Jangan Bercerai-Berai Karena Perbedaan

Perbedaan memang tidak mungkin tidak terjadi, selama manusia terus berfikir. Maka perbedaan tersebut dapat menjadi sebuah rahmat, apabila dengan perbedaan tersebut, akan menumbuhkan rasa saling hormat-menghormati dan menghargai. Namun perbedaan akan menjadi adzab, apabila dalam diri kita tertanam sebuah virus bernama fanatic sempit.

Pelajaran Dari Romo Carolus

Charles Patrick Edwards Burrows,OMI adalah nama kecil sang peraih penghargaan tersebut. Ia adalah seorang Pastor di Paroki St Stephanus Cilacap. Setelah kedatangannya di Indonesia pada tahun 1973, ia tertarik untuk mengabdikan diri kepada masyarakat di Kampung Laut Kabupaten Cilacap.

Rintihku

Aku menatap dalam lara Kembali menitikkan air mata Ia tak berdosa Namun aku tega menjatuhkannya Butir putih itu Menghujam deras menghancurkan hidupku Remuk sudah hati menatap cahya Mu Yang terang, namun dihatiku kau gelap Tertutup nafsuku, egoisku, dan dosaku.

Tapak-Tapak Suci, Sebuah Kisah Perjalanan Pemuda Desa

“ Bukalah surat ini ketika kau berada di antara dua pulau, saat kau terombang ambing di tengah lautan, dan saat itu kau akan merasakan betapa aku menyayangimu”..

La Tahzan, Saudaraku!

La Tahzan, Saudaraku. Kecelakaan yang menimpa saudara kita penumpang Shukoi Superjet 100 memang sangatlah tragis. Kita semua bersedih. Namun jangan kita terlarut dalam kesedihan. Yakin bahwa Allah Tuhan Yang Maha Esa telah merencanakan hal dibalik itu semua.

Rabu, 27 Juni 2012

Jangan Bercerai-Berai Karena Perbedaan

Masih ingatkah saudara pada kasus penentuan jatuhnya Hari Raya Idul Fitri pada 1432 H/2011 silam?. Peristiwa tersebut sangatlah berkesan bagi saya. Waktu itu puasa menginjak hari ke 29 dan menurut kalender, tanggal 30 Agustus 2011 adalah jatuhnya Hari Raya Idul Fithri tersebut. Karena senangnya, waktu itu masyarakat di desa saya sudah merayakan hari kemenangan itu dengan takbiran keliling. Gema takbir sudah terdengar di seantero desa. Namun setelah berkeliling beberapa menit, rombongan kami di hadang oleh ulama setempat dan mengatakan bahwa lebaran belum ditetapkan.
Sungguh kecewa bagi kami, terutama anak-anak kecil. Wajah mereka terlihat murung. Keceriaan semula hilang seketika. Suara takbir berhenti. Kami berduyun duyun menyaksikan sidang yang dilakukan oleh Pemerintah untuk menentukan kapan jatuhnya Hari Raya Idul Fitri.
Dalam sidang tersebut, terdapat perbedaan pendapat antara para ulama wakil umat islam. Perwakilan Muhammadiyah meyakini bahwa 1 Syawal jatuh pada tanggal 30 Agustus 2011. Sementara NU mengatakan bahwa 1 Syawal baru akan jatuh pada tanggal 31 Agustus. Lama kami menunggu kepastian dari pemerintah. Karena di desa kami, kebanyakan menganut kepada peraturan dan keputusan pemerintah. Walaupun keyakinan kami berbeda-beda.
Sekitar pukul 9.00 WIB, pemerintah memutuskan bahwa 1 Syawal jatuh pada tanggal 31 Agustus 2011. Namun pemerintah juga memberikan kebebasan bagi ormas yang akan merayakan Idul Fitri pada tanggal 30 Agustus. Al hasil, gema takbir yang semula berkumandang di desa kami, berubah jadi seruan adzan memanggil warga untuk sholat Isya dan Tarawih bersama. Namun sudah dapat ditebak, warga yang melaksanakan ibadah sholat Isya dan Tarawih sangat sedikit sekali.
Kisah ini, sangat besar peluangnya terulang kembali di tahun ini. Bukan pada perayaan Hari Raya Idul Fitri, melainkan terjadai pada awal dimulainya Puasa Ramadhan tahun ini. Dalam Tanwir Muhammadiyah di Bandung, Pengurus Pusat (PP) Muhammadiyah telah mengeluarkan maklumat bahwa awal Ramadhan 1433 H/2012 tahun ini akan jatuh pada tanggal 20 Juli. Hal ini berarti Tarawih pertama akan dilakukan oleh para penganut sekte Muhammadiyah pada malam tanggal 19 Juli. Hal ini berbeda dengan pemerintah dan NU yang menetapkan awal Ramadhan tahun 2012 jatuh pada tanggal 21 Juli, sehingga sholat Tarawih pertama akan dilakukan pada tanggal 20 Juli 2012. 

Perbedaan Itu Rahmat Atau Adzab?
Dari kisah diatas, dapat terlihat bahwa terdapat sebuah perbedaan yang terjadi pada umat Islam. Perbedaan tersebut tidak mungkin di hilangkan, karena kepercayaan dan imam yang dianut oleh mereka tidak sama. Masing-masing kepercayaan memiliki pondasi sendiri dalam melaksanakan ajarannya. Meskipun semua juga merujuk pada Al-Quran dan hukum lainnya. Namun sekali lagi, penafsiran yang berbeda itulah, yang berimbas pada perbedaan yang terjadi sekarang ini.
Perbedaan memang tidak dapat dinaifkan. Dari dahulu, perbedaan selalu saja terjadi. Oleh karena itu, ada sebuah hadist Rosulullah SAW yang mengatakan bahwa “Perbedaan pendapat pada umatku adalah rahmat”
Namun hati penulis menjadi bertanya, benarkah perbedaan itu rahmat? Kemudian penulis mencari data pendukung dan hasilnya cukup mengejutkan. Banyak ahli Hadist yang meragukan kualitas hadist tersebut. Syaikh Al-Albani rahimahulah contohnya, ia berkata bahwa : “Hadits tersebut tidak ada asalnya”. [Adh-Dha’ifah :II / 76-85]. Imam As-Subki berkata: “Hadits ini tidak dikenal oleh ahli hadits dan saya belum mendapatkannya baik dengan sanad shahih, dha’if (lemah), maupun maudhu (palsu)”. Syaikh Ali-hasan Al-Halaby Al-Atsari berkata: “ini adalah hadits bathil dan kebohongan.” [Ushul Al-Bida’].
Selain beberapa ahli Hadist di atas, Al-‘Alamah Ibnu Hazm berkata dalam Al-Ahkam Fii Ushuli Ahkam (5/64) setelah menjelaskan bahwa ini bukan hadits: “Dan ini adalah perkataan yang paling rusak, sebab jika perselisihan itu adalah rahmat, maka berarti persatuan adalah adzhab. Ini tidak mungkin dikatakan oleh seorang muslim, karena tidak akan berkumpul antara persatuan dan perselisihan, rahmat dan adzhab.”
Pernyataan para ahli hadist tersebut memang sangat relevan jika dibandingkan dengan ayat Al-Quran. Beberapa ayat Al-Quran sangat membenci dan menyarankan agar umat Islam tidak berselisih dan bercerai-berai. Seperti pada Surat Al-Anfal ayat 46 yang artinya; “Jangan kamu berselisih, karena kamu akan menjadi lemah dan hilang kewibawaan kamu.” Dan Surat Ar-Rum ayat 31-32 yang artinya: “Jangan kamu seperti orang-orang yang musyrik, yaitu mereka mencerai-beraikan agamanya dan bergolong-golongan. Dan setiap golongan berbangga dengan apa yang ada pada golongan mereka.”.
Lalu bagaimana menanggapi perbedaan yang terjadi sekarang ini. Apakah perbedaan benar-benar adzab? Atau memang itu sebuah rahmat?. Menurut hemat penulis, perbedaan pastilah terjadi. Perbedaan dalam menentukan syariat dan hukum di kalangan umat Islam, tidak hanya terjadi di masa sekarang. Saat Rosul Muhammad SAW masih hidup pun, telah terjadi perbedaan-perbedaan. Namun perbedaan tersebut dapat diselesaikan oleh Rosul ataupun dengan firman Allah SWT.
Baru setelah rosul wafat, banyak terjadi perbedaan yang terjadi. Perbedaan tersebut tidak terlepas dari kesadaran bahwa kita adalah manusia. Para imam yang kita anut masing-masing adalah manusia biasa yang tidak lepas dari salah dan lupa. Mungkin saja mereka keliru dalam menafsirkan sebuah ayat yang dijadikannya sebuah hukum. Tindakan yang tepat adalah mengikuti pendapat mereka yang menggunakan dalil yang kuat sesuai dengan al-Quran dan hukum lain yang mendukung. Karena umat Islam tidak hanya menjadikan Al-Quran semata sebagai rujukan hukum, namun ada hadist, Ijtihad ulama, Maslahah Mursalah, Qiyas dan masih banyak lagi yang lainnya.
Perbedaan memang tidak mungkin tidak terjadi, selama manusia terus berfikir. Maka perbedaan tersebut dapat menjadi sebuah rahmat, apabila dengan perbedaan tersebut, akan menumbuhkan rasa saling hormat-menghormati dan menghargai. Namun perbedaan akan menjadi adzab, apabila dalam diri kita tertanam sebuah virus bernama fanatic sempit. Menganggap diri atau imam bahkan aliran yang dianut adalah yang paling benar, sementara yang lain salah dan keluar dari ajaran. Bahkan yang lebih ekstrim lagi, upaya pentakfiran kerap dilakukan kepada orang-orang yang tidak sepaham.
Kondisi ini diperparah dengan upaya untuk menghancurkan paham-paham tersebut. Kerusuhan, pembunuhan, dan pengrusakan tempat ibadah seolah dihalalkan demi menghapus paham yang menurut mereka sesat. Bukankah kita bukan tuhan? Yang tidak tahu siapa yang sesat dan menyesatkan itu. Jangan-jangan aliran atau kepercayaan yang kita anut selama ini dan kita anggap benar, adalah aliran yang sesat dan menyesatkan?. Hanya yang maha kuasa yang tahu.
Untuk itu, mari kita tumbuhkan rasa kesadaran dalam diri kita. Adanya perbedaan kita anggap sebagai sebuah skema hidup yang kita lakukan sehari-hari. Kita tingkatkan rasa saling hormat dan menghormati serta menghargai terhadap perbedaan itu. Bukankah Negara kita dapat menjadi Negara besar karena perbedaan?. Dengan perbedaan, kita akan menemukan sebuah kebersamaan. Perasaan kebersamaan, bahwa kita memang tercipta berbeda. Dengan perbedaan, kita jalin kebersamaan.


