sisi kendaraan, mengakibatkan sepeda motor mudah oleng, dan mengalami kecelakaan.

 Kita bayangkan saja, jika seluruh wanita harus dibonceng dengan posisi miring, berapa korban yang akan ditimbulkan akibat kecelakaan di jalan?. Tidak jarang seseorang yang dibonceng, mengantuk. Dengan posisi miring, seseorang akan mudah terjatuh karena tidak memiliki keseimbangan yang baik. Dan ketika seseorang jatuh di jalan yang padat kendaraan, pasti menimbulkan kecelakaan karambol yang akan menimbulkan korban lainnya.

 Selain factor keselamatan, factor kenyamanan juga harus diperhatikan. Selain wanita yang dibonceng, para pria atau siapapun pengendara akan lebih nyaman bila yang dibonceng mengangkang. Kendaraan akan lebih stabil apabila yang dibonceng mengangkang, dibanding yang dibonceng duduk miring. Bagi wanita, dibonceng dengan posisi mengangkang pasti lebih enak dan nyaman. Selain tumpuan kaki yang lebih kuat karena menggunakan dua buah kaki, keseimbangan juga akan terjaga.

 Kebijakan larangan ngangkang saat dibonceng bagi wanita tentu menafikkan factor kenyamanan dan keselamatan wanita sendiri. Berdalih demi melindungi marwah perempuan, mewujudkan kesopanan, dan juga sebagai representasi dari budaya aceh yang berlatar belakang Syariat Islam, larangan ngangkang saat dibonceng bagi wanita telah menciderai hak dasar bagi manusia itu sendiri.

 Bukan syariat Islam

Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) KH Amidhan, mengatakan, dalam Syariat Islam, tidak ada aturan yang secara jelas membahas perempuan duduk ngangkang. Prinsip dasar Syariat Islam adalah membawa kemasalahatan atau membawa kesejahteraan bagi masyarakat, bukan sebaliknya membawa keresahan. Jika wanita dibonceng dengan posisi miring dapat menimbulkan banyak terjadi kecelakaan, hal itu berarti larangan membonceng ngangkang menimbulkan keresahan.

 Inilah yang harus dibenahi jika pemerintah Lhoksumawe mengeluarkan larangan itu berdasarkan ingin menegakkan Syariat Islam. Syariat islam tidak pernah membebani umatnya. Jika peraturan itu didasari adat istiadat serta budaya di Aceh, bisa dimaklumi.

 Namun, dalam mengeluarkan sebuah peraturan, tentu tidak akan melepaskan dari sisi historis dan juga sosiologis masyarakatnya. Mari kita mencoba mengenang sejarah, baik dalam Islam maupun sejarah Aceh. Dalam Islam, diceritakan bahwa Siti Aisyah r.a (Istri Nabi Muhammad SAW), dan perempuan lainnya waktu menunggang kuda ataupun onta saat berperang, pasti duduk dengan mengangkang. Mereka tidak mungkin duduk miring, jika duduk dengan posisi miring, mereka tidak akan bisa mengendalikan kuda ataupun onta yang ditungganginya.

 Dari sisi sosiologis dan juga historis Aceh, kita mengenal dan mengerti bahwa Cut Nyak Dhien, Cut Mutia dan beberapa pahlawan perempuan Aceh dahulu, menunggang kuda saat berperang juga pasti duduk dengan posisi mengangkang. Kita bayangkan saja, apabila pahlawan Nasional Aceh tersebut menunggang kuda dengan cara duduk miring saat berperang, tentu akan menjadi lucu dan tidak berwibawa. Selain itu, hal sebodoh itu pasti tidak akan terjadi.

 Lalu, apakah duduknya Siti Aisyah, Cut Nyak Dhien dan Cut Mutia yang mengangkang saat menunggang kuda dianggap tidak sopan? Dari sisi mana peraturan tersebut di buat, karena dari sisi historis dan juga sosiologis tidak nyambung?.

 Disinilah letak permasalahan tentang larangan duduk ngangkang yang akan diterapkan di Lhoksumawe. Sopan itu relative. Perempuan memang tidak sopan, jika duduk ngangkang saat dibonceng sepeda motor, dengan celana atau rok mini, sehingga auratnya terlihat. Selain itu, perempuan juga dianggap tidak sopan apabila ia mengangkang dan memeluk pria yang memboncengnya dengan erat, padahal mereka belum muhrim.

 Mengangkang akan dirasa sangat sopan, bila duduk dengan sewajarnya. Perempuan yang membawa barang atau anak kecil, akan lebih nyaman duduk mengangkang daripada miring. Selain itu, bagi yang sudah muhrim, tentu tidak ada masalah bagi mereka untuk duduk ngangkang. Karena diyakini atau tidak, dibonceng dengan posisi ngangkang, akan lebih enak dan nyaman, baik bagi pengemudi maupun penumpang. Tak percaya? Tanya saja pada mereka.

0 komentar:

Posting Komentar