Jangan Bercerai-Berai Karena Perbedaan

Perbedaan memang tidak mungkin tidak terjadi, selama manusia terus berfikir. Maka perbedaan tersebut dapat menjadi sebuah rahmat, apabila dengan perbedaan tersebut, akan menumbuhkan rasa saling hormat-menghormati dan menghargai. Namun perbedaan akan menjadi adzab, apabila dalam diri kita tertanam sebuah virus bernama fanatic sempit.

Pelajaran Dari Romo Carolus

Charles Patrick Edwards Burrows,OMI adalah nama kecil sang peraih penghargaan tersebut. Ia adalah seorang Pastor di Paroki St Stephanus Cilacap. Setelah kedatangannya di Indonesia pada tahun 1973, ia tertarik untuk mengabdikan diri kepada masyarakat di Kampung Laut Kabupaten Cilacap.

Rintihku

Aku menatap dalam lara Kembali menitikkan air mata Ia tak berdosa Namun aku tega menjatuhkannya Butir putih itu Menghujam deras menghancurkan hidupku Remuk sudah hati menatap cahya Mu Yang terang, namun dihatiku kau gelap Tertutup nafsuku, egoisku, dan dosaku.

Tapak-Tapak Suci, Sebuah Kisah Perjalanan Pemuda Desa

“ Bukalah surat ini ketika kau berada di antara dua pulau, saat kau terombang ambing di tengah lautan, dan saat itu kau akan merasakan betapa aku menyayangimu”..

La Tahzan, Saudaraku!

La Tahzan, Saudaraku. Kecelakaan yang menimpa saudara kita penumpang Shukoi Superjet 100 memang sangatlah tragis. Kita semua bersedih. Namun jangan kita terlarut dalam kesedihan. Yakin bahwa Allah Tuhan Yang Maha Esa telah merencanakan hal dibalik itu semua.

Selasa, 31 Juli 2012

Jangan Biarkan Nila Setitik Rusak Susu Sebelanga


Ada ungkapan yang mungkin tidak asing lagi ditelinga kita, tentang sebuah peribahasa yang berbunyi “Karena nila setitik, rusak susu sebelanga”. Saya ingat ketika masih duduk di bangku SD, peribahasa tersebut selalu saja dituliskan oleh guru-guru saya di papan dengan kapur tulis berdebu. Sementara kami disuruh menyalinnya di buku tulis bergaris tiga (buku tulis latin). Dengan pensil yang kadang patah ditengah jalan akibat terlalu bersemangat. Selain bersemangat, menulis latin membutuhkan ketelitian dan juga seni tinggi, ibu guru dengan telaten memberikan pengarahan kepada kami waktu itu. 

Saat pelajaran itu, saya dan mungkin teman-teman saya yang lain tidak seberapa peduli dengan apa sebenarnya maksud dari tulisan seperti cacing menari itu. Yang kami tahu, bagaiman agar tulisan itu dapat tersalin di buku tulis latin kami, sehingga mendapatkan nilai dari guru. Namun kini saya baru sadar, bahwa dengan kehati-hatian dan ketelatenan, ternyata saya dapat mengerti apa sebenarnya makna dari peribahasa yang cukup sederhana itu. Sebuah pelajaran moral yang sangat berharga. Sebuah pondasi sikap yang ditanamkan guru kami kepada anak negeri ini agar dapat menapaki kehidupan dimasa mendatang dengan baik.

Peribahasa tersebut kurang lebih berarti seperti ini “Akibat keburukan yang sangat sedikit, rusak dan musnah semua kebaikan yang telah dilakukan selama ini”. Atau dalam bahasa yang lebih sederhana seseorang akan menjadi I’ll feel yang sering diartikan “ilang felling” oleh anak gaul zaman sekarang. Intinya, orang akan menjadi tidak suka bahkan membenci kita, karena kita melakukan perbuatan buruk, walaupun perbuatan buruk itu tidak sebanding dengan kebaikan dan prestasi yang selama ini kita perbuat.

Banyak sekali kasus yang terjadi yang membuktikan kebenaran dari peribahasa “Karena nila setitik, rusak susu sebelanga” tersebut.  Sang pencipta peribahasa ini seolah sudah tahu, apa yang akan terjadi saat ini. Dimana banyak orang baik, orang sholeh, orang berprestasi, menjadi hancur karena kesalahan yang ia lakukan. Seberapapun kebaikan, kesholehan dan prestasi seseorang, bagai susu sebelanga yang akan menjadi pahit karena nila yang setitik. Sebuah hal yang cukup menyesakkan.

Kita ambil contoh beberapa orang yang menjadi hancur akibat kesalahan yang tidak sebanding dengan kebaikannya. Kita mungkin masih ingat bagaimana AA Gym, seorang dai kondang yang cukup terkenal dan dihormati. Tausiyah nya selalu dinanti oleh umat Islam di Indonesia. Banyak sekali jamaah pengajian yang rela terutama ibu-ibu rumah tangga datang ke Pondok Darut Tauhid untuk mendengarkan pengajian Abdullah Gymnastiar ini. Hal ini dilakukan Ia mampu membangun  citra sebagai sosok pemuka agama yang berbeda dengan ulama lainnya. Aa Gym tidak hanya berdakwah dengan keutamaan  salat, puasa, dan kemegahan surge seperti ulama lainnya, namun Aa Gym memilih untuk bercerita tentang pentingnya hati yang tulus, keluarga yang sakinah dengan menggunakan bahasa sehari-hari yang ringan dan menyenangkan. 