Selasa, 26 Juni 2012

JAS MAMBU (Jangan Sekali-Kali Melupakan Bahasa Ibu)


Indonesia merupakan Negara yang kaya. Selain sumber daya alam yang melimpah, Indonesia yang terdiri dari berbagai pulau, menjadikannya kaya akan etnik dan budaya. Salah satunya adalah kekayaan bahasa.  Dunia mengakui bahwa terdapat lebih dari 700 bahasa daerah di Indonesia.
Seiring kemajuan zaman, timbul keresahan mengenai eksistensi bahasa daerah atau yang lebih dikenal dengan bahasa Ibu di Indonesia. Setiap hari, pengguna bahasa Ibu di negeri ini semakin menurun, terutama dikalangan remaja. Hal ini terbukti dari 746 bahasa Ibu di Indonesia, 726 diantaranya terancam punah  (Kompas,25 Juni 12).
Dalam catatan Kepala Pusat Bahasa Depdiknas, Dendy Sugono, di Papua ada sembilan bahasa yang punah dan Maluku Utara satu bahasa. Di Papua, rinciannya: bahasa Bapu, Darbe, dan Wares (Kabupaten Sarmi); Taworta dan Waritai (Jayapura); Murkim dan Walak (Jayawijaya); Meos – war (Manokwari); Loegenyem (Rajaampat). Di Maluku Utara yang punah adalah bahasa Ibu.
Hal ini patut dicemaskan, karena bahasa terutama bahasa ibu adalah warisan budaya bangsa yang dapat menentukan kemajuan sebuah bangsa. Mengutip pernyataan Koichiro Matsuura, Direktur UNESCO mengatakan bahwa apabila bahasa punah, maka kebudayaan lain juga ikut terancam. “Punahnya suatu bahasa menyebabkan hilang-nya berbagai bentuk warisan budaya, khususnya warisan tradisi dan ekspresi berbicara masyarakat penuturnya. Mulai dari sajak-sajak dan cerita hingga peribahasa dan lelucon-lelucon,’’ kata Direktur UNESCO, Koichiro Matsuura, di laman UNESCO.
Bahkan, mantan presiden Prancis, Jacques Chirac, pernah menyatakan ancaman kepunahan bahasa di dunia itu sebagai major risk for humanity, atau musibah besar bagi kemanusiaan.
Pengaruh Modernisasi
Belum lama ini, Urang (warga) Sunda mulai mengeluh dan khawatir akan keberlangsungan bahasa Ibu mereka. Bahasa Sunda yang telah didaftarkan ke UNESCO sejak 1951 silam, kini keberadaannya terancam punah. Saat ini, penutur bahasa Sunda diperkirakan tak lebih dari 27 juta penutur. Jumlah ini diprediksi terus menurut sekitar 20 % setiap tahunnya. (Balai Bahasa Bandung 2010, dalam Kompas 26 Juni 2012).
Pada edisi sebelumnya, Kompas juga menerbitkan sebuah artikel berjudul “Ngapak, Bukan Bahasa Rendahan” yang ditulis oleh Purnawan Andra. Dalam artikelnya tersebut, Purnawan menggambarkan bagaimana bahasa Ngapak (bahasa yang berkembang di Karesidenan Banyumas) terancam punah. Hal ini dikarenakan banyak remaja yang enggan menggunakan bahasa Ibu tersebut dalam kehidupan sehari-hari.
Modernisasi dan globalisasi merupakan hal yang paling disalahkan.  Karena secara langsung dan bertubi-tubi, mereka menyusup kedalam kehidupan sehari-hari dan memberikan antibody terhadap kemapanan. Ia merubah bahasa Ibu yang dahulu adalah bahasa keramat dan terhormat, menjadi bahasa yang lucu, pinggiran dan terkesan “rendahan”. Berkembangnya bahasa “gaul” menyebabkan bahasa Ibu terpinggirkan. Karena kesan inilah bahasa ibu mulai ditinggalkan oleh generasi penerus bangsa. Pemeliharaan keanekaragaman linguistic seperti yang dikatakan oleh Tove Skutnabb Kangas dalam Kompas 27 Juni 2012, dihadang oleh dominasi bahasa Inggris yang kian meningkat dan bahasa-bahasa “pembunuh” lain.
Selain itu, media juga menjadi actor musnahnya bahasa Ibu di negeri ini. Di televise misalnya, seseorang yang berbahasa ibu, misalnya bahasa ngapak, atau bahasa lain disimbolkan sebagai seorang babu, pembantu, tukang kebun, dan lain sebagainya. Sementara majikan menggunakan bahasa inggris atau setidaknya bahasa Indonesia.
Selain hal diatas, bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional juga mempunyai andil dalam musnahnya bahasa Ibu. Adanya pernikahan antar etnis, menjadikan bahasa Ibu ditinggalkan dan beralih menggunakan bahasa Indonesia. Demikian seterusnya dan diturunkan kepada anak-anak mereka. Bahkan yang lebih parah, tidak jarang di pedalaman yang biasa menggunakan bahasa ibu dalam kehidupan sehari-hari, mengajari anaknya sejak lahir dengan menggunakan bahasa Indonesia. Maka jangan heran jika ada pepatah mengatakan “wong jowo ning ora njawani (orang jawa tapi tidak paham jawa)” atau lain sebagainya.
Kekurangmampuan generasi muda dalam menggunakan bahasa ibu, tak lepas dari desakan bahasa Indonesia yang semula hanya dipakai dalam situasi resmi. Penggunaan bahasa ini mulai bergeser dari situasi resmi menjadi bahasa pergaulan sehari hari. Sudah jarang sekali sekarang anak-anak muda berkumpul dan bercanda gurau dengan bahasa Ibu mereka. Apabila ini dibiarkan, maka tidak lama lagi bahasa ibu akan benar-benar hilang di negeri ini.
Jangan sampai kisah Marie Smith Jones, wanita berdarah Indian yang meninggal pada 21 Januari 2008 ini terjadi di Negara kita. Jones merupakan penutur terakhir bahasa Eyak, bahasa suku yang mendiami wilayah selatan Alaska, negara bagian Amerika Serikat. Sepeninggal Jones, bahasa Eyak tak lagi dituturkan. Jauh sebelum Jones, bahasa Manx di Isle of Man, Inggris, lenyap pada 1974 setelah Ned Mad – drell, penutur terakhir bahasa itu meninggal. Lenyapnya bahasa-bahasa dunia, tak hanya dialami Eyak dan Manx. (http://dekadeku.wordpress.com/2009/11/03/ancaman-punahnya-bahasa-dunia/).
Untuk itulah, mulai saat ini  mari kita sadar akan pentingnya menjaga kelestarian bahasa Ibu. Jangan pernah memandang sebelah mata dan menganggap bahasa ibu adalah bahasa lucu, pinggiran bahkan rendahan. Bahasa yang telah diwariskan secara turun temurun itu patut dilestarikan sebagai warisan budaya yang tak ternilai harganya. Karena bangsa yang maju akan selalu menghargai dan melestarikan budayanya.
Mulailah dari terbiasa mengucapkan bahasa ibu dalam kehidupan sehari-hari. Walau mengetahui dan memahami bahasa lain juga perlu, setidaknya saat kita bersama keluarga, atau orang serumpun, maka berbicara dengan bahasa Ibu adalah hal yang harus selalu dilakukan. Selain itu, sekolah dan pendidikan lain juga wajib memberikan porsi yang ideal bagi pelajaran bahasa ibu di masing-masing daerah. Jangan hanya bahasa asing yang didahulukan demi gengsi dan nama besar sekolah. Jika bukan kita, siapa lagi, jika bukan sekarang, kapan lagi!.



Rabu, 20 Juni 2012

Rintihku

Aku menatap dalam lara
Kembali menitikkan air mata
Ia tak berdosa
Namun aku tega menjatuhkannya

Butir putih itu
Menghujam deras menghancurkan hidupku
Remuk sudah hati menatap cahya Mu
Yang terang, namun dihatiku kau gelap
Tertutup nafsuku, egoisku, dan dosaku

Aku tahu kau Esa
Aku tahu kau maha kuasa
Kau kuasa memberi  segalanya
Termasuk maaf....

