Jangan Bercerai-Berai Karena Perbedaan

Perbedaan memang tidak mungkin tidak terjadi, selama manusia terus berfikir. Maka perbedaan tersebut dapat menjadi sebuah rahmat, apabila dengan perbedaan tersebut, akan menumbuhkan rasa saling hormat-menghormati dan menghargai. Namun perbedaan akan menjadi adzab, apabila dalam diri kita tertanam sebuah virus bernama fanatic sempit.

Pelajaran Dari Romo Carolus

Charles Patrick Edwards Burrows,OMI adalah nama kecil sang peraih penghargaan tersebut. Ia adalah seorang Pastor di Paroki St Stephanus Cilacap. Setelah kedatangannya di Indonesia pada tahun 1973, ia tertarik untuk mengabdikan diri kepada masyarakat di Kampung Laut Kabupaten Cilacap.

Rintihku

Aku menatap dalam lara Kembali menitikkan air mata Ia tak berdosa Namun aku tega menjatuhkannya Butir putih itu Menghujam deras menghancurkan hidupku Remuk sudah hati menatap cahya Mu Yang terang, namun dihatiku kau gelap Tertutup nafsuku, egoisku, dan dosaku.

Tapak-Tapak Suci, Sebuah Kisah Perjalanan Pemuda Desa

“ Bukalah surat ini ketika kau berada di antara dua pulau, saat kau terombang ambing di tengah lautan, dan saat itu kau akan merasakan betapa aku menyayangimu”..

La Tahzan, Saudaraku!

La Tahzan, Saudaraku. Kecelakaan yang menimpa saudara kita penumpang Shukoi Superjet 100 memang sangatlah tragis. Kita semua bersedih. Namun jangan kita terlarut dalam kesedihan. Yakin bahwa Allah Tuhan Yang Maha Esa telah merencanakan hal dibalik itu semua.

Rabu, 20 Februari 2013

Selamatkan Industri Batik Dalam Negeri!

Kota batik di Pekalongan,
Bukan Jogja eh Bukan Solo..


Salah satu bait dari lagu Slank Berjudul “SBY (Sosial Betawi Yoi)” ini menggambarkan Pekalongan sebagai Icon batik di Nusantara. Bukan hanya Pekalongan, kota lain seperti Solo, Yogya, Cirebon, Indramayu, Garut, Pekalongan, Tasikmalaya, Ciamis, Lasem, Madura, Jambi,Tuban, Banyumas, Palembang, Trenggalek, dan kota lainnya juga tempat industry batik. Untuk alas an itulah, tidak salah jika Batik terkenal salah satu kebudayaan asli Indonesia. Hal ini lebih dikuatkan dengan ditetapkan oleh UNESCO (United nations educational, scientific and cultural organization) bahwa batik sebagai Warisan Budaya milik Indonesia pada tanggal 2 Oktober 2009.

Untuk melestarikan batik sebagai budaya bangsa, masyarakat berduyun-duyun membeli dan memakai batik. Kesan batik yang kuno, kini mulai terkikis dengan seringnya batik digunakan oleh masyarakat. Tidak hanya dalam acara resmi seperti pernikahan atau acara sacral lainnya, batik kini menjadi fashion dan trend di Nusantara.

Meningkatnya kesadaran masyarakat akan pelestarian Batik sebagai budaya bangsa, tentu menjadi angin segar bagi pengrajin batik. Secara signifikan, omzet mereka dipastikan meningkat. Permintaan pasar akan produk batik pasti melonjak. Dan hal ini akan berimbas pada peningkatan pendapatan masyarakat terutama pengrajin dan pembisnis batik.

Namun, industry batik yang seharusnya maju, harus dihadapkan dengan permasalahan pelik yang selalu saja mencekik produk dalam negeri. Permasalahan yang sejak dulu menjadi musuh bagi pengusaha dan pengrajin kelas menengah kecil, impor. Sudah sejak lama komoditas asli negeri ini, harus kalah saing dengan barang impor.