Namun susu sebelanga yang telah Aa Gym  torehkan selama ini, menjadi hancur ketika ia memutuskan untuk berpoligami. Sontak saat itu jamaah yang sebagian ibu-ibu rumah tangga menjadi kecewa dan marah terhadap sikap yang dilakukakan oleh dai yang selama ini disimbolkan sebagai ustadz keluarga bahagia ini. Dan secara langsung, ia ditinggalkan oleh jamaahnya dan kini namanya mulai tenggelam.

Contoh lain, Nazril Irham atau yang lebih popular dikenal sebagai Ariel. Seorang pemuda tampan yang juga vokalis Band Peterpan ini menjadi sangat terkenal karena karyanya yang fenomenal. Beberapa karya lagu Peterpan menjadi hits di negeri ini. Banyak sekali penghargaan yang telah diraih. Namun prestasi tersebut hancur dan hilang saat Ariel terkena kasus skandal rekaman video berisi adegan persetubuhan yang melibatkan dirinya dengan Luna Maya dan Cut Tari. Akibat kejadian itu, Ariel diganjar hukuman penjara selama 3 tahun 6 bulan, dan denda Rp. 250 juta.

Dan kasus yang paling baru mengenai makna dari peribahasa yang saya jadikan lead diatas terjadi kepada Korlantas Mabes Polri Irjen Pol Djoko Susilo. Sang Irjen tersebut diduga terlibat korupsi pengadaan driving simulator roda dua dan empat di Korps Lalu Lintas (Korlantas) Polri. Djoko susilo juga seorang yang sangat berprestasi. Bintang terang Djoko Susilo mulai terlihat saat dia menjadi Kapolres Jakarta Utara. Tidak lama, dia dipercaya menduduki kursi Direktur Lantas Polda Metro Jaya, kemudian menjadi Dirlantas Polri. Djoko lantas didapuk menjadi Kepala Korps Lantas (Kakorlantas) sebelum akhinya menjadi Gubernur Akpol di Semarang. Dari sini terlihat, karier Djoko selalu naik.

Itulah beberapa contoh kasus dimana seberapa baiknya kita, seberapa sholeh dan berprestasinya kita, kesemua kebaikan itu akan runtuh apabila kita terjerumus dalam kesalahan yang kita sendiri menganggapnya sebagai kesalahan kecil, namun mampu membumihanguskan semua kebaikan itu.

SELALU MAWAS DIRI
Memang tidak ada manusia yang sempurna. Setiap manusia pasti akan dan pernah melakukan kesalahan. Hal itu adalah fithroh, karena manusia itu tempatnya salah dan lupa. Namun kita juga diberikan pikiran untuk sekuat tenaga meminimalisir terjadinya kesalahan itu.
Peribahasa “Karena nila setitik, rusak susu sebelanga” ini, menjadi awal dari pondasi sikap moral kita. Kesadaran bahwa sedikit apapun keburukan dan kejahatan itu, pasti akan merusak reprutasi kebaikan kita. Sementara jika cap sebagai orang jelek, orang ingkar dan orang korup sudah mengena pada diri kita, nila setitik itu sangat sulit dibersihkan. Ia akan selalu menempel selamanya, ketika kita masih hidup didunia ini.
 
Untuk itulah, mari kita bersama-sama mencoba selalu mawas diri. Menimbang dan memperhitungkan kembali setiap apa yang akan kita perbuat. Apakah perbuatan itu baik atau akan membawa kita kedalam lembah kehancuran seperti orang-orang yang telah mendapatkannya itu. Sikap mawas diri ini menjadi symbol kehati-hatian dan kedewasaan kita untuk menekan kemungkinan-kemungkinan buruk yang terjadi. Jangan pernah membiarkan nafsu menjadi tumpuan pokok dalam setiap pengambilan keputusan. Logika dan juga perasaan yang dalam, kita padukan untuk mengambil setiap apa yang akan kita lakukan.

Semoga, kita bukan orang-orang baik, sholeh dan juga berprestasi yang kelak akan hancur, karena kesalahan yang kita buat. Semoga, kita akan menjadi orang-orang yang akan selalu berusaha mengumpulkan susu sehingga menjadi sebelanga. Menjadi orang yang selalu berbuat baik. Selalu mawas diri dalam setiap langkah untuk menjadi manusia yang berguna bagi sesama.

Rabu, 25 Juli 2012

Berkhayal Jika Dunia Tanpa Manusia

The World Without Us
 Judul Asli                              : The World Without Us
 Judul Terjemahan                : Dunia Tanpa Manusia (Penjelasan Mencengangkan Tentang Apa Yang Terjadi Pada Bumi Bila Manusia Tak Ada Lagi)
Penulis               : Alan Weisman
Penerjemah       : Fahmy Yamani & Alex Tri Kantjono W,.
Penerbit             : PT. Gramedia Pustaka Utama
Tahun Terbit        : 2009
Tebal                   : 430 Halaman
Harga                  :,-
Resentator         : Kenthip Pujakesuma




Apa jadinya bumi tanpa manusia? Bayangkan jika dunia tanpa kita, karena kita secara misterius hilang dari peradaban bumi ini. Entah karena virus mematikan yang manusia ciptakan sendiri, dan kemudian virus itu menyerang manusia dan membumihanguskannya. Atau, sekelompok Alien yang menculik semua manusia di bumi, dan membawanya ke planet tempat mereka tinggal sebagai hewan peliharaannya. Mungkin semua itu mustahil, namun Alan Weisman mencoba membawa kita menjawab pertanyaan di atas. Sebuah pertanyaan dari bagaimana jadinya bumi tanpa manusia.