Namun,,
Aku malu
Malu untuk bersimpuh
Kembali menyembah Mu dalam doa
Aku tahu ,,,aku sudah tak pantas
Menadahkan tangan meminta belas kasih Mu
Karena noda dan dosaku
Bagaikan gugusan gunung Semeru
Yang bahkan ingin meledak
Karena tak sanggup lagi menahan
Lahar dosaku

Tuhan...
Berikan aku kesempatan....
 

Negeri Ironi Dibalik Ironi (Korupsi vs Bela Negara)


Masih ingatkah anda dengan Gayus Tambunan?. Mafia pajak yang wajahnya menghiasi seluruh media di Indonesia beberapa bulan lalu. Seorang pegawai golongan III A yang memiliki kekayaan milyaran rupiah. Darimana uang itu diperolehnya?. Anak kecil ingusan pun dapat menjawab. Korupsi!.
Memang, penyakit yang satu ini sungguh sangat sulit disembuhkan. Korupsi ibarat virus yang sampai saat ini belum ditemukan antibiotiknya. Ia menjalar dari institusi satu ke institusi yang lain. Setiap hari, rakyat dipusingkan oleh perilaku bobrok para petinggi negeri ini yang terlibat dalam lingkaran setan korupsi. Sementara Negara, sibuk mengurus dan berupaya menangkap tikus berdasi, hingga melupakan persoalan rakyat yang lebih penting. Kemiskinan, kelaparan, kerusuhan, dan berbagai kasus lain muncul dalam permukaan.
Inilah saat yang sangat genting bagi Indonesia. Jika anda membaca harian Kompas edisi 20 Juni 2012. Dalam sebuah beritanya dituliskan bahwa dalam indeks Negara gagal (Failed States Index / FSI) 2012 yang dipublikasikan di Washingtong DC, Amerika Serikat pada senin (18/6) , Indonesia menduduki peringkat ke 63 dari 178 negara. Hal ini lebih parah dibanding dengan tahun lalu yakni peringkat 64 dari 177 negara. Dalam situasi ini, Indonesia dalam kategori sebagai Negara bahaya (in danger) menuju apa yang dikatakan oleh Francis Fukuyama sebagai negara gagal (failed states).
Sungguh ironi dibalik ironi. Negara  yang subur, kaya akan sumber daya alam ini, akan menjadi sebuah Negara yang gagal. Negara yang disebut oleh para penyair sebagai serpihan surga yang jatuh ke bumi ini, akan berubah menjadi Negara hancur berantakan seperti Somalia, karena ulah segelintir orang yang tak memiliki hati nurani.
Berbagai upaya dilakukan, namun sekali lagi upaya tersebut bukanlah jawaban atas persoalan yang dihadapi. Cara yang dilakukan Negara untuk memangkas praktik korupsi di negeri ini terkesan setengah-setengah dan bertele-tele. Hukum pun tak lagi menunjukkan keadilan, kini “mata” patung simbol hukum yang tertutup, menjadi melotot saat disuguhi bongkahan uang. Sekali lagi,,Ironi!.
Salah satu upaya yang baru-baru ini gencar diberitakan adalah upaya Ditjen Pajak Republik Indonesia yang melakukan terobosan memerangi praktik suap dengan menggembleng rasa cinta tanah air dan bangsa melalui pendidikan militer kepada anggotanya. Langkah ini menurut Direktur Penyuluhan dan Hubungan masyarakat (P2Humas) Dedi Rudaedi sebagai langkah yang sangat positif. Karena menurutnya, para pegawai pajak mengemban amanah yang sangat mulia untuk mengumpulkan penerimaan Negara, demi bangsa dan Negara. Diharapkan dari pendidikan bela Negara ini, para pegawai pajak khususnya dapat memperkuat mental agar tidak tergoda untuk berbuat korupsi.
Kita boleh saja mengapresiasi langkah yang dilakukan oleh Ditjen Pajak ini. Dalam tingkatan mencegah upaya praktik korupsi memang sangatlah penting.  Namun kembali kita juga harus mencoba mencari hal yang lebih konkret agar benih-benih korupsi tidak tumbuh dalam jiwa setiap generasi bangsa.
Memang, dengan memiliki rasa cinta dan bangga terhadap bangsa dan Negara, seseorang tidak akan membuat bangsa dan negaranya menderita. Salah satu hal yang dapat membuat bangsa dan Negara menderita adalah korupsi. Penanaman rasa nasionalisme terhadap bangsa, merupakan salah satu cara yang harus ditempuh oleh pemerintah negeri ini. Namun, upaya tersebut hanya dapat memperbaiki moral saja.
Anggapan yang selama ini menyebar dalam masyarakat bahwa memperbaiki akhlak dan nilai-nilai moral adalah hal yang mutlak untuk menghindari praktik korupsi. Intinya adalah menekankan kepada masyarakat bahwa, “jika ingin korupsi dibasmi, maka perbaikilah moral dan akhlak dasar kita, sebab moral yang bobrok merupakan akar penyebab korupsi di Indonesia”. Anggapan tersebut tidaklah salah, namun kurang tepat. Bahwa tidak hanya moral dan akhlak saja hal dasar yang harus diperbaiki, melainkan banyak factor lain yang harus dibenahi.
Salah satu di antara banyak faktor yang berperan menyuburkan korupsi adalah “sentralisme kekuasaan”, atau struktur pemerintahan yang memusatkan kekuasaan di tangan segelintir elit saja. Bayangkan, jika kekuasaan dijalankan dengan tangan besi, betapa mudahnya praktek korupsi ini dilakukan atas nama kepentingan bersama. Sama persis dengan praktek kekuasaan yang dijalankan oleh pemerintahan Orde Baru Soeharto, dimana pemerintah dengan begitu mudahnya menghisap pajak dan uang rakyat atas nama dan untuk pembangunan. Siapa yang menghalang-halangi, dicap sebagai anti pemerintah, membahayakan stabilitas Negara, hingga tuduhan komunis gaya baru dan lain sebagainya. Hakekatnya, kekuasaan Negara yang terpusat kepada segelintir orang saja, tentu akan mengakibatkan dominasi dan hegemoni yang kuat terhadap mayoritas rakyat Indonesia. Hal inilah yang menjadi faktor penting mengapa korupsi begitu sangat mudahnya tumbuh subur dan berkembang di Indonesia. (http://belanegarari.wordpress.com/2009/11/05/membongkar-jejak-sejarah-budaya-korupsi-di-indonesia/).
Pemberian efek jera, mungkin itulah satu-satunya jalan yang harus ditempuh. Saat penjara tak lagi memberikan efek tersebut, mungkin hukuman mati adalah jawabannya. Memang terdengar cukup ekstrem,  apalagi di kalangan para pembela hak asasi manusia.
Saat hukum dapat dipermainkan, saat keadilan tak dapat ditegakkan, maka harus ada tindakan tegas yang dilakukan. Hongkong misalnya, Negara ini terkenal sebagai Negara yang sukses memberantas korupsi. Apakah dengan tindakan bela Negara? Tidak, melainkan dengan pemberantasan secara langsung. Pemerintah memecat seluruh jaksa dan polisi serta aparatur Negara yang terindikasi korupsi. Dan digantikan dengan petugas yang baru dengan seleksi yang sangat ketat. Sementara di Negara kita, orang yang sudah tersangka korupsi pun masih menduduki jabatannya. Atau bahkan yang sudah di penjarapun, dapat berlenggang santai tanpa dosa.
Sudah saatnya negeri ini berbenah. Korupsi harus diberantas dari akar-akarnya. Tindakan tegas harus dilakukan secepatnya sebelum Negara ini benar-benar disebut Negara gagal seperti Somalia. Waktu terus berjalan, dan tindakan  tegas, cepat dan tepat, tidak hanya mengumbar kata “prihatin” saja. Selain itu juga, upaya pencegahan seperti yang dilakukan oleh Dirjen Pajak juga harus ditingkatkan. Jika itu terwujud, maka Indonesia bebas dari korupsi, bukan sekedar mimpi.

Selasa, 19 Juni 2012

Analisis Pemberitaan Ahmadiyah Pasca Kerusuhan Di Cikeusik, Pandeglang, Banten (Studi Kasus Konstruksi Wacana Surat Kabar Harian Republika Edisi Februari 2011)