Kini, batik yang menghadapi permasalahan itu. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) yang dikutip detikFinance, Rabu (20/2/2013), tercatat sebanyak 1.037 ton produk batik yang masuk dari China ke Indonesia dengan nilai US$ 30 juta, atau sekitar Rp 285 miliar sepanjang 2012 lalu. Impor terbesar adalah untuk jenis kain tenun dicetak batik yaitu sebanyak 677,4 ton dengan nilai US$ 23,3 juta, dan kain tenun yang dicetak dengan proses batik sebanyak 199,2 ton dengan nilai US$ 1,8 juta pada 2012 lalu.

lagi, impor dari negeri tirai bambu menjamur di negeri ini. Setelah barang elektronik, buah-buahan, aneka mainan anak-anak, kini merambah ke dunia tekstil. Pepatah bahwa tidak ada barang di negeri ini yang lolos dari gempuran produk China sepertinya bukan gurauan. Buktinya, produk impor dari China begitu merajai di Indonesia dan membunuh pengusaha dan pengrajin kelas menengah ke bawah. Akibatnya, tidak ada kata lain selain gulung tikar.

Dari data yang dikutip detik.com, masuknya impor produk batik ini terbesar terjadi pada Juli 2012 yaitu sebanyak 106,7 ton dengan nilai US$ 3,6 juta, dan pada Desember 2012 sebanyak 87,4 ton dengan nilai US$ 3 juta. Selain jenis kain batik, ada juga beberapa bentuk barang jadi seperti jaket, blazer, celana, baju untuk perempuan dan laki-laki, serta sapu tangan, syal, scarve, dan dasi dari proses batik.

Tentu masuknya impor batik dari China ini harus segera di evaluasi. Pemerintah dengan regulasi yang mengatur tentang ekspor impor harus segera bertindak. Tujuannya hanya untuk melindungi dan menyelamatkan pengusaha dan pengrajin dalam negeri. Jangan sampai, karena kalah modal, banyak pengusaha dan pengrajin gulung tikar. Akibat terburuknya, batik hanya akan tinggal sejarah karena tidak ada orang lagi yang berminat membuat batik atau memproduksinya.

Bukan rahasia lagi, jika barang impor dari China tak kalah kualitasnya dari barang local. Selain itu, harga yang ditawarkan batik impor dari China cukup mengerikan. Harga batik China jauh lebih murah bila dibandingkan dengan batik produksi lokal Pekalongan. Selisih harga antara keduanya bisa mencapai Rp 20-30 ribu/helai.

Masyarakat menengah ke bawah, tentu akan mengejar produk-produk impor dari China tersebut, dibanding membeli buatan asli Indonesia. Selain harganya relative murah, kualitasnya pun dapat dipastikan tidak kalah saing dengan produk lokal. Bahkan ada beberapa barang yang kualitasnya lebih bagus daripada batik local.

Sudah saatnya pemerintah mengambil sikap. Jika dibiarkan berlarut, barang-barang tekstil dari China membanjiri Nusantara. Hal ini akan berakibat fatal terhadap kelangsungan produksi batik dalam negeri. Jangan sampai, tragedy pengrajin mainan Indonesia yang harus berhenti berproduksi hanya karena kalah saing dengan produk mainan dari China terjadi juga terhadap produksi batik. Kita tidak menginginkan, industry batik kelas menengah kebawah kolep, kemudian banyak karyawan yang harus diberhentikan. Akibatnya, angka pengangguran negeri ini semakin bertambah.

Tentu ada cara yang dapat dilakukan untuk menyelamatkan batik dari kehancuran akibat impor dari China tersebut. Seperti pembatasan impor, pengenaan bea cukai yang tinggi, sampai pelarangan impor demi memajukan industry perbatikan dalam negeri. Atau dengan memberikan bantuan agar usaha batik menengah ke bawah mampu bersaing dalam pertarungan pasar global.