Alan Weisman adalah mantan Editor di Los Angeles Times Magazine dan seorang Produser Radio senior di Homeland Productions, serta seorang dosen yang mengajar Jurnalis di University of Arizona. Esainya yang berjudul “Earth Without People “ (majalah Discover,Februari 2005) yang diperdalam menjadi sebuah karya buku ini dengan judul The World Without Us, terpilih untuk Best American Science Writing 2006.

Lewat Buku The World Without Us yang diterjemahkan kembali kedalam bahasa Indonesia berjudul Dunia Tanpa Manusia ini, Alan Wiesman mencoba membawa kita pada sebuah kondisi dimana dunia melanjutkan siklus kehidupannya tanpa campur tangan dan kehadiran manusia. Dengan penjelasan yang cukup mencengangkan sekaligus menggairahkan,  pria yang juga seorang wartawan ini mencoba membawa kita kedalam sebuah imajinasi tingkat tinggi tentang dunia sepeninggal kita.

Pada hari setelah manusia menghilang, alam akan segera mengambil alih dan langsung melakukan tugasnya membersihkan sampah-sampah yang ditinggalkan manusia. Berbagai infrastruktur yang ditinggalkan oleh manusia akan diurai menjadi fosil-fosil. Tanah tanah kering akan segera ditumbuhi pepohonan. Hutan lebat seperti Bialowieza Puszcza, hutan purba yang masih asri dan alami yang terdapat di perbatasan Polandia dan Belarusia akan memenuhi bumi. Bumi akan kembali seperti yang disebut Alan Weisman sebagai Taman Firdaus.

Gedung-gedung pencakar langit akan runtuh tergerus air dan kemudian akan menjadi batuan-batuan. Sementara sampah plastic serta alumunium dan sejenisnya yang konon tak dapat terurai lagi, akan menjadi hadiah terakhir manusia kepada bumi ini. 

Pandangan bahwa pada suatu hari alam dapat menelan segalanya termasuk sebuah kota modern seperti New York City, memang sangat sulit diterima oleh akal sehat. Bagaimana bias, kota modern yang dibangun dengan pondasi kokoh dan juga bahan yang kuat, dapat dikalahkan oleh alam. Namun kekuatan alam tidak dapat diremehkan, bahkan kekuatan alam untuk meruntuhkan dan mengurai kota modern tersebut akan lebih singkat daripada yang kita bayangkan.

Andai manusia tak pernah muncul, lalu bagaimana kira-kira nasib planet ini? Dan andai manusia menghilang dari dunia ini, apa yang akan terjadi?. Itulah pertanyaan mendasar mengenai buku yang ditulis oleh Alan Weisman ini. Pertanyaan  pertama, ia jawab dengan menggambarkan berbagai kondisi dimana dahulu saat manusia belum ada. Bagaimana keindahan ala mini begitu eksotis. Hutan purba Bialowieza Puszcza contohnya, kemudian tempat-tempat lain yang masih indah dan asri karena belum terjamah oleh manusia.

Lalu menjawab pertanyaan kedua, Alan Weisman mengatakan bahwa sepertinya dunia memiliki dua pilihan. Ini menyangkut eksistensi manusia yang ada di dunia ini. Kehadiran manusia yang tak pelak juga sebenarnya dibutuhkan oleh sebagian makhluk hidup. Walau tak semuanya, namun manusia memiliki sebuah peranan yang cukup penting dalam siklus kehidupan di dunia ini. Penempatannya sebagai spesies tertinggi dalam rantai makanan, setidaknya membuktikan bahwa manusia sangat menentukan dalam perkembangan alam ini.

Apabila manusia pergi, banyak juga binatang yang merasa kehilangan. Apalagi binatang yang hidup dengan mengandalkan manusia, seperti kutu dikepala manusia, jamur di kulit manusia dan binatang lain yang hidup hanya di tubuh manusia. Selain itu, hewan peliharaan yang setiap hari diberi makan seperti anjing, kucing, kuda, ayam, dan ternak lainnya pun akan merasa kehilangan. Walaupun anggapan ini dapat dibantah, karena sebenarnya, tanpa bantuan manusia, hewan-hewan tersebut dapat hidup seperti lainnya. 

Buku setebal 430 halaman ini menggambarkan bagaimana kondisi dunia ini apabila ditinggalkan oleh manusia. Alan Weisman dengan lincahnya memainkan pengandaiannya seperti sedang menceritakan kepada kita tentang kehidupan yang akan datang. Bahasa yang digunakan untuk menyadarkan manusia bahwa selama ini, manusialah yang menyebabkan kerusakan di muka bumi, dikemas dengan santun dan bijaksana. Seolah tidak menggurui, namun menimbulkan kesadaran pembacanya. Diakhir tulisannya, Alan Weisman mencoba menggambarkan bagaimana kehidupan sebuah daratan di Benua Afrika. Sebuah gambaran kehidupan yang menerapkan perilaku simbiosis mutualisme, dimana alam dan manusia dapat menyatu menjalankan peranannya masing-masing. Tak ada pengrusakan, tak ada keserakahan. Dan pada kondisi itulah sebenarnya, bumi dan manusia saling membutuhkan.




Selasa, 17 Juli 2012

Undang-Undang kok Dipermainkan, Apa Kata Dunia?