BAB I
PENDAHULUAN

1.1    Latar Belakang
Media massa sering disebut sebagai fourth estate (kekuatan keempat) dalam kehidupan sosial ekonomi dan politik. Hal ini disebabkan oleh suatu presepsi  peran yang dapat dimainkan oleh media dalam kaitannya dengan pengembangan kehidupan sosial ekonomi dan politik masyarakat (Sobur,2004:30).
Media massa dinilai perkasa karena kemampuan dan  keampuhannya dalam menjangkau khalayak banyak dan tersebar di berbagai tempat di suatu daerah atau suatu negara. Banyak orang menggantungkan diri pada pemberitaan media massa untuk mengetahui atau mengenali sesuatu meskipun apa yang tersaji dalam berita media massa bukan merupakan kenyataan hakiki (pure reality), melainkan “realitas media” yang sering menjadi kebenaran semu (Romli,2003:29). Begitu berkuasanya media massa dalam mempengaruhi pikiran, perasaan dan perilaku penduduk, sehingga tidak salah jika Kevin Philips dalam bukunya “Responsbility in mass communication” seperi yang dikutip Onong Uchjana Effendi mengatakan bahwa era sekarang lebih merupakan mediacracy (pemerintahan media) daripada democracy (pemerintahan rakyat) (Effendi, 1986 : 207).
Media sesungguhnya berada di tengah realitas sosial yang sarat dengan berbagai kepentingan, konflik, dan fakta yang kompleks dan beragam.  Menurut pernyataan Louis Althusser seperti dikutip Sobur mengatakan bahwa media, dalam hubungannya dengan kekuasaan, menempati posisi strategis, terutama karena anggapan akan kemampuannya sebagai sarana legitimasi. Media massa sebagaimana lembaga-lembaga pendidikan, agama, seni, dan kebudayaan merupakan bagian dari alat kekuasaan Negara yang bekerja secara idiologis guna membangun kepatuhan khalayak terhadap kelompok yang berkuasa (ideological states apparatus).
Pendapat tersebut dibantah oleh Antonio Gramsci yang menyatakan bahwa media merupakan arena pergulatan antar ideologi yang saling berkompetisi (the battle ground for competiting ideologis). Gramsci melihat media sebagai ruang dimana berbagai ideologi direpresentasikan. Ini berarti di satu sisi media bisa menjadi sarana penyebaran ideologi penguasa, alat legitimasi dan kontrol atas wacana publik (Sobur, 2004 : 30).
Pendapat kedua tokoh diatas merupakan sebuah bukti bahwa media massa bukan sesuatu yang bebas, independen, akan tetapi memiliki keterkaitan dengan realitas sosial. Jelasnya ada berbagai kepentingan yang bermain dalam media massa. Seperti kepentingan kapitalisme pemilik modal, kepentingan keberlangsungan lapangan kerja bagi karyawan, kepentingan politik dan lain lain.
Pada awal tahun 2011, kisruh politik Timur Tengah menjadi berita hangat yang dibicarakan oleh kalangan pendidikan (akademisi), media cetak, media elektronik dan masyarakat luas di Indonesia. Revolusi yang terjadi di Tunisia, Mesir, Libya, Sudan dan beberapa negara Timur Tengah cukup menyita perhatian publik. Selama berminggu minggu, media massa baik lokal maupun nasional menjadikan peristiwa peristiwa tersebut sebagai berita utama (headline).
Selain kasus politik luar negeri tersebut,  politik dalam  negeri juga menjadi pemberitaan media, mulai dari masalah mafia pajak Gayus Tambunan, kisruh pemilihan ketua PSSI, susu formula berbakteri, dan berbagai kasus kriminal menjadi berita yang menghiasi halaman media cetak pada awal tahun 2011.
Ditengah berbagai kasus yang terjadi diatas, pada bulan Februari 2011 muncul kasus kerusuhan berbau SARA (Suku, Agama dan Ras) yang terjadi di dua tempat dalam waktu yang hampir bersamaan. Ironisnya, peristiwa-peristiwa itu muncul saat presiden Indonesia Susilo Bambang Yudhoyono meresmikan gong perdamaian di Kupang, Nusa Tenggara Timur pada 8 Februari 2011. Persis di tanggal yang sama terjadi kasus pembakaran gereja di Temanggung, dan dua hari sebelumnya pada 6 Februari 2011, terjadi kerusuhan di Cikeusik, Pandeglang, Banten antara Ahmadiyah dan warga yang menewaskan 3 pengikut Ahmadiyah.
Isu kerusuhan berbau SARA tersebut tentunya tidak luput dari perhatian media massa, khususnya media cetak (surat kabar). Hampir seluruh media cetak di Indonesia menaruh headline tentang isu tersebut. Salah satu media cetak yang memberitakan isu tersebut adalah surat kabar Harian Republika. Lebih dari satu bulan, yakni mulai 6 Februari sampai Maret 2011, berita tentang kerusuhan di Cikeusik antara warga dengan Jamaah Ahmadiyah menjadi topik utama Republika.
Setelah peristiwa SARA ini menjadi pemberitaan utama di media massa, perbedaan pendapat muncul dikalangan publik. Silang pendapat antara pihak yang pro dan kontra menghiasi halaman media massa. Saling membela, meghujat, pentakfiran, dan saling menganggap sesat. Masyarakat telah berhasil diformat seleranya oleh media. Seperti yang dikatakan Redi Panuju, Berita yang menegangkan yang tergolong “bad News” mempunyai empat efek pada komunitas yang berbeda karakteristiknya: salah satunya adalah ada sekelompok masyarakat yang terkena efek pengkondisian (conditioning). Artinya, secara perlahan lahan individu individu akan diformat seleranya, minatnya, cara berpikirnya, dan sebagainya itu oleh media (Panuju, 2002 : 72).
Kasus kerusuhan antara Ahmadiyah dengan warga di Cikeusik Pandeglang, Banten adalah kasus yang paling banyak disorot publik. Dalam kerusuhan itu, 3 orang meninggal dunia, dan belasan orang mengalami luka berat. Peristiwa kekerasan itu bukanlah kasus pertama yang dialami oleh Ahmadiyah di Indonesia. Menurut catatan Setara Institute, kasus penyerangan terhadap warga Ahmadiyah di Indonesia pada kurun waktu 2008-2010 terjadi sebanyak 276 kali. Pada 17 Februari 2006, terjadi perusakan dan pembakaran 31 rumah pengikut Ahmadiyah di Lombok Barat NTB, 15 Desember 2007 terjadi penyerbuan rumah dan tempat ibadah Ahmadiyah di Kuningan Jawa Barat, 9 Oktober 2010, penyerangan dan pembakaran permukiman Ahmadiyah di Bogor, Jawa Barat, dan kasus terbaru yakni penyerangan kediaman pimpinan Ahmadiyah di Kampung Peudeuy, Cikeusik Pandeglang, Banten yang menewaskan 3 anggota Ahmadiyah (Kompas, Senin 14/2/2011).
Tewasnya pengikut Ahmadiyah di Cikeusik, Pandeglang, Banten dalam kerusuhan Minggu 06 Februari 2011 menambah daftar kekerasan yang terjadi terhadap Aliran sesat itu di Indonesia. Pemerintah pun seakan kebingungan dalam mengatasi konflik internal antara Ahmadiyah dengan Muslim di Indonesia. Argumen tentang kebebasan beragama dan Hak Asasi Manusia menjadi sebuah dilema bila dihubungkan dengan kelompok ajaran Ahmadiyah. Satu sisi Islam menolak keras dan tidak menerima ajaran ini, sementara sisi lain hak untuk memeluk  agama dan kepercayaan dilindungi oleh Undang-Undang (http://balista.blogspot.com diakses pada 20 Februari 2011).
Ahmadiyah adalah ajaran dan gerakan yang ditokohi oleh Mirza Ghulam Ahmad (1839-1908) di Qadian, Punjab, India. Ajaran ini oleh kalangan muslim Sunni ortodoks dianggap menyimpang dari ajaran Islam yang sebenarnya (Iqbal,1991:vii). Di negara asalnya (India), Ahmadiyah sudah dilarang. Tidak hanya di negara asalnya saja, larangan ini juga telah disepakati oleh dunia Islam melalui tiga organisasi internasionalnya, yaitu merupakan keputusan Rabithah Alam Islami (Liga Muslim Dunia), Muktamar Alam Islami dan Konfrensi Negara-Negara Islam (OKI) (http://www.inilah.com diakses pada 20 Februari 2011).
Di Indonesia sendiri, Ahmadiyah juga ditentang. Hal ini dibuktikan dengan fatwa MUI yang dikeluarkan sejak Musyawarah Nasional (MUNAS) VII tanggal 26-29 Juli 2005. Menegaskan kembali fatwa dan keputusan MUNAS II MUI tahun 1980 tentang Ahmadiyah sebagai aliran yang berada diluar Islam, sesat dan menyesatkan serta menghukumi orang yang mengikutinya sebagai murtad (telah keluar dari Islam). Dalam fatwa tersebut juga dinyatakan bahwa pemerintah berkewajiban untuk melarang penyebaran faham aliran Ahmadiyah diseluruh Indonesia, membekukan organisasi serta menutup semua tempat kegiatannya (Himpunan Fatwa Majelis Ulama Indonesia : 106 dalam www.mui.or.id diakses pada  23 Februari 2011).
Penentangan itu tidak lain karena Ahmadiyah diyakini sebagai ajaran sesat. Kesesatan itu diakibatkan bebarapa poin, seperti menyatakan pemimpinnya yakni Mirza Ghulam Ahmad sebagai Nabi dan Rasul, teks al Quran yang diubah ubah, dan menganggap jihad itu tidak ada (Jaiz,2002 : 55).
Surat yang disampaikan kedutaan besar Saudi Arabia kepada Kementrian Agama Republik Indonesia yang menyatakan bahwa keputusan konferensi organisasi-organisasi Islam di Makkah yang dikeluarkan pada bulan Rabi’ul Awal 1394 H serta putusan dewan tertinggi masjid sedunia yang dikeluarkan  dalam sidangnya yang ke 2, ke 3 dan ke 4 tahun 1397, 1398, dan 1399 H, kesemuanya berisi penentangan kaum muslimin terhadap kegiatan destruktif yang dilakukan oleh golongan yang disebut Qadyaniyah atau Ahmadiyah, ialah suatu golongan destruktif yang menjadikan Islam sebagai kedok untuk menutupi tujuannya yang busuk yang bertentangan dengan ajaran ajaran Islam (Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia, 1981:19).
Ahmadiyah menemukan puncak kejayaannya di Indonesia terjadi pada masa kepemimpinan Presiden Abdurrahman Wahid atau akrab disapa Gus Dur. Kala itu, dengan terang - terangan Gus Dur menyatakan siap membela warga Ahmadiyah (http://oase.Kompas.com, diakses pada 20 Februari 2011). Pada masa pemerintahan Gus Dur tahun 2000, ia justru menghadirkan dedengkot Ahmadiyah ke Indonesia, yaitu Tahir Ahmad dari London yang disebut sebagai khalifah ke-4 (Jaiz, 2002 : 59).
Aliran Ahmadiyah memiliki cita-cita yang tinggi, yakni untuk meremajakan moral Islam dan nilai-nilai spiritual. Pergerakan ini mendorong dialog antar agama dan senantiasa membela Islam serta berusaha untuk memperbaiki kesalah-pahaman mengenai Islam di dunia Barat. Gerakan ini menganjurkan perdamaian, toleransi, kasih dan saling pengertian diantara para pengikut agama yang berbeda serta menolak kekerasan dan teror dalam bentuk apapun untuk alasan apapun (http://www.alislam.org/indonesia, diakses pada 8 Maret 2011).
Pro dan kontra masyarakat tentang aliran Ahmadiyah terjadi sejak kedatangannya ke Indonesia pada tahun 1925. Ahmadiyah dianggap menjadi faktor timbulnya perpecahan kerukunan umat beragama di Indonesia.  Sejak kedatangannya, aliran ini langsung mendapat respon dari masyarakat dan juga pemerintah Indonesia.  Lima tahun kemudian muncul konflik yang disebabkan oleh menyimpangnya ajaran ini. Dari masa ke masa pun, pemicu bentrokan itu adalah masalah yang sama, tidak diterimanya aliran Ahmadiyah karena dianggap sesat menyesatkan (http://www.inilah.com, diakses pada 20 Februari 2011). Menurut Ichwan Syam, Sekertaris Jendral Majelis Ulama Indonesia mengatakan bahwa Ahmadiyah dapat menjadi “Kuda Troya” yang memecah belah kerukunan bangsa. Menurutnya, terdapat indikasi adanya kepentingan kepentingan yang membonceng aliran yang dianggap sesat ini” (Republika, Senin 21/2/2011).
Munculnya pro dan kontra yang berkembang di masyarakat tentang aliran Ahmadiyah, tidak terlepas dari pemberitaan media. Sebagai suatu alat untuk menyampaikan berita, penilaian, atau gambaran umum tentang banyak hal, media mempunyai kemampuan untuk berperan sebagai institusi yang dapat membentuk opini publik.
Fakta atau peristiwa yang disampaikan media adalah hasil konstruksi dan bersifat subjektif. Begitu pula tentang pemberitaan Ahmadiyah. Hal itu terjadi karena dalam teori komunikasi kontemporer dan ilmu sosial kritis, media (pers) dan teks komunikasi (wacana) termasuk pemberitaan Ahmadiyah pasca kerusuhan di Cikeusik, Pandeglang, Banten – menurut teori Van Dijk tidak bebas nilai dan kepentingan (Sobur, 2002 : 2-3).