Rasanya aneh, jika kita mengaku bangga dengan batik sebagai warisan budaya nusantara, namun membeli batik buatan China hanya karena pertimbangan harga. Selain itu, tidak lucu juga apabila para pengrajin batik dan pengusaha batik kelas menengah ke bawah, harus bangkrut ditengah kemajuan batik dalam negeri. Maraknya peminat batik, seharusnya menjadi ajang bagi pengrajin batik dan pengusaha batik tanah air untuk meningkatkan taraf hidupnya yang lebih baik. Selain itu, batik yang telah menjadi budaya khas Indonesia, harus dijaga kemurniannya, jangan sampai orang mengira, bahwa batik adalah hasil budaya China. Mari bersama-sama kita selamatkan batik dalam negeri, sebagai perjuangan mempertahankan budaya luhur bangsa ini.

Kamis, 14 Februari 2013

Happy Valentine Days, Putri

Happy Valentine Putri,

Hari ini,14 Februari 2013
Ingin ku ungkapkan sesuatu yang mesti kau tahu
Tentang perasaanku padamu..

Hari ini,
Meski ku tak dapat memberikanmu sebatang Coklat yang manis
Juga sekuntum bunga mawar merah
nan elok merekah
Namun sayangku padamu tak pernah berkurang... 

Meski raga kita jauh,
Langit dan bumi jadi saksi
Betapa mereka iri melihat kemesraan kita berdua

Cinta kita bukan seperti sebatang coklat,
Yang manis hanya sesaat,
Lalu hilang tak berasa.

Juga bukan sekuntum mawar,
Yang suatu saat akan layu
Kemudian gugur tak berharga

Cinta kita bukan angin, 
Bukan langit,
Bukan Bumi,
Apalagi api,
Cinta kita adalah cinta sejati
Tak ada yang serupa dengannya.

Aku mencintaimu,
Saat ini, dan sampai kapanpun!

Hingga nyawa ini pergi,
Saat itu pun, aku tetap mencintaimu...
Akan ku pegang erat tanganmu,
Dan bisikkan kata mesra untukmu,
Bahwa aku akan menantimu
di Surga..

Happy Valentine kasih,
Dunia tahu bahwa aku mencintaimu
Itu sudah..

Semarang, 14 Februari 2013.
Untuk putriku yang jauh disana
Yang tak dapat merayakan Valentine bersamaku...









Selasa, 12 Februari 2013

Ironi Pecinan Semarang

Judul                     : Pecinan Semarang dan Dar-Der-Dor Kota
Penulis                 : Tubagus P.Svarajati
Penerbit               : Suka Buku
Tahun Terbit         : Oktober 2012
Tebal Halaman    : 250 Halaman
Harga                   : -
Resentator          : Kenthip Pujakesuma

Berbicara tentang keindahan wisata budaya di Semarang, pasti akan berbicara tentang daerah Pecinan. Sebuah kawasan di Semarang ini, kerap dijadikan objek wisata para pelancong untuk menyaksikan keindahan serta keunikan budaya di sana.

Di kawasan Pecinan, kita dapat menikmati aneka jajanan khas penduduk Tionghoa pada tiga hari di akhir pekan. Selain itu di tahun baru Imlek, kawasan ini ramai dipadati pengunjung. Sebuah acara bernama Pasar Imlek Semawis di gelar. Dalam acara Pasar Imlek Semawis itu, akan ditontonkan beraneka ragam kesenian khas masyarakat Tionghoa, makanan khas, aneka kerajinan pecah belah, kaligrafi dan tari barongsai dan juga tari naga.

Namun, dari keramaian dan kemegahan itu, ada sebuah ironi yang bergelayut di sana. Keindahan dan kemegahan yang ditampilkan bukan untuk menunjukkan bahwa inilah kawasan Pecinan, kota dengan sejuta sejarah. Tubagus P.Svarajati, adalah sesosok yang berani menguak ironi demi ironi tentang permasalahan yang dihadapi Pecinan Semarang.