Beberapa kali, ia memenangkan gugatannya melawan Mahkamah Konstitusi. Beberapa kali ia menampar pemerintahan negeri ini yang selalu saja “gegabah” dalam menetapkan berbagai peraturan dan Undang-Undang. Adalah Yusril Ihza Mahendra, seorang mantan Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia, juga ahli hukum itu, beberapa kali melakukan aksi yang dibilang cukup nekat, namun hasilnya brilliant. Sebut saja kasus dalam gugatan mengenai keabsahan Jaksa Agung Hendarman Supandji dan dasar hukum pelarangannya ke luar negeri, Yusril menang dalam gugatannya itu. Selain itu, Yusril menang lagi dalam gugatan uji materi tentang pemanggilan saksi meringankan. Dan yang paling hangat adalah saat ia memenangkan gugatan uji materi tentang pemberian grasi kepada terpidana kasus narkoba asal Australia Schapelle Corby oleh Presiden. Di DPR, beberapa anggota Dewan protes dengan keputusan Presiden tersebut.
Mungkin hal itu bukan hal yang wah. Karena memang Yusril adalah seorang Profesor hukum. Ia adalah ahli hukum yang setiap harinya berkutat dengan hukum. Namun baru-baru ini, ada lagi kisah yang menarik dan menggemparkan.  Yakni seorang buruh bernama Andriyani (38). Ibu 3 anak itu bisa mengalahkan negara dalam menafsirkan pasal 169 ayat 1 huruf c UU 13/2003 tentang Ketenagakerjaan seorang diri. Wanita yang menjadi Buruh PJTKI PT Megahbuana Citramasindo, Koja, Jakarta Utara, ini mampu mematahkan argumen DPR dan pemerintah dalam menguji UU tersebut di Mahkamah Konstitusi (MK).
Adriyani yang tidak menerima gaji dari perusahaannya selama tiga bulan berturut-turut itu ingin mengajukan PHK dan berharap mendapatkan pesangon. Namun Adriyani bukannya mendapat pesangon, melainkan mendapat perlawanan dari pihak perusahaan. Lewat pengadilan yang ia jalani di PHI (pengadilan Hubungan  Industrial). Namun dipengadilan ini, Adriyani kalah. Ia tak mampu melakukan banding karena tidak mempunyai uang.
Adriyani terus berjuang. Ia tak berhenti dan menyerah sampai begitu saja. Kemudian ia menggugat dan melakukan uji materiil Pasal 169 ayat 1 huruf c Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan di Mahkamah Konstitusi. Dan inilah hebatnya. Ia berhasil memenangkan uji materi itu.
"Itulah keajaiban konstitusi. Jangankan seorang warga negara yang dilanggar haknya, ada warga negara yang bingung dengan UU pun bisa mengajukan permohonan ke MK," kata pengamat hukum tata negara, Dr Irman Putra Sidin yang saya kutip dari detik.com.
Lebih lanjut Imran mengatakan bahwa "Jangankan buruh, bajingan atau orang bodoh sekalipun apabila bangun tidur mendapati ada UU yang membuat hak konstitusionalnya dilanggar oleh negara, bisa mengajukan permohonan ke MK. Dan apabila bertentangan dengan konstitusi, MK bisa membatalkan UU hasil produk DPR yang juga disetujui pemerintah. Inilah yang namanya demokrasi konstitusional," terang Irman.
Kesalahan Berlarut
Dari sini kita melihat, betapa lemah pemerintah dalam menetapkan kebijakan dan hukum-hukum di negeri ini. Setiap kebijakan dan hukum yang ditetapkan seharusnya dapat mengayomi dan menjadikan rule dalam warga Negara bertindak. Tak ada seorang pun yang dirugikan atas peraturan dan kebijakan tersebut. Namun selama ini yang terjadi, banyak peraturan dan kebijakan yang diambil tidak mengindahkan tujuan utama tersebut.
Ini adalah hasil dari betapa bobroknya pemerintahan kita. Tak jarang setiap keputusan strategis dan juga kebijakan-kebijakan diambil hanya demi melindungi kepentingan kelompok. Asas melindungi setiap warga Negara dengan peraturan tersebut dapat dikalahkan oleh ego dari orang-orang serakah.
Tak jarang, kita melihat para anggota legislative dengan congkaknya memutuskan sebuah undang-undang atau peraturan dengan bercanda tawa. Sebuah peraturan atau undang-undang yang menyangkut hajat hidup orang banyak hanya diputuskan melalui “jari telunjuk” alias votting. Dan sebelum votting itu dilakukan, lobi-lobi politik digiatkan. Menimbang dan mencari selah mana yang dapat menguntungkan diri sendiri dan kelompoknya.
Jika Yusril saja dapat memenangkan Uji materi terhadap beberapa undang-undang, bahkan seorang Adriyani yang notabene adalah seorang buruh dapat memenangkan gugatannya, ini menandakan bahwa semakin buruk saja pemerintahan negeri ini.  Landasan pertimbangan dalam memutuskan undang-undang itu, kini mulai dilalaikan. Siapa yang memiliki kuasa penuh baik secara kekuatan politik maupun financial, pasti akan memenangkan sebuah Undang-undang yang menguntungkan kelompoknya. Seperti undang-undang tentang tembakau, undang-undang tentang BBM, undang-undang tentang ketenagakerjaan dan lain sebagainya. Tak jarang undang-undang itu tidak ada unsur melindungi dan mengayomi sama sekali terhadap rakyat sebagai pelaku dari keputusan itu. Yang ada, mereka tidak mendapatkan apa-apa dari ada atau tidak adanya undang-undang. Bahkan, ada yang semakin terpinggirkan karena undang-undang itu lebih membela kaum-kaum penguasa.
Inilah Indonesia, Negara yang berasaskan Pancasila dan UUD 1945. Kedua dasar Negara yang telah dirumuskan secara matang melalui berbagai pertimbangan oleh the founding father kita, kini tak sakti lagi. Kesaktian Pancasila dan UUD 1945 telah dihancurkan oleh kaum-kaum yang lebih membela uang dan kekayaan, meski tidak sesuai dan bertentangan dengan kedua pedoman hidup berbangsa itu.
Semoga para wakil rakyat dapat menggunakan kekuasannya untuk memberikan kenyamanan dan ketenteraman dengan berbagai peraturan dan kebijakan yang diambil. Kemudian juga cerdas dan tidak terkesan “sembrono” dalam setiap memutuskan sesuatu, terutama undang-undang atau kebijakan lain yang menyangkut hajat hidup orang banyak. Semoga kekalahan Negara dalam beberapa gugatan uji materi terhadap beberapa undang-undang ini, tak kita temui lagi di kemudian hari. Bukan karena Negara yang menang dan penggugat yang kalah, tapi tidak ada lagi yang menggugat dan melakukan uji materi, karena hasil dari undang-undang merupakan hasil yang sudah matang, dan baik untuk sesama.
Kehati-hatian mutlak diperlukan dalam menyusun Undang-Undang. Setiap Undang-undang yang dibuat harus mengacu kepada Pancasila dan juga UUD 1945. Jangan pernah sekali lagi meremehkan dalam membuat sebuah undang-undang. Dan jangan pernah coba-coba dalam membuat sebuah undang-undang, karena itu merupakan kesalahan fatal. 