Media bukanlah seperti yang digambarkan, memberitakan  apa adanya, cermin dari realitas. Media seperti kita lihat, justru mengkontruksi sedemikian rupa realitas. Tidak mengherankan jika  kita tiap hari secara terus menerus menyaksikan bagaimana peristiwa yang sama bisa diperlakukan secara berbeda oleh media. Ada peristiwa yang diberitakan, ada yang tidak diberitakan, ada yang menganggap penting, ada yang tidak menganggap sebagai berita, ada peristiwa yang dimaknai secara berbeda, dengan cara wawancara dan orang yang berbeda, dengan titik perhatian yang berbeda. Semua kenyataan ini menyadarkan kita betapa subyektifnya media. Mengetengahkan perbedaan semacam ini, tentu bukan menekankan bias atau distorsi dari pemberitaan media. Ini dipaparkan untuk memberikan ilustrasi bagaimana berita yang kita baca tiap hari telah melalui proses konstruksi (Eriyanto, 2004 : 2).
Salah satu media cetak yang menyoroti fenomena krusuhan berbau SARA yang terjadi di Cikeusik, Pandeglang, Banten ini adalah harian Republika. Disalah satu laporannya, Republika memberitakan bahwa kerusuhan yang terjadi pada 6 Februari 2011 adalah kesalahan dari pihak Ahmadiyah. ”Kerusuhan yang terjadi dipicu oleh arogansi rombongan Ahmadiyah yang memprofokasi warga” (Republika, 8 Februari 2011).  Selain itu, Republika juga memberitakan bahwa Ahmadiyah telah mempersiapkan diri dalam menghadapi kerusuhan itu dengan menyiapkan berbagai senjata tajam, seperti samurai, parang, dan tombak.
Perlu dianalisis lebih mendalam tentang hal ini, mengapa harian Republika memilih kata-kata tersebut. Makna apa yang terkandung dalam pemilihan teks tersebut. Melalui studi analisis wacana kritis ini, akan diketahui kontruksi wacana yang ditampilkan oleh Surat Kabar Harian (SKH) Republika. Penulis akan berusaha menemukan konstruksi wacana Republika dalam pemberitaan tentang Ahmadiyah  pasca kerusuhan yang terjadi di Cikeusik Pandeglang, Baten.
Penelitian ini berusaha mengkaji seputar pemberitaan tentang tema tersebut dalam harian Republika. Penulis akan berusaha menemukan kecenderungan sikap Republika dan bagaimana Republika mengkonstruksikan berita dan mengembangkan wacana pemberitaan Ahmadiyah pasca kerusuhan yang terjadi di Cikeusik Pandeglang, Banten. Alasan kenapa penulis memilih Republika sebagai subyek penelitian ini adalah karena banyak kalangan menganggap bahwa Republika adalah harian yang mempunyai visi keIslaman. Sebagai harian yang beridiologi dan mempunyai visi misi Islam Republika mengemban tanggung jawab untuk menjaga pemberitaannya dari berita yang dapat dianggap menyesatkan.
Peneliti meneliti masalah di atas dengan judul “Analisis Pemberitaan Ahmadiyah Pasca Kerusuhan Di Cikeusik, Pandeglang, Banten (Studi Kasus Konstruksi Wacana Surat Kabar Harian Republika Edisi Februari 2011)”.
1.2    Perumusan Masalah
Dari latar belakang yang telah diuraikan di atas, dapat dirumuskan permasalahan yang menjadi pembahasan dalam penelitian ini yaitu : Bagaimana Konstruksi wacana Surat Kabar Harian Republika dalam pemberitaan Ahmadiyah pasca kerusuhan di Cikeusik Pandeglang, Banten?.
1.3    Tujuan dan Manfaat Penelitian
1.3.1        Tujuan
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah Untuk mengetahui konstruksi berita tentang Ahmadiyah Pasca Kerusuhan Di Cikeusik, Pandeglang, Banten dalam SKH Republika.
1.3.2        Manfaat
1.      Manfaat Akademis
Memberikan sumbangsih bagi ilmu komunikasi khususnya penelitian dengan menggunakan metode analisis wacana kritis yang menjelaskan bahwa media massa mempunyai ideologi dan politik yang berbeda – beda dalam setiap pemberitaannya.
2.      Manfaat Praktis
-          Untuk media, diharapkan agar lebih objektif, berimbang dan netral dalam penyusunan berita.
-          Untuk masyarakat, agar mengetahui bagaimana sebuah berita diproduksi sehingga diharapkan dapat lebih kritis dan selektif dalam memahami berita yang disajikan oleh sebuah media tidak selalu bersifat netral.
1.4    Tinjauan Pustaka
Dalam melakukan penelitian ini, penulis akan mendeskripsikan pada peneliti peneliti lain yang berbentuk skripsi yang ada relevansinya dengan judul diatas. Penulis menyadari bahwa bukanlah satu-satunya orang yang mengangkat tema tentang pemberitaan Ahmadiyah di media massa. Setelah penulis teliti, baik di perpustakaan maupun media-media lain, ternyata telah ada beberapa pihak yang mengangkat tema serupa. Namun dalam penelitian ini tentu saja berbeda dengan yang lainnya, terutama masalah tema dan obyek penelitian. Di antara penelitian yang pernah dilakukan antara lain :
a.             Soeroso (2006), Pemberitaan Media Massa Tentang Aliran Ahmadiyah Di Indonesia (Analisis Framing Harian Kompas Dan Republika Edisi Juli-Agustus 2005).  Dalam penelitian ini, penulis menggunakan analisis framing untuk mencoba mengungkap bagaimana kedua surat kabar tersebut memberitakan tentang jamaah Ahmadiyah.
         Adapun hasil penelitian tersebut adalah Republika sebagai koran yang mempunyai visi dan missi keislaman, cenderung memaknai pemberitaan tersebut sebagai sesuatu kenyataan yang riil terjadi di lapangan. Dalam pemberitaannya, Republika seolah menekankan bahwasannya pemerintah baik daerah maupun pusat untuk segera mengambil langkah langkah tegas dan segera mengusut tuntas kasus kasus yang melibatkan Ahmadiyah. Hal ini dilakukan untuk mencegah kejadian kejadian serupa terjadi di kemudian hari yang menimbulkan permasalahan permasalahan yang semaki besar.
         Sedang disisi lain, Kompas mempunyai prinsip ”kehati-hatian” dalam pemberitaan sesuatu dan diladasi dengan kerja profesional dalam menanggapi pemberitaan mengenai Ahmadiyah ini dan tidak terlalu memberi porsi yang besar.  Hal ini ditunjukkan dengan hanya menurunkan tiga pemberitaan tentang Ahmadiyah selama penelitia dilaksanakan pada juli 2005. Selain itu, ketiga pemberitaan tersebut hanya dimuat dalam kolom kecil.
         Walaupun ada kesan bahwa Kompas memaknai kejadian tentang Ahmadiyah sama dengan yang dilakukan Republika, yakni menganggap permasalahan itu adalah riil dan benar terjadi di lapangan, namun dalam permberitannya Kompas lebih menekankan dan menitikberatkan pada aspek aspek kebebasan beragama dan berkeyakinan.
b.            Fitriyani (2009), mengangkat penelitian dengan judul Pemberitaan Tentang Jamaah Ahmadiyah Di Media Massa (Analisis Framing Harian Suara Merdeka Dan Republika). Dalam penelitian ini, penulis menyimpulkan bahwa berita tentang Ahmadiyah yang menjadi sorotan media pada pertengahan tahun 2008 begitu menghebohkan. Kasus tentang Ahmadiyah dimaknai berbeda oleh Suara Merdeka dan Republika. Suara Merdeka sebagai koran nasionalis mencoba memberitakan kasus Ahmadiyah dengan sikap cenderung netral, yaitu memberikan berita berita yang berimbang. Bukti pemberitaan yang netral itu adalah Suara Merdeka mengambil kutipan dari narasumber Jaksa Agung yang mengatakan bahwa pemerintah akan berusaha mengeluarkan SKB pembubaran Ahmadiyah. Namun Suara Merdeka juga mengimbangi dengan pemberitaan jika SKB itu dikeluarkan, pengamanan terhadap Ahmadiyah ditambah. Selain itu pula, keadaan psikologis Ahmadiyah juga diberitakan oleh Suara Merdeka dengan dikeluarkannya SKB.
         Sedangkan Republika, cenderung kontra dengan Ahmadiyah. Hal ini terlihat dalam pemberitaannya yang memaknai Ahmadiyah sebagai aliran yang menyimpang, dan penyimpangan tersebut sebagai sesuatu yang harus diluruskan. Pada  dasarnya pemberitaan tentang kasus Ahmadiyah adalah implementasi dakwah dari Republika itu sendiri. Sesuai hadis Nabi yang mencoba untuk meluruskan ajaran agama Islam.
c.             Teguh Wibisono (2008), mengangkat judul skripsi Analisis Pemberitaan Al Jama’ah Al Islamiyah dalam Peristiwa Bom Bali II di Majalah Gatra Edisi Oktober-Desember 2005. Hasil penelitian menunjukkan bahwa psikologis GATRA menolak jihad versi AL-Jama'ah Al-Islamiyah dan menentang keras perilaku aksi teror, baik atas nama idiologi tertentu maupun atas nama agama (Islam). GATRA dalam membentuk berita lebih memfokuskan dan menyudutkan sekumpulan dari anggota Al-Jama'ah Al-Islamiah sebagai pelaku teror di Indonesia.
               Secara sosiologis GATRA, menampilkan dan memuat berita yang aktual, tajam dan akurat, namun terdapat beberapa kejanggalan didalamnya bahwa berita yang dimuat selalu menampilkan narasumber dari pihak pemerintah, sehingga kebijakan yang muncul secara tidak langsung akan dipengaruhi oleh kebijakan pemerintah pula. Meski GATRA berupaya menampilkan berita yang akurat, aktual, tajam tanpa ada tendensi dari pihak manapun.
d.            Januri (2006) yang mengangkat judul Studi Kritis  Terhadap Wacana Jaringan Islam Liberal (Pendekatan Analisis Wacana Kritis Terhadap Rubrik Kajian Utan Kayu Jawa Pos). Dari skripsi ini menghasilkan kesimpulan bahwa dari analisis kognisi sosial dapat diambil kesimpulan bahwa makna teks yang terdapat di  rubrik kajian Utan kayu jawa pos adalah gagasan JIL tentang liberalisme, kebebasan berekspresi, sekularisme, demokrasi, pluralisme, universalisme, substansialisme, relativisme, inklusivisme, toleransi, dialog antar agama, modernisasi, ijtihad, dan nikah beda agama.
         Dalam ekspresi teks di rubrik kajian Utan kayu Jawa Pos berupa ekspresi persuasif provokatif, bahasa yang melangit sehingga tidak mudah dipahami oleh kaum awam, kritis, vulgar, apologis, justifikasi, dan terkadang sensasional. Dalam hal idiologi, penulis menyimpulkan bahwa idiologi yang dianut oleh JIL adalah positivisme, rasionalisme, empirisme, humanisme, dan liberalisme.
Dari telaah pustaka yang penulis deskripsikan di atas ada beberapa perbedaan mendasar yang perlu digarisbawahi. Mengapa peneliti mengambil rujukan dari beberapa peneliti terdahulu karena peneliti anggap cukup relevan dengan penelitian yang peneliti teliti.           Walaupun dalam subjek yang dibahas ada kesamaan yakni pada skripsi Soeroso dan Fitriyani, namun penelitian penulis secara subjek, objek, waktu penelitian,  dan metode analisis data terdapat perbedaan. Pada penelitian ini, penulis mengangkat sisi-sisi yang belum pernah dibahas oleh peneliti-peneliti terdahulu yaitu dengan mengambil penekanan pada format konstruksi wacana pemberitaan media cetak dalam masyarakat dengan menggunakan pendekatan analisis wacana Van Dijk. Adapun tujuan menggunakan pendekatan ini adalah untuk mengetahui bagaimana kecenderungan, penonjolan, maupun frekuensi pemberitaan berkenaan dengan Pemberitaan Ahmadiyah pasca kerusuhan di Cikeusik Pandeglang, Banten dalam SKH Republika.
1.5    Kerangka Teoritik
Bagi kaum konstruksionis, fakta atau peristiwa adalah hasil konstruksi, dan bersifat subjektif. Realitas itu hadir, karena dihadirkan oleh konsep subjektif wartawan. Disini tidak ada realitas yang bersifat objektif, karena realitas itu tercipta lewat kostruksi (Eriyanto, 2002:19).
Lester Markel seperti dikutip William L. Rivers pernah melontarkan serangan terhadap objektifitas melalui kata kata dalam New York Times pada tanggal 12 september 1968. Ia mengemukakan bahwa sebenarnya, sedekat apapun pendekatan wartawan terhadap objektifitas, objektifitas tetaplah sebuah ilusi.
”Wartawan yang paling objektif sekalipun, mengumpulkan 50 fakta. Dari ke 50 fakta itu, ia memilih 12 untuk disertakan dalam beritanya. Jadi, ia menyisihkan 38 fakta. Inilah penilaian No 1.
Wartawan tadi atau redakturnya menentukan mana dari 12 fakta itu yang sebaiknya ditempatkan dalam alenia pertama dari beritanya. Dengan demikian lebih menonjolkan satu fakta diatas 11 fakta lainnya. Ini penilaian No 2.
Kemudian redaktur menentukan dihalaman satu atau dihalaman duabelas berita itu akan ditempatkan. Bila ditempatkan dihalaman satu, berita itu akan lebih menarik perhatian berlipat ganda dari pembaca, dibanding ditempatkan dihalaman terakhir.
Maka, penyajian  yang faktual itu masih harus menjalani tiga tingkatan penilaian dan semua itu buatan manusia” (Markel dalam William L.Rivers,1994:98).