Melalui buku berjudul “Pecinan Semarang dan Dar-Der-Dor kota” ini, Tubagus P.Svarajati mencoba menguak persoalan yang dihadapi Pecinan Semarang dalam bahasa kolom yang indah. Dalam buku ini, Tubagus mencoba  untuk menggiring kita ke dalam sebuah permasalahan dengan cara pandang yang berbeda. Melihat dari hal-hal yang kecil yang tak tampak oleh mata, mengenai hal mikro dari permasalahan makro yang dihadapi oleh masyarakat Pecinan Semarang.

Banyak hal yang disoroti oleh Tubagus dalam buku ini. Mengenai pelaksanaan kampong semawis misalnya, Tubagus menilai bahwa bukan revitalisasi yang terjadi seperti yang digaungkan oleh pegiat kampong semawis, melainkan hanya sebuah klangenan. Mereka seakan bergiat, padahal tidak berinteraksi atau mengakar kepada kebutuhan masyarakat yang hendak dilayani.  Adanya  konsep turisme di wilayah Pecinan menurut Tubagus, seharusnya berdampak pada kehidupan social masyarakatnya, bukan malah menjadikan mereka sebagai penonton.

Menurut Tubagus, premis “memajukan atau menghidupkan” (revitalisasi?) lagi kawasan Pecinan tidak berguna manakala dalam praktik malah kontraproduktif. Oleh karena itu, Kopi Semawis wajib melakukan riset komprehensif atas wilayah Pecinan sebelum menggelembungkan ide “revitalisasi”. (hlm 77).

Sejak Reformasi 1998 bergulir, kawasan Pecinan dijadikan sebagai salah satu lokasi wisata di Semarang. Namun Pecinan dirasa hanya dijadikan sebagai sumber komoditas (barang dagangan) untuk mengeruk keuntungan financial bagi segelintir elite yang terlibat. Sementara kekumuhan, kemiskinan, kesemerawutan serta soal kemacetan tak pernah diperhatikan.

Di titik-titik itulah tubagus menggugat. Melalui 48 esay yang terkumpul dalam buku ini, Tubagus mencoba untuk memberikan kritikan bahwa sebenarnya, ia tidak begitu setuju Pecinan dijadikan wilayah turisme. Ia ingin mengembalikan Pecinan sebagai tempat eksotis yang selama ini seakan-akan sekedar menjadi objek tatapan (object of the gaze) dari kalangan turis. Tubagus ingin mengembalikan anggapan bahwa Pecinan tidak boleh dipandang sebagai identitas yang bersifat statis. Ia berharap bahwa kawasan Pecinan harus berubah sesuai dinamika kehidupan yang ada.

Tidak hanya di bidang social dan tata kota saja yang menjadi bidikan Tubagus dalam buku setebal 250 halaman ini. Di bidang seni misalnya, Tubagus memandang seni bukan sekedar sebagai luapan estetika untuk membuktikan keahlian manusia mempraktikkan rasa keindahan. Ia menanggap bahwa kesenian sebagai kekuatan yang harus terlibat secara social. Untuk itu, ia selalu menggembar gemborkan tentang kehadiran mural untuk memperindah kota. Terutama diwilayah Pecinan, Tubagus sangat menekankan adanya kesenian mural sebagai tanda yang menunjukkan autentitas masyarakat Pecinan.

Di lain sisi, Tubagus sangat mengkritik keras upaya berkesenian yang sekedar menjiplak atau bergenit ria mengintimidasi kota lain yang memiliki akademi seni. Ia berkeinginan untuk menampik mitos yang telah dianggap mapan, bahwa Semarang adalah “kuburan bagi kesenian dan seniman”. Ia mengharapkan, bahwa Semarang dapat bangkit dan menjadi Kota yang memiliki nilai kesenian tinggi seperti masa lalu.

Sejarah keemasan kesenian Semarang, Ia sajikan dengan menuliskan kisah tiga orang tokoh seniman yang berasal dari Semarang, yakni Jongki Tio, Kok Poo, dan A.S Kurnia. Mereka yang dianggap Tubagus sebagai orang yang berjasa terhadap kesenian yang ada di Semarang. Namun, namanya kini tak pernah terdengar disebut lagi oleh generasi muda saat ini.