Kamis, 12 Juli 2012

Teknologi Dan Autisme


Apakah saudara pernah melihat tingkah laku anak autis?. Beberapa tingkah laku anak-anak dengan kebutuhan khusus tersebut memang kadang menjengkelkan. Mereka seolah tidak peduli dengan apa yang sedang terjadi di sekelilingnya. Rasa empati dan simpatiknya, tak pernah tampak saat bergaul. Dan kadang tidak dapat diajak untuk mengobrol dan berkomunikasi, karena untuk memahami apa yang ia inginkan saja butuh waktu yang lama.
Autis adalah suatu kondisi seseorang yang dibawa sejak lahir, dengan berbagai kekurangan seperti interaksi social yang tidak lancar, komunikasi yang tidak normal, dan lain sebagainya. Semua itu dipengaruhi oleh kelainan genetik pada penderita. Beberapa ciri-ciri autis yang terjadi sekarang, tidak hanya disandang oleh mereka yang memang benar-benar autis. Ciri-ciri autis kini sudah mulai menyerang kehidupan sehari-hari. Orang sehat pun kini mulai terserang penyakit autis.
Pernah saya makan bersama kawan-kawan disebuah rumah makan. Sambil menunggu makanan datang, tak ada sedikitpun obrolan yang kami lakukan. Tanpa disadari, kami sibuk memainkan gadget masing-masing, ada yang smsan, atau telpon orang lain, bermain game, BBM, dan sebagainya. Sampai makan selesai, kami seolah tak pernah sadar bahwa kami pergi makan bersama-sama. Bahkan ada hal yang lebih parah saat saya mencoba meminta tolong mengambilkan sendok makan kepada teman sebelah saya. Dia mengambilkan tanpa melihat saya, matanya masih asyik tertuju pada layar Handphon yang sedang ia pegang. Hal seperti ini, tak akan pernah dijumpai saat dahulu, sebelum teknologi sebegitu hebatnya. Canda tawa dan keakraban disaat berkumbul begitu ketara.
Ada lagi cerita yang menarik. Cerita ini dialami oleh teman saya. Sebut saja Boy. Waktu itu, ia ditelpon oleh temannya untuk bertemu. Jauh-jauh Boy menuju tempat dimana mereka akan bertemu. Sesampainya disana,  Boy ternyata dicuekin oleh temannya tersebut. Bukannya mengobrol dan temu kangen, ternyata temannya si Boy tadi asyik ber BBM ria. Sambil marah Boy berkata pada temannya itu.
"Mana BB mu, saya pinjam" katanya
"Untuk apa Boy?" jawab temannya penasaran.
"Mau saya banting, besok saya belikan yang baru" ujar Boy dengan marah.
"Emang kenapa?" temannya takut.
"Kamu jauh-jauh saya temui, kamu yang telpon saya untuk kesini menemuimu, tapi kamu malah sibuk dan asyik sendiri dengan BB itu. Emang kamu anggap aku ini apa?" ucap Boy sambil marah dan pergi meninggalkan temannya itu.
Begitu banyak kisah tentang bagaimana teknologi dapat berubah menjadi sesuatu yang dapat menghancurkan apa saja, termasuk rumah tangga, persahabatan dan hubungan lain. Sepertinya cerita saya di atas bukan hal yang baru saat ini. Tidak hanya dengan teman sejawat, bahkan dengan keluarga, orang tua dan masyarakat, momen kebersamaan dengan bercengkrama sudah mulai hilang. Hal ini tidak bisa lepas dari pengaruh kemajuan teknologi yang sekarang sedang terjadi. Teknologi yang digadang-gadang dapat mempersatukan orang yang jauh, ternyata malah menjauhkan orang yang ada di dekat kita. Betapa tidak, Facebook misalnya, kita asyik bermain dan berchatting dengan kawan yang baru atau yang jauh, sementara kawan dekat dilupakan. Telephon, Sms, BB dan lain sebagainya pun sama. Piranti dan fasilitas tersebut kini lebih diperuntukkan untuk menyambung silaturrahmi dan komunikasi dengan orang yang jauh. Alasan yang selalu terlontar adalah, bahwa mereka ada di dekat kita, sehingga tidak perlu terlalu sering disapa.