Pers kita sangat beragam versinya dalam menyampaikan sebuah berita. Kondisi politik dan pasarlah yang sangat menentukan bagaimana media massa mampu  survive. Di sini kita akan temukan bagaimana sosok seorang jurnalis, sosok hasil ramuan yang rumit antara seperangkat idealisme, ketrampilan dan keinginan yang sangat manusiawi (Nugroho, 1999, viii).
Demikian juga dengan proses pemberitaan realitas sosial, yang ada adalah hanya politisasi (pembangunan politik). Artinya bahwa netralitas dan objektivitas sebuah berita bisa saja digadaikan dan kalah saing dengan idielogi dari media tersebut dan juga penulisnya. Wacana yang ada di media yang terbentuk di teks-teks berita yang seharusnya menjadi sebuah bahan informasi yang berguna bagi khalayak, bisa berubah menjadi bahan perpecahan, profokasi yang menimbulkan ketegangan bahkan kerusuhan. Hal ini karena tidak adanya filterisasi oleh masyarakat dan tidak sesuai dengan sebuah ayat dari al-Quran surat al-Hujarat ayat 6 berikut:
يَا اَيُّهَا الَّذِيْنَ امَنُوا اِنْ جَاءَكُمْ فَاسِقٌ بِنَبَاءٍ فَتَبَيَّنُوْا اَنْ تُصِيْبُوْا قَوْمًا بِجَهَالَةٍ فَتُصْبِحُوْا عَلَى مَا فَعَلْتُمْ ندِمِيْنَ. (الحجرات: 6)

Artinya: " Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu " (DEPAG RI, 1993 : 846).