Secara keseluruhan, buku karya Tubagus P.Svarajati ini begitu mempesona. Kritik yang ia sampaikan tidak hanya kritik kosong tanpa solusi. Meski kadang, ia termasuk orang yang cenderung “pemarah” dalam menyampaikan kritiknya tersebut. Namun, secara keseluruhan, membaca tulisan-tulisan Tubagus, membuat kita enjoy dan begitu menikmati alur demi alur yang disajikan.

Terlepas dari kekurangan Tubagus, kumpulan esay yang dikumpulkan menjadi buku hebat ini, Tubagus membuat kita sadar tentang berbagai permasalahan yang terjadi di depan mata kita, juga solusi untuk mengembangkan kawasan Pecinan khususnya, dan Semarang pada umumnya untuk menjadi lebih baik. Benar yang dikatakan Gunawan Budi Susanto dalam endorsement buku ini, bahwa jika ada pertanyaan siapa yang mesti diajak bicara, sebagai pemangku kepentingan, tentang penanganan suatu kawasan dari segenap aspek di Kota Semarang, terutama kawasan Pecinan, jawabannya adalah Tubagus P.Svarajati!.

Kamis, 07 Februari 2013

Agama dalam Dekapan Politik Busuk

Menarik jika membaca sebuah tulisan Ahmad Syafii Maarif dalam Rubrik Opini di Surat Kabar Harian Kompas (6/2/13). Tulisan berjudul “Politik dan Uang” tersebut begitu menggelitik. Pendiri Maarif Institute tersebut dengan gamblang menyoroti kasus perpolitikan negeri ini. Titik permasalahannya sekali lagi tak lepas dari permasalahan yang kini masih saja menjadi momok negeri ini. Korupsi!.

Tulisan ini dimulai Syafii dengan menggambarkan tentang perdebatan panjang kurun waktu 1930 an antara kaum santri nasionalis dan nasionalis non santri. Perdebatan tersebut tidak lain tentang permasalahan politik itu kotor atau tidak.

Dalam perdebatan tersebut, kaum non santri menegaskan bahwa politik itu sampai kapanpun tetap kotor, sehingga agama yang suci jangan sampai terkontaminasi dengan membawanya kedalam kotornya politik tersebut. Sementara itu, kaum santri mengganggap, justru karena politik itu kotor, maka harus dibersihkan dengan kesucian agama.

Dari pandangan kedua belah pihak, sebenarnya keduanya mengakui bahwa politik itu benar-benar kotor. Perbedaannya adalah, kaum non santri ingin memisahkan agama agar tidak bercampur dengan kotornya politik. Di sisi lain, kaum santri bersikukuh bahwa agar politik itu tidak menjadi kotor, maka politik jangan sampai dipisahkan dari agama.

Kekhawatiran itu Benar Terjadi

Ada kesamaan perdebatan kaum santri dan non santri yang terjadi sekitar 1930 an itu, dengan kasus yang terjadi saat ini. Kasus di Gunturkannya Presiden Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Luthfi Hasan Ishaaq oleh KPK dalam kasus impor daging sapi dapat menjadi alas an mengapa kaum non santri menginginkan politik dipisahkan dari agama.

Bukan rahasia lagi, jika Partai Keadilan Sejahtera (PKS) adalah salah satu partai yang dengan berani mengatakan partai beridiologi islam. “Bersih, agamais dan professional” yang menjadi slogan partai dakwah ini dipertanyakan kebenarannya setelah presiden mereka menjadi tersangka dalam kasus Impor daging sapi.

Tidak hanya PKS yang menjadi sorotan dalam kasus ini, mau tidak mau, Islam pun menjadi “tersangka”. Serangan kaum lain yang selama ini selalu menjelek-jelekkan Islam akan terdengar begitu nyaring. Dengan kejadian ini, mereka akan semakin tertawa dan mengejek Islam. Seolah menemukan momennya, kasus tersebut membuka ruang untuk mereka untuk menyebarkan kebenciannya.

Disinilah mengapa gagasan Nur Kholis Madjid tentang “Islam Yes, Partai Islam No” patut dipertimbangkan.  Pemikiran yang kemudian dikenal dengan sebutan “Sekularisasi” ini, seharusnya menjadi acuan dalam perpolitikan Indonesia saat ini. Membedakan antara mana ranah agama dengan partai politik, tentu hal yang harus segera dilakukan. Hal ini untuk menghindari terseretnya kesucian agama lebih masuk ke dalam busuknya politik dewasa ini.

Gagasan Cak Nur tersebut sepertinya mendesak dilakukan saat ini. Dikala cita-cita luhur para kaum santri yang dahulu mencoba membersikan kebusukan politik, dengan mengikutkan agama dalam perpolitikan Nasional, sudah berubah haluan. Mereka para tokoh santri terdahulu yang terjun ke dunia politik, dengan kokoh menjaga martabat dirinya agar tidak terkontaminasi dengan kotornya politik. Namun sekarang, sebagian tokoh santri yang juga mencoba meneruskan cita-cita luhur itu, justru bangga berkubang dalam luapan lumpur kotor politik.

Agama yang notabene adalah suci, harus ikut terlibat dalam kotor dan busuknya oknum yang bergelut di dunia politik. Serangan massif media massa, semakin membuat agama yang “di dzolimi” itu tercoreng. Ungkapan “Kiainya saja korupsi, bagaimana santrinya?” atau “Presiden partai yang katanya partai Dakwah saja di Gunturkan, bagaimana pengikutnya?” dan yang lebih parah lagi “Apakah agama mereka tidak mengajarkan pelajaran moral, bahwa mencuri uang rakyat itu termasuk perbuatan dosa?”.

Ungkapan dan pertanyaan itu mau tidak mau akan membuat kita penganut agama menjadi malu. Agama yang berarti “A” tidak dan “Gama” yang berarti rusak, malah dibuat tameng untuk menimbulkan kerusakan. Hal ini harus segera ditindak lanjuti, demi kesucian dan keluhuran agama.

Tentukan Jenis Kelamin

Tidak semua partai dengan symbol agama atau yang dengan tegas menyatakan bahwa landasan idiologis partainya adalah agama, kemudian tersandung masalah moral. Sejarah perpolitikan Indonesia mencatat, dua partai besar berlandaskan agama yang sukses menjadikan agama sebagai landasan dan ajaran moral yang wajib dipedomani dalam mengawal perilaku politik anggotanya. Sebut saja Masyumi dan Partai Katolik. Meski keduanya memiliki landasan agama yang berbeda, namun para tokohnya sangat ketat mengawal moralitas anggotanya.

Para tokoh kedua partai moralis tersebut percaya, bahwa tanpa moralitas yang baik, politik pasti merusak (deskruktif). Lalu bagaimana dengan kondisi yang sekarang terjadi dalam perpolitikan kita?. Pertanyaan yang cerdas. Dalam kondisi politik yang sudah rusak ini, sudah selayaknya kita mencoba melakukan apa yang kaum non santri pada era 1930-an dan juga tentang mandat Cak Nur dengan memisahkan keterlibatan agama dalam politik.

Sudah saatnya partai politik juga para politisi di Negeri ini menentukan jenis kelamin mereka. Jika masih ingin mengaku sebagai partai atau politisi yang beridiologi agama, maka harus membuktikannya dengan memberikan manfaat kepada orang banyak. Karena sebaik-baiknya manusia, adalah yang dapat bermanfaat bagi orang lain. Namun, jika memang tidak dapat melakukan hal tersebut, sudah buang saja simbol-simbol agama yang selama ini dipaksakan melekat. Jangan kepalang tanggung, langsung saja berendam dan menyelam dalam samudra politik yang kotor dan busuk itu. Bergabung dengan para politisi lain yang “seiman”.

Sumber Kompas edisi Rabu 6/2/2013 dan berbagai sumber terkait.