Disinilah terjadi sebuah fenomena yang oleh Daniel Goleman dalam bukunya Social Intelegence sebagai Autisme Sosial.  Autisme sosial yang diakibatkan oleh teknologi ini memperpanjang daftar yang tak akan ada akhirnya tentang konsekuensi yang tak dikehendaki terhadap manusia sebagai akibat serbuan teknologi yang terus berlangsung dalam kehidupan kita sehari-hari.  Konektifitas digital seperti music player, televisi, telepon selular, internet, email atau jejaring sosial yang terus menerus menjadi berarti, menyebabkan “pekerjaan” akan terus memburu kita bahkan saat kita berlibur atau bersantai dengan keluarga. Telepon selular bisa berbunyi di tengah-tengah piknik bersama anak-anak.  Ketika ada di rumah, ayah dan ibu bahkan absen dari keluarganya karena setiap malam sibuk memeriksa e-mail. http://teknologi.kompasiana.com/gadget/2012/01/31/konektifitas-digital-dan-fenomena-autisme-sosial/.
Demikian parahnya pengaruh teknologi yang terjadi pada masyarakat. Dengan fitur terbaru dan juga fasilitas-fasilitas yang ditawarkan, menjadikan orang-orang semakin tertarik dan tenggelam didalamnya. Mereka tidak sadar, bahwa ada kehidupan lain yang lebih nyata ketimbang yang terjadi di dunia maya. Kesadaran bahwa kehidupan di dunia maya adalah kehidupan semu, yang tidak dapat dijadikan tempat bersosialisasi dan bercengkrama. Ia hanya semu, dan tidak abadi.
“Anda tak bisa mendapat pelukan atau ciuman di Internet.” Demikian pernyataan Normn Nie, pemimpin survey Internet, direktur Stanford Institute for the Quantitative Study of Society. Pernyataan tersebut sebagai kritik terhadap mereka yang menganggap bahwa kehidupan di dunia maya adalah segalanya. Nie mencoba menyadarkan bahwa pelukan dan ciuman yang dalam bahasa sederhananya adalah kehangatan tidak akan mungkin didapatkan dari dunia maya. Kehangatan itu hanya dapat kita rasakan dari orang-orang didekat kita, seperti teman, keluarga dan sebagainya.
Teknologi memang tidak dapat ditahan kemajuannya. Kita patut bersyukur dengan adanya kemajuan yang terus bergerak dan semakin memudahkan hidup kita. Namun juga harus bijak dalam menggunakan kemajuan teknologi tersebut. Jangan sampai karena teknologi, kita menjadi autis, dan tidak peduli satu sama lainnya. Rasa empati dan simpati harus terus dipupuk, demi kebersamaan yang telah terjalin ribuan tahun sebelum adanya teknologi tersebut.
Teknologi tak ubahnya pisau bermata dua, yang dapat menjadi positif apabila digunakan untuk hal yang positif, dan akan berbahaya apabila digunakan untuk kriminalitas. Kebersamaan dan kehangatan diantara kita, jangan sampai terhapus oleh kemajuan teknologi. Justru dengan adanya teknologi, kita mencoba menjalin dan mengakrabkan tali silaturrahmi yang dahulu pernah putus karena jarak dan waktu. Dengan tidak mengabaikan orang terdekat kita yang selama ini bersama. Dengan seperti itu, maka kita dapat disebut orang bijak dalam menggunakan teknologi.