Menurut Syekh Ahmad Mustafa Al Farran dalam Tafsir Imam Syafi’i mengatakan bahwa Imam Syafi’i memerintahkan kepada sesorang yang akan memutuskan suatu hal pada orang lain agar terlebih dahulu melakukan klarifikasi (Mustafa,2006:407). Sedangkan menurut Dr.Nashir Bin Sulaiman Al Umar dalam bukunya Tafsir Surat Al Hujarat, dalam ayat tersebut memerintahkan umat Islam untuk memeriksa dan meneliti berita yang datang. Ayat tersebut mengandung perintah untuk tatsobbut (meyakinkan kebenaran suatu berita) dan tabayyun (mencari kejelasan suatu berita).
Perintah pertama terkait dengan kebenaran yang datang dari sumber berita, sedangkan yang kedua berkaitan dengan kebenaran dan kejelasan substansi materi berita serta hal hal yang mengitarinya. Ayat tersebut memuat prinsip seleksi dan klarifikasi terhadap setiap berita yang sampai kepada kita (Nashir dalam Fitriyani, 2009:10).
Dari keterangan diatas, menunjukkan bahwa kita harus bisa menganalisis berita yang masuk kepada kita. Masyarakat seharusnya tidak terjebak dalam situasi fasik, terjebak dalam permainan idiologi media hingga terjadi perpecahan. Masyarakat harus bisa menyeleksi berita yang dihadirkan media. Karena akhir akhir ini banyak berkembang berita berita yang disebarkan kepada khalayak oleh media yang bersifat provokatif bahkan menjatukan dan sengaja membuat perpecahan.
Dalam model komunikasi Islam, apabila pesannya bersumber dari al-Quran dan Hadist Rasulullah SAW, tentulah pesan itu bersifat imperatif atau wajib hukumnya untuk dilaksanakan karena merupakan pesan kebenaran berdasarkan firman Allah SWT dan Hadist Nabi. Pesan tidak boleh merupakan sensasi, kebohongan, kefasikan, pelintiran kata kata, dan kebohongan publik (Muis,2001:70).
Umat Islam  harus dapat memilah dan meneliti berita yang datang kepada mereka. Kesadaran bahwa berita yang dikonsumsi setiap hari itu bukanlah semata mata datang dari langit, bukan pula suatu ruang hampa yang mandiri. Akan tetapi teks yang hadir adalah sebuah konstruksi dari realitas.
Dalam pandangan kontruksionis, media bukanlah sekadar saluran yang bebas, ia juga subjek yang mengkonstruksi realitas, lengkap dengan pandangan, bias, dan pemihakannya. Disini media dipandang sebagai agen konstruksi sosial yang mendefinisikan realitas. Berita yang kita baca bukan hanya menggambarkan realitas, bukan hanya menunjukkan pedapat sumber berita, tetapi juga konstruksi dari media itu sendiri (Eriyanto,2004:23).
1.6    Metode Penelitian
1.6.1        Jenis dan Pendekatan
                 Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan jenis penelitian kualitatif, yaitu penelitian yang bermaksud untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh subjek penelitian misalnya perilaku, persepsi, motivasi, tindakan dan lain-lain, secara holistik, dan dengan cara deskriptif dalam bentuk kata-kata dan bahasa, pada suatu konteks khusus yang alamiah dan dengan memanfaatkan berbagai metode alamiah (Moleong, 2006 : 6).
                 Berdasarkan sumbernya, data kualitatif dapat dikelompokkan menjadi empat, yaitu data historis, data teks, data kasus, dan data pengalaman individu. Karena yang diteliti penulis adalah teks, maka termasuk dalam penelitian data teks (Kriyantono, 2006 : 38).
Sedangkan pendekatan yang digunakan adalah analisis wacana menurut Teun A Van Dijk. Penelitian analisis wacana menurut Van Dijk, tidak cukup hanya didasarkan  pada analisis teks semata, karena teks hanya hasil dari suatu praktik produksi. Pemahaman produksi teks pada akhirnya akan memperoleh pengetahuan mengapa teks bisa demikian.
Teks yang muncul di permukaan terpengaruh oleh struktur sosial, dominasi, dan kelompok kekuasaan yang ada dalam masyarakat. Selain itu, Van Dijk melihat bagaimana kognisi/pikiran dan kesadaran yang membentuk dan berpengaruh terhadap teks-teks tertentu.
1.6.2        Sumber Data
1.      Sumber data primer
               Sumber data primer adalah berita pada SKH Republika yang terbit dari tanggal  7-28 Februari 2011. Alasan mengapa rentang waktu ini yang penulis pilih adalah karena intensitasnya dalam pemberitaan tema tersebut lebih banyak dibandingkan dengan waktu-waktu yang lain.
2.      Sumber data sekunder
               Dalam penelitian ini, penulis menggunakan segala data tertulis yang berhubungan dengan tema yang bersangkutan, baik itu dari buku, jurnal, skripsi, tesis, surat kabar dan penelitian-penelitian lain.
1.6.3        Definisi Konseptual
Penelitian ini akan difokuskan pada pemberitaan yang ada dalam media khususnya media yang berbentuk koran harian yang akan diteliti, yaitu harian Republika.  Pengertian berita sendiri mempunyai definisi yang beragam. Sulit sekali mendefinisikan berita, hal ini diungkapkan oleh Earl English & Clarence Hach dalam bukunya ”Scholastic Journalism” seperti dikutip Djafar Assegaf yang mengatakan bahwa: ”News is dificult to define, because it involves many variable factor” (Memberi batasan atau definisi berita adalah sukar, karena berita mencakup banyak faktor-faktor variable) (Assegaf,1991:23).
Berita dalam hal ini berbeda dengan fakta. Fakta menurut Kamus Umum Besar Bahasa Indonesia karangan WJS Poerwadarminto, sebagaimana dikutip oleh Darmanto berarti peristiwa atau kejadian yang sungguh-sungguh (Darmanto, 2005 : 17-18). Pemberitaan merupakan segala informasi yang terdapat di halaman-halaman surat kabar baik berupa laporan fakta, opini institusi surat kabar dan opini masyarakat yang dimuat dalam surat kabar (seperti penulisan artikel ilmiah popular & surat pembaca) (Assegaf, 1985 : 23).
Fokus penelitian ini adalah megenai pemberitaan Republika tentang Ahmadiyah pasca kerusuhan di Cikeusik Pandeglang, Banten, oleh karena itu berita pada penelitian ini hanya tertuju pada pengertian berita yang  didefinisikan oleh Willard C. Bleyer. Seperti dikutip dalam Djaffar Assegaf, Bleyer memberikan definisi berita adalah sesuatu yang termasa yang dipilih oleh wartawan untuk dimuat dalam surat kabar karena ia dapat menarik atau mempunyai makna bagi pembaca surat kabar, atau karena ia dapat menarik pembaca tersebut (Assegaf,1991:24).     
Berita diklasifikasikan menjadi dua kategori, yaitu berita berat (hard news) dan berita ringan (soft news) (Sumadiria, 2005 : 65). Dalam dunia jurnalistik, berita berdas arkan jenisnya dapat dibagi ke dalam tiga kelompok : elementary, intermediate, dan advance. Berita elementary mencakup berita langsung (straight news), berita mendalam (depth news report), dan berita menyeluruh (comprehensive news report). Berita intermediate meliputi pelaporan berita interpretative (interpretative news report), dan pelaporan karangan khas (feature story report). Sedangkan untuk kelompok advance menunjuk pada pelaporan mendalam (depth reporting), pelaporan penyelidikan (investigative reporting), dan penulisan tajuk rencana (editorial writing) (Sumadiria, 2005 : 69). Dari jenis berita tersebut, maka berita yang dimaksudkan dalam penelitian ini hanyalah mencakup berita langsung (straight news).
Berita langsung (straight news) adalah berita yang ditulis secara langsung, artinya informasi yang dituangkan dalam berita itu diperoleh langsung dari sumber beritanya. Biasanya diungkapkan dalam bentuk pemaparan (deskriptif), dan penulisannya lebih mengutamakan aktualitas informasinya (Djuroto,2000:49).
1.6.4        Tehnik Pengumpulan Data
Data dalam penelitian ini akan kami kumpulkan menggunakan metode dokumentasi.  Dokumentasi yaitu mencari data mengenai hal-hal berupa catatan, transkip, buku, surat kabar, majalah, prasasti, notulen rapat, agenda dan sebagainya (Arikunto, 1998: 236).
Data-data tersebut tak hanya penulis kumpulkan tetapi juga penulis olah sesuai dengan metodologi analisis wacana yang digunakan. Data yang kami maksud dalam penelitian ini adalah data primer yang telah disebutkan di atas.
1.6.5        Tehnik Analisis Data
Analisis data merupakan upaya mencari dan menata secara sistematis catatan hasil observasi, wawancara dan lainnya untuk meningkatkan pemahaman peneliti tentang kasus yang diteliti dan menyajikannya sebagai temuan untuk orang lain (Muhadjir, 1991:163).
Dalam penelitian ini penulis menggunakan analisis wacana model Teun A Van Dijk, karena dari sekian banyak model analisis wacana , model Van Dijk adalah model yang banyak sekali dipakai (Sobur,2004:73).
Metode analisis wacana Van Dijk adalah model analisis kognisi sosial. Istilah ini sebenarnya diadopsi dari pendekatan lapangan psikologi sosial, terutama untuk menjelaskan sruktur dan proses terbentuknya suatu teks. Menurut Van Dijk penelitian atas wacana tidak cukup hanya didasarkan pada analisis atas teks semata, karena teks hanya hasil dari suatu praktik produksi yang harus juga diamati. Penelitian mengenai wacana tidak bisa mengekslusi seakan-akan teks adalah bidang yang kosong, sebalikya ia adalah bagian kecil dari struktur besar masyarakat (Eriyanto, 2001:221).
Analisis kognisi sosial terdiri dari tiga dimensi, yaitu dimensi teks, kognisi sosial, dan konteks sosial.  Inti dari analisis Van Dijk adalah bagaimana menggabungkan ketiga dimensi wacana tersebut kedalam satu kesatuan analisis. Dalam dimensi teks, yang diteliti adalah bagaimana struktur teks dan stategi wacana yang dipakai untuk menegaskan suatu tema tertentu. Pada level kognisi sosial, dipelajari proses produksi teks berita yang melibatkan kognisi individu dari wartawan. Dan pada aspek ketiga yakni konteks sosial, mempelajari bangunan wacana yang berkembang dalam masyarakat akan suatu masalah (Eriyanto,2001:224).
Van Dijk membuat kerangka analisis wacana yang dapat didayagunakan. Ia melihat teks terdiri dari berbagai struktur atau tingakatan. Ia membaginya dalam tiga tingkatan yang masing masing bagian saling mendukung. Ketiga struktur tersebut adalah:
1.      Struktur makro, ini merupakan makna global/umum dari suatu teks yang dapat dipahami dengan melihat topik dari suatu teks, tema wacana ini bukan hanya isi, tetapi juga sisi tertentu dari suatu peristiwa.
2.      Superstruktur adalah kerangka suatu teks, bagaimana struktur dan elemen itu disusun dalam teks secara utuh.
3.      Struktur mikro, adalah makna wacana yang dapat diamati dengan menganalisis kata, kalimat, proporsisi, anak kalimat, parafase yang dipakai dan sebagainya (Sobur, 2004:73-74).
Model analisis wacana Teun Van Dijk di atas dapat dilihat secara sederhana pada tabel sebagai berikut:
Tabel 1.
Model Analisis Wacana Teun A Van Dijk

Struktur Wacana
Hal Yang Diamati
Elemen

Struktur Makro
Tematik
Tema/topik yang dikedepankan dalam suatu berita

Topik

Superstruktur
Skematik
Bagaimana bagian dan urutan berita diskemakan dalam teks berita utuh

Skema








Struktur Mikro
Semantik
Makna yang ingin ditekankan dalam teks berita. Misal dengan memberi detil pada satu sisi atau membuat eksplisit satu sisi dan mengurangi detil sisi lain.

Latar, detil, maksud, pra anggapan, nominalisasi

Sintaksis
Bagaimana kalimat (bentuk, susunan) yang dipilih
Bentuk, kalimat, koherensi, kata ganti
Stilistik
Bagaimana pilihan kata yang dipakai dalam teks berita

Leksikon

Retoris
Bagaimana dan dengan cara penekanan dilakukan
Grafis, metafora, ekspresi

Diperlukan penelitian tentang Kognisi sosial untuk meneliti sebuah teks media. Van Dijk menitik beratkan pada beberapa hal, pertama, kesadaran mental wartawan yang membentuk teks tersebut. Dalam pandangan Van Dijk, analisis wacana tidak dibatasi hanya pada struktur teks,  karena struktur wacana itu sendiri menujukkan makna, pendapat dan idiologi. Pandangan bahwa teks tidak mempunyai makna, tetapi makna itu diberikan oleh pemakai bahasa yakni wartawan (Eriyanto, 2003:259-271).
Fungsi dari analisis kognisi sosial Van Dijk inilah yang penulis gunakan untuk menjawab pertanyaan tentang makna dan ekspresi kajian teks tentang pemberitaan Ahmadiyah pasca kerusuhan di Cikeusik Pandeglang, Banten dalam SKH Republika edisi Februari 2011.
1.7    Sistematika Penulisan
      Untuk memudahkan dalam penyusunan, skripsi ini akan menggunakan sistematika penulisan. Sistematika disini dimaksudkan untuk mendapatkan gambaran yang jelas dalam pembahasan skripsi ini. Sistematikanya adalah sebagai berikut:
            Bab pertama yaitu pendahuluan, yang berisi tentang latar belakang, rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, tinjauan pustaka, metodologi penelitian skripsi dan sistematika penulisan skripsi.
            Selanjutnya Bab kedua akan membahas media massa, surat kabar, berita dan dan wacana, yang di dalamnya tinjauan umum media massa, surat kabar, berita dan wacana menurut Teun A Van Dijk.
            Kemudian Bab ketiga akan dijabarkan data tentang Ahmadiyah dan  harian Republika. Obyek penelitian ini meliputi Ahmadiyah, sejarah harian Republika dan gambaran pemberitaan Ahmadiyah pasca kerusuhan di Cikeusik, Pandeglang, Banten.
            Bab keempat akan meneliti tentang analisis SKH Republika terhadap peristiwa Ahmadiyah pasca kerusuhan di Cikeusik, Pandeglang, Banten.  Peneliti akan menggunakan analisis wacana Van Dijk untuk menganalisa teks teks berita tersebut.
            Sedangkan dalam Bab kelima adalah bab terakhir yang berisi tentang kesimpulan, saran-saran dan penutup. 


DAFTAR PUSTAKA
Al Farran, Syekh Ahmad Mustofa.2006. Tafsir Imam Syafi’i Juz 3, Jakarta : al Mahira

Anonim.1994. Perkembangan dan Prospek Dalam Tahun Kedua Harian Republika, Jakarta: Republika

Ardiyanto, Elvinaro & Lukiati Komala Erdinaya. 2004. Komunikasi Massa Suatu Pengantar. Bandung : Simbiosa Rekatama Media.

Arikunto, Suharsimi.1998. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek, Jakarta : Rineka Cipta

Assegaf,Djafar.1991. Jurnalistik Masa Kini, Jakarta : Ghalia Indonesia.

Bungin, M, Burhan. 2008. Sosiologi Komunikasi; Teori, Paradigma, Dan Diskursus Teknologi Komunikasi di Masyarakat, Jakarta: Kencana Prenada Media Group

DEPAG RI.1993. Al-Qur’an dan Terjemahnya, Jakarta : Yayasan Penyelenggara Terjemah.

Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia. 1981. Dokumen Dokumen Resmi Dan Keputusan Konferensi Islam Internasional Tentang Ahmadiyah, Jakarta  : Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia.

            Djuroto, Totok 2000. Manajemen Penerbitan Pers, Bandung:Rosdakarya.

Effendi, Uchjana, Onong.1986. Dinamika Komunikasi, Bandung : Remadja Karya.

______________________.2005. Ilmu, Teori, dan Filsafat Komunikasi, Bandung: Remaja Rosdakarya.

______________________.1983.Dimensi-Dimensi Komunikasi, Bandung: Remaja Rosdakarya.

Eriyanto.2001. Analisis Wacana : Pengantar Teks Media, Yogyakarta : LkiS.

_______. 2002. Analisis Framing: Konstruksi, Idiologi, dan politik Media, Yogyakarta : LkiS.

Ermanto,2005. Wawasan Jurnalistik Praktis, Yogyakarta:Cinta Pena.

Fathoni,Muslih, 1994. Faham Mahdi Syiah dan Ahmadiyah dalam Prespektif, Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Fitriyani.2009. Pemberitaan Tentang Jamaat Ahmadiyah Di Media Massa : Analisis Framing Harian Suara Merdeka Dan Republika. Skripsi, tidak dipublikasikan, Fakultas dakwah IAIN Walisongo Semarang.

http:// www.mui.or.id


            http://id.shvoong.com

Iqbal, sir Muhammad.1991. Islam dan Ahmadiyah, Penerjemah,  Machnun Husein, Jakarta: Bumi Aksara.

Jaiz, Hartono Ahmad.2002. Aliran Dan Paham Sesat Di Indonesia, Jakarta : Pustaka al Kautsar.

Kasman, Suf, 2010. Pers Dan Pencitraan Umat Islam Di Indonesia Analisis Isi Pemberitaan Harian Kompas Dan Republika, Jakarta: Balai Litbang Dan Diklat Kementrian Agama RI.

________.2004. Jurnalisme Universal, Menelusuri Prinsip Prinsip Dakwah Bil Qalam Dalam Al Quran, Jakarta:Teraju.

Kriyantono, Rachmat. 2006. Teknik Praktis Riset Komunikasi. Jakarta : Prenada Media Group

Kompas, Senin 14/2/2011.

Kusnawan, Aep, 2004. Berdakwah Lewat Tulisan, Bandung, Mujahid.

Kusumaningrat,Hikmat, Kusumaningrat, Purnama. 2005. Jurnalistik Teori & Praktik, Bandung:Rosdakarya.

Lestari, Puji. A.2010. Analisis Wacana Pemberitaan Pro Kontra Pemidanaan Pelaku Nikah Sirri Di Harian Seputar Indonesia Edisi Februari 2010, (Tidak Dipublikasikan, Skripsi, Fakultas Dakwah IAIN Walisongo).

Muhajir, Noeng.1996. Metodologi Penelitian Kualitatif, Yogyakarta: Rake Surasin.

Muis, A.2001. Komunikasi Islam, Bandung : Rosda.
Oetama, Jakob.1987. Perspektif Pers Indonesia, Jakarta : LP3ES.
Panuju, Redi. 2002. Relasi Kuasa Negara, Media massa dan Publik :  pertarungan memenangkan opini publik dan peran dalam transformasi sosial, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Republika, Senin 7/2/2011.

Republika, Selasa 8/2/2011.

Republika, Kamis 10/2/2011.

Republika, Senin 14/2/2011.

Republika, Senin 21/2/2011.

Rivers,L.William, Cleve Mathews.1994. Etika Media Massa Dan Kecenderungan Untuk Melanggarnya, Jakarta : Gramedia.

Romli, Asep Syamsul M.  2003. Jurnalistik Dakwah Visi dan Misi Dakwah Bilqolam. Bandung: Remaja Rosda Karya.

Shobur, Alex.2002. Analisis Teks Media, Bandung : Rosdakarya.
Sumadiria, AS Haris.2005. Jurnalistik Indonesia, Menulis Berita dan Feature, Panduan Praktis Jurnalistik Profesional, Bandung: Remaja Rosdakarya.

Undang-Undang Nomor 40 tahun 1999 Tentang Pers.
Wibowo,Wahyu.2009. Menuju Jurnalisme Beretika, Jakarta : Kompas.
Wijana, I Dewa Putu.1996.Dasar-dasar Pragmatik, Yogyakarta:Andi

Yusof, M.Farahwahida, Siti Ramlan Ibrahim.2008. Penyelewengan Ajaran Qadiani, Kuala Lumpur: Universiti Tekhnologi Malaysia Press.