Rabu, 07 November 2012

Andai Saya SBY

Di tengah tingginya ketidakpercayaan masyarakat terhadap kinerja pemerintah, muncul kasus baru yang menambah murka rakyat ini. Kasus dimana saya akan mempertimbangkan kembali pencabutan grasi yang telah diberikannya kepada gembong narkoba Meirika Franola alias Ola.

Seperti yang diketahui beberapa waktu lalu, bahwa saya yang dengan kewenangan khusus telah memberikan grasi kepada terpidana mati gembong narkoba Meirika Franola alias Ola. Grasi tersebut saya berikan demi penegakan Hak Asasi Manusia dan juga pertimbangan politik lainnya. Tepat pada 26 September 2011 yang lalu, saya memberikan grasi kepada Ola karena saya menduga ia hanya sebagai kurir. Saya kok sepertinya kasihan dan menganggap hukuman mati yang harus dijalaninya tidak pantas. Dan akhirnya saya memberikan pengampunan, sehingga hukuman mati yang diterimanya menjadi hukuman pidana penjara seumur hidup.

Namun kali ini, Grasi yang saya berikan kepada Ola, bak boomerang yang kembali menyerang saya. Seperti yang diberitakan oleh beberapa media, bahwa  Badan Narkotika Nasional (BNN) menangkap seseorang yang kedapatan membawa sabu-sabu seberat 775 gram di Bandara Husein Sastranegara, Bandung, Jawa Barat pada tanggal 4 Oktober lalu. Pemilik narkoba tersebut, Nur Aisyah mengaku membawa sabu-sabu dari India atas perintah Meirika Franola alias Ola. Padahal, Ola masih berada di rumah tahanan Pondok Bambu.

Kali ini, Saya benar-benar mati kutu. Pemberian grasi kepada gembong narkotika yang awalnya dikecam oleh masyarakat, terbukti salah. Alih-alih memberikan pengampunan agar yang bersangkutan berubah menjadi lebih baik, malah semakin gencar melakukan aksinya. Meski ia sekarang masih meringkuk di dalam sel, namun mampu melakukan bisnis terlarangnya dari balik jeruji besi.

Sebuah Dilema

Saat ini saya sedang pusing tujuh keliling. Problem Kali ini bukan masalah sepele, namun mengenai harga diri dan kehormatan saya sebagai Presiden.  Saya tidak mau dianggap plin-plan dan tidak gentle. Saya juga tidak mau dianggap menjilat lidah sendiri. Saya harus segera  bertindak dan segera mengambil keputusan, meski saya tahu, semua keputusan yang kelak saya ambil mengandung resiko yang berat.

Dulu, saat saya mendengar dari beberapa penasehat saya,  agar memberikan grasi kepada Ola dan beberapa gembong narkotika berpasport asing. Ini saya lakukan, demi kebaikan bersama. Selain hubungan bilateral antara Negara kita dengan Negara para terpidana tersebut, juga demi menegakkan hak asasi manusia.  Dengan pemberian grasi, saya berharap jika ada warga Negara saya yang apabila tersangkut hokum di Negara lain, juga akan diberikan pengampunan yang sama.

Meski pro dan kontra terhadap keputusan saya, pemberian grasi itu tetap saya lakukan. Namun Ola telah mencoreng kebaikan yang saya berikan dengan malu yang sangat. Bukannya berterimakasih dan mencoba memperbaiki dirinya, malah membuat saya murka. Saya menyesal telah memberikan pengampunan kepadanya.

Saya mempertimbangkan untuk mencabut grasi kepada yang bersangkutan. Dan pertimbangan untuk pencabutan itu sangat-sangat besar kemungkinannya saya lakukan. Karena Ola tidak menunjukkan itikad baik untuk berubah. Kasus ditangkapnya Nur Aisyah yang mengaku kurir Ola, membuat saya murka. Dia yang sekarang masih meringkuk dalam penjara, masih juga melakukan kejahatannya.

Namun, mencabut grasi tidak semudah mencabut rumput dari halaman. Belum juga saya mencabut secara resmi grasi terhadap Ola, para pakar dan juga masyarakat sudah mengecam saya. Seolah saya tidak gentle, plin-plan, tidak tegas sebagai seorang pemimpin.  Selain itu, mereka semakin tertawa lebar karena merayakan kemenangannya yang berhasil membuktikan kesalahan saya dalam mengambil keputusan pemberian grasi tersebut.

Saya sangat malu saat ini, namun mengedepankan malu bukanlah hal yang harus saya kedepankan. Saya harus segera meminta maaf kepada rakyat Indonesia bahwa keputusan saya memberikan grasi kepada gembong narkotika kelas dunia telah salah. Dan saya akan mencabut grasi yang telah saya berikan kepada Ola. Saya rasa itu hal yang tepat. Meski banyak orang yang mengatakan bahwa saya plin-plan dan bahkan menciderai proses hokum di Negara ini.

Saya tahu, bahwa jika menaati secara konsekuen dan konsisten, maka langkah saya mencabut grasi adalah hal yang salah. Karena grasi yang telah saya berikan, tidak bisa dicabut lagi. Meski dalam tatanan hukum formal tidak ada larangan pencabutan grasi, pencabutan grasi yang saya lakukan dapat melanggar konvensi dan akan menimbulkan ketidakpastian hukum.

Banyak pendapat yang sebenarnya dapat saya pertimbangkan, salah satunya dari sahabat saya yang juga pakar hukum tata Negara, Jimly Asshiddiqie. Ia telah memberikan opininya agar saya tidak mencabut grasi saya. Yang harus saya lakukan adalah membuat kasus pidana baru dengan ancaman hukuman baru yang lebih berat lagi. Bahkan katanya, kalau perlu dengan pidana hukuman mati. Sepertinya, saya harus mendengarkan usulan dari sahabat saya itu, karena tak ada hal lain yang dapat saya lakukan.

Selain itu, saya juga akan segera meminta maaf kepada bangsa dan Negara ini karena kesalahan saya. Saya akan mengakui dengan setulus hati, bahwa saya melakukan kesalahan yang sangat fatal. Kasus ini, akan saya jadikan pelajaran ke depan, agar lebih berhati-hati dalam mengambil keputusan, termasuk pemberian grasi.

Saya tidak ingin dianggap orang gagal dalam memimpin negeri ini. Masih ada sedikit waktu buat saya untuk memperbaiki semuanya. Sebelum saya harus meninggalkan kursi yang kini saya duduki. Walaupun banyak pihak yang merasa tidak puas dan menganggap saya telah gagal, namun saya tidak akan marah. Karena mungkin itulah kemampuan saya, dan satu hal yang saya yakini, bahwa selama memimpin negeri ini, saya hanya ingin melakukan yang terbaik. Itu saja.

0 komentar:

Posting Komentar