Minggu, 08 Juli 2012

Menanti Kedatangan Satrio Piningit


Gegap gempita Pilpres 2014 sudah terasa. Beberapa orang dengan keyakinan tinggi telah terbuka menyatakan di depan umum siap menjadi calon pemimpin negeri ini. Sebut saja Aburizal Bakrie, melalui bendera Golkar, ia telah mengumumkan dirinya maju sebagai salah satu calon Presiden di Pilpres 2014. Selain itu, banyak nama juga ikut disebut-sebut bakal kuat ikut bersaing, seperti Megawati, Jusuf Kalla, Prabowo Subianto, Ani Yudhoyono, Surya Paloh, dan lain sebagainya.
Pencoblosan memang baru akan dilangsungkan 2 tahun lagi, namun kampanye sudah start mulai sekarang. Perlombaan diawali dari berbagai kegiatan partai untuk memunculkan tokoh yang diusung ke permukaan. Tak mau ketinggalan, media juga berperan menjadikan isu Pilpres sebagai isu yang selalu panas untuk dimunculkan. Walau ada juga media yang menjadi kendaraan kampanye para calon Presiden.
Sudah bukan barang baru lagi, ketika media yang notebene adalah sebuah instansi yang seharusnya bebas, tidak berpihak, netral dan independen, sekarang menjadi “kuda perang” yang menjanjikan bagi segelintir orang untuk memuluskan missi kampanyenya. Setiap media bersaing mengenalkan kepada publik calon yang ternyata adalah pemilik saham terbesar dari media tersebut. Benar memang pernyataan Louis Althusser, bahwa media sesungguhnya berada di tengah realitas sosial yang sarat dengan berbagai kepentingan, konflik, dan fakta yang kompleks dan beragam.  Media, dalam hubungannya dengan kekuasaan, menempati posisi strategis, terutama karena anggapan akan kemampuannya sebagai sarana legitimasi. Media massa sebagaimana lembaga-lembaga pendidikan, agama, seni, dan kebudayaan merupakan bagian dari alat kekuasaan Negara yang bekerja secara idiologis guna membangun kepatuhan khalayak terhadap kelompok yang berkuasa (ideological states apparatus).
Media dengan berbagai cara, seolah ingin menampilkan sesuatu yang dapat menjadikan masyarakat percaya terhadap apa yang ia beritakan. Masyarakat telah berhasil diformat seleranya oleh media. Seperti yang dikatakan Redi Panuju, Berita yang menegangkan yang tergolong “bad News” mempunyai empat efek pada komunitas yang berbeda karakteristiknya: salah satunya adalah ada sekelompok masyarakat yang terkena efek pengkondisian (conditioning). Artinya, secara perlahan lahan individu individu akan diformat seleranya, minatnya, cara berpikirnya, dan sebagainya itu oleh media. Pembentukan opini publik itu, digiatkan sedemikian rupa, sehingga masyarakat tergiring pandangannya tentang sesuatu hal, semisal citra calon Presiden. Mereka para calon presiden itu seolah seperti dewa, dengan mulut manis menebar janji. Namun sebenarnya, adalah serigala yang siap memangsa bangsa ini.
Selain media, lembaga-lembaga survey pun giat melakukan jajak pendapat kepada masyarakat. Walau ada yang meragukan jejak pendapat yang dilakukan oleh lembaga-lembaga survey tersebut. Keraguan itu tidak terlepas dari ketidak independennya mereka dalam melaksanakan survey. Bisa jadi, survey itu dibuat hanya untuk meningkatkan elektabilitas para calon.
Kita lihat saja di berbagai media, baik media massa ataupun elektronik. Berbagai lembaga survey gencar memberitakan tentang hasil survey mereka. Masing-masing mengklaim bahwa hasil survey yang dilakukan adalah valid dengan standart error 0-3 persen. Dan anehnya, survey mereka walaupun melakukan survey sama terhadap bangsa indonesia, namun hasilnya berbeda. Ada yang si A menempati urutan teratas dalam hasil survey, Si B yang paling rendah dan sebaliknya.
Peristiwa-peristiwa di atas, sedikit banyak memang berhasil memberikan efek kepada masyarakat. Namun bukan hanya efek positif, masyarakat juga sekarang pusing dan bingung terhadap siapa yang akan mereka percaya untuk menjabat sebagai RI 1?. Apatis adalah jawaban dari kebingunan itu. Masyarakat kini seolah sudah tidak percaya dengan para pemimpin dengan kegagalan- demi kegagalan yang dirasakan. Semboyan siapa saja yang memimpin, pasti hasilnya sama saja, terekam jelas di pikiran masyarakat saat ini.
Anehnya lagi, mereka yang akan mencalonkan dirinya sebagai presiden di Pilpres 2014 kebanyakan adalah mereka orang-orang lama. Singkatan IIS (itu-itu saja) sepertinya memang akan kembali terjadi di setiap Pemilihan di Indonesia. Tak ada orang baru, negarawan baru, calon pemimpin baru yang berani tampil dengan gaya baru kepemimpinannya.
Satrio Piningit, istilah untuk seseorang yang ditunggu-tunggu belum juga muncul di negeri ini. Banyak kalangan yang memperkirakan bahwa kehadiran Satrio Paningit tersebut disaat Indonesia menghadapi kerusuhan besar. Setelah ia menjadi pemimpin, maka akan membawa bangsa ini lepas dari kerusuhan itu dan menuju kepada kemakmuran bangsa dan kejayaan seperti pada masa kerajaan Majapahit ataupunSriwijaya pada masa silam.
Lalu timbul pertanyaa, siapakah sang Satrio Piningit ini?. Apakah ia benar nyata, atau hanya dalam dongeng karangan Ronggo Warsito?. Mungkin itulah pertanyaan yang jawabnya selalu ditunggu bangsa ini. Kehadiran sang Kesatria memang sudah dinanti, dimana saat ini Indonesia sedang mengalami sebuah kerusuhan yang besar. Jika ramalan itu benar, maka seharusnya disaat seperti inilah ia muncul dan menjadi pemimpin yang akan membawa kemakmuran dan kejayaan bangsa ini.
Lalu, apakah jiwa Satrio Piningit ini sudah terdapat pada Megawati, Prabowo, Surya Paloh, Jusuf Kalla, Ani, atau bahkan Sri Sultan HB X?. Entahlah. Yang jelas, saat ini indonesia tidak hanya membutuhkan seorang politikus, bukan tentara, bukan kyai, namun seorang negarawan sejati. Seorang Satrio Piningit yang kelak membawa kebangkitan kembali bangsa yang hampir gagal ini. Siapapun orangnya, ia akan selalu dinanti.

Kamis, 05 Juli 2012

Bajing(an) Tengik!


Moralitas bangsa ini benar-benar sudah bejat!.
Mungkin itulah lead yang saya pilih untuk mengawali tulisan ini. Rasa muak dan marah sepertinya sudah tidak terbendung lagi. Kejadian demi kejadian yang selama ini terjadi begitu dahsyat, dan bom waktu itu meledak saat kitab suci Islam ikut disertakan.
Sebagai umat Islam yang menjunjung tinggi kitab suci Al-quran, tentu saya merasa sangat marah dan geram. Bagaimana tidak, kitab yang dianggap sakral oleh umat islam, dijadikan sebagai lahan korupsi oleh manusia yang menurut saya lebih buruk dari binatang atau iblis. Bahkan seburuk-buruknya iblis, ia masih menghormati dan menjunjung tinggi firman tuhan itu.
Adalah Zulkarnaen Djabar, seorang politisi dari partai Golkar yang menjadi tersangka kasus korupsi proyek pengadaan  Al Quran di Kementerian Agama senilai Rp 35 miliar. Kasus ini tentu saja membuat bangsa ini semakin terpuruk. Moralitas bangsa tergadaikan. Bagaimana tidak, kasus Zulkarnaen Djabar ini menggambarkan bahwa kejahatan koruptor Indonesia sudah benar-benar melampaui batas. Saat Tuhan dan agama tidak bisa lagi menjadi pencegah. Bahkan kejahatan telah merambah kepada tempat-tempat yang selama ini menjadi symbol religiusitas.
Mendengar kata korupsi saja, telinga kita menjadi panas. Apalagi yang dikorupsi membawa nama kitab suci Al-Quran yang didalamnya berisi firman Allah? Orang seperti inilah jika memang terbukti benar melakukan tindak korupsi, darahnya halal mengalir.
Saya menyadari, dalam menulis artikel ini, saya benar-benar subjektif. Pikiran saya dipenuhi rasa benci dan jijik dengan perilaku para pelaku korupsi pengadaan kitab suci Islam ini. Kemarahan saya meluap bak larva letusan gunung api yang siap menerjang. Bukan bermaksud menjadi provokator, melainkan hanya ingin mengetuk pintu hati, bahwa kejatahan kian parah terjadi di negeri ini.
Lalu, apa yang bisa kita lakukan? Pertanyaan klasik, mudah sekali diucapkan, namun sulit menemukan jawabnya. Mari coba kita renungkan, apa yang bisa kita lakukan?.
Mengutip sebuah hadist, Rosulullah Muhammad SAW pernah bersabda yang artinya “Barang siapa yang melihat kemungkaran, maka rubahlah dengan tangan, jika tak bisa, maka rubahlah dengan lisan, jika masih tak bisa, maka ingkarilah kemungkaran yang kalian lihat dengan hati”, Hadist tersebut memiliki penafsiran kurang lebih sebagai berikut,  Pertama, mereka yang wajib menghalau kemunkaran dengan tangan, yaitu para penguasa. Kedua, yang melalui lisan, yaitu para ulama. Ketiga, yang melalui hati yaitu orang kebanyakan.
Lalu termasuk kedalam bagian mana kita? Sebenarnya kita memiliki kemampuan dalam ketiga pilihan tersebut.  Bukan hanya penguasa yang dapat menghalau kemungkaran dengan tangan atau kekuasaan. Kita sebagai orang tua, guru, sesepuh, juga memiliki kekuasaan untuk mencegah kemungkaran. Minimal dalam lingkup kecil keluarga. Karena dari kehidupan berkeluarga itulah, pondasi dan nilai-nilai moral pertama dimulai. Bagaikan bangunan, apabila pondasinya kokoh dan kuat, maka seberapapun besar angin yang menerpa, ia tak akan pernah goyah. Begitu juga dengan moral generasi penerus yang sekarang tengah kita gembleng, apabila kita salah dalam mendidik dan memberikan pondasi yang lemah, maka dapat dipastikan kelak mereka akan mudah sekali goyah.
Namun pendidikan moral dalam lingkup keluarga saja belum cukup. Kita lihat yang terjadi sekarang, banyak koruptor berasal dari keluarga baik-baik. Tidak jarang mereka yang mendalami agama, baik saat studi ataupun nyantri.  Jadi jangan heran jika sekarang banyak orang tampak agamis, tapi memiliki moral bejat. Semua itu berkat pergaulan yang sekarang lebih mengedepankan sifat hedonism. Virus-virus itulah yang membuat seseorang rela melakukan apa saja, demi memenuhi nafsunya.
Moralitas bangsa kita semakin bejat, dimana agama yang dapat meredam semua aspek kejatahan sudah ditinggalkan. Bahkan lebih parah lagi, dihina di depan mata. Kasus korupsi yang melibatkan Zulkarnaen, adalah salah satu bukti bahwa agama sudah tidak dipandang sebagai sesuatu yang sacral. Korupsi uang Negara mungkin memang jahat, tapi korupsi pengadaan kitab suci al-Quran itu lebih dari bejat. Bagaimana tidak, jika imam masjid istiqlal mencontohkan, mencuri di rumah warga dengan mencuri di kantor polisi. Tentu saja hukuman mencuri di kantor polisi akan mendapat hukuman yang lebih berat.
Umat Islam khususnya dan bangsa Indonesia patut prihatin dengan kasus ini. Semoga ini menjadi kasus terakhir yang melecehkan Agama. Juga kasus terakhir  tentang perjalanan para bajingan tengik yang selalu saja menyengsarakan rakyat. Kita boleh saja bermimpi tentang masa depan Indonesia. Hanya ada dua pilihan, menjadi bangsa maju jika korupsi berhasil diberantas, dan menjadi bangsa terpuruk dan gagal apabila koruptor masih leluasa menjalankan perannya. Terserah kita memilih yang mana? Tentu saja pertanyaan yang tak perlu dijawab bukan